Anda di halaman 1dari 11

TUGAS 1 Perbankan Syariah

Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional (6 Faktor Kunci)


&
Dasar Hukum Bank Syariah dan Bank Konvensional

Disusun Oleh :

Rania Septiani

180110016

IV / MK-A Karyawan

Keuangan dan perbankan D3

Institut Bisnis dan Informatika Kesatuan Bogor

2020
Faktor Kunci Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah

1. Pola Hubungan dengan Nasabah


Pada bank konvensional, hubungan dengan nasabah biasanya sebatas kreditur dan debitur,
orang yang memberikan kredit dan yang diberi pinjaman. Sementara pada bank syariah, nasabah
adalah mitra kerja yang memiliki kedudukan setara. Ada pula lembaga khusus yang disebut
Dewan Pengawas Syariah yang memastikan transaksi-transaksi yang terjadi sudah sesuai dengan
prinsip syariat Islam.
Itulah beberapa hal yang membedakan bank syariah dengan bank konvensional. Hal khusus
yang patut dijadikan pertimbangan antara lain akad yang dipakai, kehalalan produk, sistem bagi
hasil tanpa riba, kedudukan nasabah sebagai mitra kerja, serta adanya dewan pengawas.

2. Sistem Pendapatan Usaha


Dalam kegiatan operasionalnya, baik bank syariah maupun bank konvensional, akan
sama-sama membutuhkan sejumlah keuntungan atas usaha yang dijalankan. Sejumlah biaya
harus ditutupi bank sehingga mendapatkan keuntungan adalah hal yang wajib untuk menutupi
berbagai biaya-biaya tersebut. Namun, bank syariah dan bank konvensional akan menerapkan
perhitungan yang berbeda dalam hal keuntungan bisnis usaha.
Dalam praktiknya, bank syariah tidak menerapkan sistem bunga pada layanan mereka.
Bank ini dijalankan berdasarkan syariat Islam. Penerapan bunga dilarang dan tidak terjadi dalam
bank syariah. Sebab hal tersebut dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam.
Bank syariah menggunakan sistem bagi hasil dan mendapatkan sejumlah keuntungan dari
sistem tersebut. Keuntungan inilah yang kemudian digunakan pihak bank (selaku pengelola)
untuk membiayai seluruh kegiatan operasional perbankan yang dijalankan.
Sementara dalam bank konvensional, jelas dikatakan dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 bahwa bank konvensional menjalankan usaha secara konvensional dan memberikan
keuntungan dalam jumlah tertentu dalam bentuk suku bunga bagi nasabahnya.
Suku bunga ini akan diatur berdasarkan ketentuan yang dikeluarkan pihak pemerintah
melalui lembaga keuangan dan perbankan di mana besaran suku bunga tersebut haruslah
menguntungkan pihak bank. Sebab keuntungan inilah yang juga akan digunakan untuk
menjalankan seluruh kegiatan operasional di bank konvensional.
3. Organisasi
Bank Syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, missal dalam hal
komisaris dan direksi, akan tetapi unsur yang membedakan antara bank syariah dan bank
konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas
mengawasi opersional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis hokum syariah.
Dewan Pengawas Syariah biasanya ditempatkan pada posisi setingkat dewan komisaris pada
setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektifitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan
Pengawas Syariah. Kerena itu, biasanya penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan
oleh rapat umum pemegang saham, setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah itu mendapat
rekomendasi dari dewan syariah nasional

4. Penyaluran Dana
Kegiatan penyaluran dana pada bank konvensional berbentuk kredit dengan sistem bunga,
sedangkan pada bank syariah berbentuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, dengan
menggunakan prinsip-prinsip yaitu :
(1) Prinsip Bagi Hasil, menggunakan nisbah bagi hasil,
(2) Prinsip Jual Beli, menggunakan margin keuntungan,
(3) Prinsip Sewa, memperoleh biaya sewa,
(4) Prinsip Jasa, Al – Qardh, bank memperoleh biaya administrasi.
Bank syariah tidak mengggunakan sistem bunga, dikarenakan bunga termasuk riba yang
hukumnya haram menurut Hukum Islam. Beberapa ketentuan tentang batas maksimum
pemberian kredit, prosedur penyaluran dana pada bank konvensional dan pads bank syariah
diterapkan sama, tetapi pads bank syariah harus didasarkan pada nilai – nilai Islam. b. Perjanjian
kredit dan akad pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, dari segi pengertian, perjanjian dan
akad keduanya memiliki persamaan. Perbedaannya : pada istilah yang digunakan, dan pada
Akad, perikatan tersebut harus dibenarkan secara syara' (Hukum Islam), akad tidak hanya
sekadar kontrak antara dua pihak yang bertransaksi, namun ada keterkaitan dengan ketentuan
Hukum Islam, sehingga memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi. Keabsahan perjanjian kredit
dan akad pembiayaan berdasarkan prinsip syariah berbeda acuannya, perjanjian kredit mengacu
pada pasal 1320 BW, sedangkan pada akad pembiayaan pada bank syariah mengacu pada rukun
dan syarat akad, yang berbeda untuk masing-masing jenis pembiayaan. Asas-asas dalam
perjanjian kredit di bank konvensional maupun pada akad pembiayaan di bank syariah pada
prinsipnya memiliki persamaan : menganut asas-asas perjanjian biasa dalam BW dan asas – asas
khusus dalam hubungan antara bank dengan nasabah, tetapi perbedaannya : untuk akad
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah tidak boleh bertentangan dengan asas perikatan Islam.
Pada dasarnya lembaga – lembaga jaminan yang dipergunakan pada bank konvensional,
dipergunakan juga pada bank syariah, yaitu lembaga jaminan gadai, hipotik, hak tanggungan,
serta fidusia.

5. Resiko Dalam Usaha


Resiko yang dihadapi bank dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar yaitu (1)
Resiko yang bersifat sistemik (Systemic Risk), yakni resiko yang diakibatkan oleh adanya
kondisi atau situasi tertentu yang bersifat makro seperti perubahan situasi politik, perubahan
kebijakan ekonomi pemerintah, perubahan kondisi dan situasi pasar, situasi krisis atau resesi
yang akan berpengaruh terhadap kondisi perekonomian secara umum. Dan (2) Risiko yang tidak
sistemik (Unsystemic Risk) yaitu resiko unik yang inheren atau melekat pada perusahaan atau
industri.

Jenis-jenis Resiko Perbankan sebagai berikut :

1)      Resiko Kredit (Credit Risk)


Resiko kredit muncul jika bank tidak bisa memperoleh kembali  cicilan pokok dan atau
bunga dari pinjaman yang diberikannya atau investasi yang sedang dilakukannya. Hal ini terjadi
sebagai akibat terlalu mudahnya bank memberikan pinjaman atau melakukan investasi karena
dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditasnya sehingga penilaian kredit menjadi kurang
cermat dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan resiko untuk usaha yang dibiayainya.
Resiko menjadi semakin terlihat manakala perekonomian mengalami krisis atau resesi.
Kelesuan ekonomi akan berdampak langsung pada menurunnya omzet penjualan perusahaan,
sehingga perusahaan akan mengalami kesulitan untuk dapat memenuhi kewajiban membayar
utang-utangnya. Demikian pula jika terjadi kenaikan tingkat bunga.
Kerugian bagi bank semakin bertambah apabila ternyata jaminan bagi pemberian kredit tidaklah
memadai atau meng-cover pinjaman yang diberikan. Bank akan mengalami kesulitan yang berat
jika ia terbelit dengan masalah kredit macet yang terlampau besar.
Bagi bank konvensional yang menyandarkan kegiatan usaha utamanya pada pemberian
kredit, kemampuan meminimalisasi resiko kredit ini menjadi fokus utama sebab hal ini terkait
langsung dengan kemampuannya untuk menghasilkan laba.
Dan bagi bank syariah, dimana kegiatan usaha penyaluran kredit digantikan dengan
kegiatan jual beli, sewa, investasi dan partnership, manajemen resiko pembiayaan akan memiliki
karakteristik yang unik, misalnya;
a.       Untuk transaksi Murabahah, bank syariah menghadapi resiko tidak dipenuhinya
pembayaran yang telah diperjanjikan secara tepat waktu sementara bank telah melakukan
penyerahan barang.
b.      Untuk Ba’i al Salam dan Istisna, bank menghadapi resiko kegagalan menyediakan
barang dengan kualitas dan spesifikasi sesuai pesananan atau gagal menyediakan barang
tepat pada waktu yang telah disepakati.
c.       Untuk Ijarah, bank menghadapi resiko rusaknya barang yang disewakan atau untuk
kasus tenaga kerja yang disewa bank kemudian disewakan kepada nasabah, timbul resiko
tidak perform-nya pemberi jasa.
d.      Untuk Mudharabah, bank sebagai Shahibul Mal mengahadapi resiko ketidak jujuran
mudharib. Karakteristik dari Mudharabah adalah bahwa bank tidak dimungkinkan untuk
terlibat dalam manajemen usaha Mudharib, yang mengakibatkan bank memiliki kesulitan
tersendiri dalam assesment maupun kontrol terhadap pembiayaan yang diberikan.

2)      Resiko Pasar (Market Risk)


Resiko pasar adalah resiko kerugian yang dapat dialami bank melalui portofolio yang
dimilikinya sebagai akibat pergerakan variabel pasar (adverse movement) yang tidak
menguntungkan. Variabel pasar yang dimaksud adalah suku bunga (interest rate) dan nilai tukar
(foreign exchange rate).
Meskipun bank syariah tidak berurusan dengan tingkat suku bunga, namun bagi
Indonesia yang menerapkan dual banking system resiko ini akan berpengaruh secara tidak
langsung yaitu pada pricing, mengingat nasabah yang dijangkau oleh bank syariah bukan saja
nasabah-nasabah yang loyal secara penuh terhadap syariah, tetapi juga nasabah-nasabah yang
akan menempatkan dananya ke tempat-tempat yang akan memberikan keuntungan maksimal
baginya tanpa memperhitungkan halal atau haramnya.
Resiko nilai tukar terjadi pada portofolio valuta asing yang dimiliki bank. Apabila bank
berada pada posisi beli (long position) melemahnya nilai tukar mata uang lokal terhadap mata
uang asing akan mengakibatkan kerugian bagi bank. Sebaliknya jika bank berada pada posisi jual
(short position) menguatnya nilai tukar mata uang lokal terhadap mata uang asing akan
mengakibatkan kerugian bagi bank.

3)      Resiko Likuiditas (Liquidity Risk)


Likuiditas secara umum dapat didefinisikan sebagai kemampuan bank untuk dapat
memenuhi kebutuhan dana (cash flow) dengan segera. Nasabah menempatkan dananya di bank
dalam jangka pendek (maksimum pada deposito berjangka waktu 24 bulan), sementara kredit
atau pembiayaan umumnya adalah dengan jangka waktu yang lebih panjang. Bank dituntut untuk
dapat menyediakan kecukupan dana bagi kebutuhan transaksi nasabah deposan.
Ketidakmampuan bank dalam memenuhi kebutuhan likuiditas ini bahkan bisa mengakibatkan
bank mengalami kebangkrutan.
Resiko likuiditas muncul manakala bank tidak mampu memenuhi kebutuhan dana (cash
flow) dengan segera untuk memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari maupun guna memenuhi
dana yang mendesak.
Bagi bank syariah, resiko likuiditas ini memiliki kesulitan tersendiri. Tidak seperti pada
bank konvensional dimana kesulitan likuiditas ini dapat diatasi dengan pinjaman pasar uang
antarbank (interbank call money market) dengan imbalan bunga. Meskipun keadaan ini di
Indonesia telah dapat diatasi melalui pembentukan Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip
Syariah (PUAS) pada tahun 2000 melalui instrumen Investasi Mudharabah Antarbank (IMA)
namun dengan anggota dan volume yang relatif masih terbatas.
4)      Resiko Operasional (Operational Risk)
Resiko operasional adalah resiko akibat kurangnya (deficiencies) sistem informasi atau
sistem pengawasan internal yang akan menghasilkan kerugian yang tidak diharapkan. Resiko ini
mencakup kesalahan manusia (human error), kegagalan sistem, dan ketidakcukupan prosedur
dan kontrol yang akan berpengaruh pada opersional bank.
Resiko operasional ini merupakan kesatuan sistem dari komponen-komponen operasional
yaitu; sistem informasi, pengawasan internal, kesalahan manusia (human error), kegagalan
sistem dan ketidak cukupan prosedur dan kontrol. Keseluruhan komponen tersebut haruslah
mendapat perhatian guna menjamin keberlangsungan dan kesinambungan operasional bank.

5)      Resiko Hukum (Legal Risk)


Resiko hukum adalah terkait dengan resiko bank yang menanggung kerugian sebagai
akibat adanya tuntutan hukum, kelemahan dalam aspek legal atau yuridis. Kelemahan ini
diakibatkan antara lain oleh ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau
kelemahan perikatan seperti tidak terpenuhinya syarat-syarat syahnya kontrak dan pengikatan
agunan yang tidak sempurna.

6)      Resiko Reputasi (Reputation Risk)


Resiko reputasi adalah resiko yang timbul akibat adanya publikasi negatif yang terkait
dengan kegiatan usaha bank atau karena adanya persepsi negatif terhadap bank. Hal-hal yang
sangat berpengaruh pada reputasi bank antara lain adalah; manajemen, pelayanan, ketaatan pada
aturan, kompetensi, fraud dan sebagainya.

7)      Resiko Strategis (Strategic Risk)


Resiko strategis timbul karena adanya penetapan dan pelaksanaan strategi usaha bank
yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank
terhadap perubahan-perubahan eksternal. Indikasi dari resiko strategis ini dapat dilihat dari
kegagalan bank dalam mencapai target bisnis yang telah ditetapkan.
8)      Resiko Kepatuhan (Compliance Risk)
Resiko kepatuhan timbul sebagai akibat tidak dipatuhinya atau tidak dilaksanakannya
peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang berlaku atau yang telah ditetapkan baik
ketentuan internal maupun eksternal.
Ketentuan internal berkaitan dengan aturan-aturan tertentu yang merupakan kebijakan
yang ditetapkan manajemen, sedangkan ketentuan eksternal adalah ketentuan yang ditetapkan
Pemerintah, Otoritas Moneter (Bank Indonesia) dan Dewan Syariah Nasional MUI.
Kajian Bank Indonesia (2003) menyimpulkan disamping risiko perbankan secara umum
perbankan syariah memiliki keunikan dalam hal
         Potensi adanya risiko investasi (income risk/equity investment risk)
         Risiko likuiditas yang spesifik terkait dengan perbedaan return (rate of return risk)
         Market risk yang spesifik dari perubahan harga persediaan
         Legal risk yang spesifik terkait dengan transaksi menggunakan prinsip syariah
         Risiko reputasi yang dikaitkan juga dengan pemenuhan prinsip syariah dalam
operasional bank

6. Resiko Investasi

Risiko investasi berpotensi muncul saat bank menyalurkan pembiayaan berbasis bagi
hahasil debitur. Jadi risiko investasi disini bukan mengarah pada risiko akibat investasi bank
pada asset keuangan. Di mana risiko terakhir ini dimasukkan dalam cakupan risiko pasar.
Risiko investasi adalah risiko unik yang dihadapi bank islam. Bank konvensional tidak
menghadapi risiko ini karena tidak menyalurkan pembiayaan berbasis akad bagi hasil. Pada bank
islam, pembiayaan bagi hasil dapat dilakukan dalam bentuk akad mudharabah, musyarakah,
musaqah, muzara’ah, mukharabah, dan sebagainya.
Sementara itu, musyarakah dan mudharabah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau
lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu yang diperbolehkan secara syariah. Sebagaimana
akad syirkah lainnya, keuntungan yang dihasilkan oleh pengelolaan usaha bersama tersebut
dibagi berdasarkan nisbah bagi hasil yang sudah disepakati, sementara kerugian yang terjadi
dibagi berdasarkan proporsi modal yang disetorkan.
Musaqah adalah bentuk akad syirkah yang biasanya dilakukan pada bidang pertanian dan/
atau perkebunan. Musaqah dapat diartikan sebagai kerja sama antara pemilik lahan dengan
penggarap lahan di mana pembagian hasil di antara mereka didasarkan pada kesepakatan yang
dilakukan diawal akad.
Muzaraah dan Mukhrabah adalah kerjasama antara pemilik lahan dengan penggarap untuk
bersama-sama memanfaatkan suatu lahan. Dalam muzara’ah, modal untuk menggarap lahan
berasal dari pemilik lahan ( mirip seperti mudharabah karena tanah dan modal berasal dari
pemilik lahan ), sementara dalam mukhrabah, modal untuk menggarap lahan berasal dari
penggarap ( mirip seperti akad musyarakah karena setiap pihak yang berakad saling
mengontribusikan modalnya.
Dalam berbagai pembiayaan berbasis bagi hasil tersebut, bank islam sebagai investor ikut
menanggung risiko atas kerugian pengusaha yang dibiayainya tersebut. Artinya, bila debitur
mengalami kesulitan usaha atau bahkan kebangkrutan yang bukan   disebabkan oleh
kelalaiannya, maka pokok pembiayaan yang diberikan bank tidak bisa diperoleh kembali.
Dasar Hukum Bank Konvensional dan Bank Syariah

1. Beda bank syariah dan konvensional dari sumber hukum


Sesuai namanya, segala transaksi yang berlaku pada bank syariah menggunakan dasar
sesuai dengan syariat Islam bersumber dari Al-Qur’an, Hadist, dan fatwa ulama (MUI).
Sedangkan pada bank konvensional, semua transaksi berdasarkan hukum perdana dan pidata
yang berlaku di Indonesia.

2. Akad yang digunakan berbeda


Ada beberapa akad yang digunakan dalam bank syariah, yaitu wadiah (akad penitipan
barang/uang), mudharabah (akad kerjasama penyedia dana dan pengelola dana), musyarakah
(akad kerjasama usaha dengan porsi dana masing-masing), murabahah (akad pembiayaan barang
dan pembeli membayar lebih sesuai dengan yang telah disepakati), dan lain sebagainya. Adapun
pada bank konvensional, tercipta akad (perjanjian) berdasarkan hukum positif sesuai dengan
yang sudah dijelaskan pada poin satu.

3. Perbedaan pada cara memperoleh keuntungan


Perlu diketahui, keduanya baik bank syariah maupun konvensional merupakan lembaga
bisnis yang sama-sama mencari keuntungan. Maka dari itu, bank syariah bukan berarti lembaga
sosial atau organisasi amal yang dibentuk tanpa mengharap profit sepeserpun.
Beda bank syariah dan konvensional terletak pada bagaimana cara mendapatkan keuntungannya
masing-masing. Bank syariah menerapkan sistem bagi hasil dan melarang pemberlakuan riba
karena diharamkan dalam islam. Berbeda dengan bank konvensional yang masih mempraktikkan
sistem bunga untuk mendapatkan keuntungan.

4. Sifat cicilan keduanya juga berbeda


Cicilan pada bank syariah bersifat tetap, jelas, dan transparan karena sesuai dengan akad
yang telah disepakati pada awal perjanjian antara pihak nasabah dan pihak bank. Adapun cicilan
pada bank konvensional seringkali hanya berlaku dalam periode tertentu yang mana akan
mengalami fluktuasi ke depannya dan seringkali lebih menguntungkan pihak bank ketimbang
nasabah.

5. Perbedaan lembaga pengawas yang berwenang


Keduanya tetap diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia. Namun
perbedaannya terletak pada adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS).

6. Berbeda dari sisi hubungan bank dengan nasabah


Bank syariah menganggap hubungan dengan nasabah layaknya mitra atau rekan kerja
dimana hubungan timbal balik yang terjadi saling menguntungkan satu sama lain. Sedangkan
bank konvensional membangun hubungan dengan nasabah seperti debitur dan kreditur atau
hubungan emosional lainnya untuk menarik perhatian dan kesetiaan nasabah.

7. Terakhir, cara menyelesaikan sengketa pun berbeda


Jika terjadi sengketa dengan nasabah, bank syariah akan menyelesaikan permasalahan
melalui musyawarah terlebih dahulu, baru kemudian melalui pengadilan agama jika belum
mencapai musyawarah mufakat. Berbeda dengan bank konvensional, sengketa akan langsung
diselesaikan melalui jalur hukum pengadilan negeri.

Anda mungkin juga menyukai