Anda di halaman 1dari 6

Nama : M.

Zikri Robit Argani


NIM : 18210159
Kelas :D
Mata Kuliah : Syari’ah dan HAM
Dosen : M. Faiz Nasrullah,M.H.

HUKUMAN PELAKU PENODAAN AGAMA MENURUT SUNNAH DALAM


PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
Muh. Tasrif
IAIN Ponogoro
Muhtasrif@gmail.com

Abstrak
Makalah ini membahas persoalan hak asasi manusia dan hukuman bagi pelaku
penodaan agama dengan sudut pandang sunnah. Hal ini penting seiring dengan
munculnya perdebatan seputar ketetapan Presiden RI No. 65 Tentang Pencegahan
Penyalah- gunaan dan/atau Penodaan Agama. Sebagian kelompok melihat UU tersebut
tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD 1945
dan instrumen hukum internasional tentang hak asasi manusia. Sebagian yang lain
berpandangan bahwa UU tersebut bersesuaian dengan ajaran Islam sebagaimana
disebut dalam dalil al-Quran dan Hadis. Berdasarkan konteks tersebut, muncul
persoalan tentang bagaimana memahami dalil-dalil tersebut bila dilihat dari perspektif
hak asasi manusia dan bagaimana implikasinya terhadap ketentuan hukum di
Indonesia. Untuk menjawab persoalan tersebut, penulis menguraikan bentuk-bentuk
tindakan Nabi Muhammad saw. terhadap para pelaku penodaan agama dan
mengaitkannya dengan perspektif hak asasi manusia dan implikasinya terhadap
ketentuan hukum di Indonesia. Para pelaku penodaan agama diperlakukan secara
beragam oleh Nabi Muhammad saw.: sebagian dibiarkan bahkan dimaafkan dan
sebagian yang lain dihukum. Tindakan Nabi membiarkan dan memaafkan para pelaku
penodaan agama adalah dalam rangka menjaga kebebasan beragama, berkeyakinan,
menyatakan pendapat, dan kebebasan dari diskriminasi. Sementara itu, tindakan
menghukum para pelaku penodaan agama karena perilaku mereka telah
membahayakan jiwa kaum mukmin.
Analisis Jurnal
Berdasarkan data yang saya ambil dari jurnal yang berjudul Hukuman Pelaku
Penodaan Agama Menurut Sunnah Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia yang di tulis
Muh. Tasrif dalam jurnal Kalam volume 11, nomer 1, juni 2017, kaitannya dengan
maqashid syari’ah, maka termasuk dalam hifdu din (menjaga agama). Pasal-pasal yang
mengatur tentang penodaan agama ini termuat dalam UU No.1/PNPS/1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Undang-undang itu memuat
larangan menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk
melakukan penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama
yang dianut di Indonesia. Yang menjadi permasalahn disini adalah, apakah Undang-
undang tersebut sudah seutuhnya memberikan keadilan untuk masyarakat yang merasa
agamanya dinodai ? Dan apakah hal tersebut sesuai dengan al-qur’an dan sunnah ?
Dalam hal ini, ada kelompok yang berpendapat behwa hal ini bertentangan
dengan kebebasan dalam berpendapat. Saya setuju dengan pendapat tersebut, karena
sifatnya yang ambigu apakah semuanya bisa digeneralisir bahwa hal tersebut
merupakan bentuk penodaan terhadap agama, karena tidak adanya kriterianya.
Seringkali tunduhan yang dilayangkan oleh sesorang bertujuan untuk intimidasi,
persekusi, dan balas demdam. Ada unsur politik didalamnya, yang mana lebih
membela kepada golongannya sendiri. Ketika golongannya melakukan penistaan,
maka dia akan melakukan pembelaan bahwa itu bukan penistaan, dan sebaliknya
apabila golongannya sendiri yang melakukan penistaan dia melakukan pembelaan
dengan dalih bahwa itu merupakan penistaan agama. Ada pula kelompok yang
mengatakan bahwa UU PNPS ini perlu dipertahankan, karena sudah sesuai dengan
prinsip kebebasan beragama Tiap penganut agama dibebaskan untuk beragama dalam
forum internal mereka sendiri, namun dibatasi dalam ekspresinya ketika berada dalam
forum eksternal mereka.
Dalil-Dalil Tentang Toleransi Beragama
Dalil mengenai toleransi dalam beragama antara lain terdapat dalam surat al-
Kafirun ayat 6 berikut:

‫ِين‬
ِ ‫يد‬َ ‫لَ ُك ۡم دِينُ ُك ۡم َو ِل‬
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku”
Allah swt. dan rasul-Nya menganjurkan umat Islam agar bertoleransi dalam
bidang muamalah, yaitu hal-hal yang menyangkut kemanusiaan dan kedupan
bermasyarakat. Misalnya bersama-sama membangun jembatan, menengok ketika ada
yang jatuh sakit, bergotong royong membangun rumah, menolong pemeluk agama lain
yang tertimpa musibah, dan kegiatan masyarakat lainnya. Hal ini dicontohkan
Rasulullah yang menghormati jenazah Yahudi yang lewat dihadapannya. Namun,
dalam bertoleransi kita tidak boleh mencampuradukkan masalah akidah. Akidah
merupakan bagian esensial atau inti dari suatu agama. Agar tidak terjadi kebiasaan
mencampuraduk akidah Allah menurunkan Surah al-Kafirun sebagai pedoman dalam
bertoleransi tersebut.

Kemudian dalam surat Yunus Ayat 41 berikut:

َ‫ء ِم َّما ت َعۡ َملُون‬ٞ ‫أَنتُم بَ ِريونَ ِم َّما أ َ ۡع َم ُل َوأَن َ۠ا بَ ِري‬
“Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa yang
aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan”.
Dari ayat-ayat tersebut kita dapat mengetahui bahwa sebagai umat beragama
diperintahkan untuk bertoleransi satu sama lainnya. Tidak boleh ada permusuhan dan
perpecahan, karena keberagaman itu niscaya. Keberagaman dan perbedaan itu ada
agara umat manusia bisa belajar arti toleransi, dan belajar dengan saling berpendapat
satu sama lain. Permusuhan hanya akan menimbulkan kerusakan dan kesengsaraan.
Toleransi ini berarti pengakuan tentang adanya realita perbedaan agama dan keyakinan,
bukan pengakuan pembenaran terhadap agama dan keyakinan selain Islam. Islam
adalah agama yang benar dan tidak ada yang dapat menyamai syariat Islam. Tidak
diperbolehkan untuk saling memusuhi dan saling mencaci hanya karena berbeda
keyakinan. Kita diperintahkan untuk saling toleransi dan menyayangi satu sama lain
dan tidak mengusik kepercayaan orang lain. Memang kita diperintahkan untuk
mensyiarkan agama islam, tetapi kita tidak boleh memaksa. Tugas kita hanyalah
berikhtiyar, hidayah ada ditangan Allah. Hal tersebut dilakukan oleh nabi ketika
peristiwa piagam Madinah, dimana beliau melakukan perjanjian dengan kaum non-
muslim untuk saling menjaga kerukunan serta saling tolong-menolong antar umat
beragama, selagi tidak menyangkut urusan akidah.
Contoh Kasus Penodaan Agama
Baru-baru ini sering terdengar mengenai kasus penistaan agama yang
dilayangkan oleh tokoh-tokoh, baik pemuka agama maupun tokoh politik. Seperti
kasus yang menimpa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Ahok resmi ditetapkan sebagai
tersangka, terkait dugaan penistaan agama. Peristiwa dugaan penistaan agama ini
bermula saat Ahok melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu pada Selasa, 27
September 2016. Saat berpidato di hadapan warga, Ahok menyatakan tidak memaksa
warga untuk memilih dirinya pada Pilkada 2017. Pernyataan itu disertai kutipan surat
Al Maidah ayat 51 yang menuai reaksi publik. Isi surat al-Ma’idah ayat 51 adalah tidak
diperbolehkannya mengangkat pemimpin non muslim. Dalam pidatonya Ahok
mengatakan “jangan mau dibohongi dengan surat al-Ma’idah 51”. Pernyataan ahok itu
bermaksud menolak isi surat al-Maidah tersebut mengenai pemimpin non-muslim.
Pernyataan Ahok tersebut menuai kecaman dari berbagai pihak, yang meminta untuk
dibawa keranah hukum. Karena hal tersebut, Ahok dinyatakan bersalah. Lalu ada pula
kasus putri presiden Soekarno, yaitu Sukmawati yang mengatakan bahwa kidung lebih
baik dari adzan. Lalu ada pula Dandy yang menulis di akun facebooknya bahwa suara
penyanyi jaran goyang lebih merdu dari suara adzan, yang langsung diproses hukum
dan ditangkap. Kemudian ke kasus berikutnya yang masih berhubungan dengan adzan,
yaitu kasus yang menimpa Meiliana, yang mengatakan bahwa suara adzan terlalu
keras. Nah, disini saya kira kasus Meiliana ini bukan termasuk penodaan agama, karena
beliau hanya beropini saja, tidak bermaksud menghina. Dalam Pasal 156a KUHP
berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang
bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia”. Pernyataan Meiliana tersebut tidak mengandung penodaan
ataupun permusuhan saja, itu hanya bentuk komplain saja karena suara speaker masjid
yang terlalu keras. Seharusnya masyarakat muslim memahami tersebut, dengan
melirihkan speaker masjid agar orang lain tidak merasa terganggu. Itu merupakan
bentuk toleransi.
Menurut saya, masyarakat terlalu mudah memvonis bahwa suatu pernyataan
adalah bentuk penistaan agama. Meskipun tujuannya adalah menjaga agama, tetapi
caranya salah, karena terlalu ekstrimis dengan mudahnya memvonis sesorang, tanpa
memperhatikan unsur yang lain. Malah kebanyakan yang sering melakukan tuduhan
tersebut adalah umat islam sendiri, padahal dari umat islam sendiri banyak yang
mealkukan penodaan menurut pandangan non-muslim. Seperti ceramah Habib Rizieq
yang menyinggung umat Kristiani, “Kalau Tuhan beranak, bidannya siapa”?, atau Felix
Siaw yang mengejek patung Buddha Maitreya sebagai tuhan yang tertawa terus dan
makan terus. Apakah itu termasuk penodaan atau bukan?. Kasus penodaan agama ini
hanya melihat kaum mayoritas, karena kasus yang dibawa keranah hukum kebanyakan
dari tuduhan yang diberikan umat islam sendiri, sebagai kaum mayoritas di Indonesia.
Apakah Perlu adanya UU Tentang Penodaan Agama ini ?
Undang-undang Penodaan Agama ini tujuannya memang baik, agar dapat
melindungi harkat dan martabat masing-masing dari umat beragama, tetapi perlu
adanya pembenahan lagi. Yang perlu dibenahi adalah kriteria bagaimana suatu
pernyataan atau perbuatan dapat dinyatakan sebagai penodaan terhadap agama,
terutama dalam prakteknya, agar seseorang tidak seenaknya memvonis melakukan
penodaan agama. Hal tersebut dapat dilihat karena banyaknya kasus yang seenaknya
sendiri tanpa melihat substansi lait, hanya melihat dari satu sudut pandang saja. Apabila
tetap seperti itu, maka akan bertentangan dengan kebebasan berpendapat. Orang yang
beropini ataupun hanya sekedar berpendapat, tanpa ada maksud melecehkan aataupun
menodai dibawa keranah hukum, ini yang perlu diperbaiki lagi. Serta unsur-unsur
politik seperti mementingkan golongan sendiri, serta hanya memperhatikan mayoritas
haruslah dihapuskan, kalau tidak pihak yang dianggap lawan ataupun pihak minoritas
akan terbengkalai hak-haknya. Saya kira seperti itu.
Hal Baru Dalam Karya Ini
Undang-undang Tentang Pencegahan Penyalah- gunaan dan/atau Penodaan
Agama ini baru-baru ini menjadi pembicaraan publik. Hal tersebut terjadi seiring
meningkatnya kasus penodaan agama ditanah air. Program Studi Agama dan Lintas
Budaya Universitas Gadjah Mada mencatat bahwa pada tahun 2012 terdapat 22 kasus.
Kasus-kasus tersebut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011
terdapat tiga korban meninggal terkait kasus Ahmadiyah di Gresik dan 2012 kasus
Syiah di Sampang, Madura memakan satu korban meninggal dunia. Dari sini dapat
dilihat bahwa sesama umat islam saja terdapat kasus penodaan agama, apalagi dengan
umat selain islam. Dalam karya ini memuat hal baru mengenai keterkaitan Undang-
undang PNPS yang baru-baru ini memang mancadi perboncangan di ranah publik,
dengan keadaan dimasa rasulullah yang notabene merupakan rujukan bagi umat islam,
yang mana kita harus bisa memetik pelajaran dari setiap perbuatan maupun perkataan
rasulullah saw. Hal inilah yang menarik, karena penulis selain membahas mengenai
UU PNPS yang ada dizaman modern ini, tetapi juga mencoba kembali kemasa
rasulullah dengan melihat bagaimana sikap dan perilaku rasulullah dalam suatu bingkai
toleransi terhadap kaum non-muslim, serta bagaimana menyikapi para penoda agama,
yang mana bahkan rasulullah saja tidak secara keseluruhan menghukum para penoda
agama, sehingga dari sini dapat dilihat bahwa semua perkara tidak dapat dianggap
secara umum sebagai penodaan agama. Kalaupun termasuk penodaan agama, itupun
tidak semuanya rasulullah memvonis hukuman. Mungkin seperti itu yang dapat saya
ambil dari karya ini.
Hal yang Perlu Dikembangkan
Berbicara mengenai ponodaan agama, maka sudah barang tentu tidak lepas dari
agama itu sendiri. Karena karya ini berbicara mengenai hubungannya dengan sunnah,
tentu berkaitan dengan para tokoh islam. Yang perlu dikembangkan lagi disini adalah
belum dicantumkannya secara komprehensif mengenai pendapat para tokoh islam dari
masa-kemasa serta reaksi mereka terhadap adanya penistaan agama ini. Seperti tadi
disinggup mengenai Ibnu Taimiyah, tetapi belum secara utuh membahas pendapat
beliau mengenai penodaan agama. Itu yang pertama, kemudian yang masih saya
pertanyakan adalah solusi untuk dapat mengkomparasikan ataupun menghubungkan
antara orang yang setuju dengan Undang-undang ini, dengan yang tidak setuju, lalu
bagaimana pendapat para ahli terutama tokoh-tokoh indonesia tentang
keberlangsungan Undang-undang ini, apakah sudah sesuai, atau perlu dikembangkan
lagi. atau tidak sesuai dengan keadaan masyarakat saat ini.

Anda mungkin juga menyukai