Anda di halaman 1dari 3

Hilangnya Mutiara

Karya Luqman Hanif

Aku terdiam dalam lamunan, orang-orang lalu lalang dihadapanku, namun


tak ada satupun yang aku kenali. Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku, saat aku
berusaha melihatnya, hanya ada cahaya terang menerpa.
Tiba-tiba ada seseorang yang berteriak kencang.
“Awas!!!”
“Bummm”
Asap mengepul tinggi ke udara, diiringi suara tembakan dan jeritan
ketakutan. Semua orang berlari ketakutan, namun tidak dengan para pendekar
bangsa. “Merdeka atau mati!!!” Teriak seorang prajurit.
Seketika suasana menjadi gelap gulita, aku pun merasakan ada pukulan di
dadaku. Oh tidak!!! aku terlambat bangun pagi ini, mimpi apa aku semalam,
hingga ibuku harus memukulku untuk membangunkanku.
Hari ini kujalani seperti hari-hari yang lalu, tetapi masih saja terngiang-
ngiang dalam benak tentang mimpi itu, perjuangan para pendekar bangsa yang
gigih dan tak patah arah masih teringat selalu, perjuangan mereka untuk membuat
bangsa ini bisa merdeka membuat semangat membara di dalam jiwa yang mereka
junjung selalu..
Mimpi itu seolah menghantuiku, satu hal yang masih menjadi semu, akankah
perjuangan itu akan tetap dijunjung selalu atau hanya akan menjadi sejarah yang
telah lalu yang kemudian akan lekang oleh waktu.
Untung saja hari ini kelasku libur, lantas aku pun pergi, mencoba mencari
tahu apa yang sekarang terjadi, ku telusuri setiap sudut kota, ku lihat semua sudah
berbeda. Tak ada lagi bunyi tembakan di pagi hari, yang ada hanya lantunan
kokok ayam menyambut sang mentari. Tak ada lagi bentakan caci maki dari sang
kompeni, yang ada hanya kicauan burung mengisi pagi.
Bunyi sepeda sang pengantar koran seperti membuka lembar baru untuk
sebuah harapan. Ku nikmati secangkir kopi sambil menyantap hidangan sarapan,
menikmati indahnya pagi dengan suasana perkotaan. Ku pandangi orang-orang
berlalu lalang dari sebuah warung makan di tengah kota, ada rasa bangga
tersendiri bahwa kini bangsa besar ini sudah merdeka.
Ada seorang ibu mengantar anaknya berangkat sekolah, ada seorang ayah
terburu-buru untuk berangkat mencari nafkah, semua seperti terlepas dari sebuah
masalah. Ada semangat yang terlihat disetiap raut wajahnya, memang benar tak
sia-sia perjuangan nenek moyang kita.
Mulai beranjak dari warung makan itu, ku coba berjalan lagi untuk melihat
lebih dalam apa yang benar-benar terjadi. Ku sambangi setaip wajah yang aku
lewati, semua mungkin bahagia bahwa mereka tak harus lagi menjadi seorang
petani. Mereka kini bisa mandiri, menentukan apa yang ingin mereka cari, dan
menjalani hidupnya sendiri-sendiri.
Terus berjalan lebih jauh lagi, sampai lah aku di pesisir kota. Lantas aku pun
mencoba mencari raut wajah bahagia atas kemerdekaan mereka, ku masuki jalan-
jalan sempit yang menghubungkan rumah-rumah mereka.
Waktu menunjukkan pukul 10.00 pagi, tapi kudapati seorang anak yang
seharusnya ada di sekolah sedang duduk di depan rumanya.
“Apakah anak itu tidak sekolah?”.
“Ah ada-ada saja, mungkin dia sedang libur”. Diri ini mulai bertanya-tanya
apa yang sebenarnya terjadi, mana mungkin anak seusianya tidak bersekolah di
negeri yang sudah merdeka ini.
Terus aku berjalan menyusuri jalan sempit ini, hingga akhirnya kudapati
keramaian di ujung jalan. Oh ternyata ini adalah sebuah pasar, kududuk di sebuah
warung kopi sembari memijati kaki karena letih. Sambil menikmati secangkir
kopi, kuamati gerak-gerik orang-orang yang berlalu lalang dihadapanku.
Sedih rasanya, semua berbanding terbalik dengan yang aku lihat tadi pagi.
Kudapati banyak anak yang seharusnya mengenyam pendidikan terpaksa putus
sekolah karena tidak adanya biaya, mereka harus banting tulang untuk membantu
orang tuanya menghidupi keluarga, padahal mencerdaskan kehidupan bangsa
merupakan cita-cita utama Bangsa Indonesia.
Kuratapi semua wajah yang ada seperti letih dan kebingungan, mau dibawa
kemana nasib masa depan mereka. Ada seorang ibu yang rela berjualan kue demi
menghidupi kebutuhan hidpnya, ada seorang ayah yang dengan semangatnya
menjadi kuli angkut demi bisa membawa rizki halal untuk keluarganya, semua
orang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing.
Aku pun bingung dan bertanya-tanya,
“Inikah yang dikataka kemerdekaan?”
“Apakah kemerdekaan hanya milik orang perkotaan? Sedangkan orang
pinggiran tidak merdeka? Lalu bagaimana dengan daerah pelosok yang
notabenenya lebih jauh dari kota dan lebih tertinggal?”
“Apakah kemerdekaan hanya diperuntukkan bagi masyarakat ekonomi
menengah keatas?
“Apa mungkin merdeka hanya milik para orang-orang kaya?”
“Atau mungkin Indonesia masih belum benar-benar merdeka?”
Kembali teringat dengan mimpi itu, senyum sang Ibu Pertiwi yang berbinar
kala pertama kali bendera Indonesai berkibar sepertinya sudah tiada lagi saat ini,
yang tersisa tinggal kenangan dan sejarah buta. Kini tinggal tugas kita para
penerus bangsa, apakah masih ingin menutup mata dan membiarkan sang Ibu
Pertiwi kehilangan senyum manisnya. Sedih menerpa menjawab angan hampa,
layaknya kerang kehilangan mutiara.

- Selesai-

Anda mungkin juga menyukai