Anda di halaman 1dari 5

13.

Kemudian tim mengadakan analisis retrospektif setelah persalinan, diperoleh fakta-fakta


medis sebagai berikut :
a. Ibu datang ke kamar bersalin dalam keadaan inpartu, kehamilan kembar, satu hidup satu
mati
b. posisi bayi I : bagian terendah kepala, posisi dibawah tertindih bayi kedua
c. posisi bayi II : bagian terendah bokong, posisi diatas bayi pertama dengan tali pusat
sudah keluar dan tidak berdenyut
d. kehamilan ini adalah 1 ari-ari, 1 amnion dan 1 chorion
e. tali pusat yang keluar dan tidak berdenyut adalah tali pusat bayi II
f. tarikan cunam muzeaux dilakukan atas dasar :
 bayi tidak dapat lahir spontan karena adanya massa menyerupai meningokel yang
ternyata paha bayi II yang berada diatas bayi I.
 persalinan kering, ibu sudah kelelahan, kontraksi menurun dan jika ditunggu lebih
lama maka akan membahayakan ibu.
 Tindakan dilakukan dengan persetujuan dr. Wo, Sp.OG sebagai supervisor/konsulen
tim jaga.

Permasalahan Hukum :
1. Pada kasus ini terdapat kesalahan dalam menentukan diagnosis yaitu diagnosis bayi tunggal
dan mati, padahal kenyataannya bayi kembar dengan bayi I hidup dan bayi II mati.
2. Persalinan dengan cunam muzaeux yang mengakibatkan kerugian yaitu timbul dua luka
selebar 1cm sedalam kulit kepala bayi.
3. Apakah hal diatas merupakan malpraktik kedokteran?

Analisis Hukum :
1. Kesalahan dalam menentukan diagnosis
Jika prosedur penanganan atau pemeriksaan untuk mendapatkan fakta-fakta medis pasien
sebelum penarikan diagnosis sudah dijalankan sesuai dengan prosedur yang benar dan fakta-
fakta medis yang dijadikan pedoman atau dasar dalam menarik diagnosis tersebut benar,
maka tindakan menarik diagnosis bayi tunggal dan mati dapat dianggap wajar dan benar.
Karena dalam pandangan ilmu kedokteran, “salah diagnosis dapat dipandang wajar
sepanjang prosedur pemeriksaan dalam hal mendapatkan fakta-fakta medis telah benar dan
fakta-fakta medis yang dijadikan dasar juga benar”.
Pada kasus ini, didalam kronologis peristiwa sudah digambarkan langkah-langkah
perlakuan medis terhadap Ny. Tm, dan langkah-langkah tersebut telah sesuai standar
prosedur operasional (SOP) yang berlaku dalam praktik kedokteran/kebidanan. Artinya pada
tahap ini tidak terdapat culpa mengenai langkah-langkah penanganan karena langkah-
langkah tersebut sudah dilakukan dengan benar.
Fakta-fakta medis yang diperoleh dari langkah-langkah pemeriksaan dijadikan dasar
pertimbangan saat tim medis menarik diagnosis bayi tunggal mati, yaitu : tinggi ibu 150cm
dan berat ibu 80kg, tinggi rahim 34cm, ketuban telah pecah, tali pusat sudah keluar dan tidak
berdenyut, tidak terdengar denyut jantung janin, tidak pernah mengalami kelainan
kehamilan.
 Fakta tinggi rahim 34cm
Uk 39-40mgg dengan tinggi rahim 34cm merupakan ukuran yang benar untuk janin
normal, jika janin kembar atau gemelli pada uk 39-40mgg ini seharusnya tinggi
rahimnya diatas 38cm. dan pada faktanya tinggi rahim ibu hanya 34cm sehingga ukuran
tersebut digunakan sebagai dasar penilaian bayi tunggal, dan hal tersebut bias
dinyatakan wajar.
 Tali pusat sudah keluar dan tidak berdenyut
Tali pusat keluar dan tidak berdenyut bisa disebut wajar diprediksi milik bayi tunggal
mati karena diperkuat oleh tidak terdengarnya denyut jantung janin dan semakin
diperkuat dengan penjelasan ibu bahwa sejak jam 24.00 wib sudah tidak merasakan
gerakan janin lagi.
 Tidak terdengar denyut jantung janin
fakta tidak terdengarnya denyut jantung janin ini diperkuat dengan fakta tali pusat yang
sudah tidak berdenyut lagi, sehingga fakta-fakta tersebut adalah indicator yang kaut
menandakan bahwa bayi dalam kandungan telah mati
 Tidak pernah mengalami kelainan kehamilan
Ny. Tm tidak pernah memiliki kelainan kehamilan dan tidak memiliki riwayat
kehamilan kembar..
Wajar jika diagnosis yang ditarik adalah bayi tunggal mati karena fakta-fakta
medis tersebut satu pun tidak ada yang menandakan bahwa janin kembar atau gemelli.
Jika dihubungkan dengan fakta-fakta medis yang ditemukan setelah analisis retrospektif
maka juga wajar penarikan diagnose bayi tunggal dan mati, karena walaupun bayi I
hidup namun posisinya terhimpit oleh bayi II yang mati sehingga wajar jika tidak dapat
teraba saat palpasi dan denyut jantung janin tidak terdeteksi.
Berdasarkan hal-hal diatas maka dapat disimpulkan bahwa penarikan diagnosis
bayi tunggal dan mati adalah wajar/patut dan sepenuhnya dapat ditoleransi, dan tidak
terdapat suatu cupa lata dalam hal penarikan diagnosis tersebut.
2. Melakukan cunam dengan diagnose bayi tunggal mati
Tindakan tersebut dianggap wajar dan patut karena berdasarkan fakta-fakta yang
didapatkan selama pemeriksaan dan penanganan pasien yaitu kontraksi menurun, ibu
sudah kelelahan, pembukaan maju yaitu dari 6cm ke 8cm dan dari 8cm menjadi lengkap,
dan ketuban kering maka tindakan cunam diperbolehkan. Tetapi apabila pembukaan ibu
tidak maju namun dokter tetap melakukan cunam maka hal tersebut dapat dipersalahkan
dan dapat dibebankan dalam pertanggung jawaban secara hokum.
3. Tidak melakukan USG karena tidak cukup indikasi
Tidak ada cukup indikasi medis dalam hasil pemeriksaan observasi yang
dipandang patut untuk dilakukan USG, karena hal yang patut melakukan USG apabila
janin hidup, ada denyut jantung janin. Tetapi pada kasus ini, saat dokter melakukan
pemeriksaan dengan dopler yang sudah sesuai dengan SOP kebidanan, ditemukan fakta
bahwa janin sudah meninggal, dan tidak terdapat denyut jantung janin disertai tali pusat
yang menumbung sudah tidak berdenyut. Oleh karena itu tidak diharuskan melakukan
tindakan USG tersebut.
4. Melakukan pertolongan persalinan dengan cunam untuk menyelamatkan nyawa ibu
Upaya menolong persalinan dengan cunam merupakan upaya yang luar biasa
dalam keadaan daya paksa untuk menyelamatkan nyawa ibu, karena dalam hokum pidana
pasal 48 KUHP, dikatakan bahwa kepentingan hokum yang lebih benar adalah
menyelamatkan nyawa ibu dengan mengorbankan hukum yang lebih kecil yaitu
perlukaan pada kulit kepala bayi dan melakukan pilihan yang memiliki resiko paling
ringan seperti cunam daripada melakukan seksio yang memiliki resiko jauh lebih besar
dibandingkan cunam.
5. Kematian bayi II bukan merupakan akibat dari penanganan tim medis RSSA
Kematian salah satu bayi bukan merupakan akibat dari penanganan tim medis
RSSA karena berdasarkan fakta, pada saat sebelum ibu sampai di RSSA dan diterima
oleh RSSA, tali pusat sudah keluar dan tidak berdenyut, detak jantung janin tidak
terdengar saat diperiksa dengan dopler, dan ibu juga tidak mersakan gerakan janin dalam
kandungan sejam jam 24.00 wib.
6. Dua luka lebar yang terdapat di kulit kepala bayi yang hidup tidak dapat dikualifikasikan
sebagai luka yuridis (Pasal 360 Ayat 2 KUHP)
Luka selebar 1cm di kulit kepala bayi yang hidup tidak dapa dikualifikasikan
sebagai luka yuridis karena dokter sudah melakukan tindakan sesuai prosedur
pemeriksaan dan penarikan diagnose sudah sesuai fakta-fakta dari hasil pemeriksaan,
sehingga dokter tidak dapat dipersalahkan dan tidak dibebankan pertanggung jawabannya
secara hokum. Sementara yang secara hukum pidana pun, luka yang diakibatkan sebagai
culpa lata ada tida macam yaitu luka berat, luka yang mendatangkan penyakit dan luka
yang dapat menghalangi pekerjaan/jabatan untuk sementara waktu. Sedangkan luka yang
ada di kulit kepala bayi tersebut bukan merupakan salah satu dari akibat sebagai culpa
lata menurut hukum pidana yang disebutkan sebelumnya.

