Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang masih menjadi perhatian dunia.
Hingga saat ini, belum ada satu Negara pun yang bebas TB. Angka kematian dan kesakitan
akibat kuman Mycobacterium tuberculosis ini pun tinggi. Tahun 2009, 1,7 juta orang
meninggal karena TB (600.000 diantaranya perempuan) sementara ada 9,4 juta kasus baru
TB (3,3 juta diantaranya perempuan). Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular TB dimana
sebagian besar penderita TB adalah usia produktif (15-55 tahun).1
Pada bulan Maret tahun 1993 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
1,2
tuberkulosis sebagai Global Health Emergency . Diperkirakan 95% kasus TB dan 98%
kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga,
kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan,
dan nifas.2
Penduduk dunia yang telah terinfeksi kuman TB kemungkinan akan berkembang
menjadi penyakit TB di masa datang. Selain jumlah kematian dan infeksi TB yang amat
besar, pertambahan kasus baru TB pun amat signifikan. Menurut laporan WHO pada tahun
2004, jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di
dunia, yaitu 625.000 orang atau angka mortalitas sebesar 39 orang per 100.000 penduduk.2
Pengobatan kasus TB merupakan salah satu strategi utama dalam pengendalian TB
karena dapat memutuskan rantai penularan. Pada 1994 WHO meluncurkan strategi
pengendalian TB untuk diimplementasikan secara internasional, disebut DOTS (Direct
Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS telah berhasil membantu tercapainya dua
sasaran yang dideklarasikan World Health Assembly (WHA) pada tahun 1991, yaitu deteksi
kasus baru BTA positif sebesar 70%, dan penyembuhan sebesar 85% dari kasus pada tahun
2000 (WHO, 2009). Meskipun demikian kecepatan kemajuan saat ini diperkirakan tidak
cukup untuk mencapai target penurunan prevalensi dan mortalitas TB dari Millenium
Development Goals (MDGs) menjadi separoh pada tahun 2015 (Dye et al., 2005). Karena itu
diperlukan kontinuitas implementasi strategi DOTS agar program itu dapat mencapai target
dan bahkan meningkatkan target indikator-indikator keberhasilan program hingga tahun
2015.2
Penurunan jumlah kasus baru TB di Indonesia untuk tahun 2007 dan 2008 sangat
penting dalam mencapai angka yang lebih kecil lagi untuk tahun-tahun selanjutnya. Indonesia
1
dituntut untuk membuktikan komitmennya dalam mengatasi masalah TB. Hal ini sejalan
dengan tujuan ke-6 dari Millenium Development Goals (MDGs) yang telah ditandatangani
Indonesia bersama 188 negara lainnya pada September 2000 yakni memerangi HIV/AIDS,
malaria, dan penyakit menular lainnya termasuk TB.1
Target program penanggulangan TB di Indonesia adalah tercapainya penemuan pasien
baru TB BTA positif paling sedikit 70% dari perkiraan dan menyembuhkan 85% dari semua
pasien tersebut serta mempertahankanya. Target ini diharapkan dapat menurunkan tingkat
prevalensi dan kematian akibat TB hingga separuhnya pada tahun 2010 dibanding tahun
1990, dan mencapai tujuan Millennium Development Goals (MDG’s) pada tahun
2015.Dalam hal pengobatan dan pencegahan penularan penyakit Tuberkulosis paru (TBC
paru) yang dilakukan oleh keluarga sangatlah berperan supaya tidak terjadi penularan dalam
anggota keluarga lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengendalian TB paru
memerlukan partisipasi berbagai pihak dan untuk berpartisipasi maka masyarakat perlu
memiliki pengetahuan yang cukup tentang penyakit ini.3
Cakupan penemuan pasien baru BTA positif digambarkan melalui CDR (Case
Detection Rate).Berdasarkan laporan Puskesmas Kelurahan Rambutan pada tahun 2014,
didapatkan data bahwa CDR, angka kesembuhan dan angka keberhasilan pengobatan belum
mencapai target yang ditetapkan. 3Dengan demikian perlu dibahas permasalahan tentang
penemuan kasus TB BTA (+) dan pandangan masyarakat mengenai TB Paru dan
pengobatannya yang merupakan kunci keberhasilan pengobatan TB Paru.

1.2 Pernyataan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa pernyataan
masalah, yaitu:
1. CDR TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Rambutan terbilang kurang
2. Angka kesembuhan dan keberhasilan pengobatan TB Paru di wilayah kerja Puskesmas
Kelurahan Rambutan terbilang kurang.
3. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai TB Paru khususnya pentingnya
pencegahan dan pengobatan TB Paru.

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk merubah perilaku dan pandangan masyarakat mengenai TB Paru di Kelurahan
Rambutan.
2
1.3.2 Tujuan Khusus
 Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai TB Paru
 Untuk menningkatkan kesadaran masyarakat untuk berobat TB Paru
 Untuk meningkatkan CDR, angka kesembuhan dan angka keberhasilan pengobatan
TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Rambutan.

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat bagi instansi (Puskesmas):
Sebagai bahan informasi bagi Puskesmas untuk meningkatkan CDR,angka
kesembuhan dan angka keberhasilan pengobatan TB Paru di wilayah kerja Puskesmas
Rambutan
1.4.2 Manfaat bagi masyarakat
1. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai penyakit TB paru, terutama
dalam hal cara penularan serta cara mencegah penularannya serta pengobatan yang
harus diberikan.
2. Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya penyakit TB paru serta cara
pencegahan penularannya.
3. Agar masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih maksimal berkaitan
dengan penatalaksanaan penyakit TB, baik dalam hal pencegahan maupun
pengobatan penyakit ini.
1.4.3 Manfaat bagi Dokter Internship
Merupakan kesempatan untuk menambah pengalaman serta menerapkan ilmu
kedokteran terutama Ilmu Kesehatan Masyarakat dan keilmuan mengenai salah satu
penyakit terbesar di Indonesia, yaitu TB paru. Dapat digunakan untuk penelitian
selanjutnya untuk mendapatkan perubahan sikap dan perilaku yang lebih signifikan.
Menambah pengetahuan mengenai program-program pemerintah mengenai
penyakit tuberkulosis, sehingga kedepannya dapat diterapkan di lain tempat, dan tidak
hanya meningkatkan cakupan TB paru di Kelurahan Rambutan saja, melainkan
ditempat lain.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh basil
aerob yang tahan asam, Mycobacterium tuberculosis atau spesies lain yang dekat seperti M.
bovis dan M. africanum. Tuberkulosis biasanya menyerang paru-paru tetapi dapat pula
menyerang susunan saraf pusat, sistem limfatik, sistem pernapasan, sistem genitourinaria,
tulang, persendian, bahkan kulit.4

2.2 Etiologi
Bakteri utama penyebab penyakit tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis.
M. tuberculosis berbentuk basil atau batang ramping lurus yang berukuran kira-kira 0,2-0,4 x
2-10 µm, dan termasuk gram positif. Mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TBC cepat mati
dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang
gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama beberapa
tahun.4
Pada medium kultur, koloni bakteri ini berbentuk kokus dan filamen. Identifikasi
terhadap bakteri ini dapat dilakukan melalui pewarnaan tahan asam metode ziehl-neelsen
maupun tanzil, yang mana tampak sebagai basil berwarna merah di bawah mikroskop.5,6

Gambar 2.1 Basil tuberkel (merah) di bawah mikroskop dengan pewarnaan tahan asam

Pada umumnya, genus mycobacterium kaya akan lipid, mencakup asam mikolat
(asam lemak rantai panjang C78-C90), lilin, dan fosfatida. Lipid dalam batas-batas tertentu
bertanggung jawab terhadap sifat tahan-asam bakteri. Selain lipid, mycobacterium juga

4
mengandung beberapa protein yang dapat memicu reaksi tuberkulin, dan mengandung
berbagai polisakarida.5
Mycobacterium tidak menghasilkan toksin, tetapi termasuk organisme yang virulen
sehingga bila masuk dan menetap dalam jaringan tubuh manusia dapat menimbulkan
penyakit. Bakteri ini terutama akan tinggal secara intrasel dalam monosit, sel
retikuloendotelial, dan sel-sel raksasa.5

2.3 Epidemiologi
Penyebaran kasus TB di dunia memang tidak merata dan justru 86% dari total kasus
TB global ditanggung oleh negara berkembang. Sekitar 55% dari seluruh kasus global
tersebut terdapat pada negara-negara di benua Asia, 31% di benua Afrika, dan sisanya yang
dalam proporsi kecil tersebar di berbagai negara di benua lainnya. Melihat hal ini, maka
WHO telah menetapkan 22 negara yang dianggap sebagai high-burden countries dalam
permasalahan TB untuk mendapatkan perhatian yang lebih intensif dalam hal
penanggulangannya. Indonesia adalah salah satu negara yang termasuk di dalamnya.1

Gambar 2.1. Insidens TB didunia (WHO, 2004)

Berdasarkan laporan WHO dalam Global Report 2009, pada tahun 2008 Indonesia
berada pada peringkat 5 dunia penderita TB terbanyak setelah India, China, Afrika Selatan
dan Nigeria. Peringkat ini turun dibandingkan tahun 2007 yang menempatkan Indonesia pada
posisi ke-3 kasus TB terbanyak setelah India dan China.1

5
India China Indonesia
Nigeria Afrika Selatan

1,962 1,982

1,306 1,301

528 460 461 429 457 476

Tahun 2007 Tahun 2008

Grafik 2.1 Daftar lima besar negara dengan jumlah kasus baru TB terbanyak tahun 2008.

2.4 Cara Penularan


Sumber penularan adalah penderita TBC BTA positif, pada waktu batuk atau bersin,
penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentukdroplet (percikan dahak). Droplet ini
dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung ada tidaknya sinar UV,
ventilasi yang buruk dan kelembaban. Seseorang dapat tertular bila droplet itu terhirup ke
dalam saluran pernapasan.3
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin
menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka
penderita itu dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan
oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.3

2.5 Patofisiologi
 Tuberkulosis Primer2
Bila droplet terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran nafas atau
jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5 mikrometer.
Selanjutnya kuman akan dihadapi oleh neutrofil, lalu oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini
akan mati atau dibersihkan keluar oleh makrofag bersama gerakan silia dengan sekretnya.
Bila kuman menetap di jaringan paru, maka akan berkembangbiak dalam sitoplasma
makrofag, bersarang di jaringan paru akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut
sarang primer atau afek primer atau sarang (focus) Ghon. Sarang primer ini mungkin timbul
di bagian mana saja dalam paru. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah
bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar

6
getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis
regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu
nasib sebagai berikut:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik,
sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
 Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah epituberkulosis,
yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar
hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang
bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan
pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
 Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya.
Kuman juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus.
 Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya
tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh
secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imunitasyang adekuat, penyebaran ini
akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis
tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia
dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada
anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau
- Meninggal.
 Tuberkulosis Pasca-Primer2
Dari tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-
primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang
bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis
menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem
kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai
dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun
lobus inferior. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :

7
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat.
2. Sarang tadi mula mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan sembuh dalam bentuk perkapuran.
Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju
dan menimbulkan kavitas bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kavitas akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas awalnya berdinding tipis,
kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kavitas sklerotik). Nasib kavitas ini :
 Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru lalu mengikuti
pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas.
 Memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali,
mencair lagi dan menjadi kavitas lagi.
 Kavitas bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity,
atau kavitas menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan
berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti
bintang (stellate shaped).

Gambar 2. 2. Skema perkembangan sarang tuberkulosis post primer dan perjalanan


penyembuhannya

8
2.6 Faktor Risiko
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis7 :
 Usia
Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia
diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun.
 Jenis Kelamin
Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996
jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlahpenderita
TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. TB paru
lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki
sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB
paru dimana Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak
2,2 kali.
 Penyakit Penyerta
Umumnya penderita TB dalam keadaan malnutrisi dengan berat badan sekitar 30-50 kg
atau indeks masa tubuh kurang dari 18,5 pada orang dewasa. Sementara berat badan
yang lebih kecil 85% dari berat badan ideal kemungkinan mendapat TB adalah 14 kali
lebih besar dibandingkan dengan berat badan normal. Ini yang menjadi pemikiran
bahwa malnutrisi atau penurunan berat badan telah menjadi faktor utama peningkatan
resiko TB menjadi aktif. Pola makan orang Indonesia yang hampir 70% karbohidrat dan
hanya 10% protein yang pada penyakit kronis selalu disertai dengan tidak selera makan,
tidak mau makan, tidak bisa makan atau tidak mampu membeli makanan yang
mempunyai kandungan gizi baik (kurang protein), sehingga penderita ini mempunyai
status gizi yang buruk.
Selain faktor gizi, penyakit seperti Diabetes Mellitus (DM) dan infeksi HIV merupakan
salah satu faktor risiko. Prevalensi TB paru pada DM meningkat 20 kali dibanding non
DM dan aktivitas kuman tuberkulosis meningkat 3 kali pada DM berat dibanding DM
ringan.
Penderita Tuberkulosis menular (dengan sputum BTA positif) yang juga mengidap HIV
merupakan penularan kuman tuberkulosis tertinggi. Tuberkulosis diketahui merupakan
infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan pada pasien dengan reaksi seropositif.

9
Apabila seseorang dengan seropositif tertular kuman ini maka karena kekebalannya
rendah, besar sekali kemungkinannya akan langsung menderita Tuberkulosis.
 Kepadatan Hunian dan Kondisi Rumah
Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit. Semakin padat maka
perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular melalui udara akan semakin mudah
dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita TB dengan BTA positif.
Suhu didalam ruangan erat kaitannya dengan kepadatan hunian dan ventilasi rumah.
Kondisi kepadatan hunian perumahan atau tempat tinggal lainnya seperti penginapan,
panti-panti tempat penampungan akan besar pengaruhnya terhadap risiko penularan. Di
daerah perkotaan (urban) yang lebih padat penderita TB lebih besar. Sebaliknya di
daerah rural akan lebih kecil kemungkinannya.
Ventilasi cukup menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga
keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga. Ventilasi
yang baik juga menjaga dalam kelembaban (humidity) yang optimum.
Cahaya matahari cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dimana cahaya matahari ini dapat
diperoleh dari ventilasi maupun jendela/genting kaca. Mycobacterium tuberculosis
tumbuh optimal pada suhu 37°C. Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat
membunuh Mycobacterium tuberculosis. Bakteri tahan hidup pada tempat gelap,
sehingga perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang gelap.
 Status Sosial Ekonomi Kleuarga
WHO tahun 2007 menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok sosial
ekonomi lemah atau miskin dan menurut Enarson TB merupakan penyakit terbanyak
yang menyerang negara dengan penduduk berpenghasilan rendah. Sosial ekonomi yang
rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan hunian yang tinggi dan buruknya
lingkungan, selain itu masalah kurang gizi dan rendahnya kemampuan untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak juga menjadi problem bagi golongan
sosial ekonomi rendah.
 Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita TB
Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan
berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhinya berakibat
menjadi sumber penular bagi orang di sekelilingnya.

10
2.7 Klasifikasi Penyakit
Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe pada penyakit tuberculosis adalah5 :
1. Menentukan panduan pengobatan yang sesuai
2. Registrasi kasus secara benar
3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif
4. Analisis kohort hasil pengobatan
Tuberkulosis diklasifikasikan berdasarkan empat hal, yaitu : organ tubuh yang sakit, hasil
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung, tingkat keparahan penyakit, dan riwayat
pengobatan sebelumnya3.
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena :

Gambar 2.3. Klasifikasi TB berdasarkan organ tubuh yang terkena

1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru :
1. Tuberkulosis paru BTA positif
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberculosis.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
- 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.

11
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
- Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
- Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
- Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
- Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan
c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit
1. TB Paru BTA negatif foto toraks positif
Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.
Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang
luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan pasien yang buruk.
2. TB ekstra-paru
Dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu :
a. TB ekstra paru ringan, misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,
tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
b. TB ekstra-paru berat, misalnya : meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudatifa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih, dan alat
kelamin.
Catatan :
- Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk
kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
- Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat
sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.
d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis
dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan
BTA positif (apusan atau kultur).
3. Kasus setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
12
4. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus Lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan.

2.8 Tatalaksana Pasien Tuberkulosis di Indonesia


Masa tunas (masa inkubasi) penyakit tuberkulosis paru adalah mulai dari terinfeksi
sampai pada lesi primer muncul, waktunya berkisar 4-12 minggu untuk tuberkulosis
paru.4Gejala klinis pasien TB adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk
dapat diikuti dengan gejala tambahan, yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak
napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat
malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut
di atas dapat dijumpai pula pada penyakit paru lain seperti bronkiektasis, bronkitis kronis,
asma, kangker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih
tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut di atas dianggap
sebagai seorang tersangka pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung.3
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan demam (subfebris), badan kurus atau berat
badan menurun, konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia. Pada pemeriksaan
paru kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru.3 Pada permulaan (awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan
paru umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior,
serta daerah apeks lobus inferior.5.6Bila terdapat infiltrate yang agak luas, maka didapatkan
perkusi yang agak redup dan auskultasi suara napas bronchial. Akan didapatkan juga suara
napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi apabila infiltrate diliputi oleh
penebalan pleura, suara napas akan menjadi vesicular melemah. Bila terdapat kavitas yang
cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan

13
suara amforik. Pada tuberkulosis paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan
atrofi dan retraksi otot-otot interkostal.6
Pemeriksaan mikroskopis dahak merupakan salah satu cara yang paling efisien untuk
mengidentifikasi penderita TBC. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto
toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya.Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Kriteria BTA positif apabila ditemukan 3 batang kuman BTA
pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5000 kuman dalam 1 ml sputum.8
Penderita dengan sediaan positif sepuluh kali lebih infeksius dibandingkan dengan
penderita sediaan negatif. Tujuan pemeriksaan mikroskopis dahak adalah menegakkan
diagnosis TBC, menentukan tingkat penularan, memantau kemajuan pengobatan,
menentukan terjadinya kegagalan pada akhir pengobatan.8
Pengumpulan dahak dilakukan tiga kali, yaitu sewaktu hari-1, pagi hari-2, dan
sewaktu hari-2 (SPS).3
 Sewaktu hari-1 (S): dahak dikumpulkan pada saat penderita datang berkunjung pertama
kali. Pada saat pulang, penderita membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan
dahak pagi pada hari kedua.
 Pagi hari-2 (P): penderita mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
 Sewaktu hari-2 (S): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.
Selain pengumpulan dahak dapat juga dilakukan pemeriksaan biakan untuk
identifikasi M. Tuberculosis pada penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah
pasien yang bersangkutan masih peka terhadap obat anti tuberkulosis yang digunakan.
Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes
resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi, yaitu pasien TB yang masuk dalam tipe
pasien kronis, pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak, petugas kesehatan yang menangani
pasien dengan kekebalan ganda. Adapun pemeriksaan tes resistensi hanya dilakukan di
laboratorium yang mampu melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai
standar internasional, dan telah mendapatkan pemantapan mutu oleh laboratorium
supranasional TB. 3

14
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan
dahak secara mikroskopik dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu
pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan. Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Indikasi
pemeriksaan foto toraks pada pasien TB adalah sebagai berikut:3
 Hanya satu dari tiga spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini
pemeriksaan foto thoraks diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif.
 Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
 Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan
penanganan khusus (seperti pneumothoraks dan pleuritis eksudativa) dan pasien yang
mengalami hemoptisis berat.
Selain pemeriksaan diatas, terdapat juga mantoux test/ tuberculin test. Pemeriksaan ini
digunakan untuk membantu menegakan diagnosis tuberculosis terutama pada anak-anak
(balita). Uji tuberkulin menggunakan 0,1 cc tuberkulin P.P.D intrakutan berkekuatan 5 T.U.
Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah individu sedang atau pernah mengalami infeksi M.
Tuberculosae, M. Bovis, vaksinasi BCG, dan mycobakterium patogen lainnya. Setelah 48-72
jam tuberkulin disuntikan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari
infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi selular dan antigen tuberkulin.4

Gambar 2.4. uji mantoux test

Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter
dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi3:
1. Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif. Arti klinis : tidak ada
infeksi Mycobacterium tuberculosis.

15
2. Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux meragukan. Hal ini bisa karena
kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi
BCG.
3. Pembengkakan (Indurasi) : ≥ 10mm, uji mantoux positif. Arti klinis : sedang atau
pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
Hal yang menyebabkan reaksi tuberkulin berkurang (negatif palsu) yakni:4
a. Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberculosis
b. Anergi, penyakit sistemik berat (sarkoidosis, SLE)
c. Penyakit eksantematous dengan panas yang akut : morbili, cacar air, poliomyelitis
d. Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit limforetikular (Hodgin)
e. Pemberian kortikosteroid lama, pemberian obat imunosupresi lainnya
f. Usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan
g. Untuk pasien HIV positif, test mantoux ± 5 mm dinilai positif

16
Skema2.1 Alur Diagnosis TB Paru3
Terapi
Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap OAT3.
Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut3:
 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.

17
 Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap Awal (Intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap
intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif
menjadi BTA negatif (konversi dalam 2 bulan).
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
 Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di
Indonesia3:
o Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
o Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
o Kategori Anak: 2HRZ/4HR
 Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan
dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis
obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
 Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.3
Paduan OAT dan peruntukannya3:
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
 Pasien baru TB paru BTA positif.

18
 Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
 Pasien TB ekstra paru
Tabel 2.1. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 13
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3 kali
selama 56 hari RHZE seminggu selama 16
(150/75/400/275) minggu RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT

Tabel 2.2 Dosis panduan OAT-Kombipak untuk Kategori 13

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
• Pasien kambuh
• Pasien gagal
• Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel 2.3. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 23


Berat Tahap Intensif tiap hari RHZE Tahap Lanjutan 3 kali
Badan (150/75/400/275) seminggu RH (150/150)
+ E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30 – 37 kg 2 tab 4 KDT + 2 tab 4 KDT 2 tab 2 KDT +
500mg Streptomisin inj 2 tab Etambutol
38 – 54 kg 3 tab 4 KDT + 3 tab 4 KDT 3 tab 2 KDT +
750mg Streptomisin inj 3 tab Etambutol
55 – 70 kg 4 tab 4 KDT + 4 tab 4 KDT 4 tab 2 KDT +
1000mg Streptomisin inj 4 tab Etambutol
≥ 71 kg 5 tab 4 KDT + 5 tab 4 KDT 5 tab 2 KDT +
1000mg Streptomisin inj 5 tab Etambutol

19
Tabel 2.4. Dosis panduan OAT Kombipak untuk Kategori 2

c. OAT Sisipan (HRZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1
yang diberikan selama sebulan (28 hari).3
Tabel 2.5. Dosis KDT untuk Sisipan
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4 KDT
37 – 54 kg 3 tablet 4 KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4 KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4 KDT

Tabel 2.6. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan

Efek Samping OAT :


Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.
Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek

20
samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek samping
ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan3.

Tabel 2.7. Efek samping ringan OAT dan Penatalaksanaannya3


Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
Tidak nafsu makan, mual, Rifampisin Obat diminum malam sebelum
sakit perut tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin /allopurinol
Kesemutan s/d rasa INH Beri vitamin B6 (piridoksin) 1 x
terbakar di kaki 100 mg perhari
Warna kemerahan pada Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu
air seni diberi apaapa

Tabel 2.8. Efek samping berat OAT dan Penatalaksanaannya3


Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
Gatal dan kemerahan pada Semua jenis OAT Beri antihistamin &
kulit dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Dihentikan
ganti etambutol
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan
(vertigo dan nistagmus) ganti etambutol
Ikterik / Hepatitis Imbas Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
Obat (penyebab lain sampai ikterik menghilang
disingkirkan) dan boleh diberikan
hepatoprotektor
Muntah dan confusion Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT &
(suspected drug-induced lakukan uji fungsi hati
pre-icteric hepatitis)
Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan ethambutol
Kelainan sistemik, Rifampisin Hentikan Rifampisin
termasuk syok dan
purpura

2.9 Pemantauan Hasil Pengobatan TB


Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasadilaksanakan dengan
pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih
baik dibandingkan denganpemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan.

21
LajuEndap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuanpengobatan karena tidak
spesifik untuk TB.Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan specimen
sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakannegatif bila ke 2
spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimenpositif atau keduanya positif, hasil
pemeriksaan ulang dahak tersebutdinyatakan positif.3
Tabel 2.9. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak

22
2.10Program Penanggulangan TB di Indonesia
Pada tahun 1995, program penanggulangan TB nasional mulai menerapkan strategi
DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. DOTS adalah strategi penyembuhan
TB Paru jangka pendek dengan pengawasan secara langsung.Sejak tahun 2000 strategi DOTS
dilaksanakan secara nasional di seluruh Unit Pelayanan Puskesmas terutama Puskesmas yang
diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar. Strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Short-course) terdiri 5 kunci:3
1. Komitmen politis
2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus
yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.
4. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil
pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.
Visi penanggulangan TB di Indonesia adalah masyarakat yang mandiri dalam hidup sehat
dimana tuberkulosis tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Sedangkan misinya
adalah menjamin bahwa setiap pasien TB mempunyai akses terhadap pelayanan yang
bermutu, untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian karena TB, menurunkan resiko
penularan TB dan mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat TB. Target program
penanggulangan TB adalah tercapainya penemuan pasien baru TB BTA positif paling sedikit
70% dari perkiraan dan menyembuhkan 85% dari semua pasien tersebut serta
mempertahankanya. Target ini diharapkan dapat menurunkan tingkat prevalensi dan kematian
akibat TB hingga separuhnya pada tahun 2010 dibanding tahun 1990, dan mencapai tujuan
Millennium Development Goals (MDG’s) pada tahun 2015.3
Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB digunakanbeberapa
indikator. Indikator penanggulangan TB secara Nasional ada 2 yaitu :
• Angka Penemuan Pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR)
Adalah prosentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dandiobati
dibanding jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut.
Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada
wilayah tersebut.
Jumlah pasien baru TB BTA Positif yang dilaporkan
dalam TB.07 X 100%
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA Positif

23
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh berdasarkan perhitungan
angka insidens kasus TB paru BTA positif dikali dengan jumlah penduduk. Target Case
Detection Rate Program Penanggulangan TuberkulosisNasional minimal 70%.
• Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = SR).
Adalah angka yang menunjukkan prosentase pasienbaru TB paru BTA positif yang
menyelesaikan pengobatan (baik yangsembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien
baru TB paru BTApositif yang tercatat.Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan
dari angkakesembuhan dan angka pengobatan lengkap. Cara menghitung angka keberhasilan
pengobatan :
Jumlah pasien baru TB BTA positif (sembuh + pengobatan
lengkap) X
Jumlah pasien baru TB BTA positif yg diobati 100%

Sedangkan Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien


baru TB paru BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien baru
TB paru BTA positif yang tercatat.Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Cara
menghitung angka kesembuhan untuk pasien baru BTA positif :
Jumlah pasien baru TB BTA positif yg
sembuh X 100%
Jumlah pasien baru TB BTA positif yg
diobati

Angka default tidak boleh lebih dari 10%, karena akan menghasilkan proporsi kasus
retreatment yang tinggi dimasa yang akan datang yang disebabkan karena ketidak-efektifan
dari pengendalian Tuberkulosis. Menurunnya angka default karena peningkatan kualitas
penanggulangan TB akan menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang antara 10-20 %
dalam beberapa tahun.
Penatalaksanaan TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang dikelola dengan
menggunakan strategi DOTS. Penatalaksanaan penyakit TB merupakan bagian dari
surveilans penyakit, tidak sekedar memastikan pasien menelan obat sampai dinyatakan
sembuh, tetapi juga berkaitan dengan pengelolaan sarana bantu yang dibutuhkan, petugas
yang terkait, pencatatan, pelaporan, evaluasi kegiatan dan rencana tindak lanjutnya.2
Adapun strategi penemuan pasien TB adalah sebagai berikut:

24
 Dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di
unit pelayanan kesehatan, didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas
kesehatan maupun masyarakat.
 Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan pada
keluarga anak yang menderita TB yang menunjukan gejala sama, harus diperiksa
dahaknya.

BAB III
METODE

3.1 Penetapan Topik Masalah


Sesuai pernyataan masalah yang dikemukakan pada Bab Pendahuluan, maka
topik masalah dalam mini-project ini adalah:
1) Bagaimana cara meningkatkan CDR TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan
Rambutan.
2) Bagaimana cara meningkatkan kesembuhan dan keberhasilan pengobatan TB Paru di
wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Rambutan
3) Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai TB Paru khususnya pentingnya
pencegahan dan pengobatan TB Paru.

3.2 Pengumpulan Data

25
3.2.1 Tempat dan Waktu Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan di Kelurahan Rambutan pada tanggal 20 Maret-30
April 2015.
3.2.2 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah pengumpulan data secara
primer dan sekunder dengan melakukan kunjungan Kelurahan Rambutan.
3.2.3 Populasi dan Sampel Data
Sebagai populasi adalah seluruh warga kelurahan Rambutan, kecamatan
Ciracas, Jakarta Timur yang terdiri dari enam RW. Tidak dilakukan sampling karena
pengamatan dilakukan pada total populasi.

3.3 Analisis Data


3.1.1 Pengumpulan Data
Data primer diambil dari hasil pengamatan terhadap kepatuhan SOP kepada
dokter, perawat, dan wawancara kepada koordinator P2TB (Program
Penanggulangan Penyakit TB Paru) UPK Puskesmas Rambutan. Data sekunder
diperoleh dari laporan pencatatan P2TB Puskesmas Rambutan.
Data sekunder yang dikumpulkan adalah berdasarkan pencatatan pada register
TB UPK Kelurahan Rambutan (TB.03) periode Januari-Desember 2014 dan
pecatatan pada daftar tersangka pasien (suspek) yang diperiksa dahak SPS
(TB.06) periode Januari hingga Maret 2015.
Kemudian akan dilihat perkembangannya setelah diberikan beberapa
intervensi mengenai pentingnya deteksi dini pada individu yang dicurigai
menderita TB paru dan kepatuhan pengobatan pasien yang telah didiagnosis
menderita TB paru.
3.1.2 Menentukan masalah yang terkait programpenanggulangan TB di Indonesia
Setelah dilakukan pengumpulan data yang bersifat primer maupun sekunder,
barulah dapat ditentukan masalah yang terdapat dalam penanggulangan TB di
wilayah kerja Puskesmas Rambutan serta faktor-faktor yang dapat
mempengaruhinya.
3.1.3 Melakukan Penyuluhan dan Konseling
Berdasarkan data pada periode Januari-Desember 2014 dan periode Januari
hingga Maret 2015 terdapat beberapa masalah terkait penanggulangan TB di
Kelurahan Rambutan. Setelahitu dilakukan penyuluhan mengenai TB kepada
26
masyarakat Kelurahan Rambutan dan serta konseling kepada pasien TB paru dan
pasien suspek TB yang datang ke Puskesmas Kelurahan Rambutan sejak April
hingga Mei 2015.
3.1.4 Meninjau Ulang
Setelah dilakukan penyuluhan, dapat dilakukan peninjauan ulang di Kelurahan
Rambutan mengenai angka kejadian TB pada akhir bulan Juni dan pada akhir
Desember 2015.Apakah target CDR dan angka kesembuhan di Kelurahan
Rambutan telah mencapai target sesuai dengan program penanggulangan TB
Indonesia atau justru semakin rendah. Peninjauan ulang dapat dilakukan dengan
melihat hasil pencatatan yang terdapat pada puskesmas Kelurahan Rambutan
selama satu tahun, dalam hal ini periode Januari hingga Desember 2015.

3.4 Pelaksanaan Solusi


Bentuk intervensi yang dilakukan dalam mini-project ini berupa penyuluhan atau
edukasi langsung kepada masyarakat Kelurahan Rambutan Kecamatan Ciracas, Jakarta
Timur. Penyuluhan kepada masyarakat dilakukan di setiap RW Kelurahan Rambutan dan
di Puskesmas Kelurahan. Selain itu juga dilakukan konseling langsung kepada setiap
pasien dengan TB paru yang datang ke puskesmas Rambutan dan pasien yang dicurigai
menderita TB paru sejak akhir bulan Maret hingga Mei 2015.
Intervensi lainnya yang dilakukan adalah penyebaran leaflet mengenai TB kepada
masyarakat Kelurahan Rambutan. Hal penting yang harus disampaikan dalam
penyuluhan dan tercantum dalam leaflet yaitu bagaimana gambaran penyakit TB,
bagaimana penularan penyakit, bagaimana pengobatan penyakit dan yang tidak kalah
pentingnya adalah bagaimana mencegah agar hidup kita terbebas dari infeksi TB paru.
Penjelasan mengenai isi penyuluhan dideskripsikan pada Bab Diskusi.

3.5 Evaluasi
Dibahas pada Bab Diskusi

27
BAB IV
HASIL

4.1 Profil Komunitas Umum


Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi lima wilayah Kota administrasi dan satu
Kabupaten administratif yaitu Kota administratif Jakarta Pusat dengan luas 47,90 km 2,
Jakarta Utara dengan luas 142,20 km2, Jakarta Barat dengan luas 126,15 km2, Jakarta
Selatan dengan luas 145,73 km2, dan Jakarta Timur dengan luas 187,73 km2, serta
Kabupaten administratif Kepulauan Seribu dengan luas 11,81 km2.14 Dari sumber
Pemendagri No. 9 tahun 2015, luas wilayah DKI Jakarta seluas 664,01 km2 dengan
penduduk sebanyak 9,988,495 jiwa.10
Secara administratif wilayah Jakarta Timur dibagi menjadi 10 Kecamatan, 65
Kelurahan, 673 Rukun Warga dan 7.513 Rukun Tetangga  serta dihuni oleh Penduduk
sebanyak 1.959.022 jiwa  terdiri dari 1.044.847 jiwa laki-laki dan 914.175 jiwa
Perempuan sampai dengan akhir Maret 1997 atau sekitar 10 % dari jumlah penduduk
28
DKI Jakarta dengan kepadatan mencapai 10.445 jiwa per Km2.  Pertumbuhan penduduk
2,4 persen per Tahun dengan pendapatan per Kapita sebesar Rp. 5.057.040,00.

Gambar 4.1. Peta Wilayah DKI Jakarta


 

Gambar 4.2. Peta Wilayah Jakarta Timur.11

29
Tabel 4.1. Kecamatan Luas Wilayah dan Jumlah Kelurahan
Luas Wilayah
Kecamatan Jumlah Kelurahan
(Ha)
1. Matraman 485,13 6
2. Jatinegara 1.063,52 8
3. Pasar Rebo 1.294,60 5
4. Kramat Jati 1.333,45 7
5. Pulo Gadung 1.572,15 7
6. Cakung 4.248,08 7
7. Ciracas 1.608,30 5
8. Cipayung 2.729,59 8
9. Makasar 2.163,01 5
10. Duren Sawit 2.270,60 7
Jumlah 18.767,43 65

Kota Jakarta Timur terdiri dari 10 kecamatan diantaranya adalah Kecamatan


Matraman, Kecamatan Jatinegara, Kecamatan Pasar Rebo, Kecamatan Kramat Jati,
Kecamatan Pulo Gadung, Kecamatan Cakung, Kecamatan Ciracas, Kecamatan Cipayung,
Kecamatan Makasar, dan Kecamatan Duren Sawit, yang masing-masing memiliki lima
hingga 8 kelurahan.11
Untuk Kecamatan Ciracas, memliki luas wilayah 16,08 km2 dengan jumlah
penduduk sebanyak 200.806 jiwa. Kecamatan Ciracas terdiri dari 49 Rukun Warga, 595
Rukun Tetangga dan 50.000 Kepala Keluarga. Secara administratif Kecamatan Ciracas
terdiri atas lima kelurahan yaitu Kelurahan Cibubur, Kelapa Dua Wetan, Ciracas,
Susukan dan Rambutan.11

30
Gambar 4.3. Peta Wilayah Kecamtan Ciracas.12

Kelurahan Rambutan adalah salah satukelurahandi Kecamatan Ciracas, Kelurahan


ini di utara berbatasan dengan Kelurahan Kramat Jati (dengan Jalan Raya Bogor sebagai
pemisah), di selatan berbatasan dengan Kelurahan Ciracas, di timur berbatasan
dengan Kelurahan Ceger (terpisah oleh Jalan Tol Jagorawi), dan di barat berbatasan
dengan Kelurahan Susukan.12Kelurahan Rambutan terbentuk berdasarkan SK Gubernur
DKI Jakarta Nomor 125 tahun 1986 dan akibat adanya migrasi yang mendorong
pertambahan penduduk secara alamiah sehingga mengakibatkan jumlah penduduk setiap
tahunnya bertambah cepat. Hal ini akan mendorong timbulnya berbagai masalah
permasalahan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah DKI Jakarta, dalam hal ini
Pemerintahan Kelurahan Rambutan.13

4.2 Data Geografis Wilayah Kerja Puskesmas Rambutan


Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2008 tentang Organisasi
Perangkat Daerah, bahwa Kelurahan merupakan perangkat daerah di bawah Kecamatan
yang dipimpin oleh seorang Lurah yang berkedudukan dan bertanggung jawab kepada
Walikota/Bupati melalui Camat.14
Berdasarkan data geografis, Kelurahan Rambutan memliki luas wilayah seluas
209 Ha atau 2.090 km2. Batas utara wilayah Kelurahan Rambutanadalah Jl. Raya Pondok
Gede/Kali Cipinang. Batas selatan adalah Jl. Penganten Ali/ Kelurahan Ciracas. Batas
timur adalah Jl. Tol Jagorawi. Batas barat adalah Jl. Raya Bogor/ Kali baru. Kelurahan
Rambutan terdiri dari 6 Rukun Warga dan 87 Rukun Tetangga.15

31
Gambar 4.4 Peta Wilayah Kelurahan Kampung Rambutan.13

4.3 Data Demografis Wilayah Kerja Puskesmas


Jumlah penduduk di Kelurahan Rambutan per April 2015 adalah 40.665 jiwa,
dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 12.121 KK. Perbandingan jumlah laki-laki dan
perempuan adalah20.811 jiwa dan 19.854 jiwa. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:14
Tabel 4.2. Jumlah Penduduk dan Jumlah Kepala Keluarga per April 2015
Bulan Jumlah Penduduk Jumlah Kepala Keluarga
Laki-laki Perempuan Jumlah Laki-laki Perempuan Jumlah
1 2 3 4 5 6 7
Januari 20.748 19.737 42.485 10.184 1.758 11.942
Februari 20.974 19.795 40.589 10.316 1.758 12.074
Maret 20.819 19.842 40.661 10.334 1.768 12.102
April 20.811 19.854 40.665 10.338 1.783 12.121
Kelurahan Rambutan termasuk wilayah padat penduduk, hal ini dikarenakan
adanya mobilitas penduduk yang cepat. Hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.3. Mobilitas Penduduk Kelurahan Rambutan per April 2015
Bulan Lahir Datang Mati Pindah
Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr
1 2 3 4 5 6 7 8 9

32
Januari 28 21 50 50 14 8 45 51
Februari 33 24 55 68 10 5 32 29
Maret 24 19 63 77 10 6 52 43
April 14 16 50 55 3 9 56 40
Uraian mobilitas penduduk di Kelurahan Rambutan bulan April 2015 sebagai
berikut:14
Datang dari dalam wilayah DKI Jakarta : 57 jiwa
Datang dari luar wilayah DKI Jakarta : 48 jiwa
Pindah dalam wilayah DKI Jakarta : 57 jiwa
Pindah ke luar wilayah DKI Jakarta : 39 jiwa

Tabel 4.4. Jumlah Penduduk dan Jumlah Kepala Keluarga Wilayah Kerja Puskesmas
Kelurahan Rambutan per April 2015
No RW Jumlah Jumlah KK
Penduduk
1 2 3 4
1 RW 1 7.148 2.117
2 RW 2 6.143 2.072
3 RW 3 6.517 1.812
4 RW 4 6.713 2.140
5 RW 5 5.493 1.167
6 RW 6 8.651 2.753
Jumlah 40.665 12.121

Tabel 4.4. menjelaskan kelurahan Rambutan mimiliki jumlah penduduk sebanyak


40.665 jiwa dan 12.121 kepala keluarga yang tersebar antara RW 1 hingga RW 6.
Sedangkan tabel 4.5. menjelaskan sebaran penduduk puskesmas Rambutan antara
laki-laki dan perempuan. Penduduk dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan memiki
perbandingan jumlah yang tidak jauh berbeda.
Tabel 4.5. Jumlah Perbandingan Penduduk Menurut Jenis Kelamin Wilayah Kerja
Puskesmas Rambutan per April 2015
No RW Jumlah Laki-Laki Perempuan
Penduduk
1 2 3 4 5
1 RW 1 7.148 3.619 3.529
2 RW 2 6.143 3.112 3.031
3 RW 3 6.517 3.328 3.189
4 RW 4 6.715 3.457 3.256
5 RW 5 5.493 2.870 2.623
6 RW 6 8.651 4.425 4.226

33
Tabel 4.6. Jumlah Perbandingan Penduduk Menurut Kelompok Umur Wilayah Kerja
Puskesmas Rambutan per April 2015
No Kelompok Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah %
Penduduk
1 2 3 4 5 6
1 0 – 4 Tahun 1.439 1.493
2 5 – 9 Tahun 1.971 1.932
3 10 – 14 Tahun 1.974 1.677
4 15 – 19 Tahun 1.662 1.597
5 20 – 24 Tahun 1.746 1.695
6 25 – 29 Tahun 2.108 2.138
7 30 – 34 Tahun 2.126 2.129
8 35 – 39 Tahun 2.002 1.911
9 40 – 44 Tahun 1.725 1.552
10 45 – 49 Tahun 1.345 1.250
11 50 – 54 Tahun 1.052 969 40.665
12 55 – 59 Tahun 757 670
13 60 – 64 Tahun 443 402
14 65 – 69 Tahun 263 240
15 70 – 74 Tahun 130 108
16 75 + Tahun 68 91
JUMLAH 20.811 19.854

Tabel 4.7. Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan


No RW Tingkat Pendidikan
Tidak SD SLTP SLTA AK/PT S1 S2
Sekolah
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 RW 1 485 288 315 335 147 125 47
2 RW 2 570 385 417 430 220 111 38
3 RW 3 730 530 519 620 290 145 29
4 RW 4 515 326 359 375 225 130 58
5 RW 5 505 214 347 410 285 122 32
6 RW 6 635 447 488 470 394 158 61
Jumlah 3.440 2.190 2.445 2.640 1.561 791 265

Tabel 4.8 Mata Pencaharian penduduk Kelurahan Rambutan


No Jenis Mata Pencaharian Jumlah
1 2 3
1 Pegawai Negeri Sipil 1.070
2 TNI 155
3 POLRI 890
4 Swasta/Pengusaha 2.278

34
5 Pensiunan 948
6 Tani -
7 Buruh 3.775
8 Pedagang 3.292
9 Lain-lain 5.531
10 Pengangguran 855
Jumlah 18.794

Tabel. 4.9. Jumlah Balita


RW Jumlah Balita Balita yang Balita yang Balita yang
(S) Punya KSM Ditimbang (D) Baik Timbang
(K) (N)
1 2 3 4 5
1 224 131 112 70
2 225 225 162 116
3 349 310 164 73
4 500 475 232 118
5 135 135 77 21
6 409 393 312 161
Jumlah 1.842 1.669 1.059 559

Jumlah balita yang tertera pada tabel diatas menunjukkan jumlah balita per wilayah
di kelurahan Rambutan. Jumlah balita terbanyak dimiliki oleh RW 6 sebanyak 409 balita.
Jumlah total keseluruhan balita di kelurahan Rambutan sebanyak 1.842 balita. Balita yang
memiliki Kartu Menuju Sehat (KMS) yaitu balita yang datang ke posyandu sebanyak
1.669 balita.

4.4 Sumber Daya Kesehatan


Hingga April 2015, Jumlah Pegawai di Puskesmas Kelurahan Rambutan sebanyak
32 orang, yang terdiri dari 20 orang tenaga kesehatan, 4 orang pegawai administrasi, 3
orang pegawai keamanan, 2 juru masak dan 3 orang pegawai kebersihan. Berikut adalah
tabel perincian mengenai jumlah tenaga kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Rambutan:

Tabel 4.10 Tenaga Kesehatan di Puskesmas Rambutan


No Tenaga Kesehatan Puskesmas Keterangan
1 2 3 4
1 Dokter Umum 2 1 dr. Ka PKM(PNS), 1
Honorer
2 Dokter Gigi 1 Honorer
3 Apoteker -

35
4 Sarjana Kesehatan 1 PNS
5 Bidan 11 3 PNS, 1 CPNS, 7
Honorer
6 Perawat 2 PNS
7 AAK 1 PNS
8 Ahli Gizi 1 PNS
9 Perawat Gigi 1 PNS
Jumlah 20

4.5 Sarana Pelayanan Kesehatan


Fasilitas kesehatan yang terdapat di Kelurahan Rambutan dapat dilihat dalam
tabel berikut.14
Tabel 4.11. Fasilitas Kesehatan di Kelurahan Rambutan per April 2015
Fasilitas Kesehatan Jumlah
Puskesmas 1
Rumah Sakit 1
Pos Kesehatan 16
Posyandu 15
UPGK -
Klinik Kesehatan 4
Rumah Bersalin 10
Apotik/Toko Obat 4/2
Sejak Indonesia memiliki sistem Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan
(BPJS), dapat dikatakan pasien yang berobat ke Puskesmas maupun Rumah Sakit
Umum Daerah meningkat cukup signifikan, sehingga terjadi antrian panjang terutama
pada rumah sakit-rumah sakit besar. Oleh sebab itu, diadakan sistem rujukan fasilitas
pelayanan kesehatan berjenjang, sehingga pasien-pasien yang berobat memiliki
jenjang rujukan. Puskesmas merupakan jenjang fasilitas kesehatan pertama yang
dapat didatangi masyarakat. Selain itu letak puskesmas yang strategis dan berada di
pemukiman warga Rambutan, membuat pasien yang ingin berobat dapat mencapai
tempat puskesmas dengan mudah. Jika penyakit yang membutuhkan keahlian khusus,
maka sistem rujukan dilakukan pada tingkatan kedua yang merupakan rumah sakit
tipe C ataupun D. Nantinya pihak rumah sakit demikianlah yang akan melakukan
rujukan ke rumah sakit tipe B yaitu rumah sakit rujukan pelayanan kesehatan tingkat
3 regional ataupun nasional.
Tabel 4.12 Sistem Rujukan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Berjenjang Wilayah Jakarta Timur
No Rujukan Pelayanan Kesehatan Tingkat Satu

36
1 PKC. Pulo Gadung
2 PKC Pasar Rebo
3 PKC Kramat Jati
4 PKC Duren Sawit
5 PKC Cipayung
6 PKC Ciracas
7 PKC Jatinegara
8 PKC Cakung
9 PKC Matraman
No Rujukan Pelayanan Kesehatan Tingkat Kedua
1 RSJ Klender
2 RSU Mediros
3 RSU Kartika Pulomas
4 RSU Antam Medika
5 RSU Harapan Bunda
6 RSU Yadika Pondok Bambu
7 Yayasan Ginjal Diatrans
8 RS Gilut TNI AU
9 RSU Pengayoman Cipinang
10 RS TK IV Kesdam Cijantung
11 RSIA Bunda Aliyah
12 RS Pusdikkes (TK IV)
13 RSIA Resti Mulia
14 RSKO Cibubur
15 RS Bedah Rawamangun
16 RSU Harapan Jayakarta
17 RSU Harum
18 Klinik HD Jati Waring

No Rujukan Pelayanan Kesehatan Tingkat Rujukan Pelayanan Kesehatan


Ketiga (Regional) Tingkat Ketiga (Nasional)
1 RSUD Pasar Rebo RSUP Cipto Mangunkusumo
2 RSU Omni Pulomas RSPAD Gatot Subroto
3 RSUD Budhi Asih RSUP Fatmawati
4 RSU UKI Cawang RSUP Persahabatan
5 RSKD Duren Sawit RSJPD Harapan Kita
6 RSU Islam Pondok Kopi RSAB Harapan Kita
7 RS Bhayangkara Tk I R. Said Sukanto RSJ Dr. Soeharto Heerdjan
8 RSU Premier Jatinegara RS Kanker Dharmais
9 RSAU dr. Esnawan Antariksa
10 RSIA Hermina Jati Negara
11 RSU Haji Jakarta

37
4.6 Data Kesehatan Masyarakat
4.6.1 Penyakit Terbanyak
Berdasarkan Laporan Tahunan Puskesmas Kelurahan Rambutan, data 10
Penyakit terbanyak dapat dilihat pada tabel berikut:15
Tabel 4.13. 10 Penyakit Terbanyak Puskesmas Kelurahan Rambutan
No Penyakit Jumlah
1 ISPA 1922
2 Gastritis & Duodenitis 477
3 Penyakit kulit infeksi dan alergi 444
4 Hipertensi 412
5 Penyakit sistem otot dan jaringan ikat 411
6 Penyakit lainnya 251
7 Diare 209
8 TB Paru 43
9 Asma 32
10 Cacar air 19

Berdasarkan laporan puskesmas kelurahan Rambutan, terdapat 10 penyakit


terbanyak di puskesmas Rambutan pada tahun 2014. Penyakit terbanyak yang
diderita warga Rambutan adalah ISPA atau Infeksi Saluran Pernapasan Atas
dengan jumlah 1922 orang. Penyakit TB Paru termasuk peringkat no.8 dalam data
di atas.

4.6.2 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat


Data Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas Rambutan
Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel berikut:15
Tabel 4.14. PHBS Puskesmas Kelurahan Rambutan
RW1 RW2 RW3 RW4 RW5 RW6
PHBS 9.74 43.6 73.8 62.3 33 43.3
TIDAK PHBS 90.3 56.4 26.1 37.7 66.9 56.7
NAKES 100 100 100 100 100 100
ASI
EKSKLUSIF 50 65 48.6 69 50 52.3
TIMBANG 99.5 53.6 88.2 63.6 100 65.9
AIR BERSIH 100 98.8 100 100 100 100
JAMBAN
SEHAT 95.1 98.7 100 100 91.2 100
BEBAS
JENTIK 96.6 99.3 99.6 99.5 99.7 99.7
CTBS 100 94.8 99.8 94.4 90.6 80.3

38
BUAH/SAYUR 100 98 100 95 97 76.7
OLAH RAGA 25.3 79.9 99.1 82.2 100 67.7
Pada tabel diatas, terdapat hasil Perilaku Hidup Bersih Sehat di Puskesmas
Kelurahan Rambutan. Dari tabel diatas, RW yang mendapatkan predikat PHBS
terbaik adalah RW 3 dengan hasil 73,8%. Sedangkan wilayah dengan PHBS yang
kurang baik terdapat di RW 1 sebanyak 90,3% warga yang tidak ber-PHBS.

4.7 Laporan Kasus Tuberkulosis


Pencatatan kasus TB di Puskesmas Rambutan dilakukan menggunakan sistem
pelaporan triwulan. Berikut adalah data terjadinya kasus Tuberkulosis pada tahun 2014
periode Januari – Desember 2014 berdasarkan Buku Register TB (TB. 03) Unit Pelayanan
Kesehatan (UPK) Kelurahan Rambutan:

Tabel 4.15. Kasus TB Puskesmas Kelurahan Rambutan 2014

Periode Kasus Baru Kasus Kambuh Kasus Pindahan Default


BTA BTA BTA An EP BTA Lain2
Triwulan Anak Anak Anak
(+) (-) (+) (-) (+) (-) ak * (+) (-)
Jan-Feb-
2 - 2 - - - 3 - - - - - - -
Mar
Apr-Mei-
8 2 2 - - - - 1 - - 1 - - -
Jun
Jul-Agt-
5 3 - 2 2 - 1 - 1 - - - - -
Sept
Okt-Nov-
4 1 - - - - - 1 - 1 - 1 - -
Des
Jumlah 19 6 4 2 2 - 4 2 1 1 1 1 -
*EP = Ekstra Paru
Tabel 4.16. Sebaran Kasus TB 2014
Periode RW01 RW02 RW03 RW04 RW05 RW06
Jan-Feb-Mar 1 1 3 1 1 0
Apr-Mei-Jun 6 1 2 3 0 2
Jul-Agt-Sept 7 0 3 0 0 4
Okt-Nov-Des 3 0 3 1 0 1
Jumlah 17 2 11 5 1 7

Tabel 4.16. Hasil Pengobatan Kasus TB 2014


Periode Sembuh lengkap meninggal gagal default pindah
Jan-Feb-Mar 2 2 0 2 0 0
Apr-Mei-Jun 2 0 0 0 4 1

39
Jul-Agt-Sept 9 3 0 1 2 0
Okt-Nov-Des 2 1 0 0 1 1
Jumlah 15 6 0 3 7 2

Berdasarkan laporan TB Puskesmas Kelurahan Rambutan tahun 2014, didapatkan


angka penemuan pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR) sebesar 29,2 %.
Angka Kesembuhan 78,9%, Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = SR) 80%, dan
angka default 16.3%.

Tabel 4.17. Kasus TB Triwulan I tahun 2015, Kelurahan Rambutan


Jenis Regime Klasifikasi Tipe Pemeri
Alamat
No Tgl. Mulai Kelamin n yang penyakit Penderita ksaan
Nama (RT/R
. Berobat /Umur Diberika paru/ Dahak
W)
L P n Ekstraparu
1 13-01-2015 Ny. K 24 03/03 II P Defaulter 1(+)
2 30-01-2015 Tn. A 32 11/06 I P Defaulter (-)
3 19-02-2015 Tn. S 18 04/02 I P Pindahan 2(+)
4 24-02-2015 Tn. Sn 64 05/01 I P Baru (-)
5 04-03-2015 Ny. S 21 04/06 I P Baru (-)
6 10-03-2015 Tn. M 20 11/02 I P Baru 2(+)
7 17-03-2015 An. A 5 12/02 Anak P Pindahan
8 25-01-2015 An. A 1 10/01 Anak P Pindahan
9 28-02-2015 An. R 14 03/04 Anak P Baru
Tn. I P Baru 3(+)
10 31-03-2015 23 09/06
MS
Dari table di atas dapat dilihat bahwa prevalensi TB paru pada Triwulan pertama
tahun 2015 lebih tinggi dibandingkan Triwulan sebelumnya, dengan jumlah kasus TB BTA
positif sebanyak 4 pasien dari 10 tersangka yang diperiksa dahak. Sdangkan sebaran pasien
tertinggi terdapat di RW02, dan terendah di RW05.
Tabel 4.18. Kasus TB April-Mei tahun 2015 berdasarkan Daftar Suspek (TB.06), Kelurahan
Rambutan
No. Tanggal Nama suspek Umur Alamat Hasil Pemeriksaan
L P
didaftar (RT/RW)
1 01-04-2015 Tn. AF 28 06/02
2 01-04-2015 Ny. D 50 12/01 3(-)
3 02-04-2015 Tn. I 22 13/03 3(-)
4 06-04-2015 Ny. Z 31 12/01
5 08-04-2015 Ny. S 20 12/02 3(-)
6 08-04-2015 Ny. Y 54 16/06
7 13-04-2015 Ny. N 61 02/03

40
8 13-04-2015 Ny. S 49 04/02 2(+)
9 15-04-2015 Tn. S 47 02/05
10 16-04-2015 Tn. T 64 10/03 3(-)
11 17-04-2015 Tn. F 49 05/01 3(-)
12 17-04-2015 Tn. A 20 16/06
13 27-04-2015 Tn. I 41 05/01
14 13-05-2015 Tn. S 49 09/01
15 18-05-2015 Tn. R 18 04/04 3(-)
16 20-05-2015 Ny. F 18 04/03
17 21-05-2015 Tn. MH 65 07/06
18 21-05-2015 Tn. H 26 05/02 3(-)
19 26-05-2015 Tn. F 22 05/04 3(-)
20 26-05-2015 Ny. H 46 03/02
21 27-05-2015 Tn. H 35 10/02 3(-)
22 27-05-2015 Tn. Z 35 08/04
23 27-05-2015 Tn. O 19 08/01
24 28-05-2015 Ny. N 72 12/03

BAB V
DISKUSI

Pengembangan program pengendalian penyakit TB dengan strategi DOTS (Directly


Observed Treatment, Shortcourse Chemotherapy) sampai tahun 2008 telah dilaksanakan di
seluruh Kabupaten/Kota, pelaksanaan program penyakit TB sampai tahun 2008 telah dapat
menurunkan insiden kasus menular dari 130/100.000 penduduk menjadi 104/100.000
penduduk.
Sistem pencatatan, pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen
untuk menilai keberhasilan pelaksanaan dalam program DOTS. Sedangkan untuk menilai
keberhasilan program penanggulangan TB tersebut digunakan beberapa indikator, 2 indikator
terpenting adalah angka penemuan pasien baru TB BTA positif (CDR) dan angka
keberhasilan pengobatan. Target program penanggulangan TB di Indonesia adalah
tercapainya penemuan pasien baru TB BTA positif paling sedikit 70% dari perkiraan dan
menyembuhkan 85% dari semua pasien tersebut serta mempertahankanya. Selain itu angka
default tidak boleh lebih dari 10% dari keseluruhan penderita.

41
Berdasarkan laporan TB Puskesmas Kelurahan Rambutan tahun 2014, didapatkan
angka penemuan pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR) sebesar 29,2 %.
Sementara itu angka kesembuhan 78%, Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate =
SR) sebesar 80%, dan angka default sebesar 16.3%. Hasil tersebut menunjukkan cakupan
penemuan kasus baru BTA positif dan pasien TB yang tidak sembuh atau tidak menjalani
pengobatan lengkap di wilayah Kelurahan Rambutan pada tahun 2014 masih jauh dari target
yang ditetapkan. Hal ini dikhawatirkan akan berdampak pada semakin sulitnya
mengendalikan kasus TB, karena pengobatan kasus TB merupakan salah satu strategi utama
dalam pengendalian TB karena dapat memutuskan rantai penularan.
Menurut Leavell (1953), terdapat lima tahapan dalam pencegahan penyakit menular,
yaitu promosi kesehatan, proteksi khusus, diagnosis dini dan pengobatan yang cepat,
pembatasan disabilitas, dan rehabilitasi.Berkaitan dengan upaya penurunan angka kasus baru
TB di Indonesia, maka tahapan ke-3, yakni diagnosis dini sangat penting guna memutuskan
rantai penularan dari penderita ke orang yang sehat.
Diagnosis dini erat kaitannya dengan strategi penemuan pasien TB yang dilakukan
setiap UPK. Dengan demikian akan berpengaruh juga terhadap angka CDR. Berdasarkan
hasil pengamatan dan wawancara dengan koordinator program P2TB di Puskesmas
Kelurahan Rambutan, strategi penemuan pasien TB telah dilakukan melalui berbagai hal.
Misalnya dokter melakukan pemeriksaan mikroskopis dahak SPS terhadap setiap pasien yang
memiliki gejala klinis batuk berdahak selama 2-3 minggu atau gejala lainnya yang dicurigai
menderita TB paru. Upaya pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang
BTA positif dan pada keluarga anak yang menderita TB yang menunjukan gejala sama sulit
dilakukan, dikarenakan banyaknya keluarga pasien TB yang menolak melakukan
pemeriksaan dahak tersebut.
Sulitnya melakukan deteksi dini kepada masyarakat yang kontak dengan penderita TB
dan tingginya angka default ini erat kaitannya dengan perilaku kesehatan. Menurut Lawrence
Green, ada tiga faktor yang memberi kontribusi seseorang melakukan tindakan atau perilaku
yaitu faktor predisposisi, misalnya pengetahuan setiap indivudu, tingkat pendidikan, tingkat
sosial ekonomi, dan sebagainya. Faktor pendukung mencakup ketersediaan sarana dan
prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat misalnya jarak puskesmas, ketersediaan
sumber daya, keterjangkauan sumber daya, ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan lain
seperti rumah sakit, poliklinik swasta, dan lain-lain. Faktor penguat meliputi faktor sikap dan
perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas
termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga dukungan dari keluarga.
42
Faktor –faktor predisposisi yang mempengaruhi rendahnya cakupan penemuan kasus
baru BTA positif dan angka keberhasilan pengobatan di puskesmas Kelurahan Rambutan
mungkin disebabkan oleh karena kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai penyakit TB.
Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara
pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai orang sakit dan akhinya
berakibat menjadi sumber penular bagi orang di sekelilingnya. Selain itu rendahnya tingkat
pendidikan, dan pekerjaan masyarakat juga samgat berpengaruh.
Tingkat pendidikan formal akan berpengaruh terhadap cara berpikir seseorang
terhadap dirinya sendiri dan terhadap lingkungan. Hal ini akan berpengaruh terhadap tingkat
kesadaran kesehatan terhadap diri sendiri dan keluarganya. Pada Kelurahan Rambutan tingkat
pendidikan penduduknya masih banyak yang rendah. Semakin rendah tingkat pendidikan
penduduk, maka semakin rendah tingkat kesadaran dan kepedulian akan kesehatan pada diri
sendiri, keluarga, maupun orang-orang disekitarnya. Dalam hal ini contohnya adalah
kerutinan pasien TB untuk terus melakukan pengobatan hingga tuntas atau sesuai insruksi
petugas kesehatan dan kesediaan keluarga pasien untuk melakukan screening pemeriksaan
dahak.
Berdasarkan data yang ada, banyak penduduk Kelurahan Rambutan bermata
pencaharian sebagai buruh dan pedagang. Faktor pekerjaan ini berpengaruh terhadap status
social ekonomi keluarga. WHO tahun 2007 menyebutkan 90% penderita TB di dunia
menyerang kelompok sosial ekonomi lemah. Berdasarkan pengamatan dan wawancara
peneliti terhadap koordinator program TB Puskesmas Rambutan, jenis pekerjaan, lokasi
Kelurahan Rambutan yang dekat dengan Pasar Induk menyebabkan mobilitas penduduk di
Kelurahan Rambutan cukup tinggi sehingga sulit melakukan promosi kesehatan dan
pemantauan terhadap pasien-pasien TB. Masyarakat juga lebih sulit mendapatkan informasi
dan sulit meluangkan waktu untuk datang ke fasilitas kesehatan karena kesibukan mereka
dalam bekerja. Sosial ekonomi yang rendah juga dapat berpengaruh pada kepadatan hunian
yang tinggi dan buruknya lingkungan, selain itu masalah kurang gizi dan perilaku rendahnya
perilaku PHBS. Sebagai contoh pada tahun 2014, di Kelurahan Rambutan tercatat prevalensi
TB tertinggi terdapat di wilayah RW01, yakni sebanyak 17 orang. Angka ini sejalan dengan
data PHBS bahwa warga di RW01 memiliki angka PHBS paling rendah dibandingnkan
dengan RW lainnya.
Selain faktor predisposisi , terdapat pula faktor pendukung. Faktor pendukung
mencakup telah tersedianya tenaga kesehatan (dokter, perawat, dan bidan) juga koordinator
program TB yang kompeten untuk mendeteksi penderita TB paru. Namun di Puskesmas
43
Rambutan belum tersedia laboratorium untuk pemeriksaan dahak, sehingga pasien
memeriksakan dahaknya di prasarana kesehatan lain. Luasnya wilayah Kelurahan Rambutan,
dan kondisi Ibu Kota yang macet banyak menyebabkan penduduk merasa kesulitan sehingga
malas datang untuk berobat ke Puskesmas. Namun, untuk memastikannya harus dilakuakn
penelitian lebih lanjut. Faktor pendukung lainnya adalah kurangnya promosi kesehatan
seperti penyuluhan, poster, atau leaflet mengenai penyakit TB sehingga masyarakat kurang
mendapatkan informasi mngenai penyakit ini.
Selain faktor predisposisi dan faktor pendukung, terdapat pula faktor penguat yaitu
salah satunya adalah keluarga. Jika ada dukungan dari keluarga seperti dari suami, istri, atau
orang tua yang mengingatkan seseorang untuk segera berobat ke Puskesmas jika sakit, maka
kemungkinan besar orang yang sakit ini akan datang berobat ke Puskesmas. Begitu pula
dengan pentingnya keluarga atau orang terdekat sebagai PMO (Pengawas Minum Obat),
sangat diperlukan seorang penderita TB paru tetap rutin minum obat dan terus melanjutan
pengobatannya hingga tuntas. Tokoh agama dan tokoh masyarakat juga dapat turut serta
membantu penanggulangan TB, misalnya setiap Ketua RT dari pasien TB turut memantau
kelangsungan pengobatan pasien tersebut atau mobilitas penduduk sehingga meningkatkan
angka keberhasilan pengobatan dan mengurangi angka default.
Dalam upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai penyakit TB,
peneliti melakukan beberapa intervensi kepada masnyarakat. Dalam hal ini yaitu penyuluhan,
konseling, dan penyebaran leaflet. Konseling dilakukan kepada setiap pasien TB dan atau
keluarganya yang datang ke Puskesmas Rambutan untuk mengambil obat juga kepada pasien
yang berdasarkan keluhan klinis dicurigai menderita TB paru sejak akhir bulan Maret hingga
Mei 2015. Konseling ini dimaksudkan agar tersangka TB mau memeriksakan dahaknya dan
melakukan pengobatan jika hasil pemeriksaan dahak positif. Kepada pasien TB agar terus
melanjutkan pengobatan sesuai instruksi petugas kesehatan, mencegah penularan ke orang
sekitar dengan menggunakan masker jika batuk atau bersin, tidak meludah sembarangan, dan
juga agar menganjurkan orang disekitarnya untuk segera memeriksakan diri ke puskesmas
jika memiliki gejala-gejala TB seperti batuk.
Penyuluhan dilakukan di setiap RW Kelurahan Rambutan, yakni pada tanggal 8 Mei
2015 di RW 01 dan 03, tanggal 15 Mei 2015 di RW 02, 05, dan 06, serta di RW 04 pada
tanggal 22 Mei 2015. Pelaksanaan dilakukan kepada kader-kader PSN dengan jumlah peserta
sekitar 12-30 orang. Selai itu juga dilakukan penyuluhan kepada pasien-pasien di Puskesmas
Rambutan pada tanggal 1 Juni 2015 dengan jumlah peserta sebanyak 17 orang. Penyuluhan
yang diberikan yakni mengenai gambaran penyakit TB, tanda dan gejala, bagaimana
44
penularan penyakit, bagaimana pengobatan penyakit, efeknya apabila seorang pasien TB
tidak melakukan pengobatan hingga tuntas, dan yang tidak kalah pentingnya adalah
bagaimana mencegah agar hidup kita terbebas dari infeksi TB paru. Penyakit TB ini dapat
dicegah dengan berbagai cara yaitu dengan hidup sehat (makan makanan bergizi, istirahat
cukup, olah raga teratur, hindari rokok, alkohol, obat bius dan hindari stres), bila batuk mulut
ditutup, jangan meludah di sembarang tempat serta menerapkan strategi DOTS (Directly
Observed Treatment, Shortcourse).
Selain itu, pada setiap penyuluhan dan konseling yang dilakukan, peneliti membagikan
leaflet mengenai TB paru dengan maksud agar lebih banyak penduduk yang dapat
mendapatkan informasi mengenai penyakit TB. Leaflet ini berisi tentang hal – hal yang telah
disampaikan dalam penyuluhan dan konseling.
Setelah melakukan intervensi, seharusnya peneliti melakukan evaluasi hasil
intervensi. Peningkatan CDR dapat dilihat dalam waktu satu tahun. Evaluasi juga dapat
dilakukan dengan melihat data pada buku Register TB (TB.03) Triwulan ke-II, untuk melihat
keberhasilan dan kepatuhan pengobatan pasien pada Triwulan pertama, juga konversi pasien
TB dengan BTA positif. Namun peneliti menemukan kendala yakni adanya keterbatasan
waktu dalam melakukan penelitian dimana waktu penelitian yang terlalu singkat, tidak
sampai akhir bulan Juni (akhir Trimester ke-II) sehingga evaluasi sulit dilakukan.
Karena keterbatasan waktu tersebut, evaluasi yang dilakukan hanya mencakup data
pada Daftar Tersangka Penderita (Suspek) Yang Diperiksa Dahak SPS (TB.06). Dalam hal
ini peneliti membandingkan data pada Triwulan I 2015 dengan bulan April-Mei 2015 yang
tercatat pada TB.06 Puskesmas Rambutan.Dari data tersebut dapat ditentukan angka
penjaringan suspek dan proporsi pasien BTA (+) diantara suspek. Didapatkan angka
penjaringan suspek pada Triwulan I 2015 sebesar 25 dari 100000 penduduk, sedangkan pada
bulan April-Mei 2015 didapat 59 dari 100000 penduduk. Sedangkan Proporsi pasien BTA
positif diantara suspek pada Triwulan I 2015 didapatkan 40%, sedangkan pada bulan April-
Mei 2015 sebesar 10%. Angka Proporsi Pasien TB BTA (+) Diantara Suspek sebaiknya
sekita 5-15%.Dapat disimpulakn bahwa telah terjadi peningkatan dalam upaya penemuan
pasien TB di wilayah kerja Puskesmas Rambutan. Sedangkan Proporsi Pasien TB BTA (+)
Diantara Suspek yang diperiksa pada bulan Triwulan I terlalu besar (>15%), hal ini dapat
dikeranakan penjaringan suspek terlalu ketat, atau ada masalah dalam pemeriksaan
laboratorium (positif palsu). Selain itu didapatkan banyak pasien yang telah diberikan rujukan
untuk periksa dahak, namun tidak kembali untuk melaporkan hasil pemeriksaan dahaknya.

45
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
 Cakupan penemuan kasus baru BTA positif yang digambarkan melalui angka case
detection ratedi Kelurahan Rambutan pada tahun 2014 belum memenuhi target, yakni
sebesar 29,2 %.
 Angka keberhasilan pengobatan dan angka kesembuhan TB paru masih rendah, yakni
sebesar 80% dan 78,9%. Angka default cukup tinggi, yakni sebesar 16.3%.
 Mengingat apa yang telah disebutkan di tinjauan pustaka mengenai target program
pemerintah dalam penganggulangan TB Nasional, maka wilayah kerja Puskesmas
Kelurahan Rambutan belum memenuhi target.
 Pengetahuan masyarakat yang kurang mengenai penyakit TB paru sangat berpengaruh
terhadap rendahnya angka CDR dan angka keberhasilan pengobatan.
 Faktor lain yang mendukung yaitu banyaknya warga Kelurahan Rambutan dengan
tingkat pendidikan dan sosial ekonomi rendah, juga tingginya kepadatan penduduk
serta mobilitas penduduk.

46
 Peran penting tenaga kesehatan dalammelakukan promosi kesehatan di masyarakat
sangat dibutuhkan untuk membantumeningkatkan pengetahuan khususnya mengenai
penyakit TB.

6.2 Saran
 Penyuluhan mengenai penyakit TB sebaiknya dilakukan terus menerus secara berkala.
Dapat dibuat jadwal rutin untuk penyuluhan TB dengan melibatkan tenaga kesehatan
serta tokoh masyarakat.
 Sosialisasi tentang penyakit TB paru melalui media yang lebih beragam, misalnya
dalam bentuk poster dan pamflet.
 Menjalin hubungan baik antara tenaga kesehatan, kader dan ketua RT agar dapat turut
membantu pemantauan pasien TB di lingkungannya.
 Menyediakan blanko pernyataan persetujuan pengobatan TBdengan mengetahui
ketua RT dan RW setempat pada awal pengobatannya.
 Melakukan dan membuat jadwal kunjungan rumah terhadap pasien TB, khususnya
pasien default.
 Petugas kesehatan agar melakukan pencatatan pasien TB secara lebih teliti dan
maksimal.
 Petugas kesehatan agar lebih proaktif menghubungi pasien-pasien suspek TB yang
tidak kembali utuk memberikan hasil pemeriksaan dahaknya.
 Penelitian selanjutnya dilakukan dalam waktu yang lebihpanjang.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Pusat Komunikasi Publik Depkes RI. 2011. TBCMasalah Kesehatan Dunia.


Available: http://www.depkes.go.id/article/view/1444/tbc-masalah-kesehatan-
dunia.html (Akses: 23 April 2015)
2. WHO. Global Tuberculosis Control WHO Repost. 2011:1-111
3. Manaf A, Pranoto A, dkk. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2.
Cetakan pertama. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta 2007.
4. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, Jakarta 2002.
5. Daniel TM. Tuberculosis. In: Isselbacher, et al (Eds). Horrison’s Principles of
internal Medicine. Vol 1.13rd ed. 2004. 710-717
6. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid
3. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009.
7. Amrullah A. 2011. Faktor-Faktor Resiko Tuberkulosis (TB Paru - TBC). Available :
http://blogkesmas.blogspot.com/2011/05/faktor-faktor-resiko-tuberkulosis-
tb.html(Akses : 10 Mei 2015)
48
8. Nawas MA. Pemeriksaan sputum BTA pada diagnostik tuberculosis paru. J Respir
Indo 2003;23:16
9. World Health Organization. Treatment of Tuberculosis. Guidelines for National
Programmes 3rd ed. Geneva: WHO, 2003.
10. Kementrian Dalam Negeri. Profil Provinsi DKI Jakarta. Diakses dari:
http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/31/dki-jakarta.pada
tanggal: 9 Mei 2015.
11. Jakarta.go.id. Peta Wilayah Jakarta Timur. Diakses dari: www.jakarta.go.id. Pada
tanggal: 9 Mei 2015.
12. Wikipedia.Ciracas, Jakarta Timur. Diakses dari:
http://id.wikipedia.org/wiki/Ciracas,_Jakarta_Timur. Pada tanggal: 9 Mei 2015.
13. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Laporan Tahunan Kelurahan Rambutan.
2013.
14. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Kelurahan Rambutan. April 2015.
15. Laporan Tahunan Puskesmas Rambutan. 2014.

LAMPIRAN
49
50

Anda mungkin juga menyukai