Anda di halaman 1dari 4

BAB 3

BUDAYA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI


Teknologi informasi yang pada dekade tahun 1990-an mengalami kemajuan yang begitu
pesat menyebabkan dunia seolah-olah menjadi semakin kecil. Batas-batas wilayah negara yang
selama ini dianggap menjadi tembok pemisah antara satu bangsa dengan bangsa lain sepertinya
sekarang tidak ada lagi. Komunikasi visual antar umat manusia dari dua tempat yang sangat
berjauhan yang dahulu dianggap tidak mungkin, sekarang menjadi hal yag lumrah. Walhasil
dengan teknologi informasi setiap kelompok masyarakat bisa dengan mudah berinteraksi dengan
kelompok masyarakat yang lain, sehingga mereka pun bisa dengan cepat saling meniru perilaku
mereka masing-masing. Dunia seolah-olah hanya diwarnai oleh satu macam perilaku yakni
perilaku global. Nonton berita CNN di TV merk Sony, menelpon teman dengan seluler merk
Nokia, sambil mengendarai mobil Hyundai, memakai celana jean Levi’s, mengenakan sepatu
Adidas, minum Pepsi, dan berkaraoke di café menjadi hal biasa dan bisa ditemui setiap pelosok
dunia.

Terlepas dari kecenderungan perilaku global seperti disebutkan diatas, lingkungan tempat
sekelompok orang tinggal, dibesarkan dan bergaul dengan sesama dalam kurun waktu yang
relatif lama tetap saja menjadi faktor penting yang mempengaruhi cara pandang, cara berfikir
dan cara bertindak mereka. Dibalik fenomena global tersebut, masing-masng kelompok
masyarakat sesungguhnya tetap mempunyai karakter dan identitas diri yang membedakan satu
kelompok masyarakat dengan masyarakat lainnya. Seperti pribahasa “lain lading lain belalang,
lain lubuk lain ikannya”.

Sebagai contoh kecil’, secara umum bangsa Indonesia sering mengklaim dirinya
memiliki “stereotype” perilaku yang sama yang bersumber pada akar budaya Indonesia, toh
ketika seorang dosen PTS dari Jogjakarta yang kebetulan ditugaskan untuk menjadi dosen ta.nu
di Gorontalo Sulawesi untuk beberapa lama, jauh-jauh hari diingatkan agar jangan kaget jika
pada siang hari kota Gorontalo begitu sepi karena tidur siang masih menjadi adat kebiasaan
penduduk setempat. Contoh kecil ini, sekali lagi menunjukan bahwa teknologi informasi
berkembang semakin pesat dan akulturasi terus berjalan, tetap saja sebuah kelompok masyarakat
memiliki adat kebiasaan, budaya identitas diri yang tidak mudah berubah.
SEKILAS TENTANG BUDAYA DAN ANTROPOLOGI BUDAYA
Budaya adalah sebuah kata yang memiliki banyak arti. Menurut kamus Bahasa Indonesia,
kata budaya berasal dari bahasa sansekerta bodhya yang berarti akal budi. Sinonim dari kata
tersebut adalah kultur – sebuah kata benda yang berasal dari bahasa Inggris culture atau cultuur
dalam bahasa Belanda atau kultur dalam bahasa Jerman.

PENGERTIAN BUDAYA
Dari berbagai literature antropologi budaya, Kroeber and Kluckhohn’ dalam
monografinya – Culture A critical riview of concept and definisions, menemukan tidak kurang
dari 164 definisi budaya. Mengingat begitu banyaknya definisi budaya, maka tidak semua
definisi bisa dipaparkan dalam buku ini, hanya sebagainya saja yang mungkin bisa dielaborasi
lebih detail.

BUDAYA MENURUT EDWARD TYLOR


Edward B Tylor – orang pertama yang menggunakan istilah budaya dalam karya
antropologi, misalnya mengatakan bahwa budaya adalah hasil karya manusia dalam
kedudukannya sebagai anggota masyarakat. Pengertian budaya seperti yang dikemukakan
Edward B. Tylor adalah sebagi berikut:

“a complex whole encompasses knowledge, beliefs, decency, law, traditions, art, which are in
humans and the abilities and other habits learned by humans as part of society.”

BUDAYA MENNURUT RUTH BENEDICT


Berbeda dengan definisi terdahulu yang cakupannya sangat luas, definisi lain terkesan
lebih focus hanya menekankan pada aspek kehidupan tertentu. Ruth Benedict misalnya, lebih
melihat budaya bukan dari hasil karya manusia melainkan dari aspek behavioral yaitu pola pikir,
perilaku dan tindakan manusia seperti yang diungkapkannya “Culture is a patern of thinking
and doing that runs through the activities of people”
BUDAYA MENURUT CLIFFORD GEERTZ
Culture is viewed as a pattern of symbolic discourse and shared meaning that need
interpreting and decipbering in order to fully be understood

Kultur adalah sebuah pola diskursus yang simbolik dan merupakan shared meaning
(makna/pengertian bersama) yang menuntut adanya interpretasi dan penjelasan lanjutan agar
diskursus dan makna tersebut bias dipahami secara baik.

BUDAYA MENURUT KROEBER DAN KLUCKHOHN


Kroeber Kluckhohn mencoba memberi pengertian budaya yang dianggap lebih
komprehensif sebagai berikut: “Budaya terdiri dari pola-pola pikir, cara berpendapat dan
bereaksi yang diperoleh dan disebarluaskan melalui berbagai macam symbol termasuk
didalamnya yang dimanifestasikan dalam bentuk artefak yang semuanya itu merupakan hasil
pencapaian dari sekelompok orang, sedangkan esensi dasar atau inti dari budaya terdiri dari
gagasan-gagasan tradisional yang diderivasi dan dipilih berdasarkan pengalaman sejarah,
serta nilai-nilai yang terkandung didalamnya “.

CARA MEMANDANG (MEMAHAMI) KOMPLEKSITAS BUDAYA


Karena budaya merupakan fenomena kolektif dan terkait langsung dengan lingkup kehidupan
social masyarakat, maka untuk bisa memahami budaya dengan baik, terlebih dahulu harus bias
memahami kondep masyarakat dengan benar, karena sekali lagi masyarakat merupakan locus of
culture – tempat tumbuh dan berkembangnya budaya.
Pada gambar diatas menggambarkan masing-masing lingkaran A,B,C,D adalah masyarakat yang
terorganisir.

OVERLAPPING ANTAR KELOMPOK BUDAYA


Karena masyarakat adalah temapt tumbuh dan berkembangnya budaya, maka terjadinya
overlapping antar kelompok masyarakat secara tidak langsung, juga akan menjadikan
overlapping antara berbagai kelompok budaya. Jika wilayah Negara Indonesia misalnya,
dijadikan dasar untuk memberikan batasan tentang masyarakat, yang berarti pula memberi
batasan budaya (Indonesia sebagai locus of culture), maka wilayah propinsi, kabupaten,
kecamatan dan desa dianggap sebagai bagian dari wilayah Indonesia, semuanya dianggap
memiliki karakter dan budaya yang sama. Semua orang yang tinggal di wilayah Indonesia, tanpa
melihat apakah mereka tinggal di Jogja, Banten, Palangkaraya atau tempat-tempat lainnya, tanpa
melihat etnik mereka, tanpa melihat agama mereka atau tanpa melihat pekerjaan atau jenis
kelamin, dianggap memiliki budaya yang sama – budaya Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai