Anda di halaman 1dari 19

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka

Selama ini belum banyak tulisan yang mengkaji Batik Fraktal, baik yang

berupa jurnal, buku, maupun tulisan ilmiah lainnya. Sejauh ini hanya beberapa

artikel cetak maupun elektronik serta tulisan ilmiah yang dibuat oleh Piksel

Indonesia yang memberikan informasi mengenai Batik Fraktal. Tulisan-tulisan

tersebut lebih banyak mengangkat Batik Fraktal dari sisi sains, yaitu mengenai

pengukuran dimensi fraktal yang ada pada batik dan masih jarang tulisan yang

mendalami seni batik itu sendiri.

Pada tahun 2014, Setyawan dan F. Ari Dartono melakukan penelitian dan

pengembangan Batik Fraktal secara aplikatif pada batik Surakarta. Penelitian

tersebut berusaha menciptakan inovasi dan mengembangkan desain batik dengan

memanfaatkan perkembangan Iptek berupa teknologi digital berbasis pengolahan

visual fraktal. Pengembangan Batik Fraktal yang dilakukan tersebut menawarkan

desain batik kontemporer yang sesuai dengan konteks kekinian sehingga bisa

diterima konsumen serta berpeluang membuka pasar yang lebih luas.

Melihat peluang yang ada pada pengembangan Batik Fraktal tersebut,

maka peneliti mencoba mengkaji Batik Fraktal secara lebih mendalam. Penelitian

ini mencoba membahas Batik Fraktal melalui pendekatan desain. Agar penelitian

ini dapat dimengerti, peneliti mencoba menuliskan beberapa pustaka yang

berkaitan dengan Batik Fraktal, seperti; fraktal sebagai bentuk kemiripan diri tak

hingga, pengukuran dimensi fraktal pada batik, serta Batik Fraktal itu sendiri.

7
8

1. Fraktal, Geometri dengan Kemiripan Diri Tak Terhingga

Manusia mengenal dua konsep dasar filsafat yaitu khaos-kosmos yang

saling berlawanan. Konsep kosmos sering dikaitkan sebagai representasi dari alam

semesta secara keseluruhan, sementara khasos didefinisikan sebagai perilaku

sistem dinamik yang memiliki atraktor asing dan sensitif pada kondisi awal.

Peradaban Timur dan Barat klasik melihat kosmos dan khaos saling berhubungan

satu sama lain. Hesoid,dalam karyanya Theology menyebutkan bahwa “pada

mulanya semua adalah khaos. Lalu, semua menjadi teratur”. Peradaban Barat

perlahan meninggalkan perspektif tersebut.Thales (± 624-546 SM) membelokkan

orientasi peradaban Barat, melahirkan sebuah visi baru yaitu “mencari kosmos

dalam segala aspek kehidupan.”Segala sesuatu berada dalam kosmos.Ombak

pantai adalah keteraturan. Ombak tidak terjadi secara acak atau tanpa sebab yang

nyata, yaitu karena tiupan angin yang berhembus di permukaan air. Visi inilah

yang diikuti oleh para intelektual Yunani di periode selanjutnya. Eksistensi

nonkosmos berkembang pesat pada peradaban Yunani, namun akhirnya konsep

ini terabaikan dalam pemikiran Aristoteles dan Euclid. Aristoteles meletakkan

landasan filosofis pengetahuan. Euclid, bapak Geometri, kemudian

merepresentasikannya menjadi peradaban Barat modern. Geometri7 menjadi dasar

dan inspirasi perkembangan disiplin ilmu lainnya, mulai dari aljabar, aritmatika,

logika, fisika, biologi, kimia, astronomi, ekonomi, statistika, sosiologi, psikologi,

seni, dan lain sebagainya. Pada abad 19-20 muncul berbagai kritik terhadap

7
Merupakan salah satu ilmu pengetahuan tertua dalam peradaban manusia terkait pertanyaan-
pertanyaan tentang ukuran, bentuk, maupun posisi relatif suatu objek dalam ruang dan dimensi
(Hokky Situngkir & Rolan Dahlan, 2009:42).
9

eksistensi kosmos di berbagai disiplin pengetahuan(Hokky Situngkir & Rolan

Dahlan, 2009:1-3).

Dua dekade setelah Perang Dunia II, lahir sebuah perspektif baru yang

memberikan harapan, yaitu teori khaos. Perspektif baru ini menunjukkan bahwa

dalam sistem khaos sekalipun terdapat keteraturan. Akibat langsung dari

perkembangan teori khaos adalah dikenalnya konsep fraktal. Khaos menghasilkan

fraktal, namun tidak terjadi sebaliknya. Fraktal hadir dalam atraktor yang dalam

matematika adalah kumpulan titik sehingga semua lintasan menuju padanya,

kecendrungan sistem dinamik menuju nilai tertentu terhadap waktu atau iterasi

sekalipun. Fraktal menjadi semacam petunjuk yang memberi harapan bahwa

terdapat pola dalam konsidi sangat tidak teratur.

Fraktal –berasal dari kata fractus dalam bahasa Yunani yang arinya pecah-

didefinisikan sebagai bentuk geometri yang tidak teratur namun

memilikikemiripan dengan dirinya sendiri (self-similarity). Fraktal terlahir dari

paradoks dua dimensi (Hokky Situngkir & Rolan Dahlan, 2009:1). Fraktal telah

membantu menghubungkan kembali penelitian dalam matematika murni dengan

baik ilmu alam maupun komputer grafis. Dalam dua puluh tahun terakhir,

geometri fraktal dan konsep yang telah menjadi alat utama dalam sebagian besar

ilmu pengetahuan alam. Pada saat yang sama, fraktal menjadi penting untuk

desainer grafis dan industri perfilman. Fraktal menjadi lebih baik dipahami

melalui visualisasi (Dang, Kauffman & Sandin, 2002:11).

Dalam perjalanan filsafat ilmu pengetahuan, sains menjadi selalu bersifat

positif terhadap kenyataan; bahwa sains tidak terbatas, reduksionisme merupakan

hal yang pada akhirnya akan membawa penjelasan yang utama, fundamental, dan
10

seterusnya. Ilmu pengetahuan telah sangat percaya diri, hingga akhirnya meta-

matematika mulai mempertanyakan aritmatika oleh matematikawan Kurt Godel,

filsafat mulai berbicara tentang paradoks dan keabsahan desuksi oleh filsuf Bertrand

Russell, sosiologi mulai berbicara tentang postmodernisme oleh sosiolog Jean

François Lyotard, gelombang karya seni multi-perspektif seperti dadaisme pada

seni rupa dan psikodelikpada seni musik, dan banyak lagi di hampir semua lini ilmu

pengetahuan dan seni modern, termasuk pertanyaan tentang panjang garis pantai

dan bahwa geometri mulai berkenalan dengan konsep fraktal oleh Benoît

Mandelbrot. Filsafat ilmu pengetahuan akhirnya menyadari bahwa ada permasalahan

dalam cara bagaimana kita memandang dunia. Reduksionisme filsafat sains

dipertanyakan ketika akhirnya secara umum disadari bahwa “keseluruhan jauh lebih

besar daripada jumlah bagian-bagiannya.” Pendekatan interdisiplin menjadi

penting. Kenyataan akan betapa tingginya kompleksitas alam semesta dan

lingkungan sosial akhirnya melahirkan berbagai biofisika, kimia komputasi,

ekonofisika, sosiologi komputasi, sains kognitif, ekonomi evolusioner, dan sederet

nama yang menggambarkan bagaimana ilmu pengetahuan mesti mondar-mandir

melintas batas pakemnya. Dalam sejarah ilmu pengetahuan modern, semua

berlandas secara elementer pada caramanusia memandang dunia, di mana geometri

klasik tak pelak adalah fondasinya. Sejarah ilmu pengetahuan akhirnya menyadari

bahwa fraktal lebih baik dan lebih tepat dalam memandang dunia.Kajian

berdasarkan sifat fraktal yang menyadari “ketidakpurnaan” model semesta yang salah

satunya ditunjukkan dengan pengetahuan akan dimensi yang bukan bilangan bulat

melainkan berupa pecahan (Hokky Situngkir & Rolan Dahlan, 2009 : 19-20).
11

Dalam fraktal, bentuk geometri pada bagian yang detail memiliki

kemiripan bentuk dengan bentuk geometri semula. Kemiripan bentuk ini tidak

mutlak harus sama persis, karena dalam pembentukan fraktal ini dilakukan

beberapa proses transformasi yang kadang mengubah bentuk geometri semula.

Contoh paling tepat untuk menggambarkan sifat kemiripan diri ini adalah segitiga

Sierpinski (Edgar, Gerald, 2008:7).

Gambar 2.1. Segitiga Sierpinski


(Sumber gambar: Edgar,Gerald, 2008:8)

Segitiga Sierpinski digambar pertama kali oleh seorang matematikawan

Waclaw Polandia, Sierpinski pada tahun1915. Segitiga ini dibuat melalui metode

rekursif dimana pada setiap sisi segitiga utama dihubungkan menjadi sebuah

segitiga yang lebih kecil, sehingga terbentuk segitiga di pinggir dan segitiga

paling besar di tengah, demikian seterusnya hingga jumlah yang tak terhingga8.

Aturan geometri yang dibuat untuk membuat segitiga Sierpinski sangat

sederhana, yaitu dengan mengikuti aturan: “untuk setiap segitiga yang ada,

hubungkan titik tengah dari setiap sisi-sisi segitiganya dan dari empat segitiga

8
Sumber : http://nggonetri.blogspot.com/2010/12/segitiga-sierpinski.html.
12

kecil yang dihasilkan, hapus segitiga yang ada ditengah.” Memulai aturan tersebut

pada satu buah segitiga besar dan melakukan beberapa perulangan (iterasi), maka

akan didapatkan segitiga Sierpinski (Hokky Situngkir & Rolan Dahlan, 2009:5).

Gambar 2.2. Cara membuat segitiga Sierpinski


(Sumber gambar: Hokky Situngkir & Rolan Dahlan, 2009:6)

Benoît Mandelbrot, matematikawan Perancis yang dikenal sebagai bapak

fraktal dunia, merupakan pionir penelitian dan formalisasi geometri fraktal,

sekaligus orang pertama yang menggunakan istilah fraktal. Salah satu

pengembangan fraktal yang dikembangkannya kini dikenal dengan nama himpunan

Mandelbrot. Himpunan Mandelbrot adalah sebuah gambar fraktal paling terkenal

yang pernah dihasilkan ilmu matematika sepanjang abad yang lalu. Secara

filosofis, himpunan Mandelbrot menjawab sebuah rumus matematika yang sangat

sederhana mampu menghasilkan hal yang rumit dan memiliki keindahan

struktural organik dan hidup (Hokky Situngkir & Rolan Dahlan, 2009:6).

Himpunan Mandelbrot memiliki keindahan dalam menggambarkan fraktal

beserta misteri-misteri bilangan yang menyertainya. Keindahan himpunan

Mandelbrot ini terletak pada keindahan geometrisnya. Dalam himpunan

Mandelbrot, dilakukan iterasi tak hingga atas bilangan imajiner. Algoritma iterasi

terbalik telah digunakan secara luas untuk memvisualisasikan fraktal dalam bidang

kompleks (Dang, Kauffman, & Sandin, 2002:91).


13

Inspirasi dalam pembentukan himpunan Mandelbrot adalah berupa

pertanyaan, apakah dalam bilangan juga terdapat fraktal? Himpunan Mandelbrot

adalah kumpulan bilangan kompleks memberikan gambar yang sangat terkenal

dari fraktal Mandelbrot. Memberikan berbagai warna-warni yang bervariasi yang

merepresentasikan bilangan-bilangan kompleks tersebut, maka dihasilkan

berbagai gambar yang sangat indah.

Gambar 2.3.Sifat kemiripan diri sendiri pada Himpunan Mandelbrot.

(Sumber gambar: Hokky Situngkir & Rolan Dahlan, 2009:7)

Pada Himpunan Mandelbrot, jika dilakukan sembilan kali pembersaran,

maka senantiasa akan menghasilkan pola fraktal yang sama. Hal ini sangat

menarik mengingat bahwa sistem fraktal Mandelbrot ini dihasilkan dari sebuah

persamaan yang sangat sederhana.Dalam hal ini, pertanyaan bagaimana

persamaan sederhana menghasilkan bentuk geometri yang sangat sulit dan

meraksasa terjawab sudah (Hokky Situngkir & Rolan Dahlan, 2009:6-7).

Sifat fraktal yang menunjukkan kemiripan geometris pada skala

pengukuran yang berbeda ternyata hadir di hampir sejauh mata memandang.


14

Awan yang bergerak diangkasa, deretan pegunungan, alur sungai-sungai, hingga

kembang kol di dapur menunjukkan sifat fraktal.Lebih dari itu, paru-paru kita

menyimpan struktur fraktal di dalamnya. Hal ini memberi tanda adanya

universalitas sistem khaotik di alam.

Gambar 2.4. Sifat kemiripan diri sendiri pada berbagai objek alamiah
a) Deretan pegunungan, b) permujaan planet jupiter, c) kumpulan awan di
langit, d) kembang kol

e) paru-paru manusia.
(Sumber gambar: Hokky Situngkir & Rolan Dahlan, 2009:8)

Fraktal tidak hanya eksis di alam, melainkan juga di sistem sosial.

Eksistensi fraktal dapat ditemui dalam data deret waktu keuangan serta dalam

karya seni manusia (Hokky Situngkir & Rolan Dahlan, 2009:8).


15

Gambar 2.5.Sifat kemiripan diri sendiri pada candi perambanan.


(Sumber gambar: www.google.com/candiprambanan)

Gambar 2.6. Sifat kemiripan diri pada diagram garis deret waktu keuangan.
(Sumber gambar: www.google.com/linechart)

Gambar 2.7.Sifat kemiripan diri pada dua objek fraktal.

(Sumber gambar kiri: www.google.com/candiborobudur)

(Sumber gambar kanan: www.google.com/linechart)


16

Kemiripan diri ini juga ditemukan padabatik tradisi. Satu bentuk motif

terdiri dari beberapa bentuk yang mirip yang diiterasikan serta dikomposisikan

menjadi sebuah desain motif yang utuh dengan prinsip pengisian ruang kosong.

Gambar 2.8.Sifat kemiripan diri sendiri pada karya seni batik.

(Sumber gambar: www.google.com/batik)

Kemiripan diri yang ada pada batik ini menunjukkan bahwa batik memiliki

unsur fraktal. Hal ini memungkinkan batik digarap menggunakan prinsip fraktal.

Karya seni tekstil kontemporer berupa Batik Fraktal mampu diproduksi

menggunakan teknologi komputasi sehingga memungkinkan seniman menemukan

metode baru untuk mengembangkan visual batik yang lebih diterima oleh

masyarakat sekarang. Persepsi akan Batik Fraktal yang merupakan perpaduan sains,

teknik tradisional, dan proses digital menciptakan peluang dan memperluas

cakrawala baru yang mengarah ke wacana narasi antara pembuat batik dan

masyarakat, kesadaran dan respon makin melebar dari berbagai pihak yang terkait

dengan tekstil (Sinclair, Rose, 2015:539).


17

2. Dimensi Fraktal pada Batik

Fraktal amat berbeda dengan bentuk geometri lainnya. Ada unsur tak

hingga dan kesamaan diri dalam fraktal. Hal ini menyebabkan fraktal memiliki

bentuk yang aneh dan tidak utuh jika dibandingkan dengan objek geometri

lainnya. Karena bentuknya yang berbeda dan juga untuk mengetahui dan

menguantifikasi fraktal dibentuklah derajat pengukuran yang mengukur tingkat

kefraktalan suatu objek. Kuantifikasi ini penting bagi objek fraktal itu sendiri.

Salah satunya untuk membedakan kefraktalannya dengan objek lain, yang

mungkin memiliki bentuk yang hampir sama.

Pada prinsipnya, dimensi fraktal merupakan perbandingan antara objek

fraktal dengan objek teratur. Banyak cara telah digunakan dalam menghitung

dimensi fraktal, misalnya Dimensi Kemiripan Diri, Dimensi Hausdorff, dan

sebagainya. Mengukur Dimensi Kemiripan Diri, gambar yang hendak diukur

harus mempunyai sifat kemiripan diri. Pada perhitungan ini berlaku suatu

persamaan yang disebut hukum pangkat.

N = 1/sD

N merupakan banyaknya keping, s adalah faktor reduksi (skala) sedangkan

D adalah Dimensi Kemiripan Diri yang igin diukur. Sebagai contoh adalah

segitiga Sierpinski. Pada segitiga itu, segitiga dipotong setengah. Dengan rumus

di atas diperoleh bahwa dimensinya adalah 1,5849. Dimensi yang ada pada frakal

tidak berbentuk bilangan bulat seperti dimensi geometri pada umumnya (Hokky

Situngkir & Rolan Dahlan, 2009:10-12).


18

Perhitungan dimensi fraktal batik menunjukkan hadirnya fraktal.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Yun Hariadi dan Muhamad Lukman pada

2009 lalu, diketahui bahwa batik pada umumnya memiliki dimensi fraktal

diantara 1 sampai 2. Sifat fraktal dalam batik yang ditunjukkan oleh dimensi

fraktal batik yang berada di sekitar 1.5 menunjukkan bahwa dalam batik terdapat

tingkat kedetailan yang tinggi pada skala yang berbeda-beda.

Gambar 2.9.Sebaran dimensi fraktal pada setiap sudut.


(Sumber gambar: Penelitian “Batik Garut dalam Tinjauan Geometri Fraktal,” 2009)

Jika diamati sebaran dimensi fraktal ini pada batik, terlihat bahwa sifat

fraktal tidak terkonsentrasi pada bagian tertentu, tetapi menyebar secara simetris.

Hampir semua motif batik bersifat simetri dalam penyebaran dimensi fraktalnya.

Hal ini terkait dengan konsep keharmonisan dan kesetimbangan dalam

memaknai simbolisme batik.

Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa secara umum batik bersifat

fraktal dan secara khusus dimensi fraktal antar motif berbeda-beda satu dengan

lainnya. Meskipun demikian, kekonsistenan dimensi fraktal dari batik yang berada
19

diantara dimensi 1 dan 2 menunjukkan kepatuhan terhadap pakem batik. Selain

kepatuhan pada pakem, keterbatasan media yang menggunakan canting, kain,

garis sebagai efek dari lilin juga berperan dalam menjaga dimensi fraktal untuk

tetap pada rentangnya (Yun Hariadi & Muhamad Lukman, 2009:6).

3. Batik Fraktal

Batik Fraktal merupakan corak9 batik yang dikembangkan dari batik

tradisional dengan memakai rumus matematik fraktal. Rumus ini terdiri atas

sederetan persamaan yand dicirikan dengan pengulangan. Menggunakan rumus

tersebut, corak dapat diulang sesuai kebutuhan sehingga menghasilkan bentuk

baru dari perulangan corak yang sama (Irma Hadisurya, Ninuk Mardiana

Pambudy, Herman Yusuf, 2011:25).

Batik merupakan ihwal kriya tekstil yang tak asing bagi orang Indonesia,

bahkan sering menjadi simbol bangsa indonesia. Batik dikenal erat kaitannya

dengan kebudayaan etnis Jawa di Indonesia bahkan sejak zaman Raden Wijaya

(1294-1309) pada masa kerajaan Majapahit (Hokky Situngkir & Rolan Dahlan,

2009:15).

Berdasarkan etimologi dan terminologinya, batik merupakan rangkaian

kata mbat dan tik. Mbat dalam bahasa Jawa diartikan sebagai ngembat atau

melempar berkali-kali, sedangkan tik berasal dari kata titik. Jadi, membatik

berarti melempar titik-titik berkali-kali pada kain sehingga akhirnya bentuk-

bentuk titik tersebut berhimpit menjadi bentuk garis. Selain itu, batik juga

berasal dari kata mbat yang merupakan kependekan dari kata membuat,

9
Corak sering dihubungkan dengan motif atau ragam hias, memiliki identitas dan karakter
tertentu (Tiwi Bina A., 2008:17).
20

sedangkan tik adalah titik. Adapula yang berpendapat bahwa batik berasal dari

gabungan dua kata bahasa Jawa amba yang bermakna menulis dan titik yang

bermakna titik (Asti Musman dan Arini Ambar B., 2011:1).

Menurut Santosa Doellah (2002:10), batik merupakan sehelai wastra

yakni sehelai kain yang dibuat secara tradisional dan terutama juga digunakan

dalam matra tradisional beragam hias pola batik tertentu yang dicelup rintang

dengan malam ’lilin batik’ sebagai bahan perintang warna. Suatu wastra dapat

disebut batik bila mengandung dua unsur pokok teknik celup rintang yang

menggunakan lilin sebagai perintang warna dan pola yang beragam hias motif

khas batik.

Motif batik adalah suatu dasar atau pokok dari suatu pola gambar yang

merupakan pangkal atau pusat suatu rancangan gambar, sehingga makna dari

tanda, simbol, atau lambang dibalik motif batik tersebut dapat diungkap

(Wulandari Ari, 2011:113). Menurut S.K. Sewan Susanto (1980:212) motif adalah

kerangka gambar yang mewujudkan batik secara keseluruhan. Motif batik disebut

juga corak batik atau pola batik. Motif batik dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (2001:756) diartikan sebagai suatu gambaran yang menjadi pokok.

Batik merupakan konsep yang tidak sederhana bahkan dari sisi

etimologinya. Batik dapat merepresentasikan ornamentasi yang unik dan rumit

dalam corak, warna dan bentuk-bentuk geometris yang ditampilkannya, namun

yang terpenting bahwa batik dapat pula merepresentasikan proses dari pembuatan

corak dan ornamentasi yang ditunjukkan di dalamnya. Batik merupakan proses

yang lahir dari sistem kognitif dan penggambaran akan alam dan lingkungan

sekitar. Batik tercipta melalui pemetaan antara objek di luar manusia pembatik dan
21

artikulasi kognisi dan aspek psikomotorik yang tertuang dalam kriya batik.

Meskipun batik tak mungkin bisa dilihat dengan melepaskan konteks dan proses

pembuatannya, motif dan ornamentasi yang terkandung dalam batik pun ternyata

memiliki tingkat kompleksitas. Multiperspektif yang terpancar dari ornamentasinya

merupakan hasil dari proses dan tahapan-tahapan pseudo-algoritmik10 yang sangat

menarik (Hokky Situngkir & Rolan Dahlan, 2009:16).

Menurut Santosa Doellah (2002:19) pola batik dapat dirinci menjadi tiga

unsur pokok, yakni sebagai berikut.

a) Ragam Hias Utama (Klowongan)

Merupakan bentuk hiasan yang menjadi unsur penyusun utama pola batik.

b) Isen-isen

Merupakan hiasan yang mengisi bagian-bagian ragam hias utama.

Terdapat beberapa pola yang biasa digunakan secara tradisional seperti

motif cecek, sawut, cecek sawut, sisik melik.

c) Ragam Hias Pengisi

Merupakan hiasan yang ditempatkan pada latar pola sebagai penyeimbang

bidang agar pola secara keseluruhan tampak serasi. Pola yang digunakan

biasanya adalah pola ukel, galar, gringsing, atau beberapa pengaturan

yang menunjukkan modidfikasi tertentu dari pola isen, misalnya sekar,

sedhah, rembyang, sekar pacar.

10
Notasi yang menyerupai notasi bahasa pemrograman tingkat tinggi, khususnya Pascal dan C
yang bekerja secara urut melalui langkah-langkah atau instruksi-instruksi yang harus
dilaksanakan untuk memecahkan masalah (http://kurdiantoro.wordpress.com/tag/notasi-
algoritmik/).
22

Pada tahapan kedua dan ketiga disebutkan adanya proses pengisian

bagian-bagian ornamen pada batik yang disebut dengan isen dan ragam hias

pengisi. Hal tersebut semakin memperkuat pernyataan bahwa fraktal dan batik

adalah sejalan, yakni tentang kesamaan bentuk dan upaya dalam “pengisian ruang

kosong.” Meskipun demikian, proses isen dalam batik, dan dalam seni dekoratif

lainnya,bukanlah sekedar untuk mengisi ruang kosong belaka, lebih dari itu proses

ini sebagai manifestasi penyempurnaan dan memberi makna secara menyeluruh

(Yun Hariadi & Muhamad Lukman, 2009:1-2).

Gambar 2.10.Proses mengisi kekosongan ruang pada batik.

(Sumber foto:http://www.budaya-indonesia.org)

Faktor yang berperan besar menghadirkan fraktal pada batik adalah teknik

dekoratif yang berhubungan dengan isen atau mengisi motif besar dengan motif

kecil yang mirip dengan kesamaan diri (self-similarity) pada fraktal. Kenyataan

ini memberi kekaguman bahwa batik tradisi ternyata tidak terpaku pada Geometri

Ecludian sebagaimana yang kita kenal namun batik juga telah mengakusisi

fraktal. Kenyataan bahwa batik bersifat fraktal seolah menjadi hal yang

menunjukkan bahwa ada kebijaksanaan terpendam dalam dunia yang tidak seperti

geometri Aristotelian. Seni budaya dan sains modern telah berinteraksi dengan
23

kebudayaan Indonesia. Fraktal telah menginspirasi kreativitas dan progresivitas

sains diberbagai bidang dalam bentuk interdisiplinaritas termasuk batik.

Penemuan aspek fraktalitas pada batik memberikan peringatan bahwa perlu

berubahnya cara pandang atas nilai tradisi dan warisan budaya. Menikmati batik

tak pernah sama dengan cara menikmati lukisan perspektif. Fraktalitas batik

sebagai aspek budaya visual yang erat dengan budaya peradaban Indonesia

menjadi hal yang sangat penting untuk dikembangkan lebih lanjut (Hokky

Situngkir & Rolan Dahlan, 2009: 22).

b) Teori dan Kerangka Pikir

Penelitian ini menggunakan kerangka pikir pendekatan desain yakni

penelitian desain sebagai cara kerja ilmiah yang melibatkan bidang penelitian,

objek penelitian, pendekatan, dan epistemologi, dan metode penelitian (Yasraf

Amir Piliang, 2010). Desain sendiri sebagai keilmuan modern berasal dari

kerangka budaya ilmu pengetahuan dan teknologi (Widagdo, 2005). Pendekatan

desain dimaksudkan untuk mengetahui sesuatu yang tidak hanya berasal dari data

indrawi, tetapi juga dari data-data lain yang kompleks dan multidimensi. Objek

penelitian desain dapat berupa objek konkret-fisikal-tangible maupun objek

abstrak-non-fisikal-intangible, atau kombinasi keduanya. Penelitian objek-objek

konkret dapat berupa deskripsi atau analisis tentang sifat-sifat fisik, material atau

wujud tangible-nya, akan tetapi dapat pula berupa interprestasi terhadap

kandungan-kandungan abstrak di baliknya seperti nilai, ide, maupun makna

(Yasraf Amir Piliang, 2010).


24

Di dalam penelitian desain ada empat hal pokok yang saling berkaitan satu

sama lainnya, yakni artefak (benda, produk, sarana, prasarana, fasilitas, alat,

mesin), manusia (yang mempunyai pikiran, perasaan, mental, kesadaran dan

ketidaksadaran, pengalaman, dan emosi), konsep (yang dikomunikasikan lewat

simbol, tanda, nilai, makna), dan lingkungan yang melingkupi desain tersebut

muncul atau berada (Walker, John A., 2010).

Kerangka pikir di atas akan melandasi penelitian di dalam mengkaji Batik

Fraktal. Secara khusus penelitian menggunakan pendekatan desain dalam wilayah

kajian teknologi desain (design technology) yakni kajian tentang prinsip yang

melandasi beroperasinya sesuatu atau sistem yang melingkupi desain (Yasraf

Amir Piliang, 2010: ix). Kerangka pikir ini akan melandasi penelitian di dalam

menelusuri proses kreatif, artefak, keteknikan, dan teknologi yang berkaitan

dengan Batik Fraktal. Proses kreatif sendiri adalah proses penciptaan yang

memiliki unsur-unsur pendorong seperti sarana, keterampilan, orisinalitas, karya,

lingkungan, dan si pencipta (seniman atau desainer) itu sendiri. Unsur-unsur ini

saling berpadu dan saling mempengaruhi pada proses atau fase dalam membentuk

suatu karya (Mikke Susanto, 2002:92). Sedang artefak desain atau objek desain

(design object), yaitu pengetahuan tentang sistem, struktur, susunan, kualitas fisik,

dan bentuk objek. Teknologi yakni pengetahuan yang melandasi beroperasinya

sesuatu sistem yang melingkupi desain meliputi praktek (design practice) hingga

proses desain (dari metode desain, proses produksi, dan konsumsi), dan konsumen

yang mempunyai beban biografi sosial-budaya dalam rentang hidupnya (Walker,

John A., 2010).


25

Mempertimbangkan kerangka pikir di atas maka tidak bisa dipungkiri, di

dalam menjelaskan dan memahami desain, keberadaan objek desain, dan

teknologi desain sebagai sebuah objek penelitian pasti melalui sebuah penafsiran

(interprestasi). Hal tersebut terkait dengan aktivitas desain yang tidak terlepas dari

sistem nilai yang berkembang di dalam masyarakat. Sebagai bagian penting dari

peradaban manusia, desain adalah wujud yang teraga dengan muatan-muatan

makna di dalamnya (Agus Sachari & Yan Yan Sunarya, 2002).

Anda mungkin juga menyukai