Maksud dari prinsip ayat ini bahwa kita harus berupaya untuk tidak terjerumus
ke dalam kerusakan dan kehancuran, salah satunya adalah tindakan aborsi. Mengacu
dari prisnsip-prinsip di atas, bahwa setiap manusia mengemban amanat untuk
memelihara kehidupan dan menjaganya. Membiarkan praktek aborsi yang merajalela
adalah kejahatan kemanusiaan. Dalam Al-Qur’an sendiri amanah reproduksi menjadi
perhatian serius,
“Kami wasiatkan kepada manusia (untuk berbuat baik) kepada kedua orang
tuanya, karena ibunya telah mengandungnya dengan penuh kesusahan diatas
kesusahan dan menyusuinya selama dua tahun, bersyukurlah kepadaku dan
kedua orang tuamu, dan hanya kepadaKu lah kamu akan kembali” (QS. Al-
Luqman: 14)
dan “Kami wasiatkan pada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang
tuanya; karena ibunya telah mengandungnya dengan penuh kesusahan dan
melahirkannya dengan penuh kesakitan” (QS. Al-Ahqaf: 15) .
Ayat ini memberikan penghargaan yang tinggi terhadap amanah reproduksi,
sekaligus menyebutkan orang lain untuk berbuat baik (ihsanan) kepada sang ibu
sebagai pemegang amanat. Tentu dengan maksud agar proses reproduksi berjalan
lancar, sehat, aman dan tidak menistakan perempuan. Dalam ayat di atas pula secara
sengaja disebutkan sasaran dari wasiat ini adalah manusia (al-insana) bukan sekadar
anak kepada ibu tetapi kita semua umat-Nya. Sehingga perhatian terhadap amanah
reproduksi menjadi tanggung jawab secara kolektif, untuk bahu membahu menjaga,
mengemban dan melaksanakannya.
Untuk mengurangi aborsi karena hal-hal yang tidak diinginkan seperti jarak
anak terlalu dekat atau terlalu jauh, pemerintah menyarankan untuk menggunakan alat
kontrasepsi (KB). Dengan menggunakan alat kontrasepsi ini perempuan bisa
mengatur kehamilannya. Sebab jarak kehamilan yang terlalu dekat akan berdampak
negatif terhadap kesehatan alat reproduksi ibu begitupun jarak yang terlaly jauh.
Meski Al-Quran tidak menjelaskan secara langsung mengenai hal ini, tapi Islam
memperbolehkan KB apabila penggunaannya membawa maslahah bagi akseptor KB
(suami-istri). Dalam hal ini perlu diingat, tidak semua alat kontrasepsi cocok bagi
tubuh akseptor. Sebab itu, akseptor, terutama perempuan berhak mendapat informasi
yang benar terhadap layanan KB ini.
Sejak dini beberapa ulama terkemuka telah mengemukakan pendapatnya
secara umum tentang batasan alat-alat kontrasepsi yang dibolehkan dan yang tidak
dibolehkan, antaralain: Syaed Abi Bakr memberi patokan secara umum tentang
penggunaan berbagai alat atau cara kontrasepsi yang dibenarkan dan yang tidak dapat
dibenarkan yaitu:
“Diharamkan menggunakan suatu alat yang dapat memutuskan kehamilan dari
sumbernya. Hal ini telah disarih oleh kebanyakan ulama.”
Imam Ramli, mengemukakan pendapatnya sebagai komentar atas pendapat Ibn Hajar
sebagai berikut:
“Adapun suatu (alat) yang dapat menahan kehamilan untuk suatu masa
tertentu, tanpa memutus kehamilan dari sumbernya, hal itu tidaklah dilarang”
Dari dua pandangan di atas bila kita kompromikan maka dapat ditarik
kesimpulan, penggunaan alat kontrasepsi apapun, asal tidak menyebabkan terhentinya
kehamilan secara abadi dari sumber pokoknya (saluran/pembuluh testis bagi pria, dan
pembuluh ovorium bagi waninta) hal tersebut tidak dilarang. Maka usaha pencegahan
kehamilan yang tidak dibenarkan dalam Islam adalah melakukan kebiri. Dalam medis,
cara ini disebut dengan vasektomi pada pria atau tubektomi pada wanita dan
pengguguran kandungan yang popular dengan istilah abortus. Abortus dengan cara
apapun dilarang oleh jiwa dan semangat Islam baik dikala janin sudah bernyawa atau
belum kecuali memiliki alasan yang kuat seperti membahayakan nyawa si ibu.Lebih
lanjut Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam munasnya pada tahun 1983 tentang
kependudukan, kesehatan dan keluarga berencana memutuskan bahwa ber-KB
tidaklah dilarang, dan penggunaan berbagai alat kontrasepsi dapat dibenarkan dengan
sedikit eksepsi yaitu pemasangan/pengontroan alat kontrasepsi dalam Rahim
(AKDR/IUD) harus dipasang oleh tenaga medis/ para medis wanita, atau tenaga medis
pria, dengan syarat harus didampingi oleh suami wanita akseptor tersebut atau wanita
lain (untuk menghilangkan fitnah). Adapun dengan vasektomi atau tubektomi, tidaklah
dapat dibenarkan oleh hukum Islam, kecuali karena alasan tertentu dan sangat darurat.
Dafpus
https://media.neliti.com/media/publications/58382-ID-aborsi-dalam-perspektif-hukum-
positif-da.pdf
https://nasaruddinumar.org/islam-dan-kesehatan-masyarakat/