Anda di halaman 1dari 11

ANEMIA DALAM KEHAMILAN

1.1 Definisi Anemia dalam Kehamilan


Anemia didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin kurang dari 12
gr/dL pada wanita dewasa tak hamil dan kurang dari 10 gr/dL selama kehamilan
atau masa nifas. Centers for Disease Control and Prevention (1998)
mendefinisikan anemia pada ibu hamil yang mendapat suplemen besi dengan
menggunakan batas dari persentil ke 5-11 gr/dL pada trimester pertama dan
ketiga, dan 10,5 gr/dL pada trimester kedua. Menurut WHO (1997) seseorang
dinyatakan anemia bila kadar hemoglobin wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl,
pada umur 6 bulan sampai 5 tahun dan wanita hamil < 11 g/dl.
Pada kehamilan kebutuhan oksigen lebih tinggi sehingga memicu
peningkatan produksi eitropoietin. Akibatnya, volume plasma bertambah dan sel
darah merah (eritrosit) meningkat. Namun, peningkatan volume plasma terjadi
dalam proporsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit
sehingga terjadi penurunan konsentrasi Hb akibat hemodilusi.
Ekspansi volume plasma mulai pada minggu ke-6 kehamilan dan
mencapai maksimum pada minggu ke-24 kehamilan, tetapi dapat terus meningkat
sampai minggu ke-37. Pada titik puncaknya, volume plasma sekitar 40% lebih
tinggi pada ibu hamil dibandingkan perempuan tidak hamil. Penurunan
hematokrit, Hb, dan eritrosit biasanya tampak pada minggu ke-7 sampai ke-8
kehamilan dan terus menurun sampai minggu ke-16 sampai ke-22 ketika titik
keseimbangan tercapai.
Pada trimester pertama, konsentrasi Hb mulai menurun. Konsentrasi Hb
paling rendah terjadi pada trimester kedua sekitar usia kehamilan 30 minggu. Pada
trimester ketiga terjadi sedikit peningkatan Hb.
Status Kehamilan Hemoglobin (gr/dL) Hematokrit (%)
Tidak Hamil 12,0 36
Hamil Trimester I 11,0 33
Hamil Trimester II 10,5 32
Hamil Trimester III 11,0 33
Tabel 1.1 Nilai batas untuk anemia pada perempuan

1
Setelah persalinan, kadar hemoglobin berfluktuasi dan kemudian
meningkat dan biasanya melebihi kadar hemoglobin wanita tak hamil. Kecepatan
dan besarnya peningkatan pada awal masa nifas ditentukan dari jumlah
hemoglobin yang ditambahkan selama kehamilan dan jumlah kehilangan darah
saat persalinan yang biasanya dimodifikasi oleh penurunan normal volume plasma
postpartum.
1.2 Insidensi Anemia pada Kehamilan
Sebagian besar perempuan mengalami anemia selama kehamilan, baik di
negara maju maupun negara berkembang. WHO memperkirakan bahwa 35-75%
ibu hamil di negara berkembang dan 18% ibu hamil di negara maju mengalami
anemia. Pada studi-studi dari Amerika Serikat dilaporkan bahwa kadar
hemoglobin rerata pada aterm adalah 12,7 gr/dL pada wanita yang mendapat
suplemen besi dibandingkan dengan 11,2 gr/dL pada wanita yang tidak mendapat
suplemen besi.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013,
prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia sebesar 37,1 %. Pemberian tablet
Fe di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 85 %. Presentase ini mengalami
peningkatan dibandingkan pada tahun 2011 yang sebesar 83,3 %. Meskipun
pemerintah sudah melakukan program penanggulangan anemia pada ibu hamil
yaitu dengan memberikan 90 tablet Fe kepada ibu hamil selama periode
kehamilan dengan tujuan menurunkan angka anemia ibu hamil, tetapi kejadian
anemia masih tinggi.
1.3 Penyebab Anemia dalam Kehamilan
Penyebab anemia tersering adalah defisiensi zat nutrisi multipel seperti
anemia defisiensi besi (75%) dan anemia megaloblastik defisiensi folat dan
defisiensi vitamin B12 dengan manifestasi klinik yang disertai infeksi, gizi buruk,
atau kelainan herediter seperti hemoglobinopati. Anemia jenis ini lebih sering
terjadi pada wanita dengan diet inadekuat dan yang tidak mendapat suplemen zat
besi atau folat. Penyebab lainnya yang didapat dalam kehamilan yaitu
hemoglobinopati, proses inflamasi, toksisitas zat kimia, dan keganasan.
Penyebab anemia didapat dan herediter. Anemia didapat diantaranya
anemia defisiensi besi, anemia akibat perdarahan akut, anemia pada peradangan

