Mini-Tb
Mini-Tb
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk merubah perilaku dan pandangan masyarakat mengenai TB Paru di Kelurahan
Rambutan.
2
1.3.2 Tujuan Khusus
Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai TB Paru
Untuk menningkatkan kesadaran masyarakat untuk berobat TB Paru
Untuk meningkatkan CDR, angka kesembuhan dan angka keberhasilan pengobatan
TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Rambutan.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat bagi instansi (Puskesmas):
Sebagai bahan informasi bagi Puskesmas untuk meningkatkan CDR,angka
kesembuhan dan angka keberhasilan pengobatan TB Paru di wilayah kerja Puskesmas
Rambutan
1.4.2 Manfaat bagi masyarakat
1. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai penyakit TB paru, terutama
dalam hal cara penularan serta cara mencegah penularannya serta pengobatan yang
harus diberikan.
2. Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya penyakit TB paru serta cara
pencegahan penularannya.
3. Agar masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih maksimal berkaitan
dengan penatalaksanaan penyakit TB, baik dalam hal pencegahan maupun
pengobatan penyakit ini.
1.4.3 Manfaat bagi Dokter Internship
Merupakan kesempatan untuk menambah pengalaman serta menerapkan ilmu
kedokteran terutama Ilmu Kesehatan Masyarakat dan keilmuan mengenai salah satu
penyakit terbesar di Indonesia, yaitu TB paru. Dapat digunakan untuk penelitian
selanjutnya untuk mendapatkan perubahan sikap dan perilaku yang lebih signifikan.
Menambah pengetahuan mengenai program-program pemerintah mengenai
penyakit tuberkulosis, sehingga kedepannya dapat diterapkan di lain tempat, dan tidak
hanya meningkatkan cakupan TB paru di Kelurahan Rambutan saja, melainkan
ditempat lain.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh basil
aerob yang tahan asam, Mycobacterium tuberculosis atau spesies lain yang dekat seperti M.
bovis dan M. africanum. Tuberkulosis biasanya menyerang paru-paru tetapi dapat pula
menyerang susunan saraf pusat, sistem limfatik, sistem pernapasan, sistem genitourinaria,
tulang, persendian, bahkan kulit.4
2.2 Etiologi
Bakteri utama penyebab penyakit tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis.
M. tuberculosis berbentuk basil atau batang ramping lurus yang berukuran kira-kira 0,2-0,4 x
2-10 µm, dan termasuk gram positif. Mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TBC cepat mati
dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang
gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama beberapa
tahun.4
Pada medium kultur, koloni bakteri ini berbentuk kokus dan filamen. Identifikasi
terhadap bakteri ini dapat dilakukan melalui pewarnaan tahan asam metode ziehl-neelsen
maupun tanzil, yang mana tampak sebagai basil berwarna merah di bawah mikroskop.5,6
Gambar 2.1 Basil tuberkel (merah) di bawah mikroskop dengan pewarnaan tahan asam
Pada umumnya, genus mycobacterium kaya akan lipid, mencakup asam mikolat
(asam lemak rantai panjang C78-C90), lilin, dan fosfatida. Lipid dalam batas-batas tertentu
bertanggung jawab terhadap sifat tahan-asam bakteri. Selain lipid, mycobacterium juga
4
mengandung beberapa protein yang dapat memicu reaksi tuberkulin, dan mengandung
berbagai polisakarida.5
Mycobacterium tidak menghasilkan toksin, tetapi termasuk organisme yang virulen
sehingga bila masuk dan menetap dalam jaringan tubuh manusia dapat menimbulkan
penyakit. Bakteri ini terutama akan tinggal secara intrasel dalam monosit, sel
retikuloendotelial, dan sel-sel raksasa.5
2.3 Epidemiologi
Penyebaran kasus TB di dunia memang tidak merata dan justru 86% dari total kasus
TB global ditanggung oleh negara berkembang. Sekitar 55% dari seluruh kasus global
tersebut terdapat pada negara-negara di benua Asia, 31% di benua Afrika, dan sisanya yang
dalam proporsi kecil tersebar di berbagai negara di benua lainnya. Melihat hal ini, maka
WHO telah menetapkan 22 negara yang dianggap sebagai high-burden countries dalam
permasalahan TB untuk mendapatkan perhatian yang lebih intensif dalam hal
penanggulangannya. Indonesia adalah salah satu negara yang termasuk di dalamnya.1
Berdasarkan laporan WHO dalam Global Report 2009, pada tahun 2008 Indonesia
berada pada peringkat 5 dunia penderita TB terbanyak setelah India, China, Afrika Selatan
dan Nigeria. Peringkat ini turun dibandingkan tahun 2007 yang menempatkan Indonesia pada
posisi ke-3 kasus TB terbanyak setelah India dan China.1
5
India China Indonesia
Nigeria Afrika Selatan
1,962 1,982
1,306 1,301
Grafik 2.1 Daftar lima besar negara dengan jumlah kasus baru TB terbanyak tahun 2008.
2.5 Patofisiologi
Tuberkulosis Primer2
Bila droplet terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran nafas atau
jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5 mikrometer.
Selanjutnya kuman akan dihadapi oleh neutrofil, lalu oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini
akan mati atau dibersihkan keluar oleh makrofag bersama gerakan silia dengan sekretnya.
Bila kuman menetap di jaringan paru, maka akan berkembangbiak dalam sitoplasma
makrofag, bersarang di jaringan paru akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut
sarang primer atau afek primer atau sarang (focus) Ghon. Sarang primer ini mungkin timbul
di bagian mana saja dalam paru. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah
bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar
6
getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis
regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu
nasib sebagai berikut:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik,
sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah epituberkulosis,
yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar
hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang
bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan
pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya.
Kuman juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus.
Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya
tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh
secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imunitasyang adekuat, penyebaran ini
akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis
tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia
dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada
anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau
- Meninggal.
Tuberkulosis Pasca-Primer2
Dari tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-
primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang
bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis
menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem
kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai
dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun
lobus inferior. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
7
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat.
2. Sarang tadi mula mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan sembuh dalam bentuk perkapuran.
Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju
dan menimbulkan kavitas bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kavitas akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas awalnya berdinding tipis,
kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kavitas sklerotik). Nasib kavitas ini :
Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru lalu mengikuti
pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas.
Memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali,
mencair lagi dan menjadi kavitas lagi.
Kavitas bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity,
atau kavitas menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan
berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti
bintang (stellate shaped).
8
2.6 Faktor Risiko
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis7 :
Usia
Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia
diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun.
Jenis Kelamin
Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996
jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlahpenderita
TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. TB paru
lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki
sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB
paru dimana Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak
2,2 kali.
Penyakit Penyerta
Umumnya penderita TB dalam keadaan malnutrisi dengan berat badan sekitar 30-50 kg
atau indeks masa tubuh kurang dari 18,5 pada orang dewasa. Sementara berat badan
yang lebih kecil 85% dari berat badan ideal kemungkinan mendapat TB adalah 14 kali
lebih besar dibandingkan dengan berat badan normal. Ini yang menjadi pemikiran
bahwa malnutrisi atau penurunan berat badan telah menjadi faktor utama peningkatan
resiko TB menjadi aktif. Pola makan orang Indonesia yang hampir 70% karbohidrat dan
hanya 10% protein yang pada penyakit kronis selalu disertai dengan tidak selera makan,
tidak mau makan, tidak bisa makan atau tidak mampu membeli makanan yang
mempunyai kandungan gizi baik (kurang protein), sehingga penderita ini mempunyai
status gizi yang buruk.
Selain faktor gizi, penyakit seperti Diabetes Mellitus (DM) dan infeksi HIV merupakan
salah satu faktor risiko. Prevalensi TB paru pada DM meningkat 20 kali dibanding non
DM dan aktivitas kuman tuberkulosis meningkat 3 kali pada DM berat dibanding DM
ringan.
Penderita Tuberkulosis menular (dengan sputum BTA positif) yang juga mengidap HIV
merupakan penularan kuman tuberkulosis tertinggi. Tuberkulosis diketahui merupakan
infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan pada pasien dengan reaksi seropositif.
9
Apabila seseorang dengan seropositif tertular kuman ini maka karena kekebalannya
rendah, besar sekali kemungkinannya akan langsung menderita Tuberkulosis.
Kepadatan Hunian dan Kondisi Rumah
Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit. Semakin padat maka
perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular melalui udara akan semakin mudah
dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita TB dengan BTA positif.
Suhu didalam ruangan erat kaitannya dengan kepadatan hunian dan ventilasi rumah.
Kondisi kepadatan hunian perumahan atau tempat tinggal lainnya seperti penginapan,
panti-panti tempat penampungan akan besar pengaruhnya terhadap risiko penularan. Di
daerah perkotaan (urban) yang lebih padat penderita TB lebih besar. Sebaliknya di
daerah rural akan lebih kecil kemungkinannya.
Ventilasi cukup menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga
keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga. Ventilasi
yang baik juga menjaga dalam kelembaban (humidity) yang optimum.
Cahaya matahari cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dimana cahaya matahari ini dapat
diperoleh dari ventilasi maupun jendela/genting kaca. Mycobacterium tuberculosis
tumbuh optimal pada suhu 37°C. Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat
membunuh Mycobacterium tuberculosis. Bakteri tahan hidup pada tempat gelap,
sehingga perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang gelap.
Status Sosial Ekonomi Kleuarga
WHO tahun 2007 menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok sosial
ekonomi lemah atau miskin dan menurut Enarson TB merupakan penyakit terbanyak
yang menyerang negara dengan penduduk berpenghasilan rendah. Sosial ekonomi yang
rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan hunian yang tinggi dan buruknya
lingkungan, selain itu masalah kurang gizi dan rendahnya kemampuan untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak juga menjadi problem bagi golongan
sosial ekonomi rendah.
Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita TB
Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan
berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhinya berakibat
menjadi sumber penular bagi orang di sekelilingnya.
10
2.7 Klasifikasi Penyakit
Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe pada penyakit tuberculosis adalah5 :
1. Menentukan panduan pengobatan yang sesuai
2. Registrasi kasus secara benar
3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif
4. Analisis kohort hasil pengobatan
Tuberkulosis diklasifikasikan berdasarkan empat hal, yaitu : organ tubuh yang sakit, hasil
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung, tingkat keparahan penyakit, dan riwayat
pengobatan sebelumnya3.
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena :
1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru :
1. Tuberkulosis paru BTA positif
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberculosis.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
- 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
11
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
- Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
- Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
- Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
- Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan
c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit
1. TB Paru BTA negatif foto toraks positif
Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.
Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang
luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan pasien yang buruk.
2. TB ekstra-paru
Dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu :
a. TB ekstra paru ringan, misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,
tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
b. TB ekstra-paru berat, misalnya : meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudatifa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih, dan alat
kelamin.
Catatan :
- Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk
kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
- Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat
sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.
d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis
dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan
BTA positif (apusan atau kultur).
3. Kasus setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
12
4. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus Lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan.
13
suara amforik. Pada tuberkulosis paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan
atrofi dan retraksi otot-otot interkostal.6
Pemeriksaan mikroskopis dahak merupakan salah satu cara yang paling efisien untuk
mengidentifikasi penderita TBC. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto
toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya.Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Kriteria BTA positif apabila ditemukan 3 batang kuman BTA
pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5000 kuman dalam 1 ml sputum.8
Penderita dengan sediaan positif sepuluh kali lebih infeksius dibandingkan dengan
penderita sediaan negatif. Tujuan pemeriksaan mikroskopis dahak adalah menegakkan
diagnosis TBC, menentukan tingkat penularan, memantau kemajuan pengobatan,
menentukan terjadinya kegagalan pada akhir pengobatan.8
Pengumpulan dahak dilakukan tiga kali, yaitu sewaktu hari-1, pagi hari-2, dan
sewaktu hari-2 (SPS).3
Sewaktu hari-1 (S): dahak dikumpulkan pada saat penderita datang berkunjung pertama
kali. Pada saat pulang, penderita membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan
dahak pagi pada hari kedua.
Pagi hari-2 (P): penderita mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
Sewaktu hari-2 (S): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.
Selain pengumpulan dahak dapat juga dilakukan pemeriksaan biakan untuk
identifikasi M. Tuberculosis pada penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah
pasien yang bersangkutan masih peka terhadap obat anti tuberkulosis yang digunakan.
Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes
resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi, yaitu pasien TB yang masuk dalam tipe
pasien kronis, pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak, petugas kesehatan yang menangani
pasien dengan kekebalan ganda. Adapun pemeriksaan tes resistensi hanya dilakukan di
laboratorium yang mampu melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai
standar internasional, dan telah mendapatkan pemantapan mutu oleh laboratorium
supranasional TB. 3
14
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan
dahak secara mikroskopik dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu
pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan. Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Indikasi
pemeriksaan foto toraks pada pasien TB adalah sebagai berikut:3
Hanya satu dari tiga spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini
pemeriksaan foto thoraks diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif.
Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan
penanganan khusus (seperti pneumothoraks dan pleuritis eksudativa) dan pasien yang
mengalami hemoptisis berat.
Selain pemeriksaan diatas, terdapat juga mantoux test/ tuberculin test. Pemeriksaan ini
digunakan untuk membantu menegakan diagnosis tuberculosis terutama pada anak-anak
(balita). Uji tuberkulin menggunakan 0,1 cc tuberkulin P.P.D intrakutan berkekuatan 5 T.U.
Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah individu sedang atau pernah mengalami infeksi M.
Tuberculosae, M. Bovis, vaksinasi BCG, dan mycobakterium patogen lainnya. Setelah 48-72
jam tuberkulin disuntikan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari
infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi selular dan antigen tuberkulin.4
Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter
dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi3:
1. Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif. Arti klinis : tidak ada
infeksi Mycobacterium tuberculosis.
15
2. Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux meragukan. Hal ini bisa karena
kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi
BCG.
3. Pembengkakan (Indurasi) : ≥ 10mm, uji mantoux positif. Arti klinis : sedang atau
pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
Hal yang menyebabkan reaksi tuberkulin berkurang (negatif palsu) yakni:4
a. Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberculosis
b. Anergi, penyakit sistemik berat (sarkoidosis, SLE)
c. Penyakit eksantematous dengan panas yang akut : morbili, cacar air, poliomyelitis
d. Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit limforetikular (Hodgin)
e. Pemberian kortikosteroid lama, pemberian obat imunosupresi lainnya
f. Usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan
g. Untuk pasien HIV positif, test mantoux ± 5 mm dinilai positif
16
Skema2.1 Alur Diagnosis TB Paru3
Terapi
Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap OAT3.
Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut3:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
17
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap Awal (Intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap
intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif
menjadi BTA negatif (konversi dalam 2 bulan).
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di
Indonesia3:
o Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
o Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
o Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan
dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis
obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.3
Paduan OAT dan peruntukannya3:
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien baru TB paru BTA positif.
18
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
Pasien TB ekstra paru
Tabel 2.1. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 13
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3 kali
selama 56 hari RHZE seminggu selama 16
(150/75/400/275) minggu RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT
19
Tabel 2.4. Dosis panduan OAT Kombipak untuk Kategori 2
20
samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek samping
ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan3.
21
LajuEndap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuanpengobatan karena tidak
spesifik untuk TB.Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan specimen
sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakannegatif bila ke 2
spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimenpositif atau keduanya positif, hasil
pemeriksaan ulang dahak tersebutdinyatakan positif.3
Tabel 2.9. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak
22
2.10Program Penanggulangan TB di Indonesia
Pada tahun 1995, program penanggulangan TB nasional mulai menerapkan strategi
DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. DOTS adalah strategi penyembuhan
TB Paru jangka pendek dengan pengawasan secara langsung.Sejak tahun 2000 strategi DOTS
dilaksanakan secara nasional di seluruh Unit Pelayanan Puskesmas terutama Puskesmas yang
diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar. Strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Short-course) terdiri 5 kunci:3
1. Komitmen politis
2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus
yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.
4. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil
pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.
Visi penanggulangan TB di Indonesia adalah masyarakat yang mandiri dalam hidup sehat
dimana tuberkulosis tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Sedangkan misinya
adalah menjamin bahwa setiap pasien TB mempunyai akses terhadap pelayanan yang
bermutu, untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian karena TB, menurunkan resiko
penularan TB dan mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat TB. Target program
penanggulangan TB adalah tercapainya penemuan pasien baru TB BTA positif paling sedikit
70% dari perkiraan dan menyembuhkan 85% dari semua pasien tersebut serta
mempertahankanya. Target ini diharapkan dapat menurunkan tingkat prevalensi dan kematian
akibat TB hingga separuhnya pada tahun 2010 dibanding tahun 1990, dan mencapai tujuan
Millennium Development Goals (MDG’s) pada tahun 2015.3
Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB digunakanbeberapa
indikator. Indikator penanggulangan TB secara Nasional ada 2 yaitu :
• Angka Penemuan Pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR)
Adalah prosentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dandiobati
dibanding jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut.
Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada
wilayah tersebut.
Jumlah pasien baru TB BTA Positif yang dilaporkan
dalam TB.07 X 100%
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA Positif
23
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh berdasarkan perhitungan
angka insidens kasus TB paru BTA positif dikali dengan jumlah penduduk. Target Case
Detection Rate Program Penanggulangan TuberkulosisNasional minimal 70%.
• Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = SR).
Adalah angka yang menunjukkan prosentase pasienbaru TB paru BTA positif yang
menyelesaikan pengobatan (baik yangsembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien
baru TB paru BTApositif yang tercatat.Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan
dari angkakesembuhan dan angka pengobatan lengkap. Cara menghitung angka keberhasilan
pengobatan :
Jumlah pasien baru TB BTA positif (sembuh + pengobatan
lengkap) X
Jumlah pasien baru TB BTA positif yg diobati 100%
Angka default tidak boleh lebih dari 10%, karena akan menghasilkan proporsi kasus
retreatment yang tinggi dimasa yang akan datang yang disebabkan karena ketidak-efektifan
dari pengendalian Tuberkulosis. Menurunnya angka default karena peningkatan kualitas
penanggulangan TB akan menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang antara 10-20 %
dalam beberapa tahun.
Penatalaksanaan TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang dikelola dengan
menggunakan strategi DOTS. Penatalaksanaan penyakit TB merupakan bagian dari
surveilans penyakit, tidak sekedar memastikan pasien menelan obat sampai dinyatakan
sembuh, tetapi juga berkaitan dengan pengelolaan sarana bantu yang dibutuhkan, petugas
yang terkait, pencatatan, pelaporan, evaluasi kegiatan dan rencana tindak lanjutnya.2
Adapun strategi penemuan pasien TB adalah sebagai berikut:
24
Dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di
unit pelayanan kesehatan, didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas
kesehatan maupun masyarakat.
Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan pada
keluarga anak yang menderita TB yang menunjukan gejala sama, harus diperiksa
dahaknya.
BAB III
METODE
25
3.2.1 Tempat dan Waktu Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan di Kelurahan Rambutan pada tanggal 20 Maret-30
April 2015.
3.2.2 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah pengumpulan data secara
primer dan sekunder dengan melakukan kunjungan Kelurahan Rambutan.
3.2.3 Populasi dan Sampel Data
Sebagai populasi adalah seluruh warga kelurahan Rambutan, kecamatan
Ciracas, Jakarta Timur yang terdiri dari enam RW. Tidak dilakukan sampling karena
pengamatan dilakukan pada total populasi.
3.5 Evaluasi
Dibahas pada Bab Diskusi
27
BAB IV
HASIL
29
Tabel 4.1. Kecamatan Luas Wilayah dan Jumlah Kelurahan
Luas Wilayah
Kecamatan Jumlah Kelurahan
(Ha)
1. Matraman 485,13 6
2. Jatinegara 1.063,52 8
3. Pasar Rebo 1.294,60 5
4. Kramat Jati 1.333,45 7
5. Pulo Gadung 1.572,15 7
6. Cakung 4.248,08 7
7. Ciracas 1.608,30 5
8. Cipayung 2.729,59 8
9. Makasar 2.163,01 5
10. Duren Sawit 2.270,60 7
Jumlah 18.767,43 65
30
Gambar 4.3. Peta Wilayah Kecamtan Ciracas.12
31
Gambar 4.4 Peta Wilayah Kelurahan Kampung Rambutan.13
32
Januari 28 21 50 50 14 8 45 51
Februari 33 24 55 68 10 5 32 29
Maret 24 19 63 77 10 6 52 43
April 14 16 50 55 3 9 56 40
Uraian mobilitas penduduk di Kelurahan Rambutan bulan April 2015 sebagai
berikut:14
Datang dari dalam wilayah DKI Jakarta : 57 jiwa
Datang dari luar wilayah DKI Jakarta : 48 jiwa
Pindah dalam wilayah DKI Jakarta : 57 jiwa
Pindah ke luar wilayah DKI Jakarta : 39 jiwa
Tabel 4.4. Jumlah Penduduk dan Jumlah Kepala Keluarga Wilayah Kerja Puskesmas
Kelurahan Rambutan per April 2015
No RW Jumlah Jumlah KK
Penduduk
1 2 3 4
1 RW 1 7.148 2.117
2 RW 2 6.143 2.072
3 RW 3 6.517 1.812
4 RW 4 6.713 2.140
5 RW 5 5.493 1.167
6 RW 6 8.651 2.753
Jumlah 40.665 12.121
33
Tabel 4.6. Jumlah Perbandingan Penduduk Menurut Kelompok Umur Wilayah Kerja
Puskesmas Rambutan per April 2015
No Kelompok Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah %
Penduduk
1 2 3 4 5 6
1 0 – 4 Tahun 1.439 1.493
2 5 – 9 Tahun 1.971 1.932
3 10 – 14 Tahun 1.974 1.677
4 15 – 19 Tahun 1.662 1.597
5 20 – 24 Tahun 1.746 1.695
6 25 – 29 Tahun 2.108 2.138
7 30 – 34 Tahun 2.126 2.129
8 35 – 39 Tahun 2.002 1.911
9 40 – 44 Tahun 1.725 1.552
10 45 – 49 Tahun 1.345 1.250
11 50 – 54 Tahun 1.052 969 40.665
12 55 – 59 Tahun 757 670
13 60 – 64 Tahun 443 402
14 65 – 69 Tahun 263 240
15 70 – 74 Tahun 130 108
16 75 + Tahun 68 91
JUMLAH 20.811 19.854
34
5 Pensiunan 948
6 Tani -
7 Buruh 3.775
8 Pedagang 3.292
9 Lain-lain 5.531
10 Pengangguran 855
Jumlah 18.794
Jumlah balita yang tertera pada tabel diatas menunjukkan jumlah balita per wilayah
di kelurahan Rambutan. Jumlah balita terbanyak dimiliki oleh RW 6 sebanyak 409 balita.
Jumlah total keseluruhan balita di kelurahan Rambutan sebanyak 1.842 balita. Balita yang
memiliki Kartu Menuju Sehat (KMS) yaitu balita yang datang ke posyandu sebanyak
1.669 balita.
35
4 Sarjana Kesehatan 1 PNS
5 Bidan 11 3 PNS, 1 CPNS, 7
Honorer
6 Perawat 2 PNS
7 AAK 1 PNS
8 Ahli Gizi 1 PNS
9 Perawat Gigi 1 PNS
Jumlah 20
36
1 PKC. Pulo Gadung
2 PKC Pasar Rebo
3 PKC Kramat Jati
4 PKC Duren Sawit
5 PKC Cipayung
6 PKC Ciracas
7 PKC Jatinegara
8 PKC Cakung
9 PKC Matraman
No Rujukan Pelayanan Kesehatan Tingkat Kedua
1 RSJ Klender
2 RSU Mediros
3 RSU Kartika Pulomas
4 RSU Antam Medika
5 RSU Harapan Bunda
6 RSU Yadika Pondok Bambu
7 Yayasan Ginjal Diatrans
8 RS Gilut TNI AU
9 RSU Pengayoman Cipinang
10 RS TK IV Kesdam Cijantung
11 RSIA Bunda Aliyah
12 RS Pusdikkes (TK IV)
13 RSIA Resti Mulia
14 RSKO Cibubur
15 RS Bedah Rawamangun
16 RSU Harapan Jayakarta
17 RSU Harum
18 Klinik HD Jati Waring
37
4.6 Data Kesehatan Masyarakat
4.6.1 Penyakit Terbanyak
Berdasarkan Laporan Tahunan Puskesmas Kelurahan Rambutan, data 10
Penyakit terbanyak dapat dilihat pada tabel berikut:15
Tabel 4.13. 10 Penyakit Terbanyak Puskesmas Kelurahan Rambutan
No Penyakit Jumlah
1 ISPA 1922
2 Gastritis & Duodenitis 477
3 Penyakit kulit infeksi dan alergi 444
4 Hipertensi 412
5 Penyakit sistem otot dan jaringan ikat 411
6 Penyakit lainnya 251
7 Diare 209
8 TB Paru 43
9 Asma 32
10 Cacar air 19
38
BUAH/SAYUR 100 98 100 95 97 76.7
OLAH RAGA 25.3 79.9 99.1 82.2 100 67.7
Pada tabel diatas, terdapat hasil Perilaku Hidup Bersih Sehat di Puskesmas
Kelurahan Rambutan. Dari tabel diatas, RW yang mendapatkan predikat PHBS
terbaik adalah RW 3 dengan hasil 73,8%. Sedangkan wilayah dengan PHBS yang
kurang baik terdapat di RW 1 sebanyak 90,3% warga yang tidak ber-PHBS.
39
Jul-Agt-Sept 9 3 0 1 2 0
Okt-Nov-Des 2 1 0 0 1 1
Jumlah 15 6 0 3 7 2
40
8 13-04-2015 Ny. S 49 04/02 2(+)
9 15-04-2015 Tn. S 47 02/05
10 16-04-2015 Tn. T 64 10/03 3(-)
11 17-04-2015 Tn. F 49 05/01 3(-)
12 17-04-2015 Tn. A 20 16/06
13 27-04-2015 Tn. I 41 05/01
14 13-05-2015 Tn. S 49 09/01
15 18-05-2015 Tn. R 18 04/04 3(-)
16 20-05-2015 Ny. F 18 04/03
17 21-05-2015 Tn. MH 65 07/06
18 21-05-2015 Tn. H 26 05/02 3(-)
19 26-05-2015 Tn. F 22 05/04 3(-)
20 26-05-2015 Ny. H 46 03/02
21 27-05-2015 Tn. H 35 10/02 3(-)
22 27-05-2015 Tn. Z 35 08/04
23 27-05-2015 Tn. O 19 08/01
24 28-05-2015 Ny. N 72 12/03
BAB V
DISKUSI
41
Berdasarkan laporan TB Puskesmas Kelurahan Rambutan tahun 2014, didapatkan
angka penemuan pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR) sebesar 29,2 %.
Sementara itu angka kesembuhan 78%, Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate =
SR) sebesar 80%, dan angka default sebesar 16.3%. Hasil tersebut menunjukkan cakupan
penemuan kasus baru BTA positif dan pasien TB yang tidak sembuh atau tidak menjalani
pengobatan lengkap di wilayah Kelurahan Rambutan pada tahun 2014 masih jauh dari target
yang ditetapkan. Hal ini dikhawatirkan akan berdampak pada semakin sulitnya
mengendalikan kasus TB, karena pengobatan kasus TB merupakan salah satu strategi utama
dalam pengendalian TB karena dapat memutuskan rantai penularan.
Menurut Leavell (1953), terdapat lima tahapan dalam pencegahan penyakit menular,
yaitu promosi kesehatan, proteksi khusus, diagnosis dini dan pengobatan yang cepat,
pembatasan disabilitas, dan rehabilitasi.Berkaitan dengan upaya penurunan angka kasus baru
TB di Indonesia, maka tahapan ke-3, yakni diagnosis dini sangat penting guna memutuskan
rantai penularan dari penderita ke orang yang sehat.
Diagnosis dini erat kaitannya dengan strategi penemuan pasien TB yang dilakukan
setiap UPK. Dengan demikian akan berpengaruh juga terhadap angka CDR. Berdasarkan
hasil pengamatan dan wawancara dengan koordinator program P2TB di Puskesmas
Kelurahan Rambutan, strategi penemuan pasien TB telah dilakukan melalui berbagai hal.
Misalnya dokter melakukan pemeriksaan mikroskopis dahak SPS terhadap setiap pasien yang
memiliki gejala klinis batuk berdahak selama 2-3 minggu atau gejala lainnya yang dicurigai
menderita TB paru. Upaya pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang
BTA positif dan pada keluarga anak yang menderita TB yang menunjukan gejala sama sulit
dilakukan, dikarenakan banyaknya keluarga pasien TB yang menolak melakukan
pemeriksaan dahak tersebut.
Sulitnya melakukan deteksi dini kepada masyarakat yang kontak dengan penderita TB
dan tingginya angka default ini erat kaitannya dengan perilaku kesehatan. Menurut Lawrence
Green, ada tiga faktor yang memberi kontribusi seseorang melakukan tindakan atau perilaku
yaitu faktor predisposisi, misalnya pengetahuan setiap indivudu, tingkat pendidikan, tingkat
sosial ekonomi, dan sebagainya. Faktor pendukung mencakup ketersediaan sarana dan
prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat misalnya jarak puskesmas, ketersediaan
sumber daya, keterjangkauan sumber daya, ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan lain
seperti rumah sakit, poliklinik swasta, dan lain-lain. Faktor penguat meliputi faktor sikap dan
perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas
termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga dukungan dari keluarga.
42
Faktor –faktor predisposisi yang mempengaruhi rendahnya cakupan penemuan kasus
baru BTA positif dan angka keberhasilan pengobatan di puskesmas Kelurahan Rambutan
mungkin disebabkan oleh karena kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai penyakit TB.
Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara
pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai orang sakit dan akhinya
berakibat menjadi sumber penular bagi orang di sekelilingnya. Selain itu rendahnya tingkat
pendidikan, dan pekerjaan masyarakat juga samgat berpengaruh.
Tingkat pendidikan formal akan berpengaruh terhadap cara berpikir seseorang
terhadap dirinya sendiri dan terhadap lingkungan. Hal ini akan berpengaruh terhadap tingkat
kesadaran kesehatan terhadap diri sendiri dan keluarganya. Pada Kelurahan Rambutan tingkat
pendidikan penduduknya masih banyak yang rendah. Semakin rendah tingkat pendidikan
penduduk, maka semakin rendah tingkat kesadaran dan kepedulian akan kesehatan pada diri
sendiri, keluarga, maupun orang-orang disekitarnya. Dalam hal ini contohnya adalah
kerutinan pasien TB untuk terus melakukan pengobatan hingga tuntas atau sesuai insruksi
petugas kesehatan dan kesediaan keluarga pasien untuk melakukan screening pemeriksaan
dahak.
Berdasarkan data yang ada, banyak penduduk Kelurahan Rambutan bermata
pencaharian sebagai buruh dan pedagang. Faktor pekerjaan ini berpengaruh terhadap status
social ekonomi keluarga. WHO tahun 2007 menyebutkan 90% penderita TB di dunia
menyerang kelompok sosial ekonomi lemah. Berdasarkan pengamatan dan wawancara
peneliti terhadap koordinator program TB Puskesmas Rambutan, jenis pekerjaan, lokasi
Kelurahan Rambutan yang dekat dengan Pasar Induk menyebabkan mobilitas penduduk di
Kelurahan Rambutan cukup tinggi sehingga sulit melakukan promosi kesehatan dan
pemantauan terhadap pasien-pasien TB. Masyarakat juga lebih sulit mendapatkan informasi
dan sulit meluangkan waktu untuk datang ke fasilitas kesehatan karena kesibukan mereka
dalam bekerja. Sosial ekonomi yang rendah juga dapat berpengaruh pada kepadatan hunian
yang tinggi dan buruknya lingkungan, selain itu masalah kurang gizi dan perilaku rendahnya
perilaku PHBS. Sebagai contoh pada tahun 2014, di Kelurahan Rambutan tercatat prevalensi
TB tertinggi terdapat di wilayah RW01, yakni sebanyak 17 orang. Angka ini sejalan dengan
data PHBS bahwa warga di RW01 memiliki angka PHBS paling rendah dibandingnkan
dengan RW lainnya.
Selain faktor predisposisi , terdapat pula faktor pendukung. Faktor pendukung
mencakup telah tersedianya tenaga kesehatan (dokter, perawat, dan bidan) juga koordinator
program TB yang kompeten untuk mendeteksi penderita TB paru. Namun di Puskesmas
43
Rambutan belum tersedia laboratorium untuk pemeriksaan dahak, sehingga pasien
memeriksakan dahaknya di prasarana kesehatan lain. Luasnya wilayah Kelurahan Rambutan,
dan kondisi Ibu Kota yang macet banyak menyebabkan penduduk merasa kesulitan sehingga
malas datang untuk berobat ke Puskesmas. Namun, untuk memastikannya harus dilakuakn
penelitian lebih lanjut. Faktor pendukung lainnya adalah kurangnya promosi kesehatan
seperti penyuluhan, poster, atau leaflet mengenai penyakit TB sehingga masyarakat kurang
mendapatkan informasi mngenai penyakit ini.
Selain faktor predisposisi dan faktor pendukung, terdapat pula faktor penguat yaitu
salah satunya adalah keluarga. Jika ada dukungan dari keluarga seperti dari suami, istri, atau
orang tua yang mengingatkan seseorang untuk segera berobat ke Puskesmas jika sakit, maka
kemungkinan besar orang yang sakit ini akan datang berobat ke Puskesmas. Begitu pula
dengan pentingnya keluarga atau orang terdekat sebagai PMO (Pengawas Minum Obat),
sangat diperlukan seorang penderita TB paru tetap rutin minum obat dan terus melanjutan
pengobatannya hingga tuntas. Tokoh agama dan tokoh masyarakat juga dapat turut serta
membantu penanggulangan TB, misalnya setiap Ketua RT dari pasien TB turut memantau
kelangsungan pengobatan pasien tersebut atau mobilitas penduduk sehingga meningkatkan
angka keberhasilan pengobatan dan mengurangi angka default.
Dalam upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai penyakit TB,
peneliti melakukan beberapa intervensi kepada masnyarakat. Dalam hal ini yaitu penyuluhan,
konseling, dan penyebaran leaflet. Konseling dilakukan kepada setiap pasien TB dan atau
keluarganya yang datang ke Puskesmas Rambutan untuk mengambil obat juga kepada pasien
yang berdasarkan keluhan klinis dicurigai menderita TB paru sejak akhir bulan Maret hingga
Mei 2015. Konseling ini dimaksudkan agar tersangka TB mau memeriksakan dahaknya dan
melakukan pengobatan jika hasil pemeriksaan dahak positif. Kepada pasien TB agar terus
melanjutkan pengobatan sesuai instruksi petugas kesehatan, mencegah penularan ke orang
sekitar dengan menggunakan masker jika batuk atau bersin, tidak meludah sembarangan, dan
juga agar menganjurkan orang disekitarnya untuk segera memeriksakan diri ke puskesmas
jika memiliki gejala-gejala TB seperti batuk.
Penyuluhan dilakukan di setiap RW Kelurahan Rambutan, yakni pada tanggal 8 Mei
2015 di RW 01 dan 03, tanggal 15 Mei 2015 di RW 02, 05, dan 06, serta di RW 04 pada
tanggal 22 Mei 2015. Pelaksanaan dilakukan kepada kader-kader PSN dengan jumlah peserta
sekitar 12-30 orang. Selai itu juga dilakukan penyuluhan kepada pasien-pasien di Puskesmas
Rambutan pada tanggal 1 Juni 2015 dengan jumlah peserta sebanyak 17 orang. Penyuluhan
yang diberikan yakni mengenai gambaran penyakit TB, tanda dan gejala, bagaimana
44
penularan penyakit, bagaimana pengobatan penyakit, efeknya apabila seorang pasien TB
tidak melakukan pengobatan hingga tuntas, dan yang tidak kalah pentingnya adalah
bagaimana mencegah agar hidup kita terbebas dari infeksi TB paru. Penyakit TB ini dapat
dicegah dengan berbagai cara yaitu dengan hidup sehat (makan makanan bergizi, istirahat
cukup, olah raga teratur, hindari rokok, alkohol, obat bius dan hindari stres), bila batuk mulut
ditutup, jangan meludah di sembarang tempat serta menerapkan strategi DOTS (Directly
Observed Treatment, Shortcourse).
Selain itu, pada setiap penyuluhan dan konseling yang dilakukan, peneliti membagikan
leaflet mengenai TB paru dengan maksud agar lebih banyak penduduk yang dapat
mendapatkan informasi mengenai penyakit TB. Leaflet ini berisi tentang hal – hal yang telah
disampaikan dalam penyuluhan dan konseling.
Setelah melakukan intervensi, seharusnya peneliti melakukan evaluasi hasil
intervensi. Peningkatan CDR dapat dilihat dalam waktu satu tahun. Evaluasi juga dapat
dilakukan dengan melihat data pada buku Register TB (TB.03) Triwulan ke-II, untuk melihat
keberhasilan dan kepatuhan pengobatan pasien pada Triwulan pertama, juga konversi pasien
TB dengan BTA positif. Namun peneliti menemukan kendala yakni adanya keterbatasan
waktu dalam melakukan penelitian dimana waktu penelitian yang terlalu singkat, tidak
sampai akhir bulan Juni (akhir Trimester ke-II) sehingga evaluasi sulit dilakukan.
Karena keterbatasan waktu tersebut, evaluasi yang dilakukan hanya mencakup data
pada Daftar Tersangka Penderita (Suspek) Yang Diperiksa Dahak SPS (TB.06). Dalam hal
ini peneliti membandingkan data pada Triwulan I 2015 dengan bulan April-Mei 2015 yang
tercatat pada TB.06 Puskesmas Rambutan.Dari data tersebut dapat ditentukan angka
penjaringan suspek dan proporsi pasien BTA (+) diantara suspek. Didapatkan angka
penjaringan suspek pada Triwulan I 2015 sebesar 25 dari 100000 penduduk, sedangkan pada
bulan April-Mei 2015 didapat 59 dari 100000 penduduk. Sedangkan Proporsi pasien BTA
positif diantara suspek pada Triwulan I 2015 didapatkan 40%, sedangkan pada bulan April-
Mei 2015 sebesar 10%. Angka Proporsi Pasien TB BTA (+) Diantara Suspek sebaiknya
sekita 5-15%.Dapat disimpulakn bahwa telah terjadi peningkatan dalam upaya penemuan
pasien TB di wilayah kerja Puskesmas Rambutan. Sedangkan Proporsi Pasien TB BTA (+)
Diantara Suspek yang diperiksa pada bulan Triwulan I terlalu besar (>15%), hal ini dapat
dikeranakan penjaringan suspek terlalu ketat, atau ada masalah dalam pemeriksaan
laboratorium (positif palsu). Selain itu didapatkan banyak pasien yang telah diberikan rujukan
untuk periksa dahak, namun tidak kembali untuk melaporkan hasil pemeriksaan dahaknya.
45
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Cakupan penemuan kasus baru BTA positif yang digambarkan melalui angka case
detection ratedi Kelurahan Rambutan pada tahun 2014 belum memenuhi target, yakni
sebesar 29,2 %.
Angka keberhasilan pengobatan dan angka kesembuhan TB paru masih rendah, yakni
sebesar 80% dan 78,9%. Angka default cukup tinggi, yakni sebesar 16.3%.
Mengingat apa yang telah disebutkan di tinjauan pustaka mengenai target program
pemerintah dalam penganggulangan TB Nasional, maka wilayah kerja Puskesmas
Kelurahan Rambutan belum memenuhi target.
Pengetahuan masyarakat yang kurang mengenai penyakit TB paru sangat berpengaruh
terhadap rendahnya angka CDR dan angka keberhasilan pengobatan.
Faktor lain yang mendukung yaitu banyaknya warga Kelurahan Rambutan dengan
tingkat pendidikan dan sosial ekonomi rendah, juga tingginya kepadatan penduduk
serta mobilitas penduduk.
46
Peran penting tenaga kesehatan dalammelakukan promosi kesehatan di masyarakat
sangat dibutuhkan untuk membantumeningkatkan pengetahuan khususnya mengenai
penyakit TB.
6.2 Saran
Penyuluhan mengenai penyakit TB sebaiknya dilakukan terus menerus secara berkala.
Dapat dibuat jadwal rutin untuk penyuluhan TB dengan melibatkan tenaga kesehatan
serta tokoh masyarakat.
Sosialisasi tentang penyakit TB paru melalui media yang lebih beragam, misalnya
dalam bentuk poster dan pamflet.
Menjalin hubungan baik antara tenaga kesehatan, kader dan ketua RT agar dapat turut
membantu pemantauan pasien TB di lingkungannya.
Menyediakan blanko pernyataan persetujuan pengobatan TBdengan mengetahui
ketua RT dan RW setempat pada awal pengobatannya.
Melakukan dan membuat jadwal kunjungan rumah terhadap pasien TB, khususnya
pasien default.
Petugas kesehatan agar melakukan pencatatan pasien TB secara lebih teliti dan
maksimal.
Petugas kesehatan agar lebih proaktif menghubungi pasien-pasien suspek TB yang
tidak kembali utuk memberikan hasil pemeriksaan dahaknya.
Penelitian selanjutnya dilakukan dalam waktu yang lebihpanjang.
47
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
49
50