Anda di halaman 1dari 9

PENDAHULUAN

Anemia penyakit kronis (Anemia of Chronic Disease, ACD) adalah anemia yang paling
umum pada pasien rawat inap di seluruh dunia. 8 ACD merupakan anemia yang sering terjadi
pada pasien dengan infeksi kronis, penyakit autoimun, kanker, dan penyakit ginjal kronis
(chronic kidney disease, CKD). Sampai saat ini mekanisme molekular dan patogenesis kelainan
distribusi besi pada ACD tidak sepenuhnya diketahui.
Tetapi sekarang jelas bahwa sitokin inflamasi dilepaskan selama infeksi akut atau
penyakit kronis yang dapat mengubah metabolisme besi sistemik dengan menginduksi sintesis
hepcidin.8 Hepcidin adalah suatu peptida yang diproduksi di hepar dan merupakan regulator
penting homeostasis besi sistemik yang mencegah terjadinya kelebihan besi dengan cara
menyebabkan sekuestrasi besi di makrofag dan menurunkan absorpsi besi enteral. Produksinya
ditingkatkan oleh inflamasi dan pemberian besi; dihambat oleh hipoksia, anemia, defisiensi besi,
peningkatan aktivitas eritropoiesis dan pemberian ESA.4 Hepcidin menghambat pengeluaran besi
dari sel-sel dengan memblok aktivitas ferroportin. Kelebihan hepcidin merupakan akar penyebeb
hypoferremia dan terlihat eritropoiesis besi terbatas pada ACD.8
ACD ini umumnya ringan atau sedang yang disertai rasa lemah dan penurunan berat
badan. Umumnya, pada pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai Hb berkisar 7-11 g/dL, kadar
Fe serum menurun disertai TIBC (Total Iron Binding Capacity) yang rendah, cadangan Fe yang
tinggi di jaringan serta produksi sel darah merah berkurang. 5 ACD dikaitkan dengan prognosis
yang buruk dan kualitas hidup yang rendah.8 Ulasan dibawah ini akan membahas anemia
penyakit kronis mulai dari definisi, epidemiologi, etiologi, manifestasi klinis, penegakan
diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis.

Tinjauan Pustaka: Anemia Penyakit Kronis Page 1


Anemia Penyakit kronis

A. Definisi

Anemia penyakit kronis (Anemia of Chronic Disease, ACD) sering dijumpai pada pasien
dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun keganasan.2 Anemia ini umumnya ringan atau
sedang, disertai oleh rasa lemah dan penurunan berat badan dan disebut sebagai anemia pada
penyakit kronis. Pada umumnya anemia pada penyakit kronis ditandai oleh kadar Hb berkisar 7-
11 g/dl, kadar Fe serum menurun disertai TIBC (Total Iron Binding Capacity) yang rendah,
cadangan Fe yang tinggi di jaringan serta produksi sel darah merah berkurang. 5 Selain itu, indeks
dan morfologi eritrosit yang normositik normokromik atau hipokrom ringan (MCV jarang <75
fL).2 Tabel dibawah ini menunjukkan diagnosis diferensial dari ACD.7
Tabel : Diagnosis Diferensial Anemia Penyakit Kronis
Anemia Penyakit Anemia Defisiensi Thalasemia Anemia
Kronik Besi Sideroblastik
Derajat Ringan Ringan sampai berat Ringan Ringan sampai berat
anemia
MCV Menurun/N Menurun Menurun Menurun/N
MCH Menurun/N Menurun Menurun Menurun/N
Besi serum Menurun <0 Menurun <30 Normal/ Normal/
TIBC Menurun <300 Meningkat >360 Normal/ Normal/
Saturasi Menurun/N 10-20% Menurun <15% Meningkat >20% Meningkat >20%
transferin
Besi sumsum Positif Negatif Positif kuat Positif dengan ring
tulang sideroblast
Protoporfirin Meningkat Meningkat Normal Normal
eritrosit
Feritin serum Normal 20-200 µg/l Menurun <20 µg/l Meningkat >50 µg/l Meningkat >50 µg/l
Elektrofoesis N N HbA2 meningkat N
Hb

B. Epidemiologi
Anemia penyakit kronis merupakan anemia terbanyak ke dua setelah anemia defisiensi
besi. Tidak ada data epidemiologi yang secara rinci menjelaskan setiap jenis anemia, termasuk
anemia penyakit kronis. Dari hasil penelitian di RSUP Dr. Kariadi Semarang, didapatkan
prevalensi anemia pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis reguler adalah
86%. Jenis anemia berdasarkan kemungkinan etiologi yang paling sering ditemukan adalah
anemia penyakit kronik.1

Tinjauan Pustaka: Anemia Penyakit Kronis Page 2


C. Etiologi
Laporan/data akibat penyakit TB, abses paru, endocarditis bakteri subakut, osteomyelitis
dan infeksi jamur kronik serta HIV membuktikan bahwa hampir semua infeksi supuratif kronis
berkaitan dengan anemia. Derajat anemia sebanding dengan berat ringanyya gejala, seperti
demam, penurunan berat badan, dan debilitas umum. Untuk terjadinya anemia memerlukan
waktu 1-2 bulan setelah infeksi terjadi dan menetap, setelah terjadi keseimbangan antara
produksi dan penghancuran eritrosit dan Hb menjadi stabil.5
Anemia pada inflamasi kronis secara fungsional sama seperti infeksi kronis, tetapi lebih
sulit karena terapi yang efektif lebih sedikit. Penyakit kolagen dan artritis rheumatoid merupakan
penyebab terbanyak. Enteritis regional, colitis ulseratif serta sindrom inflamasi lainnya juga
dapat disertai anemia pada penyakit kronik.5
Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker, walupun masih dalam stadium
dini dan asimptomatik, seperti pada sarkoma dan limfoma. Anemia ini biasanya disebut anemia
pada kanker (cancer releted anemia). Penyebab anemia karena penyakit kronik dapat dilihat
pada tabel dibawah ini2,3,5 :

D. Patogenesis

Etiologi dari ACD adalah multifaktorial dan ditandai oleh aktivitas sel imun dan respon
sitokin inflamasi yang mengurangi produksi eritrosit, mengganggu eritropoiesis, mengurangi
masa hidup eritrosit, dan disregulasi homeostasis besi.8 Berbeda dengan anemia defisiensi besi,
tanpa inflamasi. ACD biasanya merupakan anemia normokromik normositik, mikrositik
biasanya tidak terlihat, kecuali bersamaan dengan kekurangan zat besi. Pathogenesis ACD dapat
dilihat dari uraian dibawah ini4,5,8 :

a. Pemendekan masa hidup eritrosit

Tinjauan Pustaka: Anemia Penyakit Kronis Page 3


Diduga anemia terjadi merupakan bagian dari sindrom stress hematologic, dimana
terjadi produksi sitokin yang berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi
atau kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan sekuestrasi makrofag sehingga mangikat
lebih banyak zat besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpa, menekan produksi
eritropoetin oleh ginjal, serta menyebakan perangsangan yang inadekuat pada eritropoesis di
sumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi dapat menyebabkan penurunan
transformasi T4 (tetra iodothyronine) manjadi T3 (tri-iodothyronine), menyebabkan
hipotirod fungsional dimana terjadi penurunan kebutuhan Hb yang mengangkut O 2 sehingga
sintesis eritropoetin-pun akhirnya berkurang.
Pengikatan lebih banyak zat besi menyebabkan konsentrasi rendah serum besi, TIBC
rendah atau normal, dan saturasi transferin serta retikulosit redah. Yang terpenting atau
kunci dari ACD adalah akumulasi besi dalam retikuloendotelial makrofag meskipun
mengurangi kada zat besi dalam sirkulasi. Sehingga sedikit zat besi dalam sirkulasi yang
tersedia untuk sintesis hemoglobin. Ada kemungkinan manusia menggunakan meknisme ini
untuk menyerap zat besi sebagai pertahanan dari patogen tertentu yang menyerang. Namun,
pengalihan zat besi dari sirkulasi ke makrofag sangat efektif untuk menyebabkan defisiensi
fungsional besi dan besi terbatas untuk eritropoiesis, akhirnya jika tidak ditangani
menyebabkan anemia. Penting untuk diingat bahwa pada anemia defisiensi besi, zat besi
kosong baik di sirkulasi maupun dan makrofag.
Meskipun sumsum tulang yang normal dapat mengkompensasi pemendakan masa
hidup eritrosit, diperlukan stimulus eritropoetin oleh hipoksia akibat anemia. Pada penyakit
kronik, kompensasi yang terjadi kurang dari yang diharapkan akibat berkurangnya pelepasan
atau menurunya respon terhadap eritropoetin.
b. Peningkatan kadar hepcidin serum
Dalam sebuah penelitian, ditemukan hepcidin yang merupakan hormon regulasi besi.
Inflamasi akibat infeksi, penyakit autoimun, atau kanker yang merangsang sintesis banyak
sitokin seperti interferon-γ, interleukin-1 (IL-1), dan interleukin-6 (IL-6) menginduksi
produksi kelebihan hepcidin. Produksi hepcidin jangka panjang, karena kemampuannya
yang dapat menghambat fungsi ferroportin pada enterosit duodenum dan makrofag,
menyebabkan penyerapan zat besi yang buruk dari usus dan retensi besi meningkat yang
merupakan ciri dari ACD.

Tinjauan Pustaka: Anemia Penyakit Kronis Page 4


Sebuah mekanisme molekuler ditandai dengan inflamasi, sbagai mediator utamanya
disini adalah IL-6/ Jalur Kinase 2 (JAK2)- signal tranducer dan jalur aktivator transkripsi 3
(STAT3). Ligan mengikat reseptor IL-6 mengaktifkan JAK2, terjadi fosforilasi transkripsi
faktor STAT3. Translokasi STAT3 terfosforilasi ke dalam inti dan pengikatan STAT3 ke
promotor hepsidin menghasilkan peningkatan regulasi ekspresi gen hepcidin (Figure 1).

c. Penghancuran eritrosit
Beberapa penilitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit memendek pada sekitar
20-30 % pasien. Defek ini terjadi pada ekstrakorpuskuler, karena bila eritrosit pasien
ditransfusikan ke resipien normal, maka dapat hidup normal. Aktivasi makrofag oleh sitokin
menyebabkan peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut dan sebagai bagian dari filter
limpa (compulsive screening), menjadi kurang toleran terhadap perubahan atau kerusakan
minor dari eritrosit.
d. Produksi eritrosit
Gangguan metabolisme zat besi. Kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi
cukup menunjukkan adanya gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronik. Hal ini

Tinjauan Pustaka: Anemia Penyakit Kronis Page 5


memberikan konsep bahwa anemia dapat disebabkan oleh penurunan kemampuan Fe dalam
sintesis Hb.

E. Manifestasi Klinis
Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan sedang, sering kali gejalanya
tertutup oleh gejala penyakit dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-11 gr/dl umumnya
asimptomatik. Meskipun demikian apabila demam atau debilitas fisik meningkat, pengurangan
kapasitas transpor O2 jaringan akan memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan
sebelumnya.5
Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai konjungtiva yang pucat tanpa kelainan
yang khas dari anemia jenis ini, dan diagnosis biasanya tergantung dari hasil pemeriksaan
laboratorium.5

F. Pemeriksaan Laboratorium
Anemia umumnya adalah normokrom-normositer, meskipun banyak pasien mempunyai
gambaran hipokrom dengan MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Capacity) <31 g/dl dan
beberapa mempunyai sel mikrositer dengan MCV (Mean Corpuscular Volume) <80 fL. Nilai
retikulosit absolut dalam batas normal dan trombosit tidak konsisten, tergantung dari penyakit
dasarnya.5
Penurunan Fe serum (hipoferemia) merupakan kondisi sine qua non untuk diagnosa
penyakit anemia karena penyakit kronis. Keadaan ini timbul segera setelah timbul onset suatu
infeksi atau inflamasi dan mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi protein pengikat Fe
(transferin) menurun menyebabkan saturasi Fe lebih tinggi dari pada anemia defisiensi besi.
Produksi Fe ini relatif mungkin mencukupi dengan meningkatkan transfer Fe dari suatu
persediaan yang kurang dari Fe dalam sirkulasi kepada sel eritroid imatur.5
Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi lebih lambat dari pada penurunan Fe
serum, disebabkan karena waktu paruh transferin lebih lama (8-12 hari) dibandingkan dengan Fe
(90 menit) dan karena fungsi metabolik yang berbeda.5
G. Pengobatan
Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati penyakit dasarnya. Terdapat
beberapa cara dalam mengobati anemia jenis ini, antara lain5 :

Tinjauan Pustaka: Anemia Penyakit Kronis Page 6


a. Transfusi
Merupakan pilihan kasus-kasus yang disertai gangguan hemodinamika. Tidak ada
batasan yang pasti pada kadar Hb berapa kita harus memberi transfusi. Beberapa literatur
disebutkan bahwa pasien anemia penyakit kronik yang terkena infak miokard, transfusi
dapat menurunkan angka kematian secara bermakna. Demikian juga dengan pasien
anemia akibat kanker, sebaiknya kadar Hb dipertahankan 10-11 g/dl.
b. Preparat besi
Pemberian preparat besi pada anemia panyakit kronik masih dalam perdebatan. Sebagian
pakar masih memberikan preparat besi dengan alasan besi adapat mencegah
pembentukan TNF-a. Alasan lain, pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat
terbukti dapat meningkatkan kadar Hb. Terlepas dari adanya pro dan kontra, sampai saat
ini pemberian preparat besi belum direkomendsikan untuk diberikan pada pasien anemia
penyakit kronik.
c. Eritropoietin
Data penelitian menunjukkan bahwa pemberian eritropoetin bermanfaat dan sudah
disepakati untuk diberikan pada pasien anemia akibat kanker, gagal ginjal, myeloma
multiple, artritis reumathoid dan pasien HIV. Selain dapat menghindari transfusi beserta
efeknya, pemberian eritropoetin memberikan keuntungan yaitu : mempunyai efek anti
inflamasi dengan cara menekan produksi TNF-a dan interferon gamma. Dilain pihak
pemberian eritropoetin akan menambah proliferasi sel-sel kanker ginjal serta
meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan leher.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sun, et al., terapi alternatife untuk untuk
ACD yang menargetkan pada hepcidin-ferroportin8. Terapi yang menurunkan produksi hepcidin
dan meningkatkan aktifitas ferroportin akan meningkatkan bioavailabilitas besi dari diet dan
akan memobilisasi penyimpanan besi dalam tubuh untuk eritropoiesis, tanpa risiko merugikan
dari terapi besi atau ESA (erythropoiesis-stimulating agents). Sebuah strategi yang
menghambat fungsi hepcidin (direct hepcidin antagonist), mencegah transkripsi hepcidin
(hepcidin production inhibitors), atau mempromosikan resistensi ferroportin pada aksi hepcidin
(ferroportin agonis/stabilizers) saat ini sedang diteliti (Figure 2)8.

Tinjauan Pustaka: Anemia Penyakit Kronis Page 7


H. Prognosis
Anemia penyakit kronis, yang merupakan salah satu fitur utama dari penyakit ginjal
kronis (CKD), dan CKD sendiri sering bersamaan pada pasien dengan infark miokard akut
(AMI).6 Bukti klinis dari Negara Amerika dan penelitian di Eropa menunjukkan bahwa anemia
dan CKD berhubungan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas pada pasien AMI selama
jangka pendek serta jangka panjang. Di sisi lain, sindrom anemia cardiorenal, di mana terdapat
secara simultan CKD, anemia, dan gagal jantung menciptakan hubungan timbal balik secara
patologis, sehingga menghasilkan dampak yang merugikan sinergis dengan morbiditas dan
mortalitas.6,8

Daftar Pustaka

Tinjauan Pustaka: Anemia Penyakit Kronis Page 8


1. Adiatma, D. C. Prevalensi Dan Jenis Anemia Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang
Menjalani Hemodialisis Reguler. Thesis. [pdf] Available at:
<http://eprints.undip.ac.id/44532/1/Dhanny_Candra_A_22010110120112_Bab0KTI.pdf>
[Accessed April, 10th 201]; 2014.
2. Hoffbrand, A.V. Kapita Selekta Hematologi. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2013.
3. Lichtin, A. E. Anemia of Chronic Disease. Available at:
<http://www.merckmanuals.com/professional/hematology_and_oncology/anemias_cause
d_by_deficient_erythropoiesis/anemia_of_chronic_disease.html> [Accessed April, 10th
2015]; 2013.
4. Pardede, D. K. B. Hepsidin: Peranannya dalam Patogenesis dan Implikasinya terhadap
Tata Laksana Anemia pada Penyakit Ginjal Kronis. [pdf] Vol. 40, No. 5. Available at:
<http://www.kalbemed.com/Portals/6/07_204Hepsidin-Peranannya%20dalam
%20Patogenesis%20dan%20Implikasinya.pdf> [Accessed April, 10th 2015]; 2013.
5. Setiati, S. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jilid 1. Jakarta: Interna
Publishing; 2014.
6. Shiraishi, J. et al. Prognostic Impact of Chronic Kidney Disease and Anemia at
Admission on In-Hospital Outcomes After Primary Percutaneous Coronary Intervention
for Acute Myocardial Infarction. International Heart Journal [pdf], Vol. 55, No. 4.
Available at: <https://www.jstage.jst.go.jp/article/ihj/55/4/55_13-367/_pdf> [Accessed
April, 7th 2015]; 2014.
7. Sudoyo, A. W. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jilid 2. Jakarta: Interna
Publishing; 2009.
8. Sun, C. C. et al. Targeting the hepcidin–ferroportin axis to develop new treatment
strategies for anemia of chronic disease and anemia of inflammation. American Journal
of Hematology [pdf]. Available at:
<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3653431/> [Accessed April, 9th 2015];
2012.

Tinjauan Pustaka: Anemia Penyakit Kronis Page 9

Anda mungkin juga menyukai