Kesimpulan :
1. Prosedur pemeriksaan dan pengamatan observasi yang dilakukan untuk mendapatkan
fakta-fakta medis yang dijadikan dasar atas penarikan diagnose bayi tunggal mati sudah
dilakukan sesuai dengan prosedur dan standar profesi , oleh karena itu kesimpulan bayi
tunggal mati walaupun salah masih dapat ditoleransi untuk dipandang patut.
2. Melakukan cunam dengan kesimpulan bayi tunggal mati dipandang patut dan benar,
karena sudah tidak mungkin dapat melakukan persalinan spontan karena ibu kelelahan,
kontraksi menurun, persalinan kering, kepala tidak turun.
3. Tidak melakukan USG pada diagnose bayi tunggal mati dipandang patut dan benar
karena tidak adanya indikasi untuk pemeriksaan USG.
4. Persalinan dengan cunam dipandang patut dan benar karena tidak mungkin melakukan
persalinan spontan, karena persalinan kering, kontraksi menurun, ibu sudah kelelahan,
posisi kepala tidak turun.
5. Persalinan dengan cunam dapat dipandang sebagai upaya medis luar biasa dalam keadaan
overmatch untuk menyelamatkan jiwa ibu.
6. Tim medis RSSA dalam melakukan pelayanan pada bayi kembar tersebut tidak terdapat
culpa lata medis yang membentuk pertanggungjawaban hukum pidana.
7. Kasus ini bukan kasus malpraktik pidana.
8. Melakukan pertolongan medis untuk menyelamatkan jiwa ibu dalam suatu persalinan
harus merupakan pilihan utama dengan memilih tindakan medis yang mengandung resiko
paling ringan.
9. Luka pada kulit kepala bayi bukan merupakan luka yuridis sebagaimana Pasal 360 Ayat 2
KUHP.

Anda mungkin juga menyukai