Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH

TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAGING


PEMBUATAN SOSIS

OLEH :

NAMA : IHSANUL NUR KHASANAH


NIM : 361641333040
KELAS : 3B

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL TERNAK


POLITEKNIK NEGERI BANYUWANGI
2018
BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Sosis merupakan salah satu produk hasil olahan daging yang cukup terkenal di
kalangan masyarakat. Sosis adalah makanan yang dibuat dari daging ayam atau daging sapi
yang telah dicincang kemudian dihaluskan dan diberi bumbu-bumbu, dimasukkan ke dalam
pembungkus yang berbentuk bulat panjang yang berupa usus hewan atau pembungkus
buatan, dengan atau tanpa dimasak maupun diasapkan. Sosis mempunyai nilai gizi yang
tinggi. Komposisi gizi sosis berbeda-beda, tergantung pada jenis daging yang digunakan dan
proses pengolahannya. Produk olahan sosis kaya energi, dan dapat digunakan sebagai sumber
karbohidrat. Selain itu, sosis juga memiliki kandungan kolesterol dan sodium yang cukup
tinggi. Berdasarkan kehalusan emulsi daging, sosis dibedakan menjadi sosis kasar dan sosis
emulsi. Pada pengolahan sosis kasar tahapan pengolahannya lebih sederhana, yaitu
menggiling daging sampai halus kemudian mencampurkannya dengan lemak sampai merata.
Emulsi sosis merupakan emulsi lemak dalam air; lemak sebagai fase diskontinyu, air sebagai
fase kontinyu dan protein daging yang bersifat larut berperan sebagai emulsifier. Emulsi sosis
dibentuk dengan melarutkan protein daging dan mensuspensikan partikel-partikel lemak di
dalam larutan protein. Pemanasan akan mengakibatkan partikel-partikel lemak akan
terperangkap di dalam matriks protein yang telah membentuk suatu kantong kecil di
sekeliling partikel lemak (Naruki, 1991). Masyarakat modern umumnya menyukai
kepraktisan sehingga dengan adanya makanan olahan instan yaitu sosis sapi akan lebih
mudah dalam mengkonsumsi. Hampir sebagian besar masyarakat menyukai sosis sapi karena
praktis, bergizi tinggi dan enak menyebabkan produk sosis menjadi pilihan konsumen untuk
memenuhi kebutuhan pangan. Pendirian industri sosis ini memiliki prospek yang cukup baik
karena memiliki segmentasi pasar yang luas dengan produk berkualitas baik dan harga yang
terjangkau dapat menarik minat konsumen untuk membelinya.
1.2 TUJUAN
Agar mahasiswa tahu cara pembuatan sosis dan mengetahui perbedaan antara sosis sapi dan
sosis ayam
1.3 WAKTU DAN TEMPAT
Hari : Rabu, 24 Oktober 2018
Tempat : Laboratorium TPHT
Waktu : 10.00 – 11.00 WIB
BAB II METODOLOGI

2.1 ALAT, BAHAN DAN PROSEDUR KERJA


A. ALAT:
1. Gunting
2. Stuffer
3. Telenan
4. Timbangan
5. Pisau
6. Kompor
7. Panci
8. Piring
9. Baskom
10. Benang woll
B. BAHAN:
1. Daging sapi
2. Daging ayam
3. Bawang putih
4. Bawang bombai
5. Merica
6. Garam
7. Gula
8. Penyedap rasa
9. Usus ayam
C. PROSEDUR KERJA
1. Yang pertama potong daging kecil-kecil
2. Kemudian daging dimasukkan kedalam copper untuk dihaluskan
3. Tambahkan semua bahan dan bumbu untuk dicampurkan kedalam daging dan juga air es
campurkan hingga mencampur
4. Aduk merata hingga menjadi adonan
5. Lalu dimasukkan ke stuffer untuk dicetak menjadi sosis
6. Kukus daging yang sudah dicetak tadi kedalam panci selama kurang lebih 40 menit
BAB III PEMBAHASAN

3.1 HASIL PENGAMATAN


sampel warna rasa aroma tekstur
1 Coklat tua Gurih terasa Daging sapi Kasar
daging sapinya
2 putih Gurih Daging ayam Halus keyal

Dokumentasi

3.2 PEMBAHASAN
Menurut Raharjo dan Wasito (2002), sosis merupakan produk daging yang digaram
dan dibumbui, berasal dari bahasa latin Salsus (garam). Produk ini lebih populer karena
bentuknya lonjong bulat. Lebih lanjut, sosis yang dibuat dari daging segar mempunyai tingkat
kekenyalan yang lebih tinggi dibandingkan bila dibuat dari daging yang dilayukan lebih
dahulu. Untuk kualitas sosis dapat ditentukan dari ; warna, bau, rasa, bentuk, jumlah mikroba
dan hygiene. Nah sosis yang berwarna seperti apa yang baik, warna untuk sosis yang baik
yaitu pink/jingga, sedangkan urutan dari tingkatan baik sampai kurang baik adalah pink,
merah darah, merah tua, merah hitam, merah kehijau-hijauan, dan pada akirnya merah
hangus. Jika dilihat dari uji organoleptik warna yang kita dapatkan adalah coklat tua dan
putih dikarenak kami tidak menggunakan campuran apapun pada bahan ataupun bumbu itu
yang menyebabkan warna asli dari daging nya tersebut. Sedangkan sosis mempunyai bau
yang khas atau spesifik yaitu flavor khusus dari asap, biasanya sangit, dan tidak berbau amis.
Sosis yang terbaik mempunyai bau gurih, harum karena nitrit dan sirup jagung serta tomato
juice, dan sedikit sangit. Sosis yang kami buat tidak berbau sangit dikarenakan sosis yg kami
buat dikukus bukan dipanggang.
Penggunaan tepung tapioka dimaksudkan sebagai penambah atau campuran, untuk
mengurangi biaya penggunaan susu skim sebagai bahan pengikat (filler), selain itu tepung
tapioka juga dapat sebagai bahan pengisi dan perekat (binder) untuk mempertahankan ukuran
sosis saat perebusan, meski kadar airnya tinggi. Penggunaannya tidak lebih dari 30% dari
daging yang digunakan, karena jika berlebih, sosis akan terasa seperti tepung.
Penambahan air dalam bentuk es atau air es bertujuan untuk (1) melarutkan garam dan
mendistribusikannya secara merata ke seluruh bagian massa daging, (2) memudahkan
ekstraksi protein serabut otot, (3) membantu pembentukan emulsi dan (4) mempertahankan
suhu daging agar tetap rendah selama penggilingan dan pembuatan adonan.
Penambahan garam pada produk daging olahan bertujuan untuk meningkatkan cita rasa
produk, melarutkan protein myosin, sebagai pengawet dan meningkatkan daya mengikat air
(Pearson dan Tauber, 1984). Garam berfungsi untuk memperbaiki citarasa, melarutkan
protein dan sebagai pengawet. Konsentrasi garam yang biasa digunakan adalah 2,5% dari
berat daging. Penggunan garam tergantung pada faktor luar, dalam lingkungan, pH dan suhu.
Garam menjadi efektif pada suhu yang lebih asam (Buckle et al., 1987). Sedangkan bahan
selanjutnya yang digunakan adalah penyedap.
Fosfat sebagai salah satu bahan dalam pembuatan sosis mempunyai fungsi untuk
meningkatkan kemampuan mengikat air (WHC) dari daging, meningkatkan keempukan
dan juiceness (Forrest et al., 1975), meningkatkan pH daging, meningkatkan kestabilan
emulsi dan kemampuan mengemulsi (Ockerman, 1983).
Menurut Forrest et al. (1975), penyedap adalah berbagai bahan baik sendiri maupun
kombinasi yang ditambahkan pada pembuatan suatu produk yang dapat menambah rasa pada
produk tersebut. Bahan penyedap alami dapat ditambahkan pada produk daging olahan dalam
bentuk yang belum digiling atau dilumatkan misalnya merica pada pembuatan sosis. Garam
dan merica merupakan bahan penyedap utama dalam pembuatan sosis. Bumbu merupakan
senyawa nabati yang dapat dimakan. Penambahan bumbu pada pembuatan sosis terutama
ditujukan untuk menambah/meningkatkan flavor(Soeparno, 1994). Menurut Forrest et
al. (1975), fungsi bumbu yaitu sebagai penyedap, penambah karakteristik warna atau pola
tekstur serta sebagai agen antioksidan.
Bawang putih merupakan bahan alami yang biasa ditambahkan dalam makanan atau produk
sehingga diperoleh aroma yang khas guna meningkatkan selera makan (Palungkan dan
Budiarti, 1992). Bau yang khas dari bawang putih berasal dari minyak volatile yang
mengandung komponen sulfur.
 SNI 01-3717-1995 menyatakan bahwa merica atau lada putih bubuk adalah lada putih
(Piper ningrumlinn) yang dihaluskan, mempunyai aroma dan rasa khas lada.  Biasanya
penambahan lada adalah untuk menguatkan rasa yang terdapat pada makanan terutama rasa
pedas.  Selain itu menurut Ting dan Diebel (1992) pada konsentrasi lebih dari 3%, lada dapat
menghambat pertumbuhan Listeria monocytogeneses.
 

3.3 KESIMPULAN
Pembuatan sosis sangat mudah dan praktis, tetapi tetap harus memperhatikan emulsi dan
formula bahan-bahan yang digunakan, agar memperoleh hasil yang baik, baik dari segi
aroma, warna, kekenyalan dan rasanya. Berdasarkan analisa STP, analisa SWOT, analisa
biaya dan uji hedonik,

3.4 DAFTAR PUSTAKA


Forrest, J. C., E. D. Aberle, H. B. Hendrick, M. D. Judge and R. A. Merkel. 1975. Principles
of Meat Science. W. H. Freeman and Co., San Fransisco.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. UGM Press, Yogyakarta.
SNI 01-3717-1995
Ting, E.W.T. dan Diebel, K.E. 1992. Sensitivity of Listeria monocytogenes to species at two
temperature. J. Food Safety. 12:120-137
Palungkun, R. dan A. Budiarti. 1992. Sweet Corn Baby Corn. Penebar Swadaya.
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai