Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada dasarnya, semua orang sepakat bahwa perempuan dan laki-laki berbeda.
Manakala kita melihat karakteristik dari masing-masing secara fisik, kita akan dengan mudah
membedakannya. Perbedaan alami yang dikenal dengan perbedaan jenis kelamin sebenarnya
hanyalah segala perbedaan biologisyangdibawasejaklahirantaraperempuandanlaki-laki.
Seandainya saja perbedaan itu tidak menjadikan ketidakadilan, tidak menjadikan
pertentangan dan tidak ada penekanan dan penindasan satu di antara yang lain, mungkin
tidaklah menjadi sebuah masalah. Pada kenyataannya, perbedaan itu telah merambat pada
salah satu pihak merasa dan dianggap lebih tinggi derajatnya, lebih berkuasa dan lebih
segalanya dari pihak lain.

Hal ini lah yang memunculkan adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan atau lebih dikenal dengan istilah kesetaraan gender telah
menjadi pembicaraan yang hangat akhirakhir ini. Melalui perjalanan panjang untuk
meyakinkan dunia bahwa perempuan telah mengalami diskriminasi hanya karena perbedaan
jenis kelamin dan perbedaan secara sosial, akhirnya pada tahun 1979, Perserikatan
BangsaBangsa (PBB) menyetujui konferensi mengenai penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan. Konferensi ini sebenarnya telah diratifikasi oleh Indonesia
pada tahun 1984 menjadi UU No. 7/1984, tetapi jarang disosialisasikan dengan baik oleh
negara. Konferensi maupun Undang-Undang tersebut pada kenyataannya tidak juga sanggup
menghapus diskriminasi yang dialami oleh perempuan. Di seluruh dunia masih ada
perempuan yang mengalami segala bentuk kekerasan (kekerasan fisik, mental, sosial dan
ekonomi)baikdirumah,ditempatkerjamaupundimasyarakat.

Dalam banyak budaya tradisional, perempuan ditempatkan pada posisi yangdilirik


setelah kelompok laki-laki. Fungsi dan peran yang diemban perempuan dalam mayarakat
tersebut secara tidak sadar biasanya dikonstruksikan oleh budaya setempatsebagai warga
negara kelas dua. Pada posisi inilah terjadi bias gender dalammasyarakat. Meski disadari

1
bahwa ada perbedaan-perbedaan kodrati makhluk perempuan dan laki-laki secara jenis
kelamin dan konstruksi tubuh, namun dalamkonteks budaya peran yang diembannya haruslah
memiliki kesetaraan. Hingga saat ini masih ditengarai terjadi ketidaksejajaran peran antara
laki-lakidan perempuan, yang sebenarnya lebih didasarkan pada kelaziman budaya
setempat.Terkait dalam kehidupan keseharian, konstruksi budaya memiliki kontribusi yang
kuatdalam memposisikan peran laki-laki - perempuan. Banyaknya ketidaksetaraan ini
padaakhirnya memunculkan gerakan feminis yang menggugat dominasi laki-laki
atasperempuan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Konsep Gender dan Budaya?
2. Bagaimana Gender Menurut Persfektif Budaya?
3. Bagaimana Peran Aspek Budaya dalam Perkembangan Gender?
4. Bagaimana Contoh Peran Gender dalam budaya Jawa?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui Apa yang dimaksud dengan Konsep Gender dan Budaya.
2. Untuk mengetahui Bagaimana Gender Menurut Persfektif Budaya.
3. Untuk mengetahui Bagaimana Peran Aspek Budaya dalam Perkembangan Gender.
4. Untuk mengetahui Bagaimana Contoh Peran Gender dalam budaya Jawa.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Gender dan Budaya

Konsep gender berbeda dengan sex, sex merujuk pada perbedaan jeniskelamin
yang pada akhirnya menjadikan perbedaan kodrati antara laki-laki danperempuan,
berdasar pada jenis kelamin yang dimilikinya, sifat biologis, berlakuuniversal dan tidak
dapat diubah. Adapun gender (Echols dan Shadily, 1976, memaknaigender sebagai jenis
kelamin) adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuanyang dikonstruksi secara
sosial maupun kultural (Faqih, 1999), dengan begitu tampak jelas bahwa pelbagai
pembedaan tersebut tidak hanya mengacu pada perbedaan biologis, tetapi juga mencakup
nilai-nilai sosial budaya. Nilai-nilai tersebut menentukanperanan perempuan dan laki-laki
dalam kehidupan pribadi dan dalam setiap bidangmasyarakat (Kantor Men. UPW, 1997).
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwagender adalah perbedaan fungsi dan peran laki-
laki dan perempuan karena konstruksisosial, dan bukan sekadar jenis kelaminnya.
Dengan sendirinya gender dapat berubahdari waktu ke waktu sesuai kontruksi
masyarakat yang bersangkutan tentang posisiperan laki-laki dan perempuan.

Budaya adalah akal budi,sebagai bagian yang memiliki peran dalam didasarkan
pada seksual dan sangat memberikan variasi dalam perannya, baik dalam satu budaya
maupun budaya lainnya atau bahkan sampai pada pengelompokan strata sosial. Pada
bagian lain laki-laki dan perempuan memberikan ruang dan peran tersendiri untuk saling
melengkapi dalam proses kehidupan.

Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap kebudayaan mempunyai citra yang
jelas tentang bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya bertindak. Pada umumnya
laki-laki adalah orang yang lebih kuat, lebih aktif, serta ditandai dengan kebutuhan yang
besar mencapai tujuan dominasi, otonomi, dan agresi. Sebaliknya perempuan dipandang

3
sebagai lebih lemah dan kurang aktif, lebih menaruh perhatian, pada afiliasi,
berkeinginan untuk mengasuh, serta mengalah. Pandangan umum yang demikian
akhirnya melahirkan citra diri baik tentang laki-laki maupun perempuan. Citra diri yang
demikian inilah yang kemudian disebut banyak orang sebagai stereotip.

Sistem kepercayaan masyarakat tentang gender lebih merupakan pada asumsi


yang kebenarannya dapat diterima sebagian saja karena kepercayaan orang dalam suatu
masyarakat tidak selalu dapat menunjukkan kenyataan yang akurat dan yang sebenarnya.
Olehnya itu ada kemungkinan mengandung kesalahan dalam memberikan interpretasi
atau biased perception. Namun, tidak semua yang aspek yang diberi lebel maskulin diberi
lebel untuk laki-laki, dan lebel feminim untuk perempuan dapat diterima dan
diberlakukan dalam kehidupan suatu masyarakat. Dengan demikian laki-laki dan
perempuan mendapat kesempatan yang sama dalam mengembangkan segala potensi/
kemampuan yang dimiliki secara maksimal.

2.2 Gender Menurut Persfektif Budaya

Dalam banyak budaya tradisional, perempuan ditempatkan pada posisi yangdilirik


setelah kelompok laki-laki. Fungsi dan peran yang diemban perempuan dalammayarakat
tersebut secara tidak sadar biasanya dikonstruksikan oleh budaya setempatsebagai warga
negara kelas dua. Pada posisi inilah terjadi bias gender dalammasyarakat. Meski disadari
bahwa ada perbedaan-perbedaan kodrati makhlukperempuan dan laki-laki secara jenis
kelamin dan konstruksi tubuh, namun dalamkonteks budaya peran yang diembannya
haruslah memiliki kesetaraan.Hingga saat ini masih ditengarai terjadi ketidaksejajaran
peran antara laki-lakidan perempuan, yang sebenarnya lebih didasarkan pada kelaziman
budaya setempat.Terkait dalam kehidupan keseharian, konstruksi budaya memiliki
kontribusi yang kuatdalam memposisikan peran laki-laki - perempuan. Banyaknya
ketidaksetaraan ini padaakhirnya memunculkan gerakan feminis yang menggugat
dominasi laki-laki atasperempuan.

Pemahaman kebudayaan menyangkut persoalan perempuan, status dan perannya


dalam kehidupan sosial sangat bervariasi sesuai dengan perkembangan keadaan dan
waktu. Juga tergantung pada bagaimana pemahaman-pemahaman tersebut berhubungan

4
dengan posisi kaum perempuan di berbagai komunitas. Para antropolog sekalipun, yang
tengah menyelidiki posisi perempuan dalam perkembangan masyarakat secara tidak sadar
ikut dalam perdebatan menyangkut asal-usul dan universalitas keterpinggiran kaum
perempuan. Dengan begitu kajian terhadap hubungan hierarkis antara laki-laki dan
perempuan menjadi penting.

Laki-laki dan perempuan secara alamiah, bilogis dan genetis berbeda, adalah
sebuah kenyataan, sebagai kodrat Tuhan yang tidak dapat diubah. Akan tetapi yang
kemudian melahirkan perdebatan adalah ketika perbedaan secara alamiah ini lalu
kemudian menimbulkan pemahaman yang beragam pada tiap orang dan kelompok
masyarakat. Perbedaan pemahaman ini selanjutnya dikenal dengan konsep gender, yaitu
beberapa sifat yang dilekatkan pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan
secara sosial dan kultural(Fakih, 1997:8). Misalnya stereotype perempuan yang dikenal
lemah lembut, keibuan, emosional atau lebih sabar. Sementara laki-laki dianggap kuat,
rasional, perkasa dan sebagainya. Stereotype seperti ini dapat dipertukarkan dan bisa jadi
berbeda pada masing-masing masyarakat, tergantung pada budaya dan sistem nilai yang
dibangun.
Budaya masyarakat memaknai gender sebagai pembagian peran antara laki-laki
dan perempuan. Secara anatomi antara laki-laki dan permpuan berbeda, namun mereka
terlahir dengan peran dan tanggungjawab yang sama, akan tetapi dalam perkebangannya
dalam budaya masyarakat memiliki perbedaan diantara keduanya. Ketimpangan dalam
kehidupan sosial membuat perempuan dinomor duakan dalam berbagai hal yang terjadi
berdasarkan realita kehidupan. Dalam kajian budaya antara laki-laki dan perempuan
menekankan pada gagasan dalam identitas sebagai kontsruksi perkembangan sosial.
Budaya kehidupan masyarakat mewariskan pemahaman tentang tata cara mereka
melanjutkan kehidupan dari suatu generasi kegenarasi selanjutnya dengan pemahaman
akan peran laki-laki dan perempuan. Dimana peran perempuan dalam kehidupannya
diberikan pemahaman akan pendidikan membesarkan anak dan menjalani
tanggungjawab di dalam rumah tangga, sedangkan laki-laki memiliki peran dan
tanggungjawab dalam mengembangkan diri kearah pecapaian perkemabangan secara
maksimal sehingga mampu survive dalam menjalani kehidupan sebagai penguasa
uatama dan mendominasi otoritas sebagai pemimpin.

5
2.3 Peran Aspek Budaya dalam Perkembangan Gender

Gender adalah suatu konstruk yang berkembang pada anak-anaksebagaimana


mereka disosialisasaikan dalam lingkungannya. Dengan bertambahnya usia, anak-anak
mempelajari perilaku spesifik dan pola-pola aktivitas yang sesuai dan tidak sesuai dalam
terminologi budaya mereka dengan jenis kelamin mereka, serta mengadopsi atau
menolak peran-peran gender tersebut. Pada saat anak lahir ia memiliki jenis kelamin,
tetapi tanpa gender. Pada saat lahir, jenis kelamin menentukan dasar anatomis fisik. Pada
phase kehidupan selanjutnya pengalaman, perasaan dan tingkah laku yang diasosiasikan
oleh orangdewasa, masyarakat sekitarnya serta budaya, perbedaan biologis ini
memberikan biasgender pada individu tersebut. Banyak kenyataan mengenai bagaiman
anak laki-lakidan perempuan berbeda dan bagaimana sama, yang akan dipahami
sebagaikonstruksi budaya yang didasarkan pada perbedaan biologis. Dalam konsep
keseharian ada dua istilah yang kerap saling tumpang tindih dalam memaknainya, yaitu
peran Gender dan peran jenis kelamin. Virginia Prince(dalam Matsumoto, 1996)
memberi makna peran jender (gender roles) sebagai derajatdimana seseorang mengadopsi
perilaku yang sesuai atau spesifik jender yangdiberikan oleh budayanya. Lebih lanjut
Prince memaknai peran jenis kelamin (sex roles) sebagai perilaku dan pola-pola aktivitas
laki-laki dan perempuan yang secaralangsung dihubungkan dengan perbedaan biologis
dan proses reproduksi.Mengacu pada pendapat Prince ini, maka peran jenis kelamin
merupakan satuaktivitas yang hanya mampu dilakukan oleh jenis kelamin tertentu. Peran
jenis kelamin(sex roles) yang ada dalam masyarakat misalnya laki-laki membuahi sel
telur danperempuan hamil serta melahirkan anak-anaknya.Pada giliran berikutnya
perbedaan biologis dan system reproduksi inimembawa implikasi pada perbedaan jender.
Salah satu hasil temuan yang terpentingdari perbedaan jender yang ditemukan dari
banyak budaya dii seluruh dunia adalahperempuan tinggal di rumah dan merawat anak-
anaknya,dan laki-laki meninggalkanrumah untuk memperoleh makanan (Berry dan
Child; Prince; Low; dalamMatsumoto,1996).

Gender diebut sebagai sekelompok antribut yang dibentuk secara kultural yang
ada pada kaum laki-laki dan perempuan atau bagaimana masyarakat memandang laki-

6
laki dan perempuan dalam lingkungan sosialnya. Bagi Mosse gender adalah seperangkat
peran, nilai dan aturan yang dijalankan seperti halnya kostum dan topeng tetaer yang
memiliki pesan kepada orang lain bahwa diri kita feminim ataupun maskulin. Sekalipun
demikian pandangan gender jangan sampai dirancukan dengan konsep jenis kelamin
yang sifatnya taken for granted (alamiah). Karena antribut biologis ini tidak dapat
dipertukarkan secara bebas antara laki- laki dan peremuan, karena merupakan anugrah
dan takdir sejak lahir di dunia.
Karateristik maskulin dan feminim mulai tampak ketika orang tua memikirkan

nama, baju, mainan, dan apa yang pantas atau boleh bagi laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan aturan masyarakat tentang permuan dan laki-laki memberikan karakter
tersendiri untuk laki-laki dengan sikaf maskulin yang dominan, serta perempuan
dibentuk dalam sifat yang didominasi dengan sifat feminin yang dominan. Kondisi ini
menyebabkan muncul tabir pemisah dalam sektor domistik dan publik secra kultur
dalam kehidupan masyarakat. Kenyataan dalam kehidupan sosial, laki-laki dibentuk
dengan pribadi yang besar, kuat, asertif dan dominan. Berbeda dengan perempuan yang
dibentuk dengan sikap lemah lembut, tampil menarik,bersih, berpakaian tertentu yang
berbeda dengan laki-laki.
Sejak peristiwa kelahiran, seorang bayi sudah dlberi label oleh kebanyakan orang
tua dengan selimut biru untuk laki-laki, selimut merah muda untuk perempuan. Harapan
yang sesuai dengan gender terus berkembang, misalnya tampak ketika perempuan dan
lakl-laki diberi perrnainan yang berbeda. Seorang ayah lebih suka berrnain secara keras
dengan bayi laki-laki dibandlngkan dengan bayi perempuan. Remaja perempuan lebih
dituntut untuk menjaga kehormatan dibandingkan dengan remaja laki-laki yang
cenderung lebih dibebaskan dalam pergaulan. Orang dewasa sering memperlakukan
anak-anak secara berbeda berdasarkan gender. Sosialisasi peran gender terhadap anak
ternyata tidak hanya dilakukan oleh orang tua, tetapi masyarakat berpesan secara jetas
kepada anak-anak sejalan dengan pertumbuhan mereka. Buku bacaan anak-anak secara
tradisional digambarkan bahwa anak pererrouan dlberi stereoio peran mengasuh
(nurtutant roles), sedangkan anak laki-laki diberi peran yang beorientasi fisik dal1
tirdakan (adion-oliented roles), (McDonaJd, 1989, C-& Pristasll, 1992,dalam Feklman,

7
1999). Televisl pun juga turut melakukan sosialisai peran gender, misalnya perempuan
sering digambarkan sebagai sosok yang le mah dalam sinetron-sinetron.

Keyakinan yang telah tersebar luas dalam masyarakat berkisar soal laki·laki dan
perempuan (stereotip gender) telah banyak dikaji di masyarakat Barat. William & Best
(dalam Matsumoto, 1996) melaporkan hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa
ada suatu pert,edaan daJam pandaJ1gan mengenai laki-laki dan perempuan tampak
serupa di semua negara.
2.4 Contoh Peran Gender dalam budaya Jawa
Sistem patriarkhis masyarakat Jawa pada abad 18, telah melahirkan ungkapan-
ungkapan (yang sering kali masih terdengar hingga sekarang) yang dianggap menyiratkan
inferioritas wanitaJawa (Fananie, 2000). Ungkapan-ungkapan seperti kanca wingking,
swarga nunut neraka katut, wanita hanya mengurus dapur, wanita hanya bergantung pada
suarni, menegaskan bahwa wanita Jawa tampak menduduki struktur bawah. Kuatnya
konsepsi tersebut dalam budaya Jawa, menimbulkan perlakuan-perakuan yang dianggap
membatasi ruang gerak wanita, seperti halnya konsep pingitan, yaitu melarang wanita
untuk bebas beraktivitas. Dengan kata lain wanita harus nrimo, pasrah, hafus, sabar, setia,
dan berbakti.

Hal tersebut juga digambarkan oleh Darwin dan Tukiran (2001), bahwa sosok
lelaki ideal dalam imajinasi orang Jawa adalah lefanangingjagadyang sakti, tampan, dan
banyak istri, seperti Arjuna, tokoh Pandawa dalam pewayangan, yang selalu menang di
setiap medan perang, dan selalu memenangkan hati setiap dewi. Lelaki ideal dalam
imajinasi orang Jawa adalah memiliki benggol (uang) dan bonggol (kejantanan seksual).
Posisi perempuan adalah milik laki-laki, sejajardengan bondo (harta), griyo (istana),
turonggo (kendaraan), kukilo (burung atau binatang piaraan), dan pusoko ( senjata,
kesa_ktian). Penguasaan terhadap perempuan (wanito) merupakan simbol kejantanan
seorang lelakt, sebaUknya ketundukan, ketergantungan, dan kepasrahan perempuan
kepada laki laki adalah gambaran kemuliaan hati seorang perempuan Jawa. Gambaran
tersebut meskipun dikatakan sebagai imajinasi, tetapi sering dijadikan falsafah bagi orang
Jawa dalam memandang perempuan

8
. Hanum mengungkapkan Kenyataan bahwa sebagian besar wanita menjadi
tergantung pada laki-laki, bukan saja secara ekonomis, tetapi juga secara psikologis
(Milla, 1999). Banyak wanita kemudian percaya bahwa perkawinan merupakan tern pat
satu-satunya bagi mereka untuk menyelamatkan hidupnya, kemudian perkawinan dapat
memecahkan masalah ketergantungan ekonomis dan psikologis. Meskipun dalam
masyarakat terjadi perubahan pandangan tentang peran pererpcan dan lakl-laki secara
bertahap, namun demikian wanita tetap dituntut menyediakan waktu untuk mengurus
rumah tangga, ataupun bertanggung jawab pada sektor domestic.

Hasil penelitian ini mendapatkan beberapa pandangan mengenai peran gender


pada masyarakat Jawa, yaitu:

1. Arti dan nilai anak menurut jenis kelamin. Anak laki-laki cenderung mempunyai
arti yang berhubungan dengan martabat, perlindungan, dan tumpuan harapan
keluarga di masa depan, sehingga anak laki-laki mempunyai tanggung jawab
yang lebih besar. Anak perempuan mempunyai arti yang berhubungan dengan
kepraktisan, dalam arti kehadirannya bermanfaat untuk memperlancar kegiatan
beres-beres urusan rumah tangga, sedangkan anak-laki-laki dianggap tabu
melakukan tugas-tugas rumah tangga. Hal tersebut seperti dlungkapkan
kebanyakan para lbu, bahwa keuntungan mempunyai anak perempuan adalah
mereka dapat membantu ibunya membereskan pekerjaan rumah. Oahulu ada
anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggitinggi, karena pada
akhimya akan ke dapur juga. Jadi di satu sisi masyarakat mengakui bahwa anak
perempuan mempunyai potensi membawa manfaat layaknya anak laki-laki, tetapi
di sisi lain masyarakat belum percaya sepenuhnya menyerahkan be ban martabat
keluarga di pundak anak perempuan. Seperti sering diungkapkan orang tua:"
Kalau anak perempuannya menikah akan dibawa oteh suaminya."

2. Pengenalan norma gender pada masa kecit Pengenalan norma gender dimulai dari
pemberian nama pada anaknya. Namanama feminin diperuntukkan bagi anak
perempuan dan nama-nama maskulin untuk anak laki-laki. Pembiasaan yang
berkaitan dengan jenis kelamin berlangsung seiring dengan bertambahnya umur.
Misalnya anak perempuan jangan suka ngeyel, anak laki-laki tidak boleh

9
cengeng. Pemberian permainan pun harus sesuai dengan jenis kelamin. Orang tua
getisah jika anak lakilakinya bermain boneka, khawatir anaknya seperti
perempuan, banci, dan sebagainya. Mereka juga percaya bahwa anak laki-lakr
dan perempuan mempunyai pembawaan sifat yang berbeda: anak laki-laki sulit
diatur dan anak perempuan lebih mudah diatur, serta memahami keinginan orang
tua.

3. Persoalan pergaulan, seksualitas, dan cita-cita d1 katangan remaja. Masyarakat


(orang tua) biasanya memberikan larangan yang lebih banyak bagi remaja
perempuan, seperti mengingatkan mereka untuk menjaga kehonnatan, tidak boleh
keluar rumah sendirian pada malam hari. Sedangkan larangan untuk anak laki-
laki tidak seketat anak perempuan. Perempuan sekarang nampaknya sudah tidak
berbeda dalam aspirasinya, yaitu mereka juga mempunyai m nmah motivasi yang
kuat untuk bekerja di luar . Naroon, norma peran ganda wanita juga sudah
terintematisasi sejak remaja.

4. Pembagian peran dalam rumah tangga Suami berkewajiban menjadi kepala


keluarga, yaitu menafkahi dan melindungi keluarganya, tetapi tidak wajib
membantu tugas istri di rumah. lstri wajib menjadi ibu rumah tangga, tetapi tidak
wajib bekerja atau berkarir. Jadi citra ideal suami adalah sebagai kepala keluarga
yang bertanggung jawab, sedangkan istri adalah pemeran ganda.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa anak akan belajar mengenai
perilaku yang berkaitan dengan jenis kelamin sesuai stereotip yang berlaku di
masyarakat. Penanaman peran genderpada masyarakat Jawa ber1angsung terus
menerus sejak lahir sampai dengan menjad, orang tua.

10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Pemahaman akan kebudayaan tentang perempuan dan perannya dalam kehidupan


sosial sangat bervariasi sesuai dengan perkembangan zaman. Secara tidak langsung
dalam ilmu antropologi perkembangan perempuan dalam menjalankan perannya sebagai
manusia yang universalitas mengalami keterpinggiran. Perbedaan itu menjadi sebuah
kenyataan identitas dan kodrat Tuhan yang tidak dapat berubah. Keterpinggiran ini lahir
disebabkan sistem nilai dalam budaya tertentu dan suatu kultur menjadi simbol budaya.

3.2 Saran

Demikian makalah yang penulis buat dengan segala kekurangan


dan keterbatasan penulis. Oleh karena itu, penulis mohon saran dan
kritik yang membangun demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.

11
Daftar Pustaka

PERAN GENDER DALAM BUDAYA JAWA Qurotul Uyun Universitas Islam Indonesia

https://journal.uii.ac.id › Psikologika › article › download


Konstruksi Gender dalam Budaya

OlehDra. Fransiska I.R. Dewi., M.Si dan Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd

12

Anda mungkin juga menyukai