Aku terdiam dalam lamunan, orang-orang lalu lalang dihadapanku, namun
tak ada satupun yang aku kenali. Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku, saat aku berusaha melihatnya, hanya ada cahaya terang menerpa. Tiba-tiba ada seseorang yang berteriak kencang. “Awas!!!” “Bummm” Asap mengepul tinggi ke udara, diiringi suara tembakan dan jeritan ketakutan. Semua orang berlari ketakutan, namun tidak dengan para pendekar bangsa. “Merdeka atau mati!!!” Teriak seorang prajurit. Seketika suasana menjadi gelap gulita, aku pun merasakan ada pukulan di dadaku. Oh tidak!!! aku terlambat bangun pagi ini, mimpi apa aku semalam, hingga ibuku harus memukulku untuk membangunkanku. Hari ini kujalani seperti hari-hari yang lalu, tetapi masih saja terngiang- ngiang dalam benak tentang mimpi itu, perjuangan para pendekar bangsa yang gigih dan tak patah arah masih teringat selalu, perjuangan mereka untuk membuat bangsa ini bisa merdeka membuat semangat membara di dalam jiwa yang mereka junjung selalu.. Mimpi itu seolah menghantuiku, satu hal yang masih menjadi semu, akankah perjuangan itu akan tetap dijunjung selalu atau hanya akan menjadi sejarah yang telah lalu yang kemudian akan lekang oleh waktu. Untung saja hari ini kelasku libur, lantas aku pun pergi, mencoba mencari tahu apa yang sekarang terjadi, ku telusuri setiap sudut kota, ku lihat semua sudah berbeda. Tak ada lagi bunyi tembakan di pagi hari, yang ada hanya lantunan kokok ayam menyambut sang mentari. Tak ada lagi bentakan caci maki dari sang kompeni, yang ada hanya kicauan burung mengisi pagi. Bunyi sepeda sang pengantar koran seperti membuka lembar baru untuk sebuah harapan. Ku nikmati secangkir kopi sambil menyantap hidangan sarapan, menikmati indahnya pagi dengan suasana perkotaan. Ku pandangi orang-orang berlalu lalang dari sebuah warung makan di tengah kota, ada rasa bangga tersendiri bahwa kini bangsa besar ini sudah merdeka. Ada seorang ibu mengantar anaknya berangkat sekolah, ada seorang ayah terburu-buru untuk berangkat mencari nafkah, semua seperti terlepas dari sebuah masalah. Ada semangat yang terlihat disetiap raut wajahnya, memang benar tak sia-sia perjuangan nenek moyang kita. Mulai beranjak dari warung makan itu, ku coba berjalan lagi untuk melihat lebih dalam apa yang benar-benar terjadi. Ku sambangi setaip wajah yang aku lewati, semua mungkin bahagia bahwa mereka tak harus lagi menjadi seorang petani. Mereka kini bisa mandiri, menentukan apa yang ingin mereka cari, dan menjalani hidupnya sendiri-sendiri. Terus berjalan lebih jauh lagi, sampai lah aku di pesisir kota. Lantas aku pun mencoba mencari raut wajah bahagia atas kemerdekaan mereka, ku masuki jalan- jalan sempit yang menghubungkan rumah-rumah mereka. Waktu menunjukkan pukul 10.00 pagi, tapi kudapati seorang anak yang seharusnya ada di sekolah sedang duduk di depan rumanya. “Apakah anak itu tidak sekolah?”. “Ah ada-ada saja, mungkin dia sedang libur”. Diri ini mulai bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi, mana mungkin anak seusianya tidak bersekolah di negeri yang sudah merdeka ini. Terus aku berjalan menyusuri jalan sempit ini, hingga akhirnya kudapati keramaian di ujung jalan. Oh ternyata ini adalah sebuah pasar, kududuk di sebuah warung kopi sembari memijati kaki karena letih. Sambil menikmati secangkir kopi, kuamati gerak-gerik orang-orang yang berlalu lalang dihadapanku. Sedih rasanya, semua berbanding terbalik dengan yang aku lihat tadi pagi. Kudapati banyak anak yang seharusnya mengenyam pendidikan terpaksa putus sekolah karena tidak adanya biaya, mereka harus banting tulang untuk membantu orang tuanya menghidupi keluarga, padahal mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan cita-cita utama Bangsa Indonesia. Kuratapi semua wajah yang ada seperti letih dan kebingungan, mau dibawa kemana nasib masa depan mereka. Ada seorang ibu yang rela berjualan kue demi menghidupi kebutuhan hidpnya, ada seorang ayah yang dengan semangatnya menjadi kuli angkut demi bisa membawa rizki halal untuk keluarganya, semua orang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing. Aku pun bingung dan bertanya-tanya, “Inikah yang dikataka kemerdekaan?” “Apakah kemerdekaan hanya milik orang perkotaan? Sedangkan orang pinggiran tidak merdeka? Lalu bagaimana dengan daerah pelosok yang notabenenya lebih jauh dari kota dan lebih tertinggal?” “Apakah kemerdekaan hanya diperuntukkan bagi masyarakat ekonomi menengah keatas? “Apa mungkin merdeka hanya milik para orang-orang kaya?” “Atau mungkin Indonesia masih belum benar-benar merdeka?” Kembali teringat dengan mimpi itu, senyum sang Ibu Pertiwi yang berbinar kala pertama kali bendera Indonesai berkibar sepertinya sudah tiada lagi saat ini, yang tersisa tinggal kenangan dan sejarah buta. Kini tinggal tugas kita para penerus bangsa, apakah masih ingin menutup mata dan membiarkan sang Ibu Pertiwi kehilangan senyum manisnya. Sedih menerpa menjawab angan hampa, layaknya kerang kehilangan mutiara.