Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang.

Curah hujan terus mengguyur sebagian wilayah   Indonesia hingga puncak

musim hujan untuk wilayah Indonesia pada minggu terakhir bulan Januari hingga

Februari 2008. Prakiraan ini didasarkan pada perilaku gelombang atmosfer yang

dominan memengaruhi cuaca saat  ini, yaitu gelombang intramusim yang dikenal

dengan  Madden Julian Oscillation (MJO) (Miftahun, 2012).

Berdasarkan pemantauan gelombang MJO kemudian sudah meninggalkan

wilayah Indonesia dan berada di sebelah  timur wilayah Indonesia. Dalam waktu

beberapa hari  ini, gugus awan ini kembali berada di sebelah barat  wilayah Indonesia

(Samudra Indonesia). Di Indonesia  bagian barat, seperti Jakarta dan Sumatera,

tumbuh  awan-awan konvektif yang biasanya turun menjadi hujan  pada siang hingga

sore hari. Ketika gugus awan sudah  berada di wilayah Indonesia, hujan akan turun

sepanjang hari dan malam, seperti terjadi akhir-akhir  ini. Pada saat inilah peluang

terjadinya banjir di  wilayah Indonesia sangat besar (Miftahun, 2012).

Dalam usaha menambah curah hujan, awan yang disemai  adalah awan yang

diperkirakan akan turun menjadi hujan  di daerah yang memerlukan tambahan hujan.

Modifikasi yang dimaksud adalah sebagai berikut (Miftahun, 2012):

1. Bahan semai yang digunakan adalah bahan semai  higroskopis dengan ukuran

lebih dari 10 µ-100 µ. Agar  lebih aman dari kemungkinan terjadinya

peningkatan  curah hujan, bisa saja digunakan bahan semai  higroskopis

1
dengan ukuran 30-100 µ. Dengan cara ini,  penyemaian awan hanya bertujuan

untuk mempercepat  terjadinya hujan. Mekanisme ini disebut juga sebagai

jumping process.

2. Awan-awan yang disemai adalah awan-awan yang masih berada di atas laut

dan diperkirakan (dengan mengukur  kecepatan angin dan posisi awan) dalam

tiga jam ke  depan masih berada di atas laut. Dengan cara ini, bisa  dipastikan

awan-awan yang disemai akan jatuh di lautan  karena awan-awan yang

disemai akan turun menjadi hujan  dalam waktu kurang dari dua jam akibat

mekanisme

I.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan teknologi modifikasi cuaca?

2. Bagaimanakah sejarah modifikasi cuaca di Indonesia?

3. Bagaimanakah cara pembentukan awan?

4. Apakah jenis-jenis awan dalam modifikasi cuaca?

I.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pengertian dari teknologi modifikasi cuaca.

2. Mengetahui cara kerja dari modifikasi cuaca.

3. Mengetahui manfaat dari modifikasi cuaca.

4. Mengetahui sejarah dari terbentuknya teknologi mengenai modifikasi cuaca.

2
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Pengertian

Sebenarnya istilah hujan buatan , karena teknologi ini hanya berupaya untuk

meningkatkan dan mempercepat jatuhnya hujan, yakni dengan cara melakukan

penyemaian awan (cloud seeding) menggunakan bahan-bahan yang bersifat

higroskopik (menyerap air) sehingga proses pertumbuhan butir-butir hujan yang

terdapat dalam awan akan meningkat dan selanjutnya akan mempercepat terjdinya

hujan (Anonim, 2014).

Istilah yang lebih tepat untuk  mendefinisikan aktivitas hujan buatan adalah

Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), karena pada dasarnya hujan buatan merupakan

aplikasi dari suatu teknologi. TMC merupakan usaha manusia untuk meningkatkan

curah hujan yang turun secara alami dengan mengubah proses fisika yang terjadi di

dalam awan. Proses fisika yang diubah (diberi perlakuan) di dalam awan dapat berupa

3
proses tumbukan dan penggabungan (collision and coalescense) atau proses

pembentukan es (ice nucleation). Saat ini TMC menjadi salah satu solusi teknis yang

dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi bencana yang ditimbulkan oleh karena

adanya penyimpangan iklim/cuaca. TMC bukanlah hal baru di dunia, karena

teknologi ini sudah dipakai oleh lebih dari 60 negara untuk berbagai kepentingan

(Anonim, 2014).

Teknologi modifikasi cuaca (TMC) yaitu usaha campur tangan manusia dalam

pengendalian sumber daya air di atmosfer untuk menambah atau mengurangi

intensitas curah hujan pada daerah tertentu untuk meminalkan bencana alam yang

disebabkan oleh iklim dan cuaca dengan memanfaatkan parameter cuaca yang terjadi

(Heru, 2014).

II.2 Sejarah Modifikasi Cuaca di Dunia

Gambar I (Vincent Schaever (membungkuk) memperagakan pembuatan kristal es


dengan meniupkan nafasnya pada lemari pendingin)

4
Sejarah modifikasi cuaca di dunia diawali pada tahun 1946 ketika Vincent Schaefer

dan Irving Langmuir mendapatkan fenomena terbentuknya kristal es dalam lemari

pendingin, saat schaever secara tidak sengaja melihat hujan yang berasal dari

nafasnya waktu membuka lemari es. Kemudian pada tahun 1947, Bernard Vonnegut

mendapatkan terjadinya deposit es pada kristal perak iodida (Agl) yang bertindak

sebagai inti es. Vonnegut tanpa disengaja suatu hari melihat titik air di udara ketika

sebuah pesawat tebang dalam rangka reklame Pepsi Cola, membuat tulisan asap nama

minuman itu. Kedua penemuan penting ini adalah merupakan tonggak dimulainya

perkembangan modifikasi cuaca di dunia untuk selanjutnya (Miftahun, 2012).

II.3 Sejarah Modifikasi Cuaca di Indonesia

Gambar II(Ir. Soebagio (kedua dari kiri) selaku Ketua Tim Hujan Buatan
mendampingi Prof.Dr.Ing. BJ Habibie saat mengawali percobaan hujan buatan di
Indonesia)

Kegiatan modifikasi cuaca di Indonesia atau yang lebih dikenal dengan istilah

hujan buatan dikaji dan diuji pertama kali pada tahun 1977 atas gagasan Presiden

5
Soeharto (Presiden RI saat itu) yang difasilitasi oleh Prof.Dr.Ing. BJ Habibie melalui

Advance Teknologi sebagai embrio Badan pengkajian dan Penerapan Teknologi

(BPPT), dibawah asistensi Prof. Devakul dari Royal Rainmaking Thailand (Heru,

2014).

Pada Tahun 1985 dibentuk satu unit di BPPt yang bernama Unit Pelayanan

Teknis Hujan Buatan (UPT-HB) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Riset

dan Teknologi / Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi No:

SK/342/KA/BPPT/XII/1985 fungsinya adalah memberikan pelayanan dalam hal

meningkatkan intensitas (menambah) curah hujan sebagai upaya Pemerintah dalam

menjaga ketersediaan air pada waduk yang berfungsi sebagai sumber air untuk irigasi

dan PLTA (Heru, 2014).

II. 4 Proses Pembentukan Awan

Udara di sekeliling kita banyak mengandung uap air.  Tidak terhitung

banyaknya gelembung udara yang terbentuk oleh busa laut secara terus-menerus dan

menyebabkan partikel-partikel air terangkat ke langit. Partikel-partikel yang disebut

dengan aerosol inilah yang berfungsi sebagai perangkap air dan selanjutnya akan

membentuk titik-titik air. Selanjutnya aerosol ini naik ke atmosfer, dan bila sejumlah

besar udara terangkat ke lapisan yang lebih tinggi, maka ia akan mengalami

pendinginan dan selanjutnya mengembun. Kumpulan titik-titik air hasil dari uap air

dalam udara yang mengembun inilah yang terlihat sebagai awan. Makin banyak udara

yang mengembun, makin besar awan yang terbentuk (Miftahun, 2014).

6
Gambar III Jenis-jenis awan berdasarkan ketinggiannya dapat dlihat pada gambar
berikut.

Awan yang dijadikan sasaran dalam kegiatan hujan buatan adalah jenis awan

Cumulus (Cu) yang aktif, dicirikan dangan bentuknya yang seperti bunga kol. Awan

Cumulus terjadi karena proses konveksi. Secara lebih rinci awan Cumulus terbagi

dalam 3 jenis, yaitu: Strato Cumulus (Sc) yaitu awan Cumulus yang barau tumbuh ;

Cumulus, dan Cumulonimbus (Cb) yaitu awan Cumulus yang sangat besar dan

mungkin terdiri beberapa awan Cumulus yang bergabung menjadi satu. Jenis awan

Cumulus (Cu) yang bentuknya seperti bunga kol, merupakan jenis awan yang

dijadikan sebagai sasaran penyemaian dalam kegiatan hujan buatan (Miftahun, 2014).

7
II.4. 1Awan Dingin dan Awan Hangat

Berdasarkan suhu lingkungan fisik atmosfer dimana awan tersebut

berkembang, awan dibedakan atas awan dingin (cold cloud) dan awan hangat (warm

cloud). Terminologi awan dingin diberikan untuk awan yang semua bagiannya berada

pada lingkungan atmosfer dengan suhu di bawah titik beku (< 00C), sedangkan awan

hangat adalah awan yang semua bagiannya berada diatas titik beku ( > 00C)

(Anonim, 2014).

Awan dingin kebanyakan adalah awan yang berada pada daerah lintang

menengah dan tinggi, dimana suhu udara dekat permukaan tanah saja bisa mencapai

nilai <00C. Di daerah tropis seperti halnya di Indonesia, suhu udara dekat permukaan

tanah sekitar 20-300C, dasar awan mempunyai suhu sekitar 180C. Namun demikian

puncak awan dapat menembus jauh ke atas melampaui titik beku, sehingga sebagian

awan merupakan awan hangat, sebagian lagi diatasnya merupakan awan dingin.

Awan semacam ini disebut awan campuran (mixed cloud) (Anonim, 2014).

Ganbar III. Ilustrasi awan dingin dan awan hangat

8
II. 4.1.a Proses Terjadinya Hujan Pada Awan Dingin

Pada awan dingin hujan dimulai dari adanya kristal-kristal es. yang

berkembang membesar melalui dua cara yaitu deposit uap air atau air super dingin

(supercooled water) langsung pada kristal es atau melalui penggabungan menjadi

butiran es. Keberadaan kristal es sangat penting dalam pembentukan hujan pada awan

dingin, sehingga pembentukan hujan dari awan dingin sering juga disebut proses

kristal es (Miftahun, 2014).

Hujan, salju dan hujan batu es terutama disebabkan oleh air yang menjadi

dingin. Salju terbentuk dalam atmosfer atas yang suhunya dibawah titik beku. Waktu

jatuh lewat atmosfer salju mencair dan menjadi hujan. Pada musim dingin, salju jatuh

tanpa menjadi cair dan masih berbentuk salju. Butiran salju terdiri dari kristal es

kecil-kecil (miftahun, 2014).

Sewaktu udara naik lebih tinggi ke atmosfer, terbentuklah titik-titik air, dan

terbentuklah awan. Ketika sampai pada ketinggian tertentu yang sumbunya berada di

bawah titik beku, awan itu membeku menjadi kristal es kecil-kecil. Udara

sekelilingnya yang tidak begitu dingin membeku pada kristal tadi. Dengan demikian

kristal bertambah besar dan menjadi butir-butir salju. Bila menjadi terlalu berat, salju

itu turun. Bila melalui udara lebih hangat, salju itu mencair menjadi hujan. Pada

musim dingin salju jatuh tanpa mencair (Miftahun, 2014).

II. 4.1.b Proses Terjadinya Hujan Pada Awan Hangat

Ketika uap air terangkat naik ke atmosfer, baik oleh aktivitas konveksi

ataupun oleh proses orografis (karena adanya halangan gunung atau bukit), maka

pada level tertentu partikel aerosol (berukuran 0,01 – 0,1 mikron) yang banyak

9
beterbangan di udara akan berfungsi sebagai inti kondensasi (condensation nucleus)

yang menyebabkan uap air tersebut mengalami pengembunan.Sumber utama inti

kondensasi adalah garam yang berasal dari golakan air laut. Karena bersifat

higroskofik maka sejak berlangsungnya kondensasi, partikel berubah menjadi tetes

cair (droplets) dan kumpulan dari banyak droplets membentuk awan. Partikel air yang

mengelilingi kristal garam dan partikel debu menebal, sehingga titik-titik tersebut

menjadi lebih berat dari udara, mulai jatuh dari awan sebagai hujan (Miftahun, 2014).

Jika diantara partikel terdapat partikel besar (Giant Nuclei : GN : 0,1 – 5

mikron) maka ketika kebanyakan partikel dalam awan baru mencapai sekitar 30

mikron, ia sudah mencapai ukuran sekitar 40 – 50 mikron. Dalam gerak turun ia akan

lebih cepat dari yang lainnya sehingga bertindak sebagai kolektor karena sepanjang

lintasannya ke bawah ia menumbuk tetes lain yang lebih kecil, bergabung dan jauh

menjadi lebih besar lagi (proses tumbukan dan penggabungan). Proses ini

berlangsung berulang-ulang dan merambat keseluruh bagian awan. Bila dalam awan

terdapat cukup banyak GN maka proses berlangsung secara autokonversi atau reaksi

berangkai (Langmuir Chain Reaction) di seluruh awan, dan dimulailah proses hujan

dalam awan tersebut, secara fisik terlihat dasar awan menjadi lebih gelap. Hujan

turun dari awan bila melalui proses tumbukan dan penggabungan, droplets dapat

berkembang menjadi tetes hujan berukuran 1.000 mikron atau lebih besar. Pada

keadaan tertentu partikel-partikel dengan spektrum GN tidak tersedia, sehingga

proses hujan tidak dapat berlangsung atau dimulai, karena proses tumbukan dan

penggabungan tidak terjadi (Miftahun, 2014).

10
Gambar IV. Tipikal Ukuran Diameter Tetes Hujan (Rain Drop), Tetes Awan (Cloud
Droplet), dan Inti Kondensasi (Condensation Nucleus) ( Sumber :
http://rst.gsfc.nasa.gov/Sect14/Sect14 1d.html)

II.5 Metode Penyemaian Awan

Dalam penerapan TMC, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk

menyampaikan bahan semai ke dalam awan. Yang paling sering dan biasa dilakukan

adalah menggunakan wahana pesawat terbang. Selain menggunakan pesawat terbang,

modifikasi pesawat terbang juga dapat dilakukan dari darat dengan menggunakan

sistem statis melalui wahana Ground Base Generator (GBG) pada daerah pegunungan

untuk memodifikasi awan-awan orografik dan juga menggunakan wahana roket yang

diluncurkan ke dalam awan (Anonim, 2014).

Macam-macam metoda penyampaian bahan semai ke dalam awan

Di Indonesia untuk saat ini yang sudah operasional dan dikuasai teknologinya

berubah TMC dengan menggunakan wahana pesawat terbang TMC sistem GBG saat

ini masih dalam tarap ujicoba dan telah terpasang sejumlah menara di daerah Puncak,

Bogor (lereng Gunung Gede – Pangrango), sedangkan untuk wahana roket baru

sebatas kajian dan dalam wacana akan mulai dicoba di Indonesia (Anonim, 2014).

11
Wahana Pesawat Terbang

Berikut adalah beberapa contoh gambar penyemaian awan dari pesawat

terbang (Heru, 2014):

 Pesawat terbang jenis Cassa NC 212-200 sedang melepaskan bahan semai

berupa serbuk garam NaCI melalui airscooper yang terpasang pada bagian bawah

pesawat. bahan semai dilepaskan pada medan updraft yang ada di sekitar dasar awan

(jenis aan hangat). Selain berupa serbuk (powder), bahan semai dapat pula dikemas

dalam bentuk flare yang dipasang pada bagian sayap ataupun bawah pesawat. Partikel

bahan semai masuk ke dalam awan jika flare terbakar. Bahan semai jenis ejectable

flare dimasukkan ke dalam awan dengan cara ditembakkan dari pesawat pada bagian

puncak awan (jenis awan dingin).

 Ground Base Generator

Ground Base generator (GBG) merupakan salah satu metoda alternatif untuk

menyampaikan bahan semai ke dalam awan, yang pada prinsipnya dengan

memanfaatkan potensi topografi dan angin lembah (valley breeze), yaitu angin lokal

yang berhembus ke atas pegunungan pada siang hari dengan mengikuti kemiringan

permukaan gunung. Bahan semai dikemas dalam bentuk flare yang dibakar dari atas

menara pada ketinggian tertentu. Kembang api yang merupakan hasil pembakaran

dari flare dengan bahan higroskopik itu ditujukan untuk mengatur partikel Cloud

Condensation Nuclei ( CCN) yang berukuran sangat halus ke dalam awan sehingga

diharapkan mampu merangsang terjadinya hujan. GBG aslinya digunakan di daerah

lintng menengah dan tinggi dengan suhu lingkungan berada di bawah titik beku

12
(<00C), namun saat ini sudah mulai diterapkan di Indonesia meski masih dalam taraf

ujicoba. Sejumlah menara GBG telah terpasang menyebar di kawasan Puncak, Bogor

(lereng Gunung Gede – Pangrango) dengan tujuan untuk menyemai awan-awan

orografis yang melintas di kawasan Puncak. Jika setiap awan yang melintas dapat

disemai, maka hujan dapat turun lebih awal sehingga tidak terjadi penumpukan awan

yang dapat menimbulkan hujan lebat di daerah tersebut sehingga diharapkan akan

mampu memperkecil resiko banjir untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya. Penyemaian

awan menggunakan sistem statis Ground Base Generator (GBG) yang memanfaatkan

awan-awan orografis pada daerah pegunungan

Wahana Roket

Roket dapat pula dimanfaatkan sebagai wahana untuk menyampaikan bahan

semai ke dalam awan. Metode ini sudah banyak dikembangkan oleh negar-negara di

Eropa. Saat ini BPPT bekerjasama dengan LAPAN tengah menjajaki kemungkinan

teknologi ini untuk diaplikasikan di Indonesia (Miftahun, 2014).

Penyemaian awan menggunakan wahana roket yang ditembakkan ke dalam awan dari

darat.

II.6 Kualitas Air Hujan Hasil TMC

Kegiatan TMC ini ramah lingkungan. Bahan yang digunakan untuk

penyemaian awan juga dipergunakan pada kehidupan sehari-hari. Contohnya NaCI,

bahan ini banyak terdapat di atmosfer sebagai hasil dinamika air laut, dan pada

kehidupan sehari-hari biasa digunakan sebagai bahan masakan ataupun dalam

pertanian. Dari sisi konsentrasi, satu butir bahan higroskopik berukuran 50 mikro

mengalami pengenceran hingga satu juta kali ketika menjadi tetes hujan berukuran

13
2.000 mikron. Hasil analisis kualitas air hujan dari beberapa kali kegiatan TMC telah

membuktikan bahwa parameter kualitas air hujan maupun badan-badan air masih

aman untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari (Miftahun, 2014)

II.7 Pemanfaatan TMC di Indonesia

Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) sudah banyak dirasakan manfaatnya oleh

berbagai pihak. Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen

Kehutanan, Perusahaan Listrik negara (PLN), Badan Koordinasi Nasional

Penanggulangan Bencana (Bakornas PB), Pihak Pengelola Waduk seperti Perum Jas

Tirta I dan II, ataupun perusahaan swasta seperti PT INCO adalah beberapa contoh

para pengguna jasa teknologi ini. Saat ini pemanfaatan Teknologi Modifikasi Cuaca

(TMC) atau hujan buatan tidak lagi hanya terbatas untuk keperluan pengisian air pada

waduk/bendung yang berfungsi sebagai sumber air untuk irigasi ataupun PLTA saja,

namun juga telah banyak dimanfaatkan untuk mengantisipasi dan mengatasi berbagai

bencan yang disebabkan oleh kondisi iklim dan cuaca lainnya, contohnya untuk

mengatasi permasalahan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi

hampir setiap tahun di indonesia. Secara teori, teknologi ini juga mempunyai

kemampuan untuk mengantisipasi bencana banjir. Namun sejauh ini efektifitas TMC

untuk mengantisipasi banjir belum terukur karena belum pernah dilakukan

(Miftahun, 2014).

14
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

III.1 KESIMPULAN

Teknologi modifikasi cuaca (TMC) yaitu usaha campur tangan manusia dalam

pengendalian sumber daya air di atmosfer untuk menambah atau mengurangi

intensitas curah hujan pada daerah tertentu untuk meminalkan bencana alam yang

disebabkan oleh iklim dan cuaca dengan memanfaatkan parameter cuaca.

Teknologi modifikasi cuaca dapat dimanfaatkan dalam berbagai kejadian

alam, salah satunya yaitu proses penanggulangan banjir dan bencana alam lainnya.

III.1 SARAN

Teknologi modifikasi cuaca merupakan ilmu yang sangat bermanfaat

mempukan manusia dalam menyimbangkan kehidupan dunia terhadap

lingkungannya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2014 MODIFIKASI CUACA. http://fpk.unair.ac.id/webo/kuliah-


pdf/MODIFIKASI%20CUACA%201%20%5BCompatibility%20Mode
%5D.pdf. Diakses pada tanggal 5 Oltober 2014. Makassar.

Heru, f., 2014. TEKNOLOGI MODIFIKASI CUACA UNTUK PENGELOLAAN


SUMBER DAYA AIR DAN MITIGASI BENCANA HIDROMETEOROLOGI
DI INDONESIA. https://www.google. com/?gws_ rd
=ssl#q=jenis+teknologi+modifikasi +cuaca+pdf . Diakses pada tanggal 4
Oktober 2014.

Miftahun, 2012. BEBAS BANJIR 2015. http://bebasbanjir2025.wordpress.com/tekno


logi -pengendalian-banjir/teknologi-modifikasi-cuaca/

16

Anda mungkin juga menyukai