PENDAHULUAN
musim hujan untuk wilayah Indonesia pada minggu terakhir bulan Januari hingga
Februari 2008. Prakiraan ini didasarkan pada perilaku gelombang atmosfer yang
dominan memengaruhi cuaca saat ini, yaitu gelombang intramusim yang dikenal
wilayah Indonesia dan berada di sebelah timur wilayah Indonesia. Dalam waktu
beberapa hari ini, gugus awan ini kembali berada di sebelah barat wilayah Indonesia
tumbuh awan-awan konvektif yang biasanya turun menjadi hujan pada siang hingga
sore hari. Ketika gugus awan sudah berada di wilayah Indonesia, hujan akan turun
sepanjang hari dan malam, seperti terjadi akhir-akhir ini. Pada saat inilah peluang
Dalam usaha menambah curah hujan, awan yang disemai adalah awan yang
diperkirakan akan turun menjadi hujan di daerah yang memerlukan tambahan hujan.
1. Bahan semai yang digunakan adalah bahan semai higroskopis dengan ukuran
1
dengan ukuran 30-100 µ. Dengan cara ini, penyemaian awan hanya bertujuan
jumping process.
2. Awan-awan yang disemai adalah awan-awan yang masih berada di atas laut
dan diperkirakan (dengan mengukur kecepatan angin dan posisi awan) dalam
tiga jam ke depan masih berada di atas laut. Dengan cara ini, bisa dipastikan
disemai akan turun menjadi hujan dalam waktu kurang dari dua jam akibat
mekanisme
2
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Pengertian
Sebenarnya istilah hujan buatan , karena teknologi ini hanya berupaya untuk
terdapat dalam awan akan meningkat dan selanjutnya akan mempercepat terjdinya
Istilah yang lebih tepat untuk mendefinisikan aktivitas hujan buatan adalah
Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), karena pada dasarnya hujan buatan merupakan
aplikasi dari suatu teknologi. TMC merupakan usaha manusia untuk meningkatkan
curah hujan yang turun secara alami dengan mengubah proses fisika yang terjadi di
dalam awan. Proses fisika yang diubah (diberi perlakuan) di dalam awan dapat berupa
3
proses tumbukan dan penggabungan (collision and coalescense) atau proses
pembentukan es (ice nucleation). Saat ini