HUKUM ACARA PIDANA Chan
HUKUM ACARA PIDANA Chan
Disusun Oleh :
Nama : Chandra Putra Toban Paembonan
NIM : 1640050067
Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini
dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang
merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan. Tahapan-tahapan dalam proses
peradilan pidana tersebut merupakan suatu rangkaian, dimana tahap yang satu mempengaruhi
tahapan yang lain. Rangkaian dalam proses peradilan pidana di Indonesia meliputi tindakan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum. Dalam proses peradilan pidana di Indonesia yang memiliki kewenangan
melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan ada pada kepolisian, sedangkan yang memiliki
kewenangan untuk melakukan penuntutan adalah kejaksaan, sementara kewenangan mengadili
dalam pemeriksaan disidang pengadilan ada pada hakim.
Kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh hakim, kejaksaan, dan kepolisian meskipun
berbeda, tetapi pada prinsipnya merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan.
Pelaksanaan kewenangan-kewenangan dalam proses peradilan pidana yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum tersebut, hendaknya memegang kuat asas-asas yang berlaku dalam Hukum
Acara Pidana. Salah satu asas terpenting dalam hukum acara pidana ialah asas praduga tak
bersalah , berdasarkan asas praduga tak bersalah maka setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut dan/atau diperiksa di sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum
ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kehadirat Allah SWT atas berkat dan tuntunannya dalam setiap langkah
kehidupan kita semua. Dan juga syukur patut dipanjatkan kehadirat Allah SWT karena makalah
dengan judul Makalah Praktek Peradilan ini bisa disusun dan diselesaikan tepat pada waktunya
tidak lepas dari tuntunan Tuhan.
Makalah ini merupakan tugas Praktek Peradilan dan membahas mengenai Hukum Acara
Pidana dan Tahap – Tahap serta Tata Cara Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Negeri,
untuk itu besar harapan penulis bahwa makalah ini dapat berguna dalam menambah wawasan
dan pengetahuan juga untuk menjadi bahan dalam kegiatan belajar mengajar.
Kritikan dan saran yang membangun untuk penulis demi kemajuan makalah ini sangat
diharapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan digunakan dengan sebaik-baiknya.
ii
DAFTAR ISI
ABSTRAK......................................................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR..................................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................................................................iii
BAB I..............................................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................................................................1
C. Tujuan...................................................................................................................................................................1
BAB II............................................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN............................................................................................................................................................3
A. Tahapan Peradilan Indonesia.............................................................................................................................3
BAB III.........................................................................................................................................................................11
PENUTUP....................................................................................................................................................................11
A. Kesimpulan.........................................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................................................12
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Oleh sebab itu, paper ini disusun untuk memberikan wawasan kepada pembaca
untuk mengetahui seperti apa itu Hukum Acara dan tahap-tahap dan tata cara siding
perkara pidana di Pengadilan Negeri. Karena Hukum Material dalam penegakannya tidak
terlepas dari alat untuk menegakkannya, yaitu Hukum Acara, baik Hukum Pidana
maupun Hukum Perdata. Peradilan dapat berjalan dengan berpedoman pada sumber
Hukum Acara. Sebab bila tidak ada Hukum Acara, maka amburadullah peradilan itu,
karena tidak memiliki pedoman untuk menegakkan isi Hukum Materialnya.
Karena sangat banyaknya Hukum Acara di Indonesia, yang tidak mampu kami bahas
keseluruhannya. Paper ini hadir terbatas hanya membahas Hukum Acara Pidana Semoga
dengan Paper yang terbatas ini mampu untuk memberikan manfaat yang lebih kepada
pembaca.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Tahapan-tahapan peradilan Indonesia ?
2. Apa saja fase-fase dalam Peradilan Indonesia ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dan kegunaan dari Paper yang Penulis buat ini yaitu :
1. Untuk mengetahui apa sebenarnya tujuan dari adanya Hukum Acara Pidana dan hal-
hal yang ada dalam pelaksanaan Hukum Acara Pidana;
1
2. Guna menambah wawasan dan pengetahuan bagi para mahasiswa mengenai proses
pembentukan suatu Hukum Pidana dengan mengetahui lebih dalam tentang Hukum
Acara Pidana, serta beberapa permasalahannya;
3. Dapat bermanfaat dan memberikan informasi dalam tentang Hukum Acara Pidana
dan permasalahannya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
bentuk pemeriksaan ke dalam tiga fase dimana fase purna-ajudikasi dipsahkan yakni
pelaksanaan hukuman dalam lembaga pemasyarakatan.
1.1 Fase Pra-ajudikasi
Fase ini dahulu HIR disebut dengan pemeriksaan permulaan (voorronderzoek) atau
dalam KAHUP dengan penyelidikan dan/atau penyidikan. Pada fase ini, organ yang
berwenang ialah penyidik, yang terdiri dari polri dan PPNS (dengan koordinasi Polri)
dan jaksa peneliti. Khusus dalam tindak pidana korupsi jaksa juga sebagai penyidik.
Dalam KPK, penyidik dan penuntut umum berada dalam satu lembaga. Dalam fase
pra-ajudikasi hasil (produk) pemeriksaannya ialah tersedianya sebuah berita acara
pemeriksaan dari alat-alat bukti(“BAP”). BAP ialah kompilasi berita acara
keterangan-keterangan dari tindakan penyidik atas alat bukti. BAP ini disebut dahulu
dengan proses verbal yang pada dasarnya adalah merupakan bukti yang sah atas suatu
perkara pidana bahwa telah ditemukannya fakta dan kesalahan tersangka. Tapi sesuai
asas presumption of innocence pernyataan resmi telah telah ditemukannya bukti
tindak pidana dan kesalahan terdakwa secara hukum adalah merupakan kewenangan
hakim. Oleh karena itu, proses pembuktian dari “bukti dan keyakinan penyidik”
bahwa telah ditemukannya fakta dan kesalahan tersangka sebagaimana dituangkan
dalam BAP masih perlu diuji dalam sidang yang terbuka umum.
Dalam waktu 7 hari, BAP yang dianggap jaksa peniliti telah lengkap akan diminta
agar segera diserahkan pada kejaksaan. Sebaliknya, bila ternyata belum lengkap BAP
akan dikembalikan disertai petunjuk tentang hal apa yang masih harus dilakukan
penyidik untuk dilengkapi. Dalam 14 hari sejak tanggal penerimaan BAP penyidik
sudah harus menyampaikan kembali berkas perkara itu. Penyerahan ini dalam praktek
disebut penyerahan tahap satu. Kemudian, setelah penyerahan BAP ini tahap
berikutnya akan diikuti dengan penyerahan tersangka berikut barang bukti bila ada.
Tahap ini disebut dengan penyerahan tahap dua.
4
didampingi oleh advokat. Sebab KUHAP tidak menganut procecur stelling. Hakim
akan membuka pemeriksaan perkara setelah pengadilan menerima pelimpahan
perkara yang meliputi BAP, surat dakwaan dan barang bukti kalua ada dari jaksa
penuntut umum. Pelimpahan perkara dan dibukanya sidang atas perkara sidang atas
perkara tidak pada waktu yang sama tetapi setelah cukup waktu bagi hakim yang
akan memeriksa perkara mempelajari BAP dan surat dakwaan. Jadi sebelum sidang
dibuka untuk umum, secara teoritis hakim telah mempelajari perkara secara lengkap
dan rinci. Oleh karenanya, hakim ketika memeriksa suatu perkara telah mempunyai
informasi dan teoritis juga “kesimpulan” tentang fakta dan kesalahan terdakwa.
Dengan kata lain, ketentuan KUHAP, hakim memeriksa perkara pidana tidak dengan
pikiran kosong. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa bila BAP bersifat tidak
imbang antara keterangan a charge dan a de charge maka dengan sendirinya posisi
hakim tidak akan imbang pula dan obyektif terhadap terdakwa.
Dalam hukum acara pidana, terdakwa dapat memperoleh fotokopi BAP dan surat
dakwaan untuk kepentingan pembelaannya. Namun terdakwa tetap tidak mempunyai
peranan untuk masuknya keterangan yang menguntungkan (a de charge) dalam BAP
penyidik sekalipun menurut ketentuannya berhak mengajukannya. Sebab semua saksi
atau ahli, a charge dan a de charge karena tidak diatur dalam hukum secara maka
dalam praktek yang mengajukan pertanyaan dan memutuskan memasukkannya dalam
BAP adalah penyidik sendiri. Sebab BAP merupakan kompilasi dari tindakan
penyidikan terhadap alat bukti perkara sehingga dipersepsi BAP itu adalah “milik”
penyidik. Oleh karena itu tidak ada mekanisme jaminan dalam hukum acara pidana
bahwa keterangan a de charge yang dipersiapkan terdakwa dan/atau advokatnya dan
kemudian akan dimasukkan apa adanya dalam BAP. Konkritnya, ketentuan tentang
hak mengajukan keterangan a de charge mekanismenya tidak dapat berjalan sesuai
dengan ketentuannya dan hakim tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan
masalah ini.
Dalam sidang pertama, setelah surat dakwaan dibacakan terdakwa dapat
mengajukan keberatan (eksepsi) atau surat dakwaan. Eksepsi ini dapat menyangkut
aspek formil penyusunan surat dakwaan maupun meteriilnya. Sebagai akibatnya,
surat dakwaan dapat dinyatakan tidak dapat diterima karena: (i) kompetensi
5
pengadilan; (ii) aspek formil surat dakwaan seperti identitas terdakwa atau dibatalkan
(batal demi hukum) Karena uraian surat dakwaan tidak cermat, jelas dan lengkap
mengenai tindak pidana yang didakwakan. Akan tetapi, dalam prakteknya sekalipun
eksepsi ini diperkenankan tetap tidak dapat menolong posisi terdakwa dalam hukum
acara pidana untuk menjadi lebih seimbang dengan penuntut umum di hadapan
hakim. Dakwaan yang tidak cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dalam praktek sulit dibedakan dengan substansi perkara sehingga
menjadi tidak operasional dalam praktek. Sementara soal bagaimana hak mengajukan
a de charge diperlakukan dalam pembuatan BAP tidak termasuk dalam klausula ini
secara eksplisit sehingga hakim tidak dapat membatalkan surat dakwaan berdasarkan
BAP yang demikian.
Dalam keseluruhan pemeriksaan di pengadilan, hakim memimpin secara aktif
persidangan sesuai ketentuan stelsel aktif hakim dalam hukum acara pidana.
Keaktifan ini meluputi memimpin persidangan dan mengatur pertanyaan-pertanyaan
pada saksi, ahli dan terdakwa dan memutuskan semua substansi perkara. Penuntut
umum dan terdakwa dan/atau advokat (bila ada) jika bertanya tidak boleh langsung
tapi harus dengan perantaraan (seizin) hakim. Bahkan, keaktifan ini termasuk dalam
menseleksi alat bukti (saksi atau ahli) yang boleh diajukan untuk didengarkan dalam
sidang, sekalipun para pihak telah memintanya. Setelah mendengarkan dan/atau
memeriksa semua alat bukti, jaksa penuntut umum mengajukan surat tuntutan
(rekuisitor) yang dapat di tanggapi terdakwa dan/atau advokatnya dengan pembelaan
(pledoi).
6
kasasi ini disebut dengan upaya hukum biasa. Dalam KUHAP tidak ada pembatasan
perkara apa yang dapat dikasasi. Sekalipun ada beberapa kasus yang dikecualikan
untuk boleh kasasi yang diatur dalam UU tentang Mahkamah Agung yaitu antara lain
terhada: (i) putusan tentang praperadilan; (ii) perkara pidana yang diancam pidana
denda.
Pengadilan tinggi disebut juga sebagai peradilan ulangan karena akan memeriksa
ulang perkara, baik mengenai faktanya maupun mengenai ulang perkara, baik
mengenai faktanya maupun mengenai hukumnya sekaligus. Pemeriksaan perkara
pidana pada tingkat banding hanya berdasarkan berkas perkara saja, dengan
pengecualian bila diperlukan pengadilan tinggi dapat saja memeriksa langsung alat
bukti saksi, dan seterusnya. Demikian juga dalam pemeriksaan kasasi apabila
diperlukan MA dapat mendengarkan sendiri terdakwa, saksi dan penuntut umum.
Sekalipun ada materi yang berbeda sebagai dasar yurisdiksinya, namun tidak ada
ketentuan yang tegas (absolut) tentang pembedaan yuridiksinya masing-masing
pemeriksaan di tingkat banding dan kasasi. Sebab dua-duanya mungkin untuk
memeriksa fakta dan hukum sekaligus sebagaimana ditentukan KUHAP. Dengan kata
lain, konsep iudex factie dan iudex jurist yang tegas tidak tercermin dalam ketentuan
purna-ajudikasi KUHAP.
Dilihat bagaimana SPP itu dari substansinya maka secara singkat dalam bentuk
matriks dapat diuraikan sebagai berikut :
7
mendaptkan alat bukti ditambh penyidik
informasi kekayaan Dasar untuk menetapkan
Bila upaya paksa
status sebagai tersangka
ditetapkan dapat
mengajajukan Status: Tersangka Sebagai tersangka dapat
keberatan keatasan dikenakan upaya paksa
penyidik
tahanan (rutan, rumah dan
Atau mengajukan
pengalihan jenis kota) da tindakan lain
penahanan atau seperti wajib lapor
penangguhan
Sebagai dasar menyusun
penahanan
Atau mengajukan surat dakwaan
pra-peradilan
8
(Pasal 240 ayat (1) tinggi
KUHAP)
9
berlangsung hasilnya dan memutuskan
akan berupa putusan
bebas atau lepas dan
tuntutan penuntut
Umum tidak dapat
diterima atau terhadap
perkara itu diterapkan
ketentuan pidana yang
lebih ringan; apabila
dalam pelbagai
putusan terdapat
pertanyaan bahwa
sesuatu telah terbukti,
akan tetapi hal atau
keadaan sebagai dasar
dengan alasan putusan
yang dinyatakan telah
terbukti itu, ternyata
telah bertentangan satu
dengan yang lain;
apabila putusan itu
dengan jelas
memperlihatkan suatu
kekhilafan hakim atau
suatu kekeliruan yang
nyata (Pasal 263 ayat
(2) KUHAP)
Status: terdakwa
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum Acara Pidana adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur bagaimana
Negara dengan menggunakan alat - alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk
memidana atau membebaskan pidana.
Proses beracara dalam acara pidana adalah sebuah pedoman untuk mengumpulkan
data, mengolahnya, menganalisa serta mengkonstruksikannya. Proses beracara dalam
hukum pidana mencakup tiga hal, yaitu sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan
(Pasal & KUHAP), pemeriksaaan sah tidaknya suatu penghentian penyidikan atau
penuntutan (Pasal 80 KUHAP), pemeriksaan tentang permintaan ganti kerugian atau
rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya
penghentian penyidikan (Pasal 81 KUHAP).
Dapat kita lihat bahwa dalam kenyataan, sebuah hasil penyidikan dalam bentuk
berkas dari pihak kepolisian didahului dengan sebuah Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan atau SPDP. Itulah langkah pertama dari kepolisian untuk menjalankan sebuah
perkara pidana. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) adalah berkas lengkap yang
mengandung semua fakta dan bukti terkait dengan kasusnya. BAP tersebut akan
menyusul SPDP biasanya dalam waktu kurang lebih tiga minggu. Setelah diterima oleh
pihak kejaksaan, (untuk tindak pidana ringan biasanya pada tingkat kejaksaan negeri)
barulah kejaksaan dapat meneliti berkasnya dan menyatakan jika BAP nya lengkap dan
patut dilimpahkan kepada pengadilan, atau dikembalikan kepada kepolisian disertai
petunjuk-petunjuk supaya dapat diperbaiki dan diserahkan lagi.
11
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Luhut M.P. Pangaribuan, S.H., LL.M, Hukum Acara Pidana, Surat Resmi Advokat di
Pengadilan, Penerbit Papas Sinar Sinanti (Jakarta, 2017), hal. 33 - 45
12