Anda di halaman 1dari 44

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Elemen Hingga


Weaver, W., dkk (1993) menjelaskan bahwa bila suatu kontinum dibagi-bagi
menjadi beberapa bagian yang lebih kecil, maka bagian-bagian kecil ini disebut
elemen hingga. Dinamakan elemen hingga karena ukuran elemen kecil ini berhingga.
Pendekatan dengan elemen hingga merupakan suatu analisis pendekatan yang
berdasarkan asumsi peralihan atau asumsi tegangan, bahkan dapat juga berdasarkan
kombinasi dari kedua asumsi tadi dalam setiap elemennya. Karena pendekatan
berdasarkan fungsi peralihan merupakan teknik yang sering sekali dipakai, maka
langkah-langkah berikut ini dapat digunakan sebagai pedoman bila menggunakan
pendekatan berdasarkan asumsi tersebut, antara lain:
a. Bagilah kontinum menjadi sejumlah elemen (subregion) yang berhingga
dengan bentuk geometri yang sederhana (segitiga, segiempat, dan
sebagainya);
b. Pilihlah titik-titik pada elemen yang diperlakukan sebagai titik nodal di mana
syarat keseimbangan dan kompabilitas harus dipenuhi;
c. Asumsikan fungsi peralihan pada setiap elemen sedemikian rupa sehingga
peralihan pada setiap titik sembarang dipengaruhi oleh nilai titik nodalnya;
d. Pada setiap elemen khusus yang dipilih tadi, harus dipenuhi persyaratan
hubungan regangan-tegangannya dan hubungan tegangan regangannya;
e. Tentukan kekakuan dan beban titik modal ekuivalen untuk setiap elemen
dengan menggunakan prinsip usaha atau prinsip energy;
f. Turunkan persamaan keseimbangan untuk setiap titik nodal dari diskretisasi
kontinum ini sesuai dengan kontribusi elemennya;
g. Selesaikan persamaan keseimbangan ini untuk mencari peralihan titik nodal;
h. Hitunglah tegangan pada titik-titik tertentu dalam elemen tadi;
i. Tentukan reaksi perletakan pada titik nodal yang tertahan bila diperlukan.

2.2 Analisa Dinamis pada Struktur


2.2.1 Pengertian Dinamika Struktur
Dinamik merupakan suatu keadaan dimana perubahan pada sebuah elemen
terjadi terhadap waktu dalam konteks gaya yang bekerja pada struktur tersebut.
Beban dinamis dapat berupa variasi besarnya (magnitude), arahnya (direction) atau
5
6

posisinya (point of application) berubah terhadap waktu. Sehingga respon struktur


terhadap beban dinamik berupa lendutan dan tegangan yang bersifat dinamik
menurut beban yang dialaminya [Budio, S. P., 1990].
Adapun perbedaan beban statis dan dinamis terletak pada sumber bebannya
dimana lendutan dan tegangan internal dalam kasus beban statis ditimbulkan
langsung oleh beban P, sedangkan untuk kasus beban dinamis, percepatan yang
dialami oleh sebuah elemen akibat P(t) menimbulkan gaya inersia yang terdistribusi
pada seluruh elemen. Apabila pengaruh gaya inersia pada elemen terjadi sangat
signifikan maka perlu dilakukan analisa dinamis. Adapun perbedaan perlakuan beban
statis dan beban dinamis pada sebuah elemen balok dapat dilihat pada gambar di
bawah ini.

2.2.2 Analisa Dinamis pada Struktur


Menurut Budio, S. P. (1990) dalam buku “Dinamika” menjelaskan bahwa
langkah-langkah dalam analisa dinamis adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1 Langkah-langkah dalam Analisa Struktur


(Sumber: Dinamika, Budio, S.P., 1990)

Dari bagan alir di atas, dapat dilihat bahwa model analitis terdiri dari:
a. Asumsi-asumsi yang dibuat untuk menyederhanakan sebuah sistem;
b. Gambar dari model analitis tersebut;
c. Parameter desain yang digunakan.
7

Untuk model analitis dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:


a. Model berkesinambungan (Continues Model);
b. Model diskrit (Discrete-ParameterModel).
Pada dasarnya, model berkesinambungan (continues model) memiliki jumlah
derajat kebebasan [numberof Degree of Freedom (DOF)] yang tak terhingga. Namun
pada kenyataanya, untuk mempermudah analisa, sebuah model matematis dapat
mereduksi jumlah yang tak terthingga tersebut menjadi jumlah yang diskrit.

Gambar 2.2 Model Analitis Berkesinambungan (Continue) dan


Diskrit (Discrete-Parameter) pada Sebuah Balok Kantilever
(Sumber: Dinamika, Budio, S.P., 1990)

2.2.3 Getaran Bebas Sistem Single Degree of Freedom (SDOF)


Menurut Budio, S.P. (1990), pada umumnya, sistem dalam keadaan
berderajat kebebasan satu (Single Degree of Freedom) yang dipengaruhi oleh sebuah
beban harmonis dan memiliki redaman, dinyatakan dalam persamaan berikut:

(2.1)

Dimana
m = massa (ton)
c = redaman (kN s/m)
= percepatan (m/s2)
k = kekakuan (kN/m)
8

= kecepatan (m/s) = perpindahan (m)

P(t) merupakan gaya yang ditimbulkan oleh beban harmonik yang


digambarkan dalam grafik sinus ataupun kosinus dengan persamaan sebagai berikut:

(2.2)

Dimana

= frekuensi sudut dari beban (rad/s)

t = waktu (s)
P0 = amplitudo dari beban (ton)
Anil K.Chopra dalam buku Dynamics of Structures menjelaskan waktu yang
diperlukan untuk sebuah sistem tak teredam untuk menyelesaikan satu putaran dalam
getaran bebas disebut periode alamiah getaran dari sistem, dimana dinyatakan dalam

notasi Tn, dalam satuan detik. Ini berhubungan dengan frekuensi alamiah getaran,

n ,dalam satuan radian per detik:

(2.3)

Sebuah sistem menjalankan 1/Tn putaran dalam 1 detik. Frekuensi alamiah


dinyatakan sebagai:

(2.4)

Satuan dari fn adalah hertz (Hz) [putaran per detik (cps)]; fn berhubungan dengan n

melalui

(2.5)

Dimana

= periode alamiah getaran (s)

= frekuensi alamiah getaran (Hz)


9

= frekuensi alamiah getaran (rad/s)

Istilah frekuensi alamiah getaran berlaku untuk kedua n dan fn.

Properti getaran alamiah n , Tn and fn hanya tergantung pada massa dan

kekakuan dari struktur. Semakin kaku dua sistem SDF (Single Degree of Freedom)
yang memiliki massa yang sama akan memiliki frekuensi alamiah yang tinggi dan
periode natural yang lebih pendek. Sama halnya ketika semakin berat dua struktur
yang memiliki kekakuan yang sama akan memiliki frekuensi alamiah yang lebih
kecil dan periode alamiah yang lebih panjang.
2.2.4 Respon Getaran Genetor
Sumber getaran sebuah mesin pada umumnya berasal dari rotor dalam mesin
tersebut yang bergerak dengan kecepatan rotasi tertentu. Dalam buku Dynamics of
Structures, Anil K. Chopra menjelaskan mengenai respon getaran dari generator
yang berputar. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
Generator getaran (atau mesin gemetar) dikembangkan untuk menyediakan
sumber harmonik eksitasi yang tepat untuk menguji struktur dalam skala penuh.
Gambar 2.3 menunjukkan generator getaran yang berbentuk dua keranjang datar
berputar berlawanan arah pada sumbu vertikal.

Gambar 2.3 Counterrotating Eccentric Weight Vibration Generator


(Sumber: Dynamics of Structures, Anil K. Chopra)
10

Dengan menempatkan berbagai jumlah berat dalam keranjang, besaran bobot

berputar dapat diubah. Kedua massa kontra berputar, , /2, ditunjukkan secara

skematis pada Gambar. 2.4 sebagai massa disamakan dengan eksentrisitas = e; lokasi
mereka di t = 0 ditunjukkan pada (a) dan pada beberapa waktu t dalam (b). Gaya
inersia massa yang berputar dalam komponen x ditiadakan, dan komponen y
bergabung untuk menghasilkan kekuatan.

(2.6)

Dimana:
P(t) = Gaya Harmonik (ton)

= Massa Rotor (ton)

e = nilai eksentrisitas rotor

= frekuensi sudut dari beban (rad/s)

t = waktu pembebanan (s)


Dengan meletakkan generator getaran pada struktur yang akan dianalisa, gaya
ini dapat disalurkan ke struktur, amplitudo gaya harmonik ini sebanding dengan
kuadrat dari ω frekuensi eksitasi. Oleh karena itu, sulit untuk menghasilkan kekuatan
pada frekuensi rendah dan tidak praktis untuk mendapatkan respon statis struktur.

Dengan asumsi bahwa massa eksentrik kecil dibandingkan dengan m

massa struktur, persamaan yang mengatur gerak sistem SDF yang timbul oleh
generator getaran adalah

(2.7)

Gambar 2.4 Rotor Genetar Bergetar: (a) Posisi Awal;


11

(b) Posisi dan Gaya pada waktu t


(Sumber: Dynamics of Strutures, Anil K. Chopra)

2.2.5 Transmibilitas Gaya (TR)


Oleh karena adanya gaya dinamik yang ditimbulkan oleh mesin bergetar,
upaya pengurangan getaran pada mesin tersebut sangatlah penting. Upaya
pengurangan getaran pada mesin (Po) biasanya dilakukan dengan memasang spring
peredam pada mesin sehingga amplitudo yang tersalurkan kepada struktur (fto) dapat
terminimalisir. Adapun persamaan transmibilitas gaya dijelaskan oleh Anil K.
Chopra sebagai berikut:

(2.8)

Dimana:
TR = nilai transmibilitas
= rasio redaman mesin
= Gaya yang tersalurkan ke
= frekuensi getaran mesin
dalam struktur (ton)
(rad/s)
= Gaya getaran dari mesin = frekuensi alamiah redaman

(rad/s)
(ton)
2.2.6 Respon Beban Dinamik dengan Metode Numerik Berdasarkan
Interpolasi Eksitasi (Methods Based on Interpolation of Excitation)
Sudah ada beberapa metode numerik yang telah digunakan untuk
menyelesaikan persamaan getaran bebas pada sebuah sistem seperti Time-Stepping
Methods, Methods Based on Interpolation of Excitation, Central Difference Method
dan Newmark’s Method. Dalam penelitian ini, penyelesaian persamaan getaran bebas
menggunakan ketiga metode numerik tersebut sebagai angka pembanding. Adapun
Methods Based on Interpolation of Excitation ini dijelaskan oleh Anil K. Chopra
dalam buku Dynamics of Structures sebagai berikut:
Sebuah prosedur numerik yang sangat efisien dapat dikembangkan untuk
sistem linear dengan interpolasi eksitasi dalam setiap interval waktu dan
mengembangkan solusi yang tepat. Jika interval waktu yang singkat, interpolasi
12

linear dapat memuaskan. Gambar di bawah ini menunjukkan bahwa dari waktu ke
waktu interval ti ≤ t ≤ ti+1, fungsi eksitasi diberikan oleh

(a)

dimana

(b)

dan waktu variabel τ bervariasi dari 0 sampai Δti. Untuk kesederhanaan aljabar,
pertama mempertimbangkan sistem tanpa redaman; kemudian, prosedur akan
diperluas untuk mencakup redaman. Persamaan yang harus dipecahkan adalah

(c)

Gambar 2.5 Notasi untuk Linear Interpolasi Eksitasi


(Sumber: Dynamics of Strutures, Anil K. Chopra)
Tanggapan u (τ) selama interval waktu 0 ≤ τ ≤ Δti adalah jumlah dari tiga

bagian: (1) getaran bebas karena ui awal perpindahan dan kecepatan di τ = 0, (2)

respon terhadap langkah kekuatan pi dengan kondisi awal nol, dan (3) respon untuk
meningkatkan kekuatan (Δpi / Δti) τ dengan kondisi awal nol. Mengadaptasi solusi
yang tersedia untuk tiga kasus, memberikan

(2.9)

dan
13

(2.10)

Menganalisa persamaan ini pada = Δti memberikan perpindahan ui+1 dan

kecepatan pada waktu i+1:

(2.11)

(2.12)
Persamaan ini dapat ditulis sebagai persamaan pengulangan:

(2.13)

(2.14)

dimana
14

Dengan:

= kecepatan (m/s) = selisih waktu (s)

= perpindahan (m) = kekakuan struktur (kN/m)

= beban harmonik (ton) = frekuensi alamiah struktur

(rad/s)
= rasio redaman struktur

Mengulangi derivasi di atas untuk sistem teredam di bawah-kritis (yaitu, ζ <1)


menunjukkan bahwa persamaan 2.7 and 2.8 juga berlaku untuk teredam sistem
dengan ekspresi untuk koefisien A, B, ..., D' yang diberikan di atas. Mereka
bergantung pada parameter sistem ωn, k, Dan ζ, dan pada interval waktu Δt ≡ Δti.
Karena persamaan pengulangan berasal dari solusi eksak dari persamaan
gerak, satu-satunya pembatasan ukuran langkah waktu Δt adalah bahwa hal itu
memungkinkan pendekatan yang dekat dengan fungsi eksitasi dan itu memberikan
hasil respon pada interval waktu yang berdekatan sehingga puncak respon dapat
terjawab. Prosedur numerik ini sangat berguna ketika eksitasi didefinisikan pada
interval waktu yang berdekatan - seperti untuk percepatan tanah gempa - sehingga
15

interpolasi linear pada dasarnya sempurna. Jika langkah waktu Δt konstan, koefisien
A, B, ..., D' perlu dihitung hanya sekali.
Solusi eksak dari persamaan gerak yang diperlukan dalam prosedur numerik
ini layak hanya untuk sistem linear. Tentu mudah dikembangkan untuk sistem SDF,
seperti yang ditunjukkan di atas, tetapi akan tidak praktis untuk sistem MDF kecuali
respon mereka diperoleh sebagai superposisi dari respons modal.

2.2.7 Respon Beban Dinamik dengan Central Difference Method


Urutan penyelesaian respon dinamik dengan Central Difference Method
terdapat dalam buku Dynamics of Structures yang dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel 2.1 Central Difference Method
1. Perhitunga Awal

1.1

1.2

1.3

1.4

1.5
2. Perhitungan untuk setiap langkah waktu, i

2.1

2.2

2.3 Jika diperlukan: ;

3. Pengulangan untuk waktu berikutnya.


Ganti i dengan i+1 dan ulangi langkah 2.1, 2.2 dan 2.3 untuk waktu berikutnya.
Dimana:
16

= massa struktur (ton) = percepatan awal (m/s2)

= beban harmonik (ton) = kecepatan awal (m/s)

= redaman (kN.s/m) = posisi awal (m)

= kekakuan struktur (kN/m) = selisih waktu (s)

2.2.8 Respon Beban Dinamik dengan Newmark’s Method


Penyelesaian dengan metode Newmark terbagi menjadi dua, yakni average
acceleration dan linear acceleration. Dan untuk urutan penyelesaian respon dinamik
dengan kedua metode tersebut terdapat dalam buku Dynamics of Structures yang
dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel 2.2 Newmark’s Method
17

Kasus Khusus

(1) Average acceleration method ( )

(2) Linear acceleration method ( )

1. Perhitungan Awal

1.1

1.2 Pilih

1.3

1.4 ; dan

2. Perhitungan untuk setiap langkah waktu, i

2.1

2.2

2.3

2.4

2.5 ; ;

3. Pengulangan untuk langkah waktu berikutnya. Ganti i dengan i+1 dan ulangi
langkah 2.1, 2.2 dan 2.3 untuk waktu berikutnya.
Dimana:

= massa struktur (ton) = beban harmonik (ton)


18

= redaman (kN.s/m) = kecepatan awal (m/s)

= kekakuan struktur (kN/m) = posisi awal (m)

= percepatan awal (m/s2) = selisih waktu (s)

2.2.9 Frekuensi dan Pola Getaran Alamiah


Setiap elemen struktur dalam sebuah sistem memiliki frekuensi sendiri yang
dikenal frekuensi alamiah, dimana frekuensi ini dipengaruhi oleh kekakuan dan
massa dari elemen tersebut. Penjelasan mengenai frekuensi dan model getaran
alamiah terdapat dalam Dynamics of Structures oleh Anil K. Chopra sebagai berikut:

Frekuensi alamiah ωn dan modal harus memenuhi persamaan aljabar:

(2.15)

Dimana:

= massa struktur (ton)

= kekakuan struktur (kN/m)

= frekuensi alamiah struktur (rad/s)

= pola getar alamiah

Persamaan aljabar ini disebut masalah matriks eigen. Kekakuan dan massa

matriks diketahui; masalahnya adalah untuk menentukan skalar dan vektor 𝜙𝑛.

Persamaan 2.15 dapat diartikan sebagai seperangkat persamaan aljabar homogen N

untuk unsur N . Set ini selalu memiliki solusi , yang

tidak berguna karena berarti tidak ada gerakan. Ini memiliki solusi yang berarti jika

(2.16)
19

N akar, menentukan N frekuensi alami dari getaran.

Akar-akar persamaan karakteristik juga dikenal sebagai eigenvalues, nilai-nilai


karakteristik, atau nilai-nilai normal. Ketika frequency alami diperoleh,

persamaan 2.15 dapat diselesaikan untuk sesuai vektor ke dalam sebuah

konstanta perkalian. Sesuai dengan N getaran alami frekuensi dari sistem N-DOF,

ada vektor N independen yang dikenal sebagai mode alami getaran, atau bentuk

modus alami getaran. Vektor ini juga dikenal sebagai vektor eigen, vektor
karakteristik atau mode normal.

2.2.10 Matriks Modal


Penjelasan mengenai matriks modal menurut Anil K. Chopra adalah sebagai
berikut: N eigenvalue dan N mode alami dapat disusun dalam matriks. Biarkan mode

alami sesuai dengan frekuensi alami memiliki elemen , dimana j

menunjukkan DOFs. N vektor eigen kemudian dapat ditampilkan dalam matriks


persegi tunggal, masing-masing kolom yang merupakan modus alami:

(2.17)

Dimana

= Matriks modal untuk masalah nilai eigen.

2.2.11 Displacement Response


Dalam buku Dynamics of Structures, Anil K. Chopra juga menjelaskan
mengenai perhitungan lendutan untuk Sistem Multi Degree of Freedom melalui
sistem modal. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
Untuk kekuatan dinamis yang berasal dari eksternal didefinisikan oleh p(t),
respon dinamik dari sistem MDF dapat ditentukan untuk modal koordinat qn(t).
Setiap persamaan modal adalah bentuk yang sama dengan persamaan gerak untuk
20

sistem SDF. Dengan demikian, metode solusi dan hasil yang tersedia untuk sistem
SDF dapat disesuaikan untuk mendapatkan solusi qn(t) untuk persamaan modal.
Setelah modal koordinat qn (t) telah ditentukan, kontribusi model ke-n untuk
perpindahan nodal u (t) adalah

(2.18)

Dimana:
u (t) = perpindahan nodal (m)

= pola getar alamiah

qn(t) = perpindahan nodal pada koordinat (m)


Dan dengan menggabungkan kontribusi modal diperoleh total perpindahan sebagai
berikut:

(2.19)

Prosedur ini dikenal sebagai analisis modal klasik atau metode modus
superposisi klasik karena individu (uncoupled) persamaan modal diselesaikan untuk
menentukan modal koordinat qn(t) dan tanggapan modal un(t), dan yang terakhir
digabungkan untuk mendapatkan total tanggapan u(t). Lebih tepatnya, metode ini
disebut metode superposisi modus perpindahan klasik karena perpindahan modal
yang disuperposisikan. Metode analisis ini dibatasi untuk sistem linear dengan
redaman klasik.

2.2.12 Persamaan Modal untuk Sistem Teredam


Penyelesaian dinamika struktur untuk MDOF menggunakan metode modal,
dijelaskan oleh Anil K. Chopra sebagai berikut: sistem ortogonalitas pada model
alamiah menunjukkan bahwa persamaan berikut adalah matriks persegi yang
diagonal:

(2.20)

Dimana:
K = Matriks kekakuan struktur untuk persamaan modal (kN/m)
M = Matriks massa struktur untuk persamaan modal (ton)
21

k = Kekakuan struktur (kN/m)


m = Massa struktur (ton)

= Matriks modal untuk masalah nilai eigen.

Ketika redaman diikutkan, persamaan gerak pada sebuah sistem MDOF adalah

(2.21)

Menggunakan transformasi persamaan. 2.14, di mana adalah mode alami sistem

tanpa redaman, persamaan ini dapat ditulis dalam bentuk koordinat modal. Namun,
untuk beberapa bentuk redaman yang idealisasi wajar untuk banyak struktur,
persamaan menjadi uncoupled, seperti untuk sistem undamped sebagai berikut:

(2.22)

dimana

(2.23)

= Matriks redaman untuk persamaan modal (kN.s/m)

c = redaman struktur (kN.s/m)


Persamaan 2.23 digunakan untuk setiap n = 1 hingga N dan set persamaan N dapat
disusun dalam bentuk matriks:

(2.24)

2.2.13 Matriks Redaman untuk Modal Superposisi


Dalam kasus sistem teredam, perlu adanya perhitungan matriks redaman pada
sistem sebagai mana penurunan rumus dan penjelasannya telah dijelaskan oleh Anil
K. Chopra sebagai berikut:
Sebuah prosedur alternatif untuk menentukan matriks sebuah redaman klasik
dari rasio redaman modal adalah

(2.25)

Dimana C adalah matriks diagonal dengan elemen diagonal n yang setara dengan
redaman modal generalisasi:
22

(2.26)

Dimana:
C = Matriks diagonal redaman (kN.m/s)
ζ = rasio redaman
M = Matriks massa untuk persamaan modal (ton)

= frekuensi alamiah struktur (rad/s)

Dengan ζn diperkirakan seperti dijelaskan. Sehingga c dapat ditulis sebagai berikut

(2.27)

Dimana
c = Matriks redaman struktur untuk persamaan modal (kN s2/m)
Menggunakan persamaan ini untuk menghitung c mu ngkin tampak prosedur
tidak efisien karena memerlukan inversi dua matriks ordo N, sejumlah DOFs.
Namun, inverse dari modal matriks Φ dan dari ΦT dapat ditentukan dengan sedikit
perhitungan karena properti orthogonality mode.
Dimulai dengan hubungan ortogonal

(2.28)

Dapat ditunjukkan sebagai

(2.29)

Karena M adalah matriks diagonal dari massa modal generaliasi Mn, M-1 segera
dikenal sebagai matriks diagonal dengan elemen = 1 / Mn. Jadi Φ-1 dan (ΦT)-1 dapat
dihitung secara efisien dari persamaan di atas. Sehinga

(2.30)

Karena M dan C adalah matriks diagonal, c dapat ditulis sebagai berikut:

(2.31)
23

2.3 Pelat Lantai


2.3.1 Mengenal Tentang Pelat Lantai
Secara struktural, pelat lantai merupakan elemen gedung yang sisi-sisinya
bertumpu pada balok ataupun kolom dan merupakan salah satu elemen gedung yang
berfungsi sebagai tempat beraktivitas. Dengan kata lain, pelat lantai merupakan
elemen yang pertama menerima beban langsung dari sumbernya. Pelat lantai juga
merupakan pembatas antar tingkat yang satu dengan tingkat yang berikutnya.
Berikut ini adalah fungsi dari pelat lantai antara lain:
a. Sebagai pemisah antar ruang bawah dan ruang atas;
b. Sebagai tempat beraktivitas bangunan;
c. Menambah kekakuan bangunan dalam arah horizontal;
d. Sebagai tempat menempelnya kabel listrik, lampu, dan pipa air dari ruang
bawah;
Mengingat fungsinya yang penting, maka perencanaan pelat lantai harus
dilakukan secara teliti. Adapun hal-hal yang harus dipertimbangkan ketika
merencanakan tebal dan perkuatan dalam pelat lantai adalah:
a. Besarnya beban yang bekerja di atas pelat tersebut;
b. Jarak antar balok atau kolom yang menjadi tumpuan pelat;
c. Bahan material yang digunakan untuk membangun pelat lantai.
Pelat merupakan struktur bidang (permukaan) yang lurus (datar atau tidak
melengkung) yang tebalnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan dimensinya yang
lain. Geometri suatu pelat biasanya dibatasi oleh garis lurus atau garis lengkung.
Ditinjau dari statika, kondisi tepi (boundary condition) pelat bias bebas (free),
bertumpuan sederhana (simply supported), jepit dan tumpuan titik atau terpusat.
[Arief, S., dkk. (2012)]
Menurut Katili (2000) dalam bukunya “Aplikasi Metode Elemen Hingga pada
Pelat Lentur” menjelaskan bahwa pelat adalah suatu struktur solid 3 dimensi yang
mempunyai tebal h (arah z) lebih kecil dibandingkan dengan dimensi lainnya yaitu
penampang Lx (dalam arah x dan lebar Ly (dalam arah y). Dalam model teori yang
telah dikembangkan, analisa dan modelisasi struktur pelat dapat disederhanakan
menjadi sebuah bidang datar yang disebut permukaan referensi, yaitu bidang tengah
pelat atau bidang xy (z = 0). Deskripsi ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Dengan permodelan in semua relasi (persamaan keseimbangan, tegangan, deformasi,
hukum Hooke dan ekspresi energi) struktur solid 3D akan digeneralisasikan menjadi
24

model solid 2D dengan mengikuti hipotesa-hipotesa yang diambil sesuai dengan


model teori yang dipergunakan.

Gambar 2.6 Deskripsi Geometri Pelat


(Sumber: Aplikasi Metode Elemen Hingga pada Pelat Lentur, Katili, 2000)

2.3.2 Kekakuan pada Pelat Lantai


2.3.2.1 Hubungan Tegangan dan Regangan Lentur pada Pelat Lantai
Menurut Weaver, W. Jr., dkk (1993), apabila suatu pelat tipis diberi beban
dalam arah normal terhadap permukaannya, pelat tersebut akan melendut, dan
mengalami lenturan (state of flexture). Tegangan dan regangan pada pelat lebih rumit
karena mencakup dua dimensi.
Pada gambar di bawah ini dapat dilihat sebuah elemen pelat lentur yang kecil
dengan bidang x-y sebagai bidang netralnya dengan tebal elemen sesuai dengan tebal
pelat t, serta panjang dan lebarnya dinyatakan dalam dx dan dy.
25

Gambar 2.7 Lenturan dalam Pelat


(Sumber : Elemen Hingga untuk Analisis Struktur, Weaver, W. Jr., dkk, 1991)
Apabila ditinjau sebuah bagian pada elemen yang terletak sejauh z dari
bidang normal, dapat dilihat jenis-jenis tegangan dan regangan yang mempengaruhi
deformasi dalam pelat yang melendut. Regangan yang bekerja pada bidang ini dapat
ditulis sebagai berikut:

(2.32)

Anggapan dasar dalam teori pelat tipis adalah bidang normal sumbu netral akan tetap
lurus selama deformasi. Oleh karena itu, peralihan u dan v dalam w dapat dinyatakan
sebagai berikut:

(2.33)

Dengan mensubstitusikan persamaan (2.33) dan (2.34) maka dapat menunjukkan


hubungan regangan peralihan dalam pelat yang melentur.

(2.34)

dimana
ε = regangan normal
γ = regangan geser
26

Hubungan ini hanya melibatkan satu macam translasi (w) dan tiga macam
regangan (εx, εy dan γxy). Kedua translasi u dan v merupakan variasi linear terhadap
bidang netral seperti yang ditunjukkan pada persamaan (2.34). Disamping itu,
regangan normal εz dan regangan geser γxz dan γyz dalam analisis pelat tipis biasanya
diabaikan.
Dalam gambar 2.7 dilukiskan tegangan yang terjadi pada keping kecil, yaitu
σx, σx, dan σxy, beserta regangannya, εx, εy, dan γxy. Hubungan tegangan regangan
pelat dapat dianggap sama dengan pada keadaan tegangan bidang. Hal ini
dimungkinkan karena pelat tersebut cukup tipis dan tidak ditahan dalam arah z
(kecuali pada perletekannya). Jadi, untuk material isotropik akan diperoleh:

(2.35)

dimana
E = Matriks tegangan regangan

(2.36)

Bila materialnya ortotropik dengan x dan y sebagai sumu material, matriks


tegangan-regangan E akan menjadi:

(2.37)

dengan elemen-elemen matriks yang sama dengan persamaan:

(2.38)

2.3.2.2 Elemen Segiempat


Dalam buku Elemen Hingga untuk Analisis Struktur, Weaver, W., dkk (1993)
membahas tentang elemen pelenturan pelat yang dikenal dengan segiempat MZC
karena ditemukan oleh Melosh, Zienkiemicz, dan Cheung.
27

Gambar 2.8 Segiempat MZC


(Sumber: Data Pribadi, 2014)
28

(2.39)

Dimana:
E = Matriks hubungan tegangan regangan
t = tebal pelat lantai (m)

= poisson ratio

a = setengah lebar pelat arah x (m)


b = setengah lebar pelat arah y (m)

  6  
  0 0  
  -6a 0 8a2  
  -6 0 6a 6 Sym.  
  0 0 0 0 0  
  -6a 0 4a2 6a 0 8a2  
  -3 0 3a 3 0 3a 6  
  0 0 0 0 0 0 0 0  
  -3a 0 2a2 3a 0 4a2 6a 0 8a2  
  3 0 -3a -3 0 -3a -6 0 -6a 6  
  0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0  
  -3a 0 4a2 3a 0 2a2 6a 0 4a2 -6a 0 8a2  

  6  
2
  6b 8b  
  0 0 0 Sym.  
  3 3b 0 6  
  3b 4b2 0 6b 8b2  
  0 0 0 0 0 0  
  -3 -3b 0 -6 6b 0 6  
  3b 2b2 0 6b 4b2 0 -6b 8b2  
  0 0 0 0 0 0 0 0 0  
  -6 -6b 0 -3 -3b 0 3 -3b 0 6  
  6b 4b2 0 3b 2b2 0 -3b 4b2 0 -6b 8b2  
  0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0  
29

  1  
  b 0  
  -a -2ab 0  
  -1 -b 0 1 Sym.  
  -b 0 0 b 0  
  0 0 0 a 2ab 0  
  1 0 0 -1 0 -a 1  
  0 0 0 0 0 0 -b 0  
  0 0 0 -a 0 0 a -2ab 0  
-1 0 a 1 0 0 -1 b 0 1
  0 0 0 0 0 0 b 0 0 -b 0  
  a 0 0 0 0 0 0 0 0 -a 2ab 0  

  21  
2
  3b 8b  
  -3a 0 8a2  
  -21 -3b 3a 21 Sym.  
2 2
  -3b -8b 0 3b 8b  
  -3a 0 -2a2 3a 0 8a2  
  21 3b -3a -21 -3b -2a 21  
  -3b 2b2 0 3b -2b2 0 -3b 8b2  
  3a 0 2a2 -3a 0 -8a2 3a 0 8a2  
  -21 -3b 3a 21 3b 3a -21 3b -3a 21  
  3b -2b2 0 -3b 2b2 0 3b -8b2 0 -3b 8b2  
  3a 0 -8a2 -3a 0 2a2 3a 0 2a2 -3a 0 8a2  
2.3.3 Massa pada Pelat Lantai
Adapun matriks massa konsisten untuk segiempat MZC yang dijelaskan William Weaver Jr adalah sebagai berikut:

(2.40)

26
31

2.4 Balok / Grid


2.4.1 Kekakuan pada Balok/Grid
2.4.1.1 Matriks Kekakuan Elemen Balok/Grid Lentur (Flexural Element)

Mzz
Mx
Pz Px
x
My
Py
y
Mzz

z
Pz Px x

My y
Py
Mx y
x
Gambar 2.9 Kekakuan dalam Balok/Grid
(Sumber: Data Pribadi, 2014)

Kekakuan elemen grid yang mengalami lentur (flexural element) dijelaskan


oleh Paul R. Johnston (1993) dalam buku Elemen Hingga untuk Analisis Struktur
sebagai berikut.
Gambar di atas melukiskan elemen lentur lurus yang melendut pada bidang x-
y. Dalam gambar ditentukan adanya sebuah peralihan umum v, yaitu translasi dalam
arah y. Jadi:

(a)

Gaya tubuh yang ditinjau merupakan komponen tunggal by (gaya per satuan
panjang) yang bekerja dalam arah y. Maka:

(b)

Pada titik nodal 1 kedua peralihan titik nodal yang diberi notasi q1 dan q2
adalah translasi dalam arah y dan rotasi kecil dalam arah z. Translasi dalam arah y
dan rotasi kecil dalam arah z. Translasi digambarkan dengan mata panah tunggal,
sedangkan rotasi dilukiskan dengan mata panah ganda. Hal yang sama juga berlaku
untuk titik nodal 2 peralihan diberi nomor 3 dan 4 berturut-turut merupakan translasi
dan rotasi kecil. Maka, vektor peralihan titik nodal akan menjadi:
32

(c)

Dimana

(d)

Turunan ini (atau putaran sudut) dapat dianggap sebagai suatu rotasi kecil
walaupun sebenarnya juga mempengaruhi perubahan translasi pada titik nodal
tersebut. Aksi titik nodal yang terjadi pada titik nodal 1 dan 2 adalah:

(e)

Gambar 2.10 Elemen Lentur


(Sumber : Elemen Hingga untuk Analisis Struktur, Weaver, W. Jr., dkk, 1991)
33

Py1 dan Py2 menunjukkan gaya dalam arah y pada titik nodal 1 dan 2,
sedangkan noatasi Mz1 dan Mz2 mewakili momen dalam arah z pada kedua titik nodal
tersebut.
Karena ada 4 peralihan titik nodal, fungsi peralihan lengkap untuk elemen lentur ini
dapat diasumsikan sebagai berikut:

(f)

Kemudian matriks geometri g menjadi:

(g)

Dalam hal ini peralihan kedua (rotasi) pada setiap titik nodal memiliki
hubungan diferensial dengan peralihan yang pertama (translasi). Jadi, kita juga perlu
menurunkan g terhadap x.

(h)

Kini matriks h dapat dibentuk untuk kedua titik nodal tadi:

(i)

Invers dari matriks h adalah:

(j)

Dari mengalikan kembali h-1 dengan g akan diperoleh matriks fungsi bentuk
peralihan dalam matriks f sebagai berikut:

(k)

Keempat fungsi bentuk ini dilukiskan dalam gambar 2.10. Di sana


digambarkan perubahan v sepanjang elemen akibat dari satu satuan peralihan titik
nodal dari keempat arah peralihan, q1 hingga q4.
34

Hubungan regangan-peralihan dapat diturunkan untuk elemen lentur dengan


mengasumsikan bahwa penampang yang rata akan tetap rata selama deformasi
seperti yang ditunjukkan dalam gambar 2.10. Translasi u dalam arah x pada setiap
titik dalam penampang adalah:

(l)

Dengan menggunakan hubungan ini, kita dapat memperoleh persamaan


regangan lentur:

(m)

Dengan adalah kelengkungan.

(n)

Dari persamaan di atas dapat dilihat bahwa operator differensial linier d

yang menghubungkan dengan v adalah:

(o)

Sehingga diperoleh matriks regangan-peralihan B seperti di bawah ini:

(p)

Hubungan antara tegangan lentur σx dan regangan lentur dinyatakan dengan:

(q)

Maka:

dan (r)

Kekakuan elemen adalah sebagai berikut:

(s)
35

(t)

Melalui perkalian dan integrasi (dengan EI konstan) akan dihasilkan:

(2.41)

Dimana
I = Momen inersia penampang terhadap garis normal (m4)
E = Modulus elastisitas (kN/m2)
L = Panjang balok (m)

2.4.1.2 Matriks Kekakuan Elemen Balok/Grid Torsi


Kekakuan elemen yang mengalami torsi diterangkan oleh Weaver dalam
buku Elemen Hingga untuk Analisis Struktur sebagai sebuah elemen torsi yang dapat
berupa tongkat pada mesin atau batang pada struktur grid. Elemen ini juga memiliki

peralihan umum tunggal , yaitu rotasi kecil dalam arah x. Jadi,

(a)

Akibat adanya peralihan elastis ini (rotasi kecil tadi) akan dihasilkan gaya
tubuh:

(b)

Berupa momen (persatuan panjang) yang bekerja dalam arah sumbu x positif.
Peralihan titik nodal terdiri dari rotasi aksial yang kecil pada titik nodal 1 dan
2. Maka:

(c)

Gaya titik nodal yang dihasilkan pada titik 1 dan 2 adalah:


36

(d)

Berupa momen (atau torsi) dalam arah x.

Gambar 2.11 Elemen Torsi


(Sumber : Elemen Hingga untuk Analisis Struktur, Weaver, W. Jr., dkk, 1991)

Karena hanya ada dua peralihan titik nodal pada elemen torsi ini , maka dapat
digunakan fungsi peralihan yang linier, yaitu:

(e)

Serperti halnya pada elemen aksial, fungsi bentuk peralihan pada elemen torsi
ini akan menjadi:

(f)
37

Gambar 2.12 Deformasi Torsi


(Sumber : Elemen Hingga untuk Analisis Struktur, Weaver, W. Jr., dkk, 1991)

Penurunan hubungan regangan-peralihan untuk elemen torsi dengan


penampang lingkaran seperti yang terlihat dalam gambar 2.12. Asumsikan bahwa
jari-jari penampang tetap lurus selama terjadi deformasi torsi. Di sini dapat
disimpulkan bahwa regangan geser γ akan bervariasi linier terhadap panjang jari-jari
r seperti berikut:

(g)

Dimana adalah putaran (twist), yaitu besarnya terhadap perubahan dari

putaran sudut. Jadi:

(h)

Dari persamaan di atas, dapat dibuktikan bahwa nilai maksimum regangan geser
terjadi pada permukaan. Jadi:

(j)
38

Dimana R adalah jari-jari penampang. Operator diferensial linier d yang

menghubungkan γ dengan adalah

(k)

Maka, matriks regangan-peralihan B akan menjadi:

(l)

Yang mirip dengan matriks B pada elemen aksial, kecuali muncul nilai r.
Pada elemen torsi, hubungan antara regangan geser τ dengan regangan
gesernya γ dinyatakan dengan:

(m)

Dimana G adalah modulus geser matrial. Jadi:

(n)

Kekauan torsi diperoleh dengan menurunkan persamaan sebagai berikut:

(2.42)

Dimana
J = Momen inersia polar (m2)
G = hubungan tegangan regangan (kN/m2)
L = Panjang balok (m)

2.4.1.3 Transformasi Vektor Linier


Dalam buku Analisa Struktur dengan Metode Matrix (1981), Ir. F.X.
Supartono dan Ir. Teddy Boen menjelaskan bahwa suatu konstruksi adalah terdiri
dari banyak elemen yang dihubungkan satu sama lain, menjadi satu kesatuan
39

struktur. Elemen tersebut tentu tidak semuanya mendatar, ada yang tegak, ada pula
yang miring, sehingga dengan demikian matrix kekakuan perlu ditransformasikan
secara linier (diputar) agar supaya sesuai dengan posisi elemen yang bersangkutan.

Gambar 2.13 Dua Sistem Sumbu Cartesius, Xyz Dan Vwz, Dimana Sumbu Z Tegak
Lurus Bidang Gambar
(Sumber :Data Pribadi, 2014)
Tinjau rotasi sumbu xy ke vw diaman sumbu z sebagai sumbu dimana sumbu
z sebagai sumbu putar, dengan sudut rotasi sebesar α. Sehingga hubungannya dapat
ditulis sebagai berikut:

Dimana

Dengan demikian

Melihat gambar di atas, akan didapat hubungan:

Sehingga akan diperoleh


40

(2.43)

Untuk suatu titik pertemuan dengan enam (6) derajat kebebasan, maka matrix
transformasi yang sesuai dengan titik tersebut menjadi:

(2.44)

Oleh sebab itu, untuk matrix kekakuan struktur grid dalam koordinat global adalah:

(2.45)

Dimana
[K] = Matriks kekakuan (kN/m)
[T] = Matriks transformasi

2.4.2 Massa pada Balok


Rumus umum untuk mencari massa konsisten menurut William Weaver Jr adalah:

Untuk elemen balok atau elemen lentur dimana penampang melintang untuk tipe
elemen ini mengalami translasi dalam arah y dan juga berotasi terhadap sumbu
netralnya. Dengan matriks geometri:

Kemudian hasil kali gTg menjadi:

Dan integral perkalian ini sepanjang elemen L adalah:


41

Dan

Maka diperoleh matriks massa konsisten inersia translasi sebagai berikut:

(2.46)

Dimana
ρ = Massa jenis (ton/m3)
A = Luas penampang (m2)
L = Panjang balok (m)
Sedangkan untuk elemen torsi dengan penampang yang terotasi dimana
akibat pengaruh rotasi kecil x akan terjadi dua komponen translasi di sembarang

titik pada penampang melintang, yaitu

Nilai x adalah:

Sehingga diperoleh matriks massa konsisten untuk elemen torsi adalah sebagai
berikut:

(2.47)

Dimana
J = Momen inersia polar (m2)
42

ρ = Massa jenis (ton/m3)


L = Panjang balok (m)

2.4.3 Dimensi Balok menurut SNI Beton 03-2847-2002


Dalam SNI Beton telah ditentukan tinggi minimum (hmin) balok terhadap
panjang bentang, yaitu sebagai berikut:
a. L/16 untuk balok sederhana (satu tumpuan);
b. L/18,5 utnuk balok menerus bentang ujung;
c. L/21 untuk balok menerus bentang tengah;
d. L/8 untuk balok kantilever
Dimana
L = panjang bentang balok (m)

2.5 Deformasi dan Reaksi Perletakan


Menurut Ir. F. X. Supartono dalam Analisa Struktur Metode Matrix, untuk
mempersingkat proses matrix, sering dilakukan pengelompokan dalam matrix-matrix
yang bersangkutan. Hal ini disebabkan lendutan di perletakan pada umunya sama
dengan nol. Oleh karenanya akan sangat menguntungkan bila vektor-vektor lendutan
disusun kembali, sedemikian sehingga dapat dikelompokkan menjadi dua bagian,
yaitu vektor lendutan pada titik bebas (Df) dan vektor lendutan di perletakan yang
harganya sama dengan nol (Db)

(2.48)

Matrix kekakuan dan matrix gaya disusun kembali dengan koresponding dengan D f
dan Db, yaitu

(2.49)

Dan

(2.50)

Dengan demikian akan diperoleh persamaan sebagai berikut:


43

(2.51)

Persamaan di atas dapat diekspansi menjadi

(2.52)

(2.53)

Mengingat {Db} = {0} maka dapat disederhanakan menjadi:

(2.54)

Atau

(2.55)

Dimana
{Qf} = gaya-gaya luar yang bekerja pada titik bebas (kN)
[Kff] = Matriks Kekakuan pada titik bebas (kN/m)
{Df} = Lendutan pada titik bebas (m)
Sedangkan

(2.56)

Dimana
{Qb} = gaya-gaya yang bekerja pada perletakan (kN)
[Kbf] = Matriks Kekakuan pada titik terkekang akibat gaya luar (kN/m)
{Df} = Lendutan pada titik bebas (m)

Akan tetapi reaksi yang diperoleh belum merupakan reaksi sebenarnya sehingga
masih harus dikurangi dengan gaya-gaya yang langsung diterima oleh perletakan
sebagai gaya aksi, untuk mendapatkan reaksi yang sebenarnya.
44

2.6 Jenis-jenis Mesin Bergetar


Variasi kebutuhan dan keperluan pengguna suatu bangunan untuk
menjalankan aktivitas dalam gedung tersebut mengharuskan adanya mesin
penunjang kegiatan. Oleh karena itu, penggunaan mesin berskala besar sudah razim
ditemukan di gedung bertingkat tinggi. Adanya mesin-mesin tersebut perlu
diperhitungkan karena mesin tersebut tidak hanya memberikan beban statis pada
struktur, namun juga beban dinamis. Beban dinamis dari mesin pada umumnya
berasal dari rotor ataupun generator yang berputar sehingga menimbulkan getaran
dalam frekuensi tertentu.
Adapun mesin-mesin bergetar yang pada umunya ditemukan di sebuah
gedung tingkat tinggi adalah sebagai berikut:
a) Mesin Genset
Genset merupakan mesin yang mampu menghasilkan tenaga listrik melalui
pembakaran bahan bakar minyak. Tenaga listrik yang dihasilkan kemudian akan
disalurkan untuk kegunaan kegiatan dalam sebuah gedung. Untuk gedung
perkantoran biasanya memiliki genset yang dapat digunakan suatu saat ketika listrik
dari PLN tidak tersedia. Sebagai contoh genset pada gedung Bursa Efek Jakarta,
genset tersebut menghasikan frekuensi getar sebesar 50 Hz.

Gambar 2.14 Genset di Gedung Bursa Efek Jakarta


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015)
45

Karena getaran yang dihasilkan dapat mengganggu aktivitas di sekitar dan


memberikan getaran pada struktur bangunan, maka diperlukan sistem redaman yang
berbentuk spring untuk mengurangi getaran yang keluar.

Gambar 2.15 Spring Peredam Getaran Mesin Genset


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015)

b) Mesin Chiller
Mesin Chiller merupakan mesin penyejuk ruangan yang berkapasitas rendah
dibandingkan dengan water cooling system. Mesin ini berbentuk relatif lebih kecil
dan menghasilkan getaran sebesar 10Hz. Pada gedung Capital Residence, mesin
chiller memiliki berat sebesar 1,5 ton.

Gambar 2.16 Mesin Chiller


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015)
46

Gambar 2.17 Spring Peredam Getaran pada Mesin Chiller


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015)

c) Water Cooling System


Water cooling system memiliki fungsi yang sama dengan mesin chiller,
namun water cooling system memiliki dimensi yang jauh lebih besar dibandingkan
mesin chiller.

Gambar 2.18 Water Cooling System pada Gedung Bursa Efek Jakarta
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015)
47

d) Pompa Air
Pompa merupakan salah satu alat bergetar yang paling kecil yang
diperhitungkan dalam desain sebuah gedung. Pada umumnya, pompa digunakan
untuk memompa air dari lantai dasar ke lantai atas.

Gambar 2.19 Mesin Pompa Air pada Gedung Bursa Efek Jakarta
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015)

Gambar 2.20 Damper pada Dasar Mesin Pompa


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015)
48

2.7 Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya


Ada beberapa jurnal telah dipelajari, dimana permasalahan yang dibahas
dalam jurnal tersebut berkaitan dan mendukung penelitian ini. Berikut adalah
perbandingan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, antara lain:
a. Marsiano, dkk (2009) telah melakukan penelitian dalam perhitungan lendutan
yang terjadi pada balok dengan metode pembebanan ASD dan LRFD;
b. Sulendra, I. K. (2011) meneliti sistem penulangan pada pelat lantai dan
momen-momen yang timbul dalam pelat lantai tersebut;
c. Hamid, D. (2009) dalam jurnalnya menerangkan tentang stabilitas pelat
lantai yang dianalisa dengan menggunakan metode elemen hingga;
d. Nurlinda, S., dkk (2010) melakukan penelitian dalam hal momen batas pada
pelat berusuk dan ruang lingkup penelitiannya dibatasi dalam pembebanan
merata saja;
e. Mirani, Z. (2009) menganalisa topik penelitiannya dengan menggunakan
metode elemen hingga dan objek penelitianya merupakan balok-T komposit.
Adapun batas penelitiannya hanya pada tulangan geser dalam balok tersebut;
f. Diana, W. (2011) dalam jurnalnya meneliti lendutan pada pelat lantai dengan
menggunakan metode Beam on Elastic Foundation (BoEF) dan Finite
Element Method (FEM). Dalam penelitian ini, pelat lantainya terletak di atas
tanah yang merupakan pelat lantai dasar;
g. Purba, O. S., dkk (2014) menganalisa tegangan yang terjadi pada balok
dengan menggunakan metode elemen hingga dan metode HEFT 240;
h. Mohamad, I. Q. (2012) dalam jurnalnya yang berjudul Analysis Ferrocement
Slabs Using Finite Element Method menganalisa lendutan yang terjadi pada
pelat yang terbuat dari beton yang diperkuat tulangan dengan menggunakan
elemen hingga dalam pendekatan Lagrangian.
Pada penelitian ini akan berfokus pada analisa pengaruh beban dinamik pada
pelat dan balok dengan menggunakan metode elemen hingga. Adapun penelitian ini
memiliki kedekatan metodologi penetilitian dengan penelitian yang telah dilakukan
oleh Mohamad, I. Q. (2012) dalam jurnal Analysis Ferrocement Slabs Using Finite
Element.
Untuk penjelasan lebih detail mengenai metodologi penelitian akan dibahas dalam
bab 3.

Anda mungkin juga menyukai