22010117130097
SKENARIO KASUS
BBDM 3
Seorang anak berusia 2 bulan BB 5 kg datang ke Puskesmas dengan keluhan batuk dan sesak
napas. Batuk sejak 2 minggu yang lalu, mula-mula batuk biasa disertai dengan pilek
kemudian satu minggu terakhir batuk semakin bertambah berat, batuk disertai dengan tarikan
napas yang berbunyi, saat batuk anak terlihat biru dijari kaki dan tangan. Demam (+) naik
turun sejak 2 minggu yang lalu, 3 hari terakhir demam tinggi terus menerus. Anak tidak mau
makan dan minum. Riwayat tersedak disangkal. Anak mendapatkan susu formula, karena ibu
bekerja sehingga ASI tidak keluar lagi. Ayah pasien perokok, ibu pasien mempunyai riwayat
alergi debu. Riwayat imunisasi yang telah diberikan Hepatitis B 2x, BCG satu kali.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Keadaan umum apatis, tampak sesak dan sianosis. Tanda
Vital laju jantung 130x/menit, isi dan tegangan cukup, frekuensi napas 58 x/menit, Suhu 39
C, SaO2 84 %. Hidung napas cuping (+), pemeriksaan thoraks terlihat inspiratory effort
disertai dengan retraksi subcostal, auskutasi paru SD Bronkhial diseluruh lapangan paru, ST
rhonki kasar (+). Ekstremitas atas dan bawah sianosis (+). Pemeriksaan Laboratorium
didapatkan Haemoglobin 9,6 gr%, Hematokrit 32 %, Lekosit 24.000/mmk, Trombosit
556.000/mmk. Diffcount 2/0/0/4/16/70/8. X-Foto thoraks didapatkan kesan bercak infiltrat
dipara hiler
I. TERMINOLOGI
1. Retraksi subcostal : Tarikan dinding ke dada dalam, otot bantu pernafasan subcostal
pada saat inspirasi akibat sesak napas. Sesa napas dengan derajat 4 (berat)
2. SD bronkial : Suara dasar bronchial bernada tinggi fase ekspirasi lebih lama dari
inspirasi dan terputus
3. Bercak infiltrate parahiler : Gambaran bercak akibat adanya mucus yg berada di
paru tepatnya di bagian parahiler (daerah sekitar hilus)
4. Inspiratory effort : usaha bernafas dengan kontraksi otot-otot bantuan pernafasan,
tanda kesulitan bernafas, adanya obstruksi/restriksi jalan nafas
5. ST Ronkhi kasar : Suara tambahan abnormal ronkhi kasar bunyi gaduh yg dalam
terdengar saat ekspirasi yang terjadi akibat gerakan udara melewati jalan napas yg
menyempit akibat obstruksi, kasar/kering : terdengar kontinyu terutama saat ekspirasi
disertai adanya mucus pada bronkus
Yogi Pamungkas
22010117130097
6. Napas cuping hidung : Pergerakan kembang kempis ala nasi untuk mendapat o2,
merupakan satu tanda sesak napas atau meningkatnya usaha bernapas.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Interpretasi PF PP
2. Mengapa saat batuk kaki dan tangan biru?
3. Hubungan riwayat pemberian susu formula ke anak?
4. Mengapa suara dasar bronkial?
5. Adakah hubungan dengan riwayat pemberian imunisasi?
6. Mengapa gejala memberat dari 2 minggu lalu?
7. Apakah kasus ini termasuk kegawatdaruratan?
III. HIPOTESIS
1. Interpretasi PF PP
PF
Keadaan umum apatis : sesak kurang oksigen otak kurang oksigen
apatis
tampak sesak dan sianosis : Kantung udara yang terinfeksi tersebut akan
terisi oleh cairan maupun pus (dahak purulen) hambat saluran sesak
kurang o2 ke jaringan sianosis
HR 130x/menit, isi dan tegangan cukup : Masih normal (N: usia 1-2 bln
121-179x/min)
RR 58 x/menit : Normal (N : 0-6 bln 30-60x/min)
Suhu 39 C Meningkat (febris) e.c reaksi inflamasi
SaO2 84 % Penurunan saturasi (N : Batas bawah 88%)
Hidung napas cuping (+) tanda kesulitan bernafas, biasa ditemukan pada
pneumonia, ISPA, obstruksi saluran pernafasan
Inspiratory effort & retraksi subcostal usaha bernafas dengan kontraksi
otot-otot bantuan pernafasan, tanda kesulitan bernafas, adanya
obstruksi/restriksi jalan nafas
Auskultasi SD paru bronkhial biasanya terdengar di daerah trachea dan
suprasternal notch bersifat kasar, nada tinggi, inspirasi lebih pendek
Auskultasi ST ronkhi kasar Bunyi dengan nada rendah, sangat kasar
terdengar baik inspirasi maupun ekspirasi akibat terkumpulnya secret dalam
trachea atau bronchus sering ditemui pada pasien oedema paru, bronchitis
Yogi Pamungkas
22010117130097
Ekstremitas atas dan bawah sianosis (+) : Sesak kurang o2 ke jaringan
perifer sianosis
BB bayi 5 kg : Normal (N:4-6,5 kg)
PP
Diffcount 2/0/0/4/16/70/8 peningkatan limfosit (limfositosis), Monosit
meningkat, Neutrofil Normal
X Foto : Infiltrat parahiler abnormal
Lekosit 24.000/mmk : meningkat
Hb 9,6 gr% : Indikasi anemia (N : usia 1-6 bln 10-13 gr%)
Ht 32 % : Normal (N: usia 1-6 bln 29-42%)
Trombosit 556.000/mmk : Normal
PF:Kesulitan bernafas
ANAMNESIS:Batuk Penurunan kesadaran
Sesak nafas Batuk berat
Sulit makan minum Hipoksia
Ayah merokok Sianosis
Tidak konsumsi ASI Suhu meningkat
Demam naik turun 2 Hidung nafas cuping
minggu Inspiratory effort dan retraksi
PERTUSIS
subcostal
Auskultasi SD bronchial ST ronchi
kasar
PP:Anemia
Limfositosis
Leukositosis
Infiltrat parahiler
V. SASARAN BELAJAR
1. Etiologi dan Faktor risiko Pertusis
2. Patofisiologi Pertusis
3. Manifestasi klinis Pertusis
4. PP + gold standard Pertusis
5. DD Pertusis
6. Komplikasi Pertusis
7. Tatalaksana Pertusis
8. Edukasi dan Pencegahan Pertusis
Yogi Pamungkas
22010117130097
VI. BELAJAR MANDIRI
1. Etiologi dan Faktor Risiko Pertusis
Definisi
Pertusis (whooping cough) merupakan suatu penyakit infeksi traktus respiratorius
yang disebabkan oleh Bordetella pertussis, namun walaupun jarang dapat pula
disebabkan oleh Bordetella parapertussis. Mukosa traktus respiratorius manusia
merupakan habitat natural dari Bordetella pertussis dan parapertussis. Bordetella
pertussis, bisa dikultur dengan media Bordet-Gengou. Pertama diisolasi tahun 1906
oleh Bordet dan Gengou.
Etiologi
Bordetella pertussis merupakan bakteri berbentuk batang gram negatif tidak berspora,
berkapsul, dan dapat dimatikan pada pemanasan 50oC tetapi bertahan pada suhu 0o –
10oC. Bakteri ini menyangkut pada bulu dari saluran pernapasan. Bakteri ini juga
dapat menghasilkan:
Filamentous hemagglutinin (FHA)
Pertussis toxin
Agglutinogens
Adenylate cyclase
Pertactin
Tracheal cytotoxin
Faktor Risiko
Sedang hamil
Menderita obesitas
2. Patofisiologi Pertusis
Setelah pasien terpapar dengan bakteri Bordetella pertussis pathogenesis infeksi
tergantung 4 langkah penting yaitu: perlekatan, pertahanan pejamu, kerusakan lokal,
dan penyakit sistemik.
Bordetella merupakan kombinasi kokobasili gram-negatif yang sangat kecil yang
tumbuh secara aerobik pada darah tepung atau media sintetikkeseluruhan dengan
faktor pertumbuhan nikotinamid, asam amino untuk energidan arang atau resin
siklodekstrin untuk menyerap bahan-bahan berbahaya.Spesies Bordetella memiliki
bersama tingkat homologi DNA yang tinggi padagena virulen. Hanya B. Pertusis
yang mengeluarkan toksin pertusis (TP). Proteinvirulem utama. Penggolongan
serologis tergantung pada aglutinogen K labilpanas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalang
spesifik untuk B. Pertusis. Serotip bervariasi secara geografis dan sesuai waktu.
Bordetella pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis,banyak
darinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit danimunitas. Pasca
penambahan aerosol, hemaglutinin felamentosa (HAF), beberapaaglutinogen
(terutama FIM2 dan Fim3), dan protein permukaan nonfibria 69kDyang disebut
pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel epitel bersiliasaluran
pernafasan. Sitotoksin trakhea, adenilat siklase, dan TP tampakmenghambat
pembersihan organisme. Sitotoksin trakhea, faktor demonekrotik,dan adenilat siklase
diterima secara dominan, menyebabkan cedera epitel lokalyang menghasilkan gejala-
gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP.TP terbukti mempunyai banyak
aktivitas biologis (misal, sensitivitas histamin,sekresi insulin, disfungsi leukosit).
Beberapa darinya merupakan manifestasisistemik penyakit. TP menyebabkan
limfositisis segera pada binatang percobaandengan pengembalian limfosit agar tetap
dalam sirkulasi darah. TP tampakmemainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal
dalam pathogenesis.
Pemeriksaan Fisik
Pada pasien dengan Pertusis tanpa komorbid/komplikasi penyakit lain, pemeriksaan
fisik tidak berkontribusi banyak untuk diagnosis, namun hal yang dapat diperhatikan
antara lain:
Demam (jarang ditemukan, kebanyakan pasien tidak memiliki infeksi saluran
pernapasan bawah).
Dehidrasi
Perdarahan konjungtiva, petekia pada wajah/kepala/leher, dan rhonki pada
paru dapat ditemukan (fase konvalesens)
Hipoksia
Whooping saat inspirasi (anak usia 6 bulan hingga 5 tahun). Di bawah 6 bulan
dan di atas 5 tahun hal tersebut jarang ditemukan (kecuali pada orang dewasa
yang belum tervaksinasi)
Diagnosis Laboratorium
Beberapa penunjang diagnosis Pertusis antara lain kultur, polymerase chain
reaction (PCR), dan serologi.
Kultur – gold standard diagnosis Pertusis
Umumnya sampel diambil dari nasofaring posterior (bukan tenggorok) :
Idealnya bakteri terisolasi pada 2 minggu pertama (fase catarrhal / awal
Yogi Pamungkas
22010117130097
paroksismal), padahal pasien baru muncul setelah > 2 minggu sehingga kultur
sering tidak dapat digunakan. Bakteri B. pertusis sulit dikultur, dapat
memakan waktu hingga 2 minggu, dan kemungkinan positifnya bervariasi (30-
50%). Media kultur dapat berupa Bordet Gengoi (potato-blood-glycerol agar)
dan medium yang mengandung charcoal
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Dapat mengkonfirmasi Pertusis pada outbreak, sangat sensitif
Serologi : Dapat mengonfirmasi penyakit pada tahap akhir infeksi setelah
tidak terdeteksi kultur. Idealnya dilakukan 2- 8 minggu setelah onset batuk.
Radiologi
X-ray dada dapat menunjukkan infiltrat perihilar atau edema yang derajatnya
bervariasi, serta atelektasis. Jika ditemukan konsolidasi, hal tersebut indikatif
terhadap infeksi bakterial sekunder, atau pertusis pneumonia (jarang). Pada
beberapa kasus, pneumotoraks, pneumomediastinum, atau terperangkapnya
udara pada jaringan lunak dapat ditemukan.
Pemeriksaan darah
Yogi Pamungkas
22010117130097
b. Pneumonia bakteria
Pneumonia akibat bakteri adalah infeksi paru-paru yang umumnya disebabkan oleh
Streptococcus dan Haemophilus influenza. Ketika keduanya memasuki paru-paru,
sistem kekebalan tubuh akan berusaha untuk menghancurkan bakteri tersebut. Reaksi
kekebalan tubuh ini memicu radang dan penyempitan saluran udara. Apabila ini
terjadi, tugas paru-paru untuk mengangkut oksigen segar dan mengeluarkan udara
kotor akan terganggu. Akibatnya timbul bermacam gejala, termasuk sulit bernapas,
napas pendek, dan merasa lebih lelah dari biasanya.
c. Sistik fibrosis
Yogi Pamungkas
22010117130097
Penyakit keturunan yang menyebabkan lendir-lendir di dalam tubuh menjadi kental
dan lengket. Cystic fibrosis bukanlah penyakit menular, tetapi justru penderitanya
lebih rentan tertular infeksi bila berdekatan atau bersentuhan dengan penderita
penyakit infeksi. penyakit keturunan yang menyebabkan lendir-lendir di dalam tubuh
menjadi kental dan lengket. Cystic fibrosis bukanlah penyakit menular, tetapi justru
penderitanya lebih rentan tertular infeksi bila berdekatan atau bersentuhan dengan
penderita penyakit infeksi.
Gejala yang dapat timbul ketika kondisi ini menyerang paru-paru adalah:
Batuk berkepanjangan.
Muntah.
Sesak napas atau sulit bernapas.
Mengi.
d. Tuberculosis
Penyakit paru-paru akibat kuman Mycobacterium tuberculosis. TBC akan
menimbulkan gejala berupa batuk yang berlangsung lama (lebih dari 3 minggu),
biasanya berdahak, dan terkadang mengeluarkan darah.
Gejala Tuberkulosis :
Demam
Lemas
Berat badan turun
Tidak nafsu makan
Nyeri dada
Berkeringat di malam hari
e. Benda asing.
Aspirasi benda asing ke dalam saluran respiratorik merupakan kejadian yang cukup
sering terjadi pada anak. Kemungkinan yang dapat terjadi akibat aspirasi benda asing
mulai dari tanpa gejala sampai timbulnya keadaan darurat yang dapat mengancam
jiwa.
Pada umumnya sebagian besar benda asing tersebut dapat dikeluarkan secara reflex
dengan batuk atau muntah, dan hanya sebagian kecil saja yang dapat masuk ke dalam
saluran respiratorik. Gejala dari masuknya benda asing ke dalam saluran pernafasan
Yogi Pamungkas
22010117130097
ditunjukkan dengan penderita batuk-batuk hebat secara tiba-tiba, rasa tersumbat di
tenggorok, bicara gagap, dan obstruksi jalan napas segera. Jika benda asing di laring
dapat menimbulkan kematian akibat penderita tak bisa bernapas.
6. Komplikasi Pertusis
Pertussis bisa menyebabkan sakit berat dan mengarah pada komplikasi seperti apneu,
sianosis, kesulitan intake, pneumonia, dan ensefalopati. Komplikasi dari pertusis yang
paling penting adalah infeksi sekunder (seperti pneumonia dan otitis media), gagal
napas (apnea dan hipertensi pulmonal), gangguan fisik karena serangan batuk yang
hebat (fracture costae, berdarahan konjunctiva, hernia inguinal), kejang, ensefalopati,
dankematian. Pneumonia akibat pertusis adalah keadaan serius dan membutuhkan
prosedur ventilasi mekanik insasif untuk memasang alat bentu pernafasan. Kematian
akibat pertussis banyak dihubungkan dengan pneumonia.
Cara terbaik untuk mencegah pertusis (batuk rejan) untuk bayi, anak-anak,ataupun
dewasa adalah dengan melakukan vaksinasi. Selain itu, kita juga harus menjaga diri
dari orang yang terinfeksi pertussis .Di Indonesia, vaksin yang direkomendasikan
untuk bayi dan anak-anak adalah vaksin DPT. Vaksin tersebut merupakan kombinasi
vaksin yang berguna untuk melindungi tubuh dari tiga jenis penyakit, yaitu difteri,
pertusis, dan tetanus.Vaksin tersebut terdiri dari lima kali injeksi, dimana vaksin
tersebut diberikan pada bayi dan anak-anak pada usia dua bulan, empat bulan, enam
bulan, 15 – 18 bulan, dan 4 – 6 tahun. Efek samping dari vaksin tersebut termasuk
ringan, seperti demam, sensitive atau mudah tersinggung, sakit kepala, serta nyeri
atau rasa pegal ditempat yangdisuntik.
Booster Shots
Remaja
Karena kekebalan dari vaksin pertusis cenderung menurun pada usia 11tahun.
Hal itu menyebabkan dokter merekomendasikan untuk memberikan booster
Yogi Pamungkas
22010117130097
shot pada umur tersebut untuk meningkatkan kembali kekebalan tubuh dari
penyakit pertusis, dipteri, dan tetanus,
Dewasa
Umumnya vaksinasi DPT dapat memberikan kekebalan tubuh selama 10
tahun. Sehingga dokter menyarankan untuk memberikan booster shot saat
dewasa untuk meningkatkan kembali kekebalan tubuh. Selain itu, pemberian
vaksin DPT pada saat dewasa dapat mengurangi risiko penularan pertusis dari
orangtua ke anak/bayi.
Ibu Hamil
Saat ini, para ahli kesehatan menyarankan para wanita hamil untuk menerima
vaksin DPT pada usia kehamilan antara 27 – 36 minggu. Hal ini bertujuan
untuk memberikan kekebalan kepada bayi selama beberapa bulan pertama
kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Schläpfer G, Cherry JD, Heininger U, et al. Polymerase chain reaction identification of
Bordetella pertussis infections in vaccinees and family members in a pertussis vaccine
efficacy trial in Germany. Pediatr Infect Dis J 1995; 14:209.
Top KA. Halperin SA. Pertussisn and Other Bordetella Infection. Dalam: Kasper DL. Hauser
SL. Jameson JL. Fauci AS. Longo DL. Loscalzo J. Penyunting. 2015. Harrison’s Principles
of Internal Medicine 19th edition. NewYork : McGrawHill
Cornia P, et al. Pertussis infection in adolescents and adults: Clinical manifestations and
diagnosis [Artikel dari internet]. [Dikutip April 2020]. Dapat diakses melalui [URL]:
https://www.uptodate.com/contents/pertussis-infection-in-adolescents-and-adults-clinical-
manifestations-and-diagnosis
Brooks GF. Carroll KC. Butel JS. Morse SA. Mietzner TA. 2013. Jawetz, Melnick &
Adelberg’s Medical Microbiology 26th edition. New York : McGrawHill
Schmidt-Schläpfer G, Liese JG, Porter F, et al. Polymerase chain reaction (PCR) compared
with conventional identification in culture for detection of Bordetella pertussis in 7153
children. Clin Microbiol Infect 1997; 3:462
Pudjijadi AH, Hegar B, Handryastuti, Idris NS, et al. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Penyunting 2011. Jakarta: Badan Penerbit IDAI