Anda di halaman 1dari 7

BARMEN PARLINDUNGAN S. (072.16.

050)
TUGAS 3
GEOFISIKA RESERVOIR

BAB 4 PROSES PENGIKATAN DATA SUMUR TERHADAP DATA


SEISMK

4.1 Pengantar
Well seismic Tie merupakan pengikatan data sumur (kedalaman) terhadap data seismik
(waktu) yang bertujuan untuk mengetahui parameter-parameter seismik seperti fasa, polaritas dan
frekuensi. Metode ini dimulai dengan melakukan quality control terhadap data yang akan digunakan.
Pada Log Density dilakukan koreksi terhadap washout zone yang berdampak pada pembacaan alat
akibat keberadaan mudcake dengan menggunakan multiple regresi. proses dilanjutkan dengan
ekstraksi wavelet dari seismik dan membuat model wavelet, dilanjutkan dengan pembuatan sintetik
seismogram dengan cara mengkonvolusikan koefisien refleksi dan model wavelet yang sudah dibuat,
kemudian barulah dilakukan shifting untuk menempatkan lapisan target pada posisi waktu.
Sebagaimana yang kita ketahui, data seismic umumnya berada dalam domain waktu (TWT)
sedangkan data well berada dalam domain kedalaman (depth). Sehingga, sebelum kita melakukan
pengikatan, langkah awal yang harus kita lakukan adalah konversi data well ke domain waktu. Untuk
konversi ini, kita memerlukan data sonic log dan checkshot.
Data sonic log dan checkshot memiliki kelemahan dan keunggulan masing-masing.
Kelemahan data sonic diantaranya adalah sangat rentan terhadap perubahan lokal di sekitar lubang bor
seperti washout zone, perubahan litologi yang tiba-tiba, serta hanya mampu mengukur formasi batuan
sedalam 1-2 feet. Sedangkan kelemahan data checkshot adalah resolusinya tidak sedetail sonic. Untuk
‘menutupi’ kelemahan satu sama lain ini, maka kita melakukan koreksi dengan memproduksi ‘sonic
corrected checkshot’. Besarnya koreksi checkshot terhadap sonic disebut dengan ‘DRIFT’.
Contoh proses matematis koreksi sonic oleh chekshot adalah sbb:
Checkshot data:
Kedalaman 1 = 1000 ft, Waktu 1 = 140 msec
Kedalaman 2 = 1250 ft, Waktu 2 = 170 msec
Checkshot time = 170 - 140 = 30 msec
Jika kecepatan sonic dari 1000 sampai 1250 ft adalah 125 usec/ft, maka waktu tepuhnya
(1250 - 1000) x 0.125 = 31.25 msec
DRIFT = 30 - 31.25 = -1.25 msec.
Tahapan berikutnya adalah membuat reflectivity log (dari data sonic dan density), lalu
membuat seismogram sintetik dengan cara meng-konvolusi-kan reflectivity log dengan sebuah
wavelet.
Gambar 4.1

Pemilihan wavelet merupakan hal yang sangat penting. Karena fasa data seismic akan
berubah sejalan dengan bertambahnya kedalaman. Pada SRD (Seismic Reference Datum) mungkin
kita akan memiliki wavelet dengan fasa nol (setelah di-zero phase kan dalam prosesing, yang
sebelumnya mengikuti signature sumber gelombang sebagai minimum phase), akan tetapi pada
kedalam tertentu fasanya dapat berubah. Dalam membuat sintetik, untuk pertama kali kita dapat
menggunakan wavelet sederhana seperti zero phase ricker dengan frekuensi tertentu katakanlah 25Hz.
Lalu dengan membandingkan trace sintetik dan trace-trace seismic disekitar bor, kita meng-adjust
apakah frekuensi wavelet lerlalu besar atau terlalu kecil. Setelah itu lihatlah fasanya, dan perkirakan
fasa wavelet di sekitar zona target. Lalu anda dapat melakukan shifting dan mungkin (stretching atau
squeezing) dari data sumur. Akan tetapi proses shifting janganlah terlalu excessive, katakanlah ~20ms
(?), demikian juga dengan proses stretching-squeezing, janganlah melebihi 5-10% (?) dari perubahan
sonic atau kecepatan interval. Jika anda memiliki data well-tops dan seismic horizon yang diperoleh
dari interpreter, anda dapat menggunakannya sebagai guidance didalam melakukan well-seismic tie.
Jadi sebelum melakukan proses detail di atas, anda dapat melakukan korelasi well-tops terhadap
horizon terlebih dahulu. Untuk kasus sumur bor miring, prosesnya serupa dengan sumur bor vertical,
akan tetapi anda harus membandingkan sintetik seismogram dengan data seismic disepanjang sumur
bor. Lebih detail lagi, anda dapat melakukan koreksi ‘anisotropi’ terutama untuk log sonic. Ingat
‘penembakan’ sonic dilakukan tegak lurus dengan sumur bor, jadi untuk sumur bor horizontal, kita
mengukur sonic kearah vertical. Sedangkan data seismik diasumsikan mengukur secara horizontal.
Berikut contoh hasil well-seismic tie untuk sumur bor miring (deviated). Trace synthetic
ditunjukkan dengan warna pink, perhatikan peak pada sintetik cukup berkorelasi dengan baik dengan
peak seismik, demikian juga dengan trough-nya.
Atribut seismik didefinisikan bermacam-macam, diantaranya Barnes (1999) mendefinisikan atribut
seismik sebagai sifat kuantitatif dan deskriptif dari data seismik, sedangkan Brown (1999)
mendefinisikan atribut seismik sebagai suatu informasi dasar derivatif dari data seismik. Informasi
dasar yang dapat diturunkan dari data seismik adalah waktu, amplitudo, frekuensi dan atenuasi yang
kemudian digunakan sebagai dasar klasifikasi atribut seismik.

Gambar 4.2

Secara umum, atribut turunan waktu akan cenderung memberikan informasi perihal struktur,
sedangkan atribut turunan amplitudo lebih cenderung memberikan informasi perihal stratigrafi dan
reservoir. Atribut-atribut yang terdapat umumnya adalah atribut hasil pengolahan post-stack yang
dapat diekstrak sepanjang satu horizon atau dijumlahkan sepanjang kisaran window tertentu.
Umumnya analisis window tersebut merupakan suatu interval waktu atau kedalaman yang datar dan
konstan sehingga secara praktis tampilannya berupa suatu sayatan yang tebal dan sering dikenal
dengan sayatan statistika (Sukmono, 2001).
Amplitudo adalah salah satu atribut dasar dari suatu tras seismik, awalnya ketertarikan akan
amplitudo terbatas pada keberadaannya, bukan kontras nilai pada time seismik yang digunakan untuk
analisis struktur. Sekarang ini pemrosesan data seismik bertujuan untuk mendapatkan nilai amplitudo
yang asli sehingga analisis stratigrafi dapat dilakukan. Amplitudo seismik dapat juga 28 digunakan
sebagai DHI (Direct Hydrocarbon Indicator), fasies dan pemetaan sifat reservoir. Perubahan nilai
amplitudo secara lateral dapat digunakan untuk membedakan suatu fasies dengan fasies lainnya.
Lingkungan yang didominasi oleh batupasir juga memiliki nilai amplitudo yang lebih besar
dibandingkan batuserpih. Sehingga kita dapat memetakan penyebaran batupasir dengan lebih mudah
dengan peta amplitudo.
Amplitudo RMS adalah salah satu sinyal seismik yang umummya digunakan untuk
mendapatkan informasi reservoar. Pendekatan interpretatif untuk mengevaluasi reservoar dari atribut
amplitudo menggunakan asumsi yang sederhana, yaitu bright spot pada peta seismik yang
mendasarkan pada besar kecilnya amplitudo akan lebih tinggi bila saturasi hidrokarbon tinggi,
porositas semakin besar, pay thickness lebih tebal (walaupun dengan beberapa komplikasi tuning
effect). Secara umum bahwa semakin terang bright spot (semakin nyata kontras amplitudo) maka
semakin bagus prospeknya.

Gambar 4.3

Dalam gelombang seismik, amplitudo menggambarkan jumlah energi dalam domain waktu.
Amplitudo RMS mengukur reflektifitas diantara jendela kedalaman atau waktu, ia sangat sensitif
terhadap nilai amplitudo yang ekstrim karena nilai amplitudo dikuadratkan sebelum dirata-ratakan.

4.2 Proses Well to Seismik Tie


Proses dengan baik untuk pengikatan seismik merupakan proses awal yang harus dilakukan
dalam pengolahan data seismik dan data sumur. Sehubungan dengan data ini, kita dapat menemukan
bahwa data seismik memiliki waktu domain sedangkan data memiliki domain kedalaman, sehingga
data ini tidak dapat digunakan secara bersamaan. Namun data kedua ini perlu untuk digunakan secara
bersamaan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Untuk yang diperlukan suatu proses yang harus
dilakukan untuk menghubungkan antara data seismik dengan domain waktu dan data sumur dengan
domain kedalaman. Secara keseluruhan, proses dengan baik untuk dasi seismik adalah seperti gambar
dibawah ini.
Gambar 4.4

Proses well to seismic tie merupakan proses pengikatan data sumur yang berdomain
Kedalaman ke data seismik yang berdomain waktu sehingga menghasilkan data hubungan antara
waktu dan kedalaman dari data seismik dan data sumur yang digunakan yaitu data time to depth
relationship (Data T-D). Data yang digunakan pada proses ini adalah data log densitas (log RHOB),
data p-wave (diperoleh dari data log sonic), dan tentu saja data seismik itu sendiri. Proses ini juga
memerlukan data well top untuk membantu menentukan kecocokan formasi dengan wiggle seismik.
Data checkshot juga diperlukan pada proses ini untuk estimasi awal terletak dari sumur pada data
seismik.
Sebelum melakukan proses well to seimic tie, dilakukan proses ekstraksi wavelet. Wavelet
yang memiliki fase yang sama dengan data seismik (fase minimum atau fase maksimum). Proses awal
yang dilakukan terlebih dahulu dilakukan dari data log sonic ke data p-wave dengan menggunakan
rumus (Crain's Petrophysical Handbook).
Perlu diperhatikan untuk menyamakan satuan, jika log sonic menggunakan meter maka hasil
p-wave akan memiliki satuan meter, jika log sonic menggunakan feet (kaki) makan hasil p-gelombang
juga akan memiliki satuan feet (kaki).
Kemudian melakukan koreksi p-wave dengan data checkshot. P-wave perlu dikoreksi dengan
data checkshot karena harus menghilangkan efek washout zone, chasing shoe, dan efek efek lainnya.
Data densitas dan p-wave yang telah terkoreksi checkshot dikalikan untuk mendapatkan data
impedansi pada masing-masing sumur. Kemudian dari data impedansi ini didapatlah data koefisien
refleksi pada masing-masing sumur. Data koefisien refleksi kemudian dikonvolusikan dengan wavelet
sehingga menghasilkan seismogram sintetik.
Perlu diketahui bahwa, jika seismogram sintetik dapat dibentuk dengan menggunakan data p-
wave yang tidak terkoreksi chekcshot, namun hasil pencocokan awal antara seismogram sintetik dan
jejak data seismik akan sangat tidak cocok (korelasi rendah) sehingga proses well to seismic tie akan
lebih sulit digunakan.(Gambar 4.5)

Gambar 4.5

Pada gambar tersebut, p-wave tidak dikoreksi dengan checkshot, sehingga nilai ampitudo dari
seismogram sintetik (trace biru) dan seismogram dari data seismik (trace hitam) yang seharusnya
bersejajaran, menjadi jauh berbeda kedalamannya (dalam satuan waktu).
Ketika seismogram sintetik yang dibentuk dengan menggunakan p-wave yang telah terkoreksi
dengan checkshot, nilai amplitudo dari seismogram sintetik (trace biru) dan seismogram dari data
seismik (trace hitam) yang tadinya memiliki perbedaan kedalaman (dalam satuan waktu) yang cukup
jauh akan menjadi lebih dekat.
Gambar 4.6

Dari gambar diatas, dapat dilakukan proses well to seismik tie dengan lebih mudah.
Seismogram sintetik yang telah dibentuk kemudian dicocokkan dengan seismogram (trace) dari data
seismik yang digunakan. Pencocokan ini dilakukan dengan proses stretch (proses pencocokan dengan
merenggangkan kedalaman data) dan squeeze (proses pencocokan dengan merapatkan kedalaman
data). Setelah dilakukan proses well to seismik tie, maka amplitudo dari seismogram sintetik (trace
biru) dan seismogram dari data seismik (trace hitam) yang sebelumnya memiliki perbedaan nilai
(dalam satuan waktu) akan sejajar seperti pada gambar di bawah ini.

Gambar 4.7

Pada saat melakukan pencocokan stretch dan squeeze juga perlu diperhatikan distribusi
kedalaman yang terbentuk, kompilasi data kedalaman terlalu stretch (terlalu renggang) atau terlalu
squeeze (terlalu rapat) pada interval kedalaman tertentu dan sangat berbeda dengan interval
kedalaman lainnya, maka well to seismik tie yang dilakukan kurang baik (kurang rasional).
Dalam melakukan proses well to seismic tie, terdapat parameter penting yang perlu
diperhatikan yaitu koefisien korelasi dan time shift antara seismogram sintetik dan seismogram data
seismik. Nilai korelasi berkisar dari -1 sampai 1. Nilai korelasi yang sudah dianggap baik adalah lebih
dari 0,6 (menurut Schober, 2018) dengan time shift 0 ms. Semakin tinggi nilai koefisien korelasi dan
semakin rendah nilai time shift maka semakin baiklah data T-D yang akan didapat dari proses well to
seismic tie yang dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai