Anda di halaman 1dari 16

Yogi Pamungkas

22010117130097
SKENARIO KASUS
BBDM 3

Seorang anak berusia 2 bulan BB 5 kg datang ke Puskesmas dengan keluhan batuk dan sesak
napas. Batuk sejak 2 minggu yang lalu, mula-mula batuk biasa disertai dengan pilek
kemudian satu minggu terakhir batuk semakin bertambah berat, batuk disertai dengan tarikan
napas yang berbunyi, saat batuk anak terlihat biru dijari kaki dan tangan. Demam (+) naik
turun sejak 2 minggu yang lalu, 3 hari terakhir demam tinggi terus menerus. Anak tidak mau
makan dan minum. Riwayat tersedak disangkal. Anak mendapatkan susu formula, karena ibu
bekerja sehingga ASI tidak keluar lagi. Ayah pasien perokok, ibu pasien mempunyai riwayat
alergi debu. Riwayat imunisasi yang telah diberikan Hepatitis B 2x, BCG satu kali.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Keadaan umum apatis, tampak sesak dan sianosis. Tanda
Vital laju jantung 130x/menit, isi dan tegangan cukup, frekuensi napas 58 x/menit, Suhu 39
C, SaO2 84 %. Hidung napas cuping (+), pemeriksaan thoraks terlihat inspiratory effort
disertai dengan retraksi subcostal, auskutasi paru SD Bronkhial diseluruh lapangan paru, ST
rhonki kasar (+). Ekstremitas atas dan bawah sianosis (+). Pemeriksaan Laboratorium
didapatkan Haemoglobin 9,6 gr%, Hematokrit 32 %, Lekosit 24.000/mmk, Trombosit
556.000/mmk. Diffcount 2/0/0/4/16/70/8. X-Foto thoraks didapatkan kesan bercak infiltrat
dipara hiler

I. TERMINOLOGI
1. Retraksi subcostal : Tarikan dinding ke dada dalam, otot bantu pernafasan subcostal
pada saat inspirasi akibat sesak napas. Sesa napas dengan derajat 4 (berat)
2. SD bronkial : Suara dasar bronchial  bernada tinggi fase ekspirasi lebih lama dari
inspirasi dan terputus
3. Bercak infiltrate parahiler : Gambaran bercak akibat adanya mucus yg berada di
paru tepatnya di bagian parahiler (daerah sekitar hilus)
4. Inspiratory effort : usaha bernafas dengan kontraksi otot-otot bantuan pernafasan,
tanda kesulitan bernafas, adanya obstruksi/restriksi jalan nafas
5. ST Ronkhi kasar : Suara tambahan abnormal ronkhi kasar  bunyi gaduh yg dalam
terdengar saat ekspirasi yang terjadi akibat gerakan udara melewati jalan napas yg
menyempit akibat obstruksi, kasar/kering : terdengar kontinyu terutama saat ekspirasi
disertai adanya mucus pada bronkus
Yogi Pamungkas
22010117130097
6. Napas cuping hidung : Pergerakan kembang kempis ala nasi untuk mendapat o2,
merupakan satu tanda sesak napas atau meningkatnya usaha bernapas.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Interpretasi PF PP
2. Mengapa saat batuk kaki dan tangan biru?
3. Hubungan riwayat pemberian susu formula ke anak?
4. Mengapa suara dasar bronkial?
5. Adakah hubungan dengan riwayat pemberian imunisasi?
6. Mengapa gejala memberat dari 2 minggu lalu?
7. Apakah kasus ini termasuk kegawatdaruratan?
III. HIPOTESIS
1. Interpretasi PF PP
PF
 Keadaan umum apatis : sesak  kurang oksigen  otak kurang oksigen 
apatis
 tampak sesak dan sianosis : Kantung udara yang terinfeksi tersebut akan
terisi oleh cairan maupun pus (dahak purulen)  hambat saluran  sesak 
kurang o2 ke jaringan  sianosis
 HR 130x/menit, isi dan tegangan cukup : Masih normal (N: usia 1-2 bln 
121-179x/min)
 RR 58 x/menit : Normal (N : 0-6 bln  30-60x/min)
 Suhu 39 C  Meningkat (febris)  e.c reaksi inflamasi
 SaO2 84 %  Penurunan saturasi (N : Batas bawah 88%)
 Hidung napas cuping (+)  tanda kesulitan bernafas, biasa ditemukan pada
pneumonia, ISPA, obstruksi saluran pernafasan
 Inspiratory effort & retraksi subcostal  usaha bernafas dengan kontraksi
otot-otot bantuan pernafasan, tanda kesulitan bernafas, adanya
obstruksi/restriksi jalan nafas
 Auskultasi SD paru bronkhial  biasanya terdengar di daerah trachea dan
suprasternal notch bersifat kasar, nada tinggi, inspirasi lebih pendek
 Auskultasi ST ronkhi kasar  Bunyi dengan nada rendah, sangat kasar
terdengar baik inspirasi maupun ekspirasi akibat terkumpulnya secret dalam
trachea atau bronchus sering ditemui pada pasien oedema paru, bronchitis
Yogi Pamungkas
22010117130097
 Ekstremitas atas dan bawah sianosis (+) : Sesak  kurang o2 ke jaringan
perifer  sianosis
 BB bayi 5 kg : Normal (N:4-6,5 kg)
PP
 Diffcount 2/0/0/4/16/70/8  peningkatan limfosit (limfositosis), Monosit
meningkat, Neutrofil Normal
 X Foto : Infiltrat parahiler  abnormal
 Lekosit 24.000/mmk : meningkat
 Hb 9,6 gr% : Indikasi anemia (N : usia 1-6 bln  10-13 gr%)
 Ht 32 % : Normal (N: usia 1-6 bln  29-42%)
 Trombosit 556.000/mmk : Normal

2. Mengapa saat batuk kaki dan tangan biru?


 Batuk bertambah berat mengakibatkan sulit bernafas  jumlah o2 kurang 
warna darah dari merah terang menjadi lebih gelap  kulit dan bibir kebiruan
 Sianosis perifer  disebabkan o2 rendah di sel darah merah atau ada yg
menghalangi aliran darah.
 Pasien ini indikasi gangguan pada paru paru atau system pernafasan 
pertukaran gas terganggu  suplai o2 tubuh kurang
3. Hubungan riwayat pemberian susu formula ke anak?
ASI  mengandung zat sesuai bayi, meningkatkan kekebalan tubuh (imun)
Komponen ASI lebih sesuai dan lebih mudah diserap dibandingkan susu formula
4. Mengapa suara dasar bronkial?
Keadaan ini disebabkan oleh bronkiektasis  pelebaran dan perusakan abnormal
system pernafasan. Dapat disebabkan e.c infeksi.
Batuk 2 minggu  sesak  bercak infiltrate (menandakan jar. Alveoli ada
penumpukan lender)  jaringan parut menurunkan fungsi paru  terdapat suara
dasar bronkial
Bronkial breathing normal di trakea, clavicular kanan, interscapular space kanan,
kalau ada di tempat lain  abnormal  adanya konsolidasi atau atelectasis alveolus,
tension pneumothorax, massive pleural effusion.
5. Adakah hubungan dengan riwayat pemberian imunisasi?
Riwayat pada pasien : BCG 1x Hepatitis B 2x
Yogi Pamungkas
22010117130097
Harusnya : BCG 1x, Polio 1x, hepatitis B 2x, DPT 1x, HIB 1x, PCV 1x (optional)
Usia 2 bulan  sudah 1 vaksin tambahan rotavirus
Tujuan imunisasi  agar tubuh terpapar antigen untuk merespon imun
Kemungkinan : dari gejala  Pertusis akibat belum imunisasi DPT
6. Mengapa gejala memberat dari 2 minggu lalu?
Curiga pertussis  Perjalanan klinis penyakit terdiri dari 3 stadium, yaitu stadium
kataralis berlangsung 1-2 minggu, stadium paroksismal atau spasmodik berlangsung
2-4 minggu, dan stadium konvalesens selama 1-2 minggu.
Di kasus sudah mulai fase paroksismal (gejala dan tandanya sebagai berikut : wajah
tampah memerah atau keunguan saat batuk yang khas pada tahap ini)

7. Apakah kasus ini termasuk kegawatdaruratan?


Ada 5 :
AIRWAY
BREATHING : sulit bernafas
CIRCULATION : saO2 84%
CONCIOUSNESS : Apatis
DEHIDRASI
Dapat dikatakan kegawat daruratan
Yogi Pamungkas
22010117130097

IV. PETA KONSEP

PF:Kesulitan bernafas
ANAMNESIS:Batuk Penurunan kesadaran
Sesak nafas Batuk berat
Sulit makan minum Hipoksia
Ayah merokok Sianosis
Tidak konsumsi ASI Suhu meningkat
Demam naik turun 2 Hidung nafas cuping
minggu Inspiratory effort dan retraksi
PERTUSIS
subcostal
Auskultasi SD bronchial ST ronchi
kasar

PP:Anemia
Limfositosis
Leukositosis
Infiltrat parahiler

V. SASARAN BELAJAR
1. Etiologi dan Faktor risiko Pertusis
2. Patofisiologi Pertusis
3. Manifestasi klinis Pertusis
4. PP + gold standard Pertusis
5. DD Pertusis
6. Komplikasi Pertusis
7. Tatalaksana Pertusis
8. Edukasi dan Pencegahan Pertusis
Yogi Pamungkas
22010117130097
VI. BELAJAR MANDIRI
1. Etiologi dan Faktor Risiko Pertusis
Definisi
Pertusis (whooping cough) merupakan suatu penyakit infeksi traktus respiratorius
yang disebabkan oleh Bordetella pertussis, namun walaupun jarang dapat pula
disebabkan oleh Bordetella parapertussis. Mukosa traktus respiratorius manusia
merupakan habitat natural dari Bordetella pertussis dan parapertussis. Bordetella
pertussis, bisa dikultur dengan media Bordet-Gengou. Pertama diisolasi tahun 1906
oleh Bordet dan Gengou.
Etiologi
Bordetella pertussis merupakan bakteri berbentuk batang gram negatif tidak berspora,
berkapsul, dan dapat dimatikan pada pemanasan 50oC tetapi bertahan pada suhu 0o –
10oC. Bakteri ini menyangkut pada bulu dari saluran pernapasan. Bakteri ini juga
dapat menghasilkan:
 Filamentous hemagglutinin (FHA)
 Pertussis toxin
 Agglutinogens
 Adenylate cyclase
 Pertactin
 Tracheal cytotoxin
Faktor Risiko

 Bayi berusia di bawah 12 bulan atau lansia

 Belum menjalani atau melengkapi vaksinasi pertussis

 Berada di area wabah pertussis

 Sedang hamil

 Sering melakukan kontak dengan penderita pertussis

 Menderita obesitas

 Memiliki riwayat asma

 Sanitasi, higiene lingkungan dan pribadi yang buruk


Yogi Pamungkas
22010117130097

2. Patofisiologi Pertusis
Setelah pasien terpapar dengan bakteri Bordetella pertussis pathogenesis infeksi
tergantung 4 langkah penting yaitu: perlekatan, pertahanan pejamu, kerusakan lokal,
dan penyakit sistemik.
Bordetella merupakan kombinasi kokobasili gram-negatif yang sangat kecil yang
tumbuh secara aerobik pada darah tepung atau media sintetikkeseluruhan dengan
faktor pertumbuhan nikotinamid, asam amino untuk energidan arang atau resin
siklodekstrin untuk menyerap bahan-bahan berbahaya.Spesies Bordetella memiliki
bersama tingkat homologi DNA yang tinggi padagena virulen. Hanya B. Pertusis
yang mengeluarkan toksin pertusis (TP). Proteinvirulem utama. Penggolongan
serologis tergantung pada aglutinogen K labilpanas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalang
spesifik untuk B. Pertusis. Serotip bervariasi secara geografis dan sesuai waktu.
Bordetella pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis,banyak
darinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit danimunitas. Pasca
penambahan aerosol, hemaglutinin felamentosa (HAF), beberapaaglutinogen
(terutama FIM2 dan Fim3), dan protein permukaan nonfibria 69kDyang disebut
pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel epitel bersiliasaluran
pernafasan. Sitotoksin trakhea, adenilat siklase, dan TP tampakmenghambat
pembersihan organisme. Sitotoksin trakhea, faktor demonekrotik,dan adenilat siklase
diterima secara dominan, menyebabkan cedera epitel lokalyang menghasilkan gejala-
gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP.TP terbukti mempunyai banyak
aktivitas biologis (misal, sensitivitas histamin,sekresi insulin, disfungsi leukosit).
Beberapa darinya merupakan manifestasisistemik penyakit. TP menyebabkan
limfositisis segera pada binatang percobaandengan pengembalian limfosit agar tetap
dalam sirkulasi darah. TP tampakmemainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal
dalam pathogenesis.

3. Manifestasi Klinis Pertusis


Pertusis biasanya mulai seperti pilek saja, dengan hidung beringus, rasa lelah dan ada
kalanya demam parah. Kemudian batuk terjadi, biasanya sebagai serangan batuk,
diikuti dengan tarikan napas besar (atau “whoop”). Adakalanya penderita muntah
Yogi Pamungkas
22010117130097
setelah batuk. Pertusis mungkin serius sekali di kalangan anak kecil. Mereka mungkin
menjadi biru atau berhenti bernapas ketika serangan batuk dan mungkin perlu ke
rumah sakit. Anak yang lebih besar dan orang dewasa mungkin menderita penyakit
yang kurang serius, dengan serangan batuk yang berlanjut selama berminggu-minggu
tanpa memperhatikan perawatan. Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari,
sedangkan perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih.
Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung dalam tiga stadium, yaitu stadium
kataralis (prodromal,praparoksismal), stadium akut paroksismal (spasmodik), dan
stadium konvalesens. Manifestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, usia, dan
status imunisasi.
Berikut ini adalah gejala klasik dari pertusis:
 Stadium kataralis (1-2 minggu)
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu
timbulnya rinore dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva,
lakrimasi, batuk ringan, dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini
biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditegakkan karena sukar dibedakan
dengan common cold.
Sejumlah besar organisme tersebar dalam droplet dananak sangat infeksius,
pada tahap ini kuman mudah diisolasi

 Stadium paroksismal/stadium spasmodic (2-4 minggu)


Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10 kali batuk
kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang
mendadakdan menimbulkan bunyi melengking (whoop), udara yang dihisap
melalui glotis yang menyempit. Pada remaja, bunyi whoop sering tidak
terdengar. Selama serangan wajah merah dan sianosis, mata menonjol, lidah
menjulur, lakrimasi, salivasi, dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi
petekia diwajah (terutama di konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal
dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran napas menghilang. Muntah
sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga seringkali menjadi
kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi
whoop.
Yogi Pamungkas
22010117130097
 Stadium konvalesens ( 1-2 minggu)
Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah
dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk
biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar
2-3 minggu.
Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal kembali.
Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering
dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.

Pemeriksaan Fisik
Pada pasien dengan Pertusis tanpa komorbid/komplikasi penyakit lain, pemeriksaan
fisik tidak berkontribusi banyak untuk diagnosis, namun hal yang dapat diperhatikan
antara lain:
 Demam (jarang ditemukan, kebanyakan pasien tidak memiliki infeksi saluran
pernapasan bawah).
 Dehidrasi
 Perdarahan konjungtiva, petekia pada wajah/kepala/leher, dan rhonki pada
paru dapat ditemukan (fase konvalesens)
 Hipoksia
 Whooping saat inspirasi (anak usia 6 bulan hingga 5 tahun). Di bawah 6 bulan
dan di atas 5 tahun hal tersebut jarang ditemukan (kecuali pada orang dewasa
yang belum tervaksinasi)

4. Pemeriksaan Penunjang Pertusis


Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis
pertusis adalah :

Diagnosis Laboratorium
Beberapa penunjang diagnosis Pertusis antara lain kultur, polymerase chain
reaction  (PCR), dan serologi.
 Kultur – gold standard diagnosis Pertusis
Umumnya sampel diambil dari nasofaring posterior (bukan tenggorok) :
Idealnya bakteri terisolasi pada 2 minggu pertama (fase catarrhal / awal
Yogi Pamungkas
22010117130097
paroksismal), padahal pasien baru muncul setelah > 2 minggu sehingga kultur
sering tidak dapat digunakan. Bakteri B. pertusis sulit dikultur, dapat
memakan waktu hingga 2 minggu, dan kemungkinan positifnya bervariasi (30-
50%). Media kultur dapat berupa Bordet Gengoi (potato-blood-glycerol agar)
dan medium yang mengandung charcoal 
 Polymerase Chain Reaction (PCR)
Dapat mengkonfirmasi Pertusis pada outbreak, sangat sensitif
 Serologi : Dapat mengonfirmasi penyakit pada tahap akhir infeksi setelah
tidak terdeteksi kultur. Idealnya dilakukan 2- 8 minggu setelah onset batuk.

Radiologi
X-ray dada dapat menunjukkan infiltrat perihilar atau edema yang derajatnya
bervariasi, serta atelektasis. Jika ditemukan konsolidasi, hal tersebut indikatif
terhadap infeksi bakterial sekunder, atau pertusis pneumonia (jarang). Pada
beberapa kasus, pneumotoraks, pneumomediastinum, atau terperangkapnya
udara pada jaringan lunak dapat ditemukan.

Pemeriksaan darah
Yogi Pamungkas
22010117130097

Leukositosis (15.000 – 50.000/uL) dengan limfositosis absolut terjadi pada


akhir fase catarrhal dan paroksismal. Temuan ini non-spesifik namun
berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit. Sebuah studi menunjukkan
bahwa pada bayi yang dicurigai mengalami Pertusis, hitung leukosit absolut di
bawah 9400/uL dapat mengeksklusi Pertusis. Namun, pada orang dewasa
(khususnya yang telah divaksinasi), jarang ditemukan limfositosis.
Pada bayi berusia 3 bulan atau lebih muda, monitoring sel darah putih serial
sangat penting dalam mengidentifikasi risiko dan menentukan prognosis
pasien dengan Pertusis. Hitung sel darah putih >30.000/uL (dalam 5,1 hari
setelah onset batuk), laju jantung yang cepat, dan hiperventilasi merupakan
indikator infeksi Pertusis yang parah.2 Infeksi yang parah juga akan
menyebabkan sel darah putih mencapai puncak lebih tinggi daripada kasus
yang lebih ringan (rata-rata puncak leukositosis 74.200/uL, dibandingkan
24.200/uL pada kasus yang lebih ringan).

5. Diagnosis Banding Pertusis


Berikut adalah diagnosis banding dari pertussis :
a. Bronkiolitis
Infeksi saluran respiratorik bawah yang disebabkan virus, yang biasanya lebih berat
pada bayi muda, terjadi epidemik setiap tahun dan ditandai dengan obstruksi saluran
pernapasan dan wheezing. Penyebab paling sering adalah Respiratory syncytial virus.
Infeksi bakteri sekunder bisa terjadi dan biasa terjadi pada keadaan tertentu. Episode
wheezing bisa terjadi beberapa bulan setelah serangan bronkiolitis, namun akhirnya
akan berhenti.

b. Pneumonia bakteria
Pneumonia akibat bakteri adalah infeksi paru-paru yang umumnya disebabkan oleh
Streptococcus dan Haemophilus influenza. Ketika keduanya memasuki paru-paru,
sistem kekebalan tubuh akan berusaha untuk menghancurkan bakteri tersebut. Reaksi
kekebalan tubuh ini memicu radang dan penyempitan saluran udara. Apabila ini
terjadi, tugas paru-paru untuk mengangkut oksigen segar dan mengeluarkan udara
kotor akan terganggu. Akibatnya timbul bermacam gejala, termasuk sulit bernapas,
napas pendek, dan merasa lebih lelah dari biasanya.

c. Sistik fibrosis
Yogi Pamungkas
22010117130097
Penyakit keturunan yang menyebabkan lendir-lendir di dalam tubuh menjadi kental
dan lengket. Cystic fibrosis bukanlah penyakit menular, tetapi justru penderitanya
lebih rentan tertular infeksi bila berdekatan atau bersentuhan dengan penderita
penyakit infeksi. penyakit keturunan yang menyebabkan lendir-lendir di dalam tubuh
menjadi kental dan lengket. Cystic fibrosis bukanlah penyakit menular, tetapi justru
penderitanya lebih rentan tertular infeksi bila berdekatan atau bersentuhan dengan
penderita penyakit infeksi.
Gejala yang dapat timbul ketika kondisi ini menyerang paru-paru adalah:
 Batuk berkepanjangan.
 Muntah.
 Sesak napas atau sulit bernapas.
 Mengi.

d. Tuberculosis
Penyakit paru-paru akibat kuman Mycobacterium tuberculosis. TBC akan
menimbulkan gejala berupa batuk yang berlangsung lama (lebih dari 3 minggu),
biasanya berdahak, dan terkadang mengeluarkan darah.
Gejala Tuberkulosis :
 Demam
 Lemas
 Berat badan turun
 Tidak nafsu makan
 Nyeri dada
 Berkeringat di malam hari

e. Benda asing.
Aspirasi benda asing ke dalam saluran respiratorik merupakan kejadian yang cukup
sering terjadi pada anak. Kemungkinan yang dapat terjadi akibat aspirasi benda asing
mulai dari tanpa gejala sampai timbulnya keadaan darurat yang dapat mengancam
jiwa.
Pada umumnya sebagian besar benda asing tersebut dapat dikeluarkan secara reflex
dengan batuk atau muntah, dan hanya sebagian kecil saja yang dapat masuk ke dalam
saluran respiratorik. Gejala dari masuknya benda asing ke dalam saluran pernafasan
Yogi Pamungkas
22010117130097
ditunjukkan dengan penderita batuk-batuk hebat secara tiba-tiba, rasa tersumbat di
tenggorok, bicara gagap, dan obstruksi jalan napas segera. Jika benda asing di laring
dapat menimbulkan kematian akibat penderita tak bisa bernapas.

f. Infeksi pernapasan virus syncytial (Respiratory syncytial virus)/RSV.


Umumnya pada saluran pernapasan bawah, sering ditemukan rhonki basah dan mengi.

6. Komplikasi Pertusis
Pertussis bisa menyebabkan sakit berat dan mengarah pada komplikasi seperti apneu,
sianosis, kesulitan intake, pneumonia, dan ensefalopati. Komplikasi dari pertusis yang
paling penting adalah infeksi sekunder (seperti pneumonia dan otitis media), gagal
napas (apnea dan hipertensi pulmonal), gangguan fisik karena serangan batuk yang
hebat (fracture costae, berdarahan konjunctiva, hernia inguinal), kejang, ensefalopati,
dankematian. Pneumonia akibat pertusis adalah keadaan serius dan membutuhkan
prosedur ventilasi mekanik insasif untuk memasang alat bentu pernafasan. Kematian
akibat pertussis banyak dihubungkan dengan pneumonia.

7. Tata Laksana Pertusis


Yogi Pamungkas
22010117130097
Pertussis secara sendirinya dapat hilang secara spontan dari nasofaring dalam waktu
2 sampai 4 minggu pasca infeksi. Ketika mulai di awal perjalanan penyakit, selama
tahap katarhal, antibiotik dapat mempersingkat gejala dan mengurangi keparahan
pertusis. Setelah tahap paroksismal antibiotic tidak efektif dalam mengubah
perjalanan penyakit. Dengan ini tahap, manifestasi klinis penyakit yang disebabkan
oleh toksin Bordetella pertussis, dan dengan demikian tidak terpengaruh oleh terapi
antimikroba. Meskipun perjalanan klinis pertusis tidak mudah dipengaruhi oleh
pengobatan, penggunaan antibiotik namun dapat mengurangi masa penularan
Antibiotik yang direkomendasikan untuk tatalaksana pertusis untuk anak berusia
lebih dari 1 tahun adalah makrolid, seperti eritromisin, claritromisin, dan
azitromisin. Sedangkan untuk anak berusia kurang dari 1 tahun lebih
direkomendasikan menggunakan azitromisin atau claritromisin intravena.
Studi terbaru menurut Snyder dan Fisher (2012) menunjukkan azitromisin adalah
obat yang memiliki efek samping gastrointestinal yang lebih sedikit, karena tidak
menghambat sistem sitokrom P450. Selain itu, eritromisin telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko stenosis pilorus bila diberikan untuk bayi di pertama 2 minggu
setelah kelahiran. Sementara menurut Bayhan et al. (2012), claritromisin sangat
efektif dan aman untuk terapi pada pasien dengan apnea, hipoksia dan kesulitan
makan.
Altuniaji (2012) menunjukkan bahwa pemberian antibiotik untuk pengobatan
pertussis efektif dalam mengeliminasi B.pertussis agar tidak menular tetapi tidak
mengubah perjalanan klinis dari penyakit. Regimen antibiotik yang efektif antara
lain:
 Azitromicin (10 mg/kgBB) single dose selama 3 hari
 Azitromicin (10mg/kgBB pada hari pertama terapi dan 5 mg/kgBB sekali
sehari pada hari kedua hinga hari ke-15 terapi).
 Clarithrimycin (7,5mg/kgBB/dosis 2x/hari) selama 7 hari
 Eritromicin (60mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 7-14 hari
 Eritromicin (60mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 14 hari
 Oxytetracyclin (50mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) selama 7 hari
 Kloramfenikol (50mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) selama 7 hari
Yogi Pamungkas
22010117130097
Regimen terbaik untuk microbiological clearance dengan sedikit efek samping
adalah sebagai berikut :
 Azitromicin (10mg/kgBB) single dose selama 3 hari
 Azitromicin (10mg/kgBB pada hari pertama terapi dan 5mg/kgBB sekali
sehari pada hari kedua hingga hari ke-15 terapi), atau
 Claritromycin (7,5mg/kgBB/dosis) dua kali sehari selama 7 hari

8. Edukasi dan Pencegahan Pertusis


Edukasi
Bagi pasien anak; edukasi orang tua mengenai mudahnya potensi
infeksi menular serta saran meminum profilaksis.
Pasien disarankan untuk menghindarkan tindakan yang dapat
merangsang batuk. Sebaiknya tidak meminum penekan batuk,
namun antitusif dapat diberikan bila batuk sangat mengganggu.

Cara terbaik untuk mencegah pertusis (batuk rejan) untuk bayi, anak-anak,ataupun
dewasa adalah dengan melakukan vaksinasi. Selain itu, kita juga harus menjaga diri
dari orang yang terinfeksi pertussis .Di Indonesia, vaksin yang direkomendasikan
untuk bayi dan anak-anak adalah vaksin DPT. Vaksin tersebut merupakan kombinasi
vaksin yang berguna untuk melindungi tubuh dari tiga jenis penyakit, yaitu difteri,
pertusis, dan tetanus.Vaksin tersebut terdiri dari lima kali injeksi, dimana vaksin
tersebut diberikan pada bayi dan anak-anak pada usia dua bulan, empat bulan, enam
bulan, 15 – 18 bulan, dan 4 – 6 tahun. Efek samping dari vaksin tersebut termasuk
ringan, seperti demam, sensitive atau mudah tersinggung, sakit kepala, serta nyeri
atau rasa pegal ditempat yangdisuntik.
Booster Shots
 Remaja
Karena kekebalan dari vaksin pertusis cenderung menurun pada usia 11tahun.
Hal itu menyebabkan dokter merekomendasikan untuk memberikan booster
Yogi Pamungkas
22010117130097
shot pada umur tersebut untuk meningkatkan kembali kekebalan tubuh dari
penyakit pertusis, dipteri, dan tetanus,
 Dewasa
Umumnya vaksinasi DPT dapat memberikan kekebalan tubuh selama 10
tahun. Sehingga dokter menyarankan untuk memberikan booster shot saat
dewasa untuk meningkatkan kembali kekebalan tubuh. Selain itu, pemberian
vaksin DPT pada saat dewasa dapat mengurangi risiko penularan pertusis dari
orangtua ke anak/bayi.

 Ibu Hamil
Saat ini, para ahli kesehatan menyarankan para wanita hamil untuk menerima
vaksin DPT pada usia kehamilan antara 27 – 36 minggu. Hal ini bertujuan
untuk memberikan kekebalan kepada bayi selama beberapa bulan pertama
kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA
Schläpfer G, Cherry JD, Heininger U, et al. Polymerase chain reaction identification of
Bordetella pertussis infections in vaccinees and family members in a pertussis vaccine
efficacy trial in Germany. Pediatr Infect Dis J 1995; 14:209.
Top KA. Halperin SA. Pertussisn and Other Bordetella Infection. Dalam: Kasper DL. Hauser
SL. Jameson JL. Fauci AS. Longo DL. Loscalzo J. Penyunting. 2015. Harrison’s Principles
of Internal Medicine 19th edition. NewYork : McGrawHill
Cornia P, et al. Pertussis infection in adolescents and adults: Clinical manifestations and
diagnosis [Artikel dari internet]. [Dikutip April 2020]. Dapat diakses melalui [URL]:
https://www.uptodate.com/contents/pertussis-infection-in-adolescents-and-adults-clinical-
manifestations-and-diagnosis
Brooks GF. Carroll KC. Butel JS. Morse SA. Mietzner TA. 2013. Jawetz, Melnick &
Adelberg’s Medical Microbiology 26th edition. New York : McGrawHill
Schmidt-Schläpfer G, Liese JG, Porter F, et al. Polymerase chain reaction (PCR) compared
with conventional identification in culture for detection of Bordetella pertussis in 7153
children. Clin Microbiol Infect 1997; 3:462
Pudjijadi AH, Hegar B, Handryastuti, Idris NS, et al. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Penyunting 2011. Jakarta: Badan Penerbit IDAI

Anda mungkin juga menyukai