Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN

Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum diketahui
dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan
jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit AR ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik
dan progresif. Sebagian besar kasus perjalananya kronik kematian dini.

Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan lainya, di
Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi AR sekitar 1% pada kaukasia
dewasa; Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar 0,8% dan Amerika Serikat 1,1%
sedangkan di Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan India 0,75%. Insiden di Amerika
dan Eropa Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa Selatan hanya 9-24/100000. Di
Indonesia dari hasil survey epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah didapatkan prevalensi
AR 0,3 %, sedang di Malang pada penduduk berusia diatas 40 tahun didapatkan prevalensi
AR 0,5 % di daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi
RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru Artritis Reumatoid
merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin
didapatkan 9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002.

Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak mengenai
penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar.
Penatalaksanaan AR telah mengalami banyak perubahan dalam 15 tahun terakhir.
Pemahaman bahwa AR berkaitan dengan komorbiditas lain dan mortalitas dini, membuat
penatalaksanaan AR harus agresif dan sedini mungkin yang akan meningkatkan hasil jangka
pendek dan panjang yang lebih baik. Metotrexat merupakan anchor drug untuk terapi AR
dimana memberikan hasil kesintasan yang lebih baik dibandingkan dengan Disease
Modifying Arthritis Reumatoid Drugs (DMARD) lain. Tetapi diagnosis dini sering
menghadapai kendala karena pada masa dini sering belum didapatkan gambaran karakteristik
yang baru akan berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah terlambat untuk
memulai pengobatan yang adekuat. Diagnosis AR saat ini mengacu pada kriteria diagnosis
menurut ACR/ EULAR tahun 2010. Klasifikasi kriteria yang baru ini memberikan suatu
pendekatan dengan penekanan pada pengenalan pasien yang baru menderita AR sehingga
dapat memberi manfaat nyata dari pemberian DMARD atau mengikuti suatu uji klinik obat-
obat yang dapat menghambat manifestasi penyakit seperti yang menjadi kriteria ACR 1987.

1
Definisi Rheumatoid Arthritis

Rheumatoid arthritis (RA) adalah suatu keadaan kronis dan biasanya merupakan
kelainan inflamasi progresif dengan etiologi yang belum diketahui yang dikarakterisasi
dengan sendi simetrik poliartikular dan manifestasi sistemik (Sukandar, 2009).

Rheumatoid arthritis juga didefinisikan sebagai inflamasi kronis yang umum


disebabkan oleh kelainan autoimun dengan etiologi yang belum diketahui. Inflamasi pada RA
akan mengakibatkan penghancuran pada kartilago dan tulang persendian. Kejadian inflamasi
ini melibatkan bagian-bagian sendi terutama membran sinovial (membran yang membungkus
sendi berisi cairan sinovial). Kesehatan penderita RA akan menurun dikarenakan rasa nyeri,
kelelahan, ketidakmampuan fungsional tubuh, serta ekonomi pasien yang dapat melemah
akibat perkembangan penyakit yang progresif (Gibofsky, 2012).

Etiologi Artitis Reumatoid

Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya dikorelasikan dengan


interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan (Suarjana, 2009)

a. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki angka
kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana, 2009).

b. Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental Corticotraonin
Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan
substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta dan stimulasi esterogen dan progesteron
pada respon imun humoral (TH2) dan menghambat respon imun selular (TH1). Pada RA
respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang
berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini (Suarjana, 2009).

c. Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang (host) dan
merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya penyakit RA (Suarjana,
2009).

d. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai respon terhadap
stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog. Diduga terjadi
fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen
infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan terjadinya reaksi silang Limfosit dengan sel
Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis (Suarjana, 2009).

2
Faktor Resiko Artritis Reumatoid

Faktor resiko dalam peningkatan terjadinya RA antara lain jenis kelamin perempuan,
ada riwayat keluarga yang menderita RA, umur lebih tua, paparan salisilat dan merokok.
Resiko juga mungkin terjadi akibat konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari, khusunya
kopi decaffeinated (Suarjana, 2009).

Patofisiologi Artritis Reumatoid

RA merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang sendi. Reaksi autoimun


terjadi dalam jaringan sinovial. Kerusakan sendi mulai terjadi dari proliferasi makrofag dan
fibroblas sinovial. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel
endotel kemudian terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat
mengalami oklusi oleh bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terbentuknya pannus akibat
terjadinya pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi.
Pannus kemudian menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang Respon imunologi
melibatkan peran sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan. Respon ini
mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik (Suarjana, 2009).

Sel T dan sel B merupakan respon imunologi spesifik. Sel T merupakan bagian dari
sistem immunologi spesifik selular berupa Th1, Th2, Th17, Treg, Tdth, CTL/Tc, NKT.
Sitokin dan sel B merupakan respon imunologi spesifik humoral, sel B berupa IgG, IgA, IgM,
IgE, IgD (Baratwidjaja, 2012). Peran sel T pada RA diawali oleh interaksi antara reseptor sel
T dengan share epitop dari major histocompability complex class II (MHCII-SE) dan peptida
pada antigen-presenting cell (APC) pada sinovium atau sistemik. Dan peran sel B dalam
imunopatologis RA belum diketahi secara pasti (Suarjana, 2009).

Manifestasi Klinis Artritis Reumatoid

RA dapat ditemukan pada semua sendi dan sarung tendo, tetapi paling sering di
tangan. RA juga dapat menyerang sendi siku, kaki, pergelangan kaki dan lutut. Sinovial
sendi, sarung tendo, dan bursa menebal akibat radang yang diikuti oleh erosi tulang dan
destruksi tulang disekitar sendi (Sjamsuhidajat, 2010).

Ditinjau dari stadium penyakitnya, ada tiga stadium pada RA yaitu (Nasution, 2011):

a. Stadium sinovitis, Artritis yang terjadi pada RA disebabkan oleh sinovitis, yaitu inflamasi
pada membran sinovial yang membungkus sendi. Sendi yang terlibat umumnya simetris,

3
meski pada awal bisa jadi tidak simetris. Sinovitis ini menyebabkan erosi permukaan sendi
sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi (Nasution, 2011). Sendi pergelangan
tangan hampir selalu terlibat, termasuk sendi interfalang proksimal dan metakarpofalangeal
(Suarjana, 2009).

b. Stadium destruksi, ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi kerusakan pada jaringan
sinovial (Nasution, 2011).

c. Stadium deformitas, pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,
deformitas dan gangguan fungsi yang terjadi secara menetap (Nasution, 2011).

Manifestasi klinis RA terbagi menjadi 2 kategori yaitu manifestasi artikular dan manifestasi
ekstra-artikular (Suarjana, 2009).

Manfestasi artikular RA terjadi secara simetris berupa inflamasi sendi, bursa, dan
sarung tendo yang dapat menyebabkan nyeri, bengkak, dan kekakuan sendi, serta hidrops
ringan (Sjamsuhidajat, 2010). Tanda kardinal inflamasi berupa nyeri, bengkak, kemerahan
dan teraba hangat mungkin ditemukan pada awal atau selama kekambuhan, namun
kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada RA kronik (Suarjana, 2009).
Sendi-sendi besar, seperti bahu dan lutut, sering menjadi manifestasi klinis tetap, meskipun
sendi-sendi ini mungkin berupa gejala asimptomatik setelah bertahun-tahun dari onset
terjadinya (Longo, 2012).

Manifestasi ekstra-artikular jarang ditemukan pada RA (Sjamsuhidajat, 2010). Secara


umum, manifestasi RA mengenai hampir seluruh bagian tubuh. Manifestasi ekstraartikular
pada RA, meliputi (Longo, 2012):

a. Konstitusional, terjadi pada 100% pasien yang terdiagnosa RA. Tanda dan gejalanya
berupa penurunan berat badan, demam >38,3oc , kelelahan (fatigue), malaise, depresi
dan pada banyak kasus terjadi kaheksia, yang secara umum merefleksi derajat
inflamasi dan kadang mendahului terjadinya gelaja awal pada kerusakan sendi
(Longo, 2012).
b. Nodul, terjadi pada 30-40% penderita dan biasanya merupakan level tertinggi
aktivitas penyakit ini. Saat dipalpasi nodul biasanya tegas, tidak lembut, dan dekat
periosteum, tendo atau bursa. Nodul ini juga bisa terdapat di paru-paru, pleura,
pericardium, dan peritonuem. Nodul bisanya benign (jinak), dan diasosiasikan dengan
infeksi, ulserasi dan gangren (Longo, 2012).

4
c. Sjogren’s syndrome, hanya 10% pasien yang memiliki secondary sjogren’s syndrome.
Sjogren’s syndrome ditandai dengan keratoconjutivitis sicca (dry eyes) atau
xerostomia (Longo, 2012).
d. Paru (pulmonary) contohnya adalah penyakit pleura kemudian diikuti dengan
penyakit paru interstitial (Longo, 2012).
e. Jantung (cardiac) pada <10% penderita. Manifestasi klinis pada jantung yang
disebabkan oleh RA adalah perikarditis, kardiomiopati, miokarditis, penyakti arteri
koreoner atau disfungsi diastol (Longo, 2012).
f. Vaskulitis, terjadi pada <1% penderita, terjadi pada penderita dengan penyakit RA
yang sudah kronis (Longo, 2012).
g. Hematologi berupa anemia normositik, immmune mediated trombocytopenia dan
keadaan dengan trias berupa neutropenia, splenomegaly,dan nodular RA sering
disebut dengan felty syndrome. Sindrom ini terjadi pada penderita RA tahap akhir
(Longo, 2012).
h. Limfoma, resiko terjadinya pada penderita RA sebesar 2-4 kali lebih besar dibanding
populasi umum. Hal ini dikarenakan penyebaran B-cell lymphoma sercara luas
(Longo, 2012).

Diagnosa Artritis Reumatoid

Selama ini diagnosis AR memakai kriteria ACR tahun 1987 dengan sensitivitas 77-
95% dan spesifitas 85-98%. Tapi kriteria ini mulai dipertanyakan kesahihannya dalam
mendiagnosis AR dini sehingga dipandang perlu untuk menyusunkriteria baru yang tingkat
kesahihannya lebih baik.

Saat ini diagnosis AR di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis menurut


American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism 2010,yaitu :

5
Kriteria ini ditujukan untuk klasifikasi pasien yang baru. Disamping itu, pasien
dengan gambaran erosi sendi yang khas AR dengan riwayat penyakit yang cocok untuk
kriteria sebelumnya diklasifikasi sebagai AR. Pasien dengan penyakit yang lama termasuk
yang penyakit tidak aktif (dengan atau tanpa pengobatan) yang berdasarkan data-data
sebelumnya didiagnosis AR hendaknya tetap diklasifikasikan sebagai AR.

Pada pasien dengan skor kurang dari 6 dan tidak diklasifikan sebagai AR, kondisinya
dapat dinilai kembali dan mungkin kriterianya dapat terpenuhi seiring berjalannya waktu.

Terkenanya sendi adalah adanya bengkak atau nyeri sendi pada pemeriksaan yang
dapat didukung oleh adanya bukti sinovitis secara pencitraan. Sendi DIP, CMC I, dan MTP I
tidak termasuk dalam kriteria. Penggolongan distribusi sendi diklasifikasikan berdasarkan
lokasi dan jumlah sendi yang terkena, dengan penempatan kedalaman kategori yang tertinggi
yang dapat dimungkinkan.

Sendi besar adalah bahu, siku, lutut, pangkal paha dan pergelangan kaki.

Sendi kecil adalah MCP, PIP, MTP II-V, IP ibu jari dan pergelangan tangan.

Hasil laboratorium negatif adalah nilai yang kurang atau sama dengan batas atas
ambang batas normal.

Positif rendah adalah nilai yang lebih tinggi dari batas atas normal tapi sama atau
kurang dari 3 kali nilai tersebut.

Positif tinggi adalah nilai yang lebih tinggi dari 3 kali batas atas.

6
Jika RF hanya diketahui positif atau negatif, maka positif harus dianggap sebagai
positif rendah.

Lamanya sakit adalah keluhan pasien tentang lamanya keluhan atau tanda sinovitis
(nyeri, bengkak atau nyeri pada perabaan).

Dalam menegakkan diagnosis AR sangatlah penting untuk mengelompokkannya berdasarkan


waktu dimana dikatakan recent onset jika sudah menderita kurang dari 2 tahun.

Rujukan

Pasien yang harus dirujuk ke spesialis penyakit dalam/reumatologis adalah

Setiap orang dengan dugaan sinovitis persisten yang belum diketahui sebabnya.

 Sendi kecil pada tangan atau kaki yang terkena


 Lebih dari satu sendi yang terkena
 Telah ada keterlambatan ≥ 3 bulan antara timbulnya gejala dan pergi ke dokter

Setiap orang dengan dugaan sinovitis menetap yang belum diketahui sebabnya dengan tes
darah yang menunjukkan reaktan fase akut normal atau RF negatif.

Pasien dengan sinovitis pada pemeriksaan klinis perlu dianjurkan pemeriksaan RF. Jika tetap
dicurigai menderita AR meskipun RF negatif, pasien perlu diperiksa ACPA.

Terapi Artritis Reumatoid

a. Symptom-modifying anti-rheumatic drugs (SMARDs)


Obat golongan SMARDs ini merupakan golongan obat analgesik sederhana
berupa NSAID (Gcelu and Kalla, 2011). NSAIDs atau golongan kortikosteroid
digunakan untuk mengurangi gejala-gejala rematik jika dibutuhkan. NSAID jarang
digunakan sebagai monoterapi untuk rheumatoid arthritis karena NSAIDs tidak
menyembuhkan penyakit melainkan hanya sebagai tambahan bagi obat golongan
DMARDs. Kortikosteroid dapat digunakan untuk mengontrol gejala RA sebelum
memulai penggunaan DMARDs (Singh, et al 2012).
- Glukokortikoid
7
Pada awal inflamasi arthritis, steroid dapat diberikan sebagai dosis tunggal, baik
secara intramuskuler atau intra-arterikuler untuk menginduksi berkurangnya
inflamasi. Prednison pada dosis rendah dapat digunakan untuk meredakan gejala
jangka pendek dan tanda-tanda penyakit dari RA (Gcelu and Kalla, 2011).

b. Disease-modifying anti-rheumatic drugs (DMARDs)


Ada bukti kuat bahwa terpai dini dengan menggunakan sintetis DMARDs dapat
mengurangi perkembangan radiografi, dan juga terapi DMARD tidak harus ditunda.
Pada pasien dengan inflamasi artritis sebelum memenuhi kriteria ACR untuk RA, terapi
menggunakan sintetis DMARDs mengurangi proses kerusakan karena radiografi
(Gcelu and Kalla, 2011).
DMARDs menjadi first-line terapi untuk RA. Untuk terapi dengan DMARD
harus dimulai pada 3 bulan pertama setelah simptomnya muncul. Pengobatan dini
dengan menggunakan DMARD dapat mengurangi resiko kematian. Pasien yang
menderita RA, resiko kematiannya lebih tinggi dibanding dengan orang-orang yang
tidak terkena RA (Singh, et al 2012).
1) Methotrexate
Methotrexate dianggap sebagai obat pilihan DMARD oleh pakar rematologi untuk
mengobati RA. Methotrexate memiliki kontraindikasi dengan kehamilan dan ibu
menyusui. Selain itu, Methotrexate memiliki kontraindikasi dengan pasien penyakit
hati kronik, imunodefisiensi, kelainan darah, leukopenia, trombositopenia, dan
dengan pasien yang memiliki klirens kreatinin kurang dari 40 mL/menit.
Methotrexate bersifat teratogenik, sehingga harus dihindari pada pasian yang sedang
hamil. Selain itu, Methotrexate juga merupakan antagonis asam folat, sehingga dapat
menyebabkan defisiensi asam folat dalam tubuh. Methotrexate menghambat
produksi sitokin, menghambat biosintesis purin, dan menstimulasi pelepasan
adenosin, yang semuanya dapat sebagai antiinflamasi. Obat ini memiliki onset yang
cepat, hasilnya dapat dilihat 2- 3 minggu setelah terapi. Pemberian Methotrexate
dapat dilakukan dengan cara oral, intramuskular (i.m), atau secara subkutan (Singh,
et al 2012).
2) Leflunomide
Leflunomide merupakan DMARDs yang menghambat sintesis pirimidin,
menurunkan proliferasi limfosit dan modulasi dari inflamasi. Leflunomide diberikan
secara oral dengan dosis awal 100 mg perhari selama 3 hari, dan diikuti dosis harian

8
20 mg sehari. Leflunomide memiliki memiliki efektivitas yang sama dengan MTX.
Leflunomide dapat menyebabkan toksisitas di hari dan memiliki kontraindikasi
dengan pasien yang memiliki riwayat penyakit hati. Selain itu juga, Leflunomide
dapat menyebabkan toksisitas pada sumsum tulang dan juga bersifat teratogenik
(Singh, et al 2012).
3) Hydroxychloroquine
Farmakokinetik obat hydroxychloroquine kurang dipahami. Hydroxychloroquine
memiliki keuntungan yaitu kurangnya toksisitas myelosuppresive, hati, dan ginjal
yang mungkin terdapat pada DMARD yang lain. Hydroxychloroquine diberikan
secara oral dengan dosis awal berkisar 200-300 mg, setelah 1-2 bulan dapat
diturunkan menjadi 200 mg perhari (Singh, et al 2012).
4) Sulfasalazine
Sulfasalazine merupakan prodrug yang diubah oleh bakteri di kolon menjadi
sulfapyridine dan asam 5-aminosalisilat. Ketika sulfasalazine mencapai kolon,
bakteri-bakteri yang berada di kolon akan memutuskan hubungan antara kedua
molekul-molekul. Setelah memisah dari 5-ASA, sulfapyridine diserap kedalam
tubuh dan kemudian dikeluarkan dalam urin. Efek-efek sampingan ini termasuk
mual, rasa panas di dada (heartburn), sakit kepala, anemia, ruam kulit (skin rashes),
dan, dalam kejadian-kejadian yang jarang, hepatitis dan peradangan ginjal. Pada
pria-pria, sulfasalazine dapat mengurangi jumlah sperma. Pengurangan jumlah
sperma kembali normal setelah pemberhentian sulfasalazine atau oleh perubahan ke
suatu senyawa 5- ASA yang berbeda. Sulfasalazine digunakan dalam dosis hingga 2-
4 g / hari (Singh, et al 2012).
5) Minocycline
Minocycline merupakan obat yang diresepkan untuk pasien dengan gejala
rheumatoid arthritis ringan. Minocycline juga kadang-kadang dikombinasi dengan
obat lain untuk mengobati pasien dengan gejala persisten dari bentuk arthritis.
Minocycline mengurangi produksi zat yang menyebabkan peradangan, seperti
prostaglandin dan leukotrien, sambil meningkatkan produksi interleukin-10, suatu
zat yang mengurangi peradangan. Minocycline biasanya diberikan sebagai kapsul
(mg) 100 miligram dua kali sehari. Penggunaan Minocyline selama kehamilan dapat
memperlambat pertumbuhan gigi atau tulang pada bayi setelah lahir serta
menyebabkan perubahan warna gigi bayi yang baru lahir ketika diambil selama

9
paruh terakhir kehamilan. Minocycline dapat mengurangi efektivitas beberapa pil
KB (Singh, et al, 2012).
6) Garam Emas
Garam emas merupakan DMARD yang sekarang sedang banyak digunakan di
negara-negara maju. Bentuk sediaan yang biasa digunakan adalah injeksi dengan
dosis 50mg/minggu. Cara kerja dari obat ini belum banyak diketahui dengan pasti
(Singh, et al 2012).

c. Terapi DMARD Biologis


DMARDs biologis memberikan kontrol peradangan yang cepat dan telah
terbukti keampuhannya baik dari segi hasil klinis dan kerusakan struktural pada awal
penyakit. Terapi biologis efektif ketika obat DMARDs tidak berhasil dalam terapi RA.
Namun, DMARDs biologis lebih mahal daripada DMARDs tradisional, dan ini
membatasi penggunaannya pada awal penyakit (Gcelu and Kalla, 2011). Terapi
biologis adalah rekayasa genetika molekul protein yang memblok proinflamasi sitokin
TNF-alfa dan IL-1, mengurangi sel B perifer, atau berikatan dengan CD80/86 pada sel
T untuk mencegah co-stimulasi yang dibutuhkan untuk melengkapi aktivitas sel T.
Obat-obat penghambat sitokin TNF-alfa antara lain infliximab, etanercept, adalimumab,
penghambat IL-1 yaitu anakinra, pengurang sel B perifer yaitu rituximab dan yang
berikatan dengan CD80/86 yaitu abatecept (Singh, et al 2012).

1) Etanercept
Etanercept adalah protein fusi yang terdiri dari 2 reseptor TNF p75 terkait dengan
fragmen fc dari IgG1 manusia. Ikatan obat dengan TNF, sehingga secara biologis
membuat etanercept aktif dan mencegahnya berinteraksi dengan permukaan sel
reseptor TNF yang menyebabbkan aktivasi sel. Obat ini diberikan secara injeksi
subkutan, 50 mg sekali seminggu atau 25 mg dua kali seminggu. Pemberian
etanercept dihindari oleh pasien dengan multipel sklerosis. Banyak uji klinik telah
menggunakan etanercept pada pasien yang gagal terapinya menggunakan DMARDs
(Singh, et al 2012).
2) Infliximab
Infliximab merupakan antibodi simerik gabungan dari IgG1 tikus dan manusia.
sebuah antibodi anti-TNF yang diciptakan dengan mengekspos tikus ke TNF
manusia. Bagian yang berikatan dari antibodi tersebut digabungkan ke bagian IgG

10
kontan manusia untuk mengurangi antigenitas dari protein asing. Antibodi tersebut,
ketika diinjeksikan pada manusia, berikatan dengan TNF dan mencegah interaksi
dengan reseptor TNF pada sel inflamasi. Infliximab diberikan secara infusi intavena
dengan dosis 3 mg/kg pada 0, 2, dan 6 minggu dan kemudian setiap 8 minggu.
Untuk mencegah pembentukan antibodi karena ada protein asing, methotrexate
seharusnya diberikan secara oral pada dosis tipikal yang digunakan untuk terapi RA
sepanjang pasien menggunakan infliximab. Infliximab diindikasikan untuk psoriatrik
artritis dan ankylosing spondylitis (Singh, et al 2012).
3) Adalimumab
Adalimumab merupakan antibodi IgG1 manusia terhadap TNF. Karena tidak ada
komponen protein asing, adalimumab kurang antigenik dari pada infliximab. Obat
ini disediakan dalam bentuk injeksi 40 mg, yang diaplikasikan secara subkutan
setiap 14 hari (Singh, et al 2012).
4) Antagonis reseptor IL-1
Anakinra adalah sebuah antagonis reseptor IL-1 yang merupakan antiinflamasi yang
terjadi secara alami. Dengan berikatan pada reseptor IL-1 pada sel target dapat
mencegah interaksi antara IL-1 dengan sel. IL-1 sangat penting dalam patogenesis
RA. IL-1 menstimulasi pelepasan faktor kemotaksis dan molekul adhesi, dan
memperantarai perpindahan dari leukosit ke jaringan. Selain itu juga melepaskan
faktor yang diketahui dapat memperbesar pembuluh darah dan direct sitotoksin yang
menghasilkan kerusakan jaringan (Singh, et al 2012).
5) Abatacept
Abatacept merupakan modulator co-stimulan yang terbukti mengobati RA pada
pasien dengan untuk penyakit sedang hingga berat yang gagal mencapai respon yang
memadai dari satu atau lebih DMARD. Dengan berikatan pada reseptor CD80/CD86
di sel antigen, abatacept menghambat interaksi antara sel antigen dan sel T,
mencegah sel T mengativasi proses inflamasi, yang mana menghasilkan
pengurangan sitokin, proliferasi sel T, dan konsekuensi lainnya dari aktivasi sel T.
Abatacept adalah perpaduan protein yang digunakan pada ekstraseluler dari domain
4 dari antigen sitotoksik limfosit T ( bagian yang berikatan dengan obat) dan
fragmen dari domain fc dari modifikasi IgG manusia untuk mencegah fiksasi
komplemen. Obat ini diberikan dengan cara infus intravena berdasarkan berat pasien
( < 60 kg : 500 mg ; 60-100 kg : 750 mg ; > 100 kg ; 1000 mg) setiap 2 minggu
untuk 2 dosis setelah dosis awal dan kemudian setiap 4 minggu. Untuk pasien yang

11
gagal mencapai respon yang memadai dengan inhibitor TNF-alfa, setengahnya
memiliki respon klinis terhadap abatacept (Singh, et al 2012).
6) Rituximab
Rituximab merupakan antibodi monoklonal simerik yang terdiri dari protein utama
manusia dengan bagian antigen berikatan berasal dari antibodi tikus untuk
mendapatkan protein CD20 pada permukaan sel dari sel limfosit B dewasa. Ikatan
rituximab dengan sel B menghasilkan deplesi perifer sel B, dengan pemulihan
bertahap setelah beberapa bulan. Efek berkepanjangan pada sel B menghasilkan
durasi aksi yang memungkinkan untuk terapi intermiten yang bervariasi berdasarkan
reaksi gejala arthritis. Rituximab berguna bagi pasien yang terapinya gagal
menggunakan methotrexate atau inhibitor TNF. 2 infus 1000 mg diberikan 2 minggu
secara terpisah (Singh, et al 2012).
7) Tocilizumab
Tocilizumab  adalah yang pertama dikelas  pengobatan RA dengan menargetkan
reseptor interleukin-6 (IL-6) yang merupakan zat kimia dalam tubuh  yang
menyebabkan rasa sakit dan peradangan yang sistemik menetap yang dialami
penderita Artritis Rematoid. Tocilizumab adalah suatu antibodi yang menghambat
titik dimana IL-6 menempel pada permukaan sel. Ketika IL-6 tidak dapat menempel
pada sel, sel tidak dapat mengaktifkan sistem inflamasi pada RA. Tujuan dari terapi
dengan Tocilizumab adalah untuk mengurangi gejala dari RA, termasuk nyeri dan
bengkak. Studi lain juga menunjukkan hasil terapi dengan tocilizumab
memperlambat dan mencegah kerusakan lanjut pada sendi akibat penyakit RA.
Tocilizumab diberikan 4 mg per kg berat badan dengan cara diinjeksikan sekali
setiap 4 minggu (Singh, et al, 2012).
8) Certolizumab pegol
Certolizumab pegol direkomendasikan untuk terapi penyakit Rheumatoid arthritis
yang telah mencoba MTX dan DMARDs lainnya selama 6 bulan, serta memiliki
rheumatoid arthritis “aktif” yang parah. Certolizumab pegol memiliki struktur yang
berbeda dengan inhibitor TNF lainnya. Certolizumab pegol terdiri dari fragmen
ikatan antibodi (Fab) dari antibodi monoklonal manusia terhadap konjugasi PEG
TNF, karena itu, tidak seperti agen lainnya, tidak mengandung fragmen Ig konstan.
Dosis yang direkomendasikan untuk RA adalah 400 mg ( 2 kali injeksi 200 mg)
untuk awal dan pada minggu kedua dan keempat, diikuti dengan dosis 20 mg setiap
minggu (Singh, et al, 2012).

12
9) Golimumab
Golimumab adalah inhibitor TNF-antibodi monoklonal yang menargetkan dan
menetralkan membran yang terikat TNF-alpha. Golimumab sedang diselidiki untuk
administrasi oleh subkutan (SC) injeksi dan intravena (IV) infus. Untuk awal,
Golimumab diberikan 50 mg secara subkutan sebulan sekali (Singh, et al, 2012).

Dalam pemberian DMARD perlu dilakukan evaluasi dasar terhadap keamanannya.


Rekomendasi evaluasi dasar yang direkomendasikan oleh ACR adalah pemeriksaan darah
perifer lengkap, kreatini serum, dan transaminase hati (Suarjana, 2009). Dalam terapi
farmakologi pasien RA, terapi kombinasi memiliki nilai yang lebih superior dibanding
monoterapi. Kombinasi yang efektif dan aman digunakan berupa (Suarjana, 2009) :

1. MTX + hidroksiklorokuin,

2. MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalaxine,

3. MTX + sulfasalazine + prednisolone,

4. MTX+ leflunomid

5. MTX+ infliximab

6. MTX+ etanercept

7. MTX+ adalimumab

8. MTX+ anakinra

9. MTX+ rituximab

10. MTX+ inhibitor TNF (lebih efektif dan lebih mahal) (Suarjana, 2009).

Rekomendasi praktek klinik untuk terapi RA dengan bukti evidence paling baik
adalah penderita RA harus diterapi sedini mungkin dengan DMARD untuk mengontrol gejala
dan menghambat perburukan penyakit, NSAID diberikan dengan dosis rendah dan harus
diturunkan setelah DMARD mencapai respon yang baik, krotikosteroid diberikan dalam
dosis rendah dan pemberian dalam waktu pendek, terapi kombinasi lebih baik dibanding
dengan monoterapi (Suarjana, 2009).

13
NSAID yang diberikan pada RA digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi
nyeri dan pembengkakan. Obat ini tidak merubah perjalanan penyakit. Penggunaan NSAID
pada RA mempunyai resiko komplikasi serius yang dua kali lebih besar daripada penderita
OA. Penggunaan obat ini harus dipantau dengan ketat (Suarjana, 2009).

Penggunaan glukokortikoid kurang dari 10 mg per hari cukup efektif untuk


meredakan gejala dan dapat memperlambat kerusakan sendi. Pemberiannya harus diimbangi
dengan pemberian kalsium dan vitamin D. Pemberian secara injeksi cukup aman bila hanya
mengenai satu sendi dan RA mengakibatkan disabilitas yang bermakna (Suarjana, 2009).

Terapi non-Farmakologik Artritis Reumatoid

Terapi non-farmakologi melingkupi terapi modalitas dan terapi komplementer. Terapi


modalitas berupa diet makanan (salah satunya dengan suplementasi minyak ikan cod),
kompres panas dan dingin serta massase untuk mengurangi rasa nyeri, olahraga dan istirahat,
dan penyinaran menggunakan sinar inframerah. Terapi komplementer berupa obat-obatan
herbal, accupressure, dan relaxasi progressive (Afriyanti, 2009).

Terapi bedah dilakukan pada keadaan kronis, bila ada nyeri berat dengan kerusakan
sendi yang ekstensif, keterbatasan gerak yang bermakna, dan terjadi ruptur tendo. Metode
bedah yang digunakan berupa sinevektomi bila destruksi sendi tidak luas, bila luas dilakukan
artrodesis atu artroplasti. Pemakaian alat bantu ortopedis digunakan untuk menunjang
kehidupan sehari-hari (Sjamsuhidajat, 2010).

Terapi kombinasi dengan 2 atau lebih DMARDs mungkin efektif ketika terapi single
DMARDs tidak berhasil. Kombinasi antara siklosporine plus methotrexate dan methotrexate
plus sulfasalazine dan Hydroxychloroquine khususnya efektif. Suatu penelitian menyarankan
bahwa terapi kombinasi awal dengan salah satunya menggunakan methotrexate, sulfasalazine
plus prednisone, atau infliximab plus methotrexate merupakan kombinasi DMARDs pada
rheumatoid arthritis awal (Singh, et al 2012).

14
MTX / DMARD lain + Prednisone + NSAID selama 3 bulan

poor
respon

DMARD lain DMARD kombinasi DMARD biologi

poor
respon

DMARD triple combination (DMARD + biologi) +Prednison dosis rendah

Terapi kombinasi ini diperlukan untuk menekan lebih dari satu penyebab RA.
Kombinasi terapi yang sering digunakan adalah DMARD (MTX) dengan NSAID maupun
kortikosteroid. Dari kombinasi ini, penyebab imuologis dari RA dapat dihambat dengan
MTX, sedangkan rasa nyeri dari RA akibat peradangan dapat ditekan dengan NSAID atau
kortikosteroid. Penggunaan DMARD secara bersamaan juga merupakan alternatif apabila
single DMARD tidak berhasil. Hal ini penyebab RA tidak hanya dikarenaan satu hal saja
melainkan banyak. Penggunaan satu DMARD hanya akan menghambat sebagian penyebab
RA. Misalkan penggunaan MTX hanya akan menghambat pembentukan sitokin dan sintesis
purin, namun bila dilakukan kombinasi dengan sulfasalazine dapat menyebabkan hambatan
pada sintesis mediator inflamasi yang lebih luas (Singh, et al 2012).

Pengobatan lini kedua dari RA adalah menggunakan DMARD biologis. DMARD


biologis merupakan DMARD dengan kerja spesifik, misal menghambat interaksi TNF alfa
dengan reseptornya, menghambat aktivasi dari sel B CD20, dan lain sebagainya. Efek
farmakologis yang ditimbulkan dari DMARD biologis memang lebih baik karena kerjanya
yang sepesifik. Akan tetapi harganya yang sangat mahal membuat obat ini menjadi lini kedua
dalam pengobatan RA (Singh, et al 2012)

15
DAFTAR PUSTAKA

Afriyanti, Fajriah Nur. 2009. Tingkat Pengetahuan Lansia Tentang Penyakit Rheumatoid
Arthritis Di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung Jakarta Tahun
2009 (SKRIPSI). UIN. Jakarta.
Aleteha, D., Neogi T., Silman, A.J., et al., 2010, Rheumathoid Arthritis Classification Criteria
: An American College Of Rheumathology/European League Against Rheumatism
Collaborative Initiative. Arthritis Rheum., 2010; 62(9): 2569-2581.
Gcelu, A., and Kalla, A.A., 2011, Current Diagnosis And Treatment Strategies In
Rheumatoid Arthritis, CME, August 2011, Vol.29, No.8.
Gibofsky, 2012, Overview of Epidemiology, Pathophysiology, and Diagnosis of Rheumatoid
Arthritis, The American Journal of Managed Care, VOL. 18, No. 13, pp :295-302.
Katzung, Bertram G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC. Jakarta.
Longo, Dan L. MD., Kasper, Dennis L. MD., et al. 2012. Harrison’s Principle of Internal
Medicine ed.18 Chapter 231: Rheumatoid Arthritis. McGraw-Hill Companies, Inc. USA.
Nasution, Jani. 2011. Pola Aktivitas Pasien Rheumatoid Arthritis di Poliklinik Penyakit
Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan (SKRIPSI). USU. Medan.
Singh, J.A., et al, 2012, 2012 Update of the 2008 American College of Rheumatology
Recommendations for the Use of Disease-Modifying Antirheumatic Drugs and Biologic
Agents in the Treatment of Rheumatoid Arthritis, Arthritis Care & Research, Vol. 64,
No. 5, May 2012, pp 625–639.
Sjamsuhidajat, R, et al. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong Edisi 3. EGC.
Jakarta.
Suarjana IN. 2009. Artritis Reumatoid. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Ed 5.
Jakarta: Interna Publishing.
Sukandar, 2009, ISO Farmakoterapi, PT ISFI Penerbitan, Jakarta, pp. 659.
Symmons, Deborah., Mathers, Colin., Pfleger Bruce. 2006. The Global Burden of
Rheumatoid Arthritis In The Year 2000. Diakses melalui :
www.who.int/healthinfo/statistics/bod_rheumatoidarthritis.pdf

16

Anda mungkin juga menyukai