2
atau keganasan, anemia megaloblastik, anemia hemolitik didapat, anemia aplastik
atau hipoplastik. Anemia herediter diantaranya thalassemia, hemoglobinopati sel
sabit, dan anemia hemolitik herediter.
1.4 Klasifikasi Anemia dalam Kehamilan
Secara garis besar diklasifikasikan menjadi dua tipe:
A) Anemia patologis dalam kehamilan
1) Anemia Defisiensi Besi, asam folat, B12, dan protein.
2) Perdarahan; perdarahan akut (perdarahan pada awal bulan kehamilan)
dan perdarahan kronik seperti infeksi cacing tambang, perdarahan
gastrointestinal.
3) Herediter: thalassemia, hemoglobinopati, anemia hemolitik herediter
defek RBC.
4) Insufisiensi sumsum tulang diakibatkan oleh radiasi dan obat penekan
sumsum.
5) Anemia pada infeksi; seperti malaria & tuberkulosis.
6) Penyakit kronis seperti nefropati dan penyakit neoplastik.
B) Anemia fisiologis dalam kehamilan
Ekspansi volume plasma merupakan penyebab anemia fisiologik dalam
kehamilan. Volume plasma yang terekspansi menurunkan hematokrit, konsentrasi
hemoglobin, dan hitung eritrosit, tetapi tidak menurunkan jumlah absolut Hb atau
eritrosit sirkulasi. Anemia fisiologis dalam kehamilan bertujuan menurunkan
viskositas darah maternal sehingga meningkatkan perfusi plasenta dan membantu
penghantaran oksigen dan nutrisi ke janin.
Selama hamil terdapat peningkatan disproporsi pada volume plasma 50%,
RBC 33%, Hb 18-20%. Terdapat peningkatan kebutuhan zat besi tambahan ketika
hamil terutama trimester kedua. Anemia secara fisiologis disebabkan kombinasi
efek hemodilusi dan ketidakseimbangan zat besi. Kriteria anemia fisiologis: Hb
10 gr/dL, RBC 3,2-3,5 juta/mm 3, morfologi RBC normokrom normositer dengan
central pallor.

3
Anemia pada kehamilan dikategorikan menjadi beberapa kategori:
Kategori Keparahan anemia Tingkat Hb (gr/dL)
1 Mild 10,0 – 10,9
2 Moderate 7,0 – 10,0
3 Severe < 7,0
4 Very severe (dekompensata) < 4,0
Tabel 1.2 kategori anemia menurut Indian Council of Medical Research

1.5 Efek Anemia Pada Kehamilan


Efek anemia pada kehamilan dipelajari lebih dari 27.000 wanita dan
mendapatkan peningkatan ringan risiko persalinan kurang bulan pada anemia
anemia trimester kedua. Anemia pada trimester pertama terutama usia kehamilan
13-18 minggu secara signifikan meningkatkan risiko kematian janin, aborsi
spontan, berat lahir rendah, persalinan kurang bulan atau prematuritas, dan kecil
masa k ehamilan. Anemia pada wanita hamil mempengaruhi vaskularisasi
plasenta dengan mengubah angiogenesis selama awal kehamilan.
Efek anemia pada ibu hamil adalah peningkatan risiko infeksi, dengan
tanda dan gejala beragam dari asimptomatik sampai gejala seperti nyeri kepala,
lemas, mudah lelah, letargi, paresthesia, takikardi, takipnea, rambut rontok, dan
pucat. Pada anemia parah dengan Hb kurang dari 6 gr/dL, dapat berakibat gagal
jantung dan penurunan jaringan yang teroksigenasi termasuk otot jantung. Kondisi
seperti ini terjadi karena komplikasi dari plasenta previa, persalinan operatif, dan
perdarahan pasca persalinan, tidak semata-mata disebabkan oleh defisiensi besi
saja. Kondisi ini dapat berakibat kematian bila tidak diobati dengan transfusi
darah dan suplementasi zat besi.
Ibu hamil dengan anemia ringan mengalami penurunan kapasitas kerja
ringan, tetapi masih bisa melalui persalinan tanpa komplikasi karena masih
terkompensasi dengan baik. Ibu hamil dengan anemia sedang mengalami
penurunan kapasitas kerja, lebih rentan terhadap infeksi, waktu pemulihan infeksi
yang memanjang, persalinan berat lahir rendah, kematian akibat perdarahan pasca
persalinan, dan sepsis.
Pada anemia berat dapat terjadi dekompensasi jantung jika Hb < 5 gr/dL.
Curah jantung meningkat meskipun saat istirahat, stroke volume meningkat, detak

4
jantung meningkat, palpitasi dan sesak saat istirahat. Mekanisme kompensasi
tidak cukup untuk mengatasi penurunan Hb. Kekurangan oksigen menghasilkan
metabolisme anaerob dan akumulasi laktat terjadi, sehingga kegagalan sirkulasi
terjadi dan membatasi kerja jantung. Jika tidak tertangani, dapat berakibat pada
edema paru dan kematian. Jika Hb < 5 gr/dL, bahkan perdarahan hanya 200 mL
dapat berakibat syok dan kematian. Morbiditas meningkat pada ibu hamil dengan
Hb < 8 gr/dL, dan mortalitas meningkat pada ibu hamil dengan Hb < 5 gr/dL.
Anemia berakibat langsung sebanyak 20% pada kematian ibu hamil.
Mortalitas janin meningkat signifikan pada ibu hamil dengan Hb < 8 gr/dL
sebanyak 2-3 kali lipat dibanding pada ibu hamil dengan Hb < 11 gr/dL. Kematian
janin pada ibu hamil dengan Hb < 5 gr/dL meningkat 8-10 kali lipat.
1.6 Anemia Defisiensi Besi
1.6.1 Definisi
Defisiensi besi merupakan defisiensi nutrisi yang paling sering ditemukan
baik di negara maju maupun negara berkembang. Risikonya meningkat pada
kehamilan dan berkaitan dengan asupan zat besi yang tidak adekuat dibandingkan
kebutuhan pertumbuhan janin yang cepat.
Anemia defisiensi besi pada kehamilan merupakan penurunan konsentrasi
hemoglobin sirkulasi dibawah normal (Hb < 11 gr/dL) yang terjadi ketika
kehamilan karena defisiensi besi pada tubuh ibu hamil. Defisiensi besi dapat
didefinisikan sebagai berkurangnya cadangan zat besi tubuh dan keterbatasan
suplai zat besi ke berbagai jaringan tubuh.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC, 1989) memperkirakan
hingga 8 juta wanita Amerika usia subur mengalami defisiensi besi. Pada gestasi
tunggal yang khas, rerata kebutuhan ibu akan besi meningkat dibanding wanita
tidak hamil, mendekati 1000 mg. Dari jumlah ini, 300 mg untuk janin dan
plasenta, 500 mg untuk ekspansi massa Hb ibu, dan 200 mg dibuang secara
normal melalui usus, urin dan kulit.
Absorpsi Zat Besi Kehilangan Zat Besi
Zat besi dari makanan sehari-hari - Faktor fisiologis kehamilan
- Peningkat absorpsi: Pembuangan zat besi normal melalui usus,
Protein, daging, asam askorbat, fermentasi, urin, kulit
alkohol, cadangan zat besi rendah, Menstruasi

5
peningkatan aktivitas eritropoetik (dataran Persalinan
tinggi, hemolisis, perdarahan) Menyusui
- Inhibitor absorpsi: - Faktor patologis
Kalsium, tannin, teh, kopi, minuman herbal, Perdarahan dari saluran cerna, alergi,
suplementasi besi occult blood lost, infeksi cacing
Tabel 1.3 Faktor yang mempengaruhi status zat besi pada wanita hamil

Gejala yang paling sering terjadi pada anemia defisiensi besi adalah letargi
dan lelah, nyeri kepala, paresthesia, sensasi terbakar pada lidah, dan pica yang
muncul pada anemia berat setelah 20 minggu kehamilan. Gejala lainnya yaitu
glossitis, pucat, cheilitis (inflamasi pada bibir), koilonikia (spoon nail). Pada
anemia berat (Hb < 5 gr/dL), gejala disertai perdarahan retina, konjunctivitis,
takipnea, takikardi, gagal jantung, sepsis, dan splenomegali dapat terjadi.
Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi terparah, ditandai
dengan penurunan cadangan besi, konsentrasi serum besi (Fe serum), saturasi
transferrin yang rendah, dan konsentrasi hemoglobin atau hematokrit yang
menurun. Pada kehamilan, kehilangan zat besi terjadi akibat pengalihan besi
maternal ke janin untuk eritropoiesis, kehilangan darah pada saat persalinan, dan
laktasi yang jumlah keseluruhannya dapat mencapai 900 mg atau setara dengan 2
liter darah. Oleh karena sebagian besar perempuan mengawali kehamilan dengan
cadangan besi yang rendah maka kebutuhan tambahan ini berakibat pada anemia
defisiensi besi.
1.6.2 Diagnosis
Bukti morfologis apus darah tepi pada anemia defisiensi besi yaitu eritrosit
hipokrom mikrositer, kurang mencolok pada ibu hamil dibandingkan pada wanita
tak hamil. Anemia defisiensi besi derajat sedang biasanya tidak disertai oleh
perubahan morfologis yang nyata pada eritrosit. Namun, kadar ferritin serum lebih
rendah daripada normal, dan tidak terdapat besi yang terwarnai di sumsum tulang.
Anemia defisiensi besi pada kehamilan terutama terjadi karena ekspansi volume
plasma tanpa ekspansi normal massa hemoglobin ibu. Evaluasi awal ibu hamil
dengan anemia sedang mencakup pengukuran Hb, hematokrit, hitung eritrosit,
apus darah tepi, Fe serum, dan ferritin.

6
Pengukuran kadar serum ferritin < 30 gr/dL merupakan diagnosis
defisiensi besi (normal ferritin pada kehamilan: 55-70 µg/dL). Saturasi transferrin
<15%, dan Unsaturated Iron-Binding Capacity (UIBC) >400 µg/dL.
1.6.3 Terapi
Pencegahan anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan suplementasi
besi dan asam folat. WHO menganjurkan untuk memberikan 60 mg besi selama 6
bulan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis selama kehamilan. Literatur lain
menyebutkan dosis anjuran besi 100 mg setiap hari selama 16 minggu atau lebih
pada kehamilan. Pada wilayah dengan prevalensi anemia yang tinggi, dianjurkan
untuk memberikan suplementasi sampai tiga bulan postpartum.
Koreksi anemia dan suplai cadangan besi dapat dilakukan dengan
pemberian preparat besi oral seperti fero sulfat, fero fumarat, atau fero glukonas
yang memberikan sekitar 200 mg besi elemental per hari. Sediaan parenteral yaitu
fero sukrosa dapat digunakan pada ibu hamil yang tidak dapat minum secara
peroral. Pemberian suplementasi besi setiap hari pada ibu hamil sampai minggu
ke-28 kehamilan pada ibu hamil yang belum mendapat zat besi dan non-anemis
(Hb < 11 gr/dL dan ferritin > 20 µg/dL) menurunkan prevalensi anemia dan bayi
berat lahir rendah.
Preparat Dosis preparat (mg) Kandungan zat besi (mg)
Fero fumarat 200 65
Fero glukonat 300 35
Fero glisin sulfat 225 45
Fero suksinat 100 35
Fero sulfat 300 60
Tabel 1.4 Kandungan zat besi pada preparat besi

Disamping suplementasi besi, sumber zat besi dari makanan seperti


daging, ayam, dan ikan dapat digunakan untuk pencegahan anemia defisiensi besi.
Daging, ayam, dan ikan dapat meningkatkan absorpsi besi (2-3 kali lipat lebih
cepat diserap dibanding suplementasi besi saja). Jus jeruk juga direkomendasikan
untuk kehamilan. Sumber zat besi lainnya didapat seperti tahu, kacang tanah,
bayam, roti gandum, kacang polong, susu, telur, dan kismis.

1.7 Anemia Akibat Kehilangan Darah Akut

7
Pada kehamilan dini, anemia akibat kehilangan darah akut merupakan hal
yang umum pada kasus-kasus abortus, kehamilan ektopik, dan mola hidatidosa.
Anemia pascapartum jauh lebih sering disebabkan oleh perdarahan obstetri.
Perdarahan masif mengharuskan terapi segera. Jika seorang ibu hamil dengan
anemia derajat sedang (Hb >7 gr/dL) secara hemodinamik stabil, dapat
beraktivitas tanpa gejala menyimpang, dan tidak sepsis, transfusi darah tidak
diindikasikan, tetapi diberi terapi preparat besi selama setidaknya 3 bulan.
Pemberian feri karboksimalat intravena setiap minggu sama efektifnya dengan
tablet fero sulfat peroral setiap hari untuk regenerasi hemoglobin pada anemia
pascapartum.
Transfusi sel darah merah atau darah lengkap diindikasikan untuk
hipovolemia akibat kehilangan darah atau satu prosedur operasi darurat harus
segera dilakukan pada ibu hamil dengan anemia berat. Untuk mengganti cadangan
besi, terapi oral perlu dilanjutkan selama 3 bulan setelah anemia terkoreksi.
1.8 Anemia Terkait Penyakit Kronik
Karakteristik penyakit kronik disertai rasa lesu, penurunan berat badan,
dan pucat. Beragam penyakit seperti gagal ginjal kronik, kanker, kemoterapi,
infeksi HIV, dan peradangan kronik seperti supurasi penyakit radang usus
(inflammatory bowel disease), artritis rematoid, menyebabkan anemia derajat
sedang dan kadang berat. Biasanya degan eritrosit yang sedikit hipokromik
mikrositer. Anemia kronik biasanya meningkat seiring dengan ekspansi volume
plasma yang melebihi ekspansi massa sel darah merah. Konsentrasi besi serum
menurun, kadar ferritin meningkat, dengan morfologi sumsum tulang tidak
berubah.
1.9 Anemia Megaloblastik
Anemia megaloblastik adalah anemia yang disebabkan defisiensi vitamin
B12 dan asam folat. Anemia jenis ini ditandai dengan adanya sel megaloblast
dalam sumsum tulang belakang. Sel megaloblast adalah sel prekursor eritrosit
dengan bentuk sel yang besar. Anemia ini ditandai dengan kelainan darah dan
sumsum tulang akibat gangguan sintesis DNA.2,6
Timbulnya megaloblast adalah akibat gangguan maturasi inti sel karena
terjadi gangguan sintesis DNA sel-sel eritoblast akibat defiensi asam folat dan

8
vitamin B12 dimana vitamin B12 dan asam folat berfungsi dalam pembentukan
DNA inti sel dan secara khusus untuk vitamin B12 penting dalam pembentukan
myelin. Akibat gangguan sintesis DNA pada inti eritoblast ini maka maturasi inti
lebih lambat, sehingga kromatin lebih longgar dan sel menjadi lebih besar karena
pembelahan sel yang lambat. Sel eritoblast dengan ukuran yang lebih besar serta
susunan kromatin yang lebih longgar disebut sebagai sel megaloblast. Sel
megaloblast ini fungsinya tidak normal, dihancurkan saat masih dalam sumsum
tulang sehingga terjadi eritropoesis inefektif dan masa hidup eritrosit lebih pendek
yang berujung pada terjadinya anemia.
1.9.1 Anemia Defisiensi Asam Folat
Dahulu penyakit ini disebut pernicious anemia of pregnancy. Penyakit ini
biasanya dijumpai pada wanita yang tidak mengkonsumsi sayuran hijau,
leguminosa, atau protein hewani. Seiring dengan memburuknya defisiensi folat
dan anemia, anoreksia menjadi semakin parah, membuat defisiensi gizi bertambah
buruk. Pada sebagian kasus, konsumsi etanol berlebihan dapat berperan dalam
defisiensi folat.
Pada wanita tak hamil, kebutuhan asam folat adalah 50-100 µg/dL. Selama
hamil, kebutuhan folat meningkat hingga 5-10 kali lipat karena transfer folat dari
ibu ke janin yang menyebabkan dilepasnya cadangan folat maternal. Peningkatan
lebih besar terjadi pada kehamilan multiple, diet buruk, infeksi, adanya anemia
hemolitik, atau pengobatan antikonvulsi. Kadar estrogen dan progesteron tinggi
selama kehamilan dapat menghambat absorpsi folat. Defisiensi folat sangat umum
terjadi pada kehamilan dan merupakan penyebab utama anemia megaloblastik
pada kehamilan. Perubahan morfologis dini biasanya mencakup neutrofil yang
mengalami hipersegmentasi dan eritrosit yang baru terbentuk yang makrositer.
Gejala defisiensi asam folat sama dengan anemia secara umum ditambah
kulit yang kasar dan glositis. Pada pemeriksaan apusan darah tampak prekursor
eritrosit secara morfologis lebih besar (makrositer) dan perbandingan inti-
sitoplasma yang abnormal dan normokrom. MCH dan MCHC normal, dengan
MCV meningkat. Adanya neutropenia dan trombositopenia sebagai akibat dari
maturasi granulosit dan trombosit yang abnormal. Tanda awal defisiensi folat
adalah kadar folat serum rendah < 3 ng/dL.

9
Kekurangan asam folat berkaitan dengan berat lahir rendah, ablasio
plasenta, dan anomali kongenital seperti Neural Tube Defect (NTD). NTD yang
terjadi bisa berupa anensefali, spina bifida (kelainan tulang belakang yang tidak
menutup), meningo-ensefalokel (tidak menutupnya tulang kepala). Kelainan-
kelainan tersebut disebabkan karena gagalnya tabung saraf tulang belakang untuk
tertutup. Selain itu, defisiensi folat dapat menyebabkan kelainan pada jantung,
saluran kemih, ekstremitas, dan organ lainnya.
Penatalaksanaan defisiensi asam folat adalah pemberian folat secara oral
sebanyak 1-5 mg per hari. Pada dosis 1 mg, anemia umumnya dapat dikoreksi
meskipun pasien mengalami malabsorpsi. Ibu hamil sebaiknya mendapat
sedikitnya 400 µg folat per hari. Dalam 4-7 hari setelah permulaan terapi, hitung
retikulosit akan meningkat dan leukopenia dan trombositopenia terkoreksi.
1.9.2 Anemia Defisiensi Vitamin B12
Anemia megaloblastik selama kehamilan akibat kekurangan vitamin B12
sangat jarang dijumpai. Pada anemia pernisiosa Addison, terjadi kekurangan
faktor intrinsik yang menyebabkan kegagalan penyerapan vitamin B12. Ini adalah
penyakit autoimun yang sangat jarang pada wanita usia subur dan biasanya
memiliki awitan setelah usia 40 tahun. Penyebab defisiensi vitamin B12 adalah
penyakit Crohn, reseksi ileum, reseksi lambung, dan pertumbuhan berlebihan
bakteri di usus halus.
Selama kehamilan, kadar vitamin B12 lebih rendah dibandingkan kadar
wanita tak hamil karena berkurangnya kadar protein pengikat yang mencakup
haptokorin dan transkobalamin. Wanita yang pernah menjalani gastrektomi
memerlukan 1000 µg vitamin B12 intramuskular setiap bulannya.
Anemia defisiensi vitamin B12 dan asam folat mempunyai gejala yang
sama seperti terjadinya ikterus ringan dan lidah berwarna merah. Tetapi pada
defisiensi vitamin B12 disertai dengan gejala neurologik seperti mati rasa.

10
DAFTAR PUSTAKA
1. Sifakis S, Pharmakides G, Anemia in Pregnancy, Departement of
Obstetrics adn Gynecology University of Heraklion, Crete, Greece, Feb
2000,Available at:
http://www.researchgate.net/profile/Stavros_Sifakis/publication/12500357
_Anemia_in_pregnancy/links/02e7e52e380e796a47000000.pdf
2. Cunningham F.G., Kenneth J.L., et al. Anemia in Pregnancy Williams Manual of
Obstetrics, 23rd edition. Mc Graw Hill. United States. 2010. Hal. 1138-44
3. RA Pradaana, Gambaran Sosial Ekonomi Dan Kecacingan Pada Ibu Hamil
Dengan Anemia Di Wilayah Kerja Puskesmas Gatak, 2014, available at:
eprints.ums.ac.id/30844/2/BAB_I.pdf
4. Sabina Shaikh, et al, An Overview of Anemia in Pregnancy, Journal of
Innovations in Pharmaceuticals and biological Sciences, available at:
http://jipbs.com/VolumeArticles/FullTextPDF/78_JIPBSV2I208.pdf
5. Sharma J.B., Anemia in Pregnancy, JIMSA, 2010, available at:
medind.nic.in/jav/t10/i4/javt10i4p253.pdf
6. Naibaho SA, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Anemia
Gizi Pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kec.
Habinsaran Kabupaten Toba Samosir Tahun 2011, Universitas Sumatera
Utara, available at:
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30073/4/Chapter%20II.pdf
7. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan edisi keempat. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010. Hal. 774-80
8. Kozuma, Shiro. Approaches to Anemia in Pregnancy, JMAJ 52(4): 214–218,
2009. Available at:
https://www.med.or.jp/english/journal/pdf/2009_04/214_218.pdf
9. Mirzoyan, Lusine. Iron-Deficiency Anemia in Pregnancy: Assessment of
Knowledge, Attitudes and Practices of Pregnant Women in Yerevan. Departement
of Public Health American University of Armenia. Yerevan, 1999. available at:
http://aua.am/chsr/PDF/MPH/1999/MirzoianLusine.pdf
10. Anonymous. Complication in Pregnancy. Women and Newborn Health Service
King Edward Memorial Hospital. Departement of Health Western Australia.
2015.

11

Anda mungkin juga menyukai