Adapun industri pasar modal pertama kali muncul di Indonesia pada masa penjajahan. Pada akhir tahun 1799, VOC dilikuidasi dan sejak 1 Januari 1800, wilayah Indonesia resmi menjadi jajahan bangsa Belanda. Setelah VOC dilikuidasi, tidak ada lagi hak monopoli dagang yang diberikan oleh Raja Belanda. Hal tersebut mendorong banyak pengusaha Eropa, khususnya Belanda, membangun bisnis di Indonesia. Pada awal abad ke-19, industri perkebunan, khususnya sawit dan karet, mulai berkembang di negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Ada indikasi bahwa banyak perusahaan di industri perkebunan membutuhkan pembiayaan untuk mengembangkan bisnisnya di Indonesia dengan menjual surat berharga, yaitu obligasi dan saham di Bursa Efek Amsterdam.
Kemudian, ketika transaksi efek semakin berkembang dan
aktif, Amsterdamse Effectenbueurs membuka cabang di Batavia pada 14 Desember 1912. Kantor yang menjadi cikal bakal Bursa Efek Batavia ini merupakan cabang ke-4 di Asia setelah Mumbai, Hong Kong, dan Tokyo. Transaksi saham di bursa tersebut pun mulai dilakukan pada hari yang sama dengan pembukaannya.
Penduduk kota lain tertarik melihat perdagangan di Bursa Efek Batavia
yang terus berkembang dan meningkat pesat selama 10 tahun sejak beroperasi. Karenanya, pemerintah kolonial mendirikan bursa di Surabaya pada 11 Januari 1925, dan di Semarang pada 1 Agustus 1925. Beberapa anggota Bursa Efek Batavia juga menjadi anggota Bursa Efek Surabaya dan Bursa Efek Semarang.
Pasar Modal Indonesia Periode 1950-1987
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Republik Indonesia menerbitkan obligasi bernama Obligasi Pinjaman Darurat pada 1950. Tujuan penerbitan obligasi tersebut adalah menggantikan mata uang terbitan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang ditarik secara paksa, guna mencapai penyeragaman mata uang. Perdagangan obligasi tersebut cukup menggembirakan dengan kurs sekitar 40-50%, dan bertahan dalam waktu cukup lama (Oe Beng To, 1991).
Setelah itu, perdagangan saham terus berkembang. Pada awalnya, saham
dalam mata uang Rupiah kemudian saham berdenominasi NLG dan sertifikat saham dalam Dolar Amerika Serikat. Pada umumnya, banyak investor merupakan perusahaan maupun individu dari Belanda. Semua anggota bursa diizinkan melakukan transaksi arbitrase ke luar negeri, khususnya dengan Belanda.
Pasar Modal Setelah Deregulasi dan Debirokratisasi
Selama periode 1977-1987, perkembangan pasar modal berjalan sangat lambat di Indonesia. Hal tersebut disebabkan oleh:
1. Prosedur penerbitan efek (obligasi atau saham) yang sangat ketat;
2. Pelaku pasar menilai insentif pemerintah untuk perusahaan yang go public kurang memadai; dan 3. Masyarakat Indonesia cenderung lebih suka menyimpan kelebihan uangnya di bank atau membeli aset fisik, seperti properti, emas, atau binatang ternak.
Guna mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah mengeluarkan
serangkaian kebijakan guna menggairahkan pasar modal, seperti:
Paket Desember 1987: pemerintah membolehkan pemodal asing
membeli saham dengan batasan 49% dan menyederhanakan proses go public; Paket Oktober 1988: pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi untuk sektor perbankan guna mempengaruhi perkembangan pasar modal; dan Paket Desember 1988: pemerintah memberikan dukungan lebih lanjut kepada pasar modal dengan memberikan peluang bagi sektor swasta untuk mengembangkan bursa efek.
Ketiga kebijakan tersebut kemudian terbukti menjadi basis bagi
perkembangan pasar modal berikutnya. Pada 16 Juni 1989, Bursa Efek Surabaya berdiri dan dikelola oleh Perseroan Terbatas milik swasta, yaitu PT Bursa Efek Surabaya. Melalui Paket Desember 1990, pemerintah kemudian menetapkan Bapepam yang berfungsi sebagai lembaga pengawas pasar modal. Pada 1995, Bursa Paralel Indonesia merger dengan Bursa Efek Surabaya, dan pada 2007, Bursa Efek Surabaya merger dengan Bursa Efek Jakarta, kemudian berganti nama menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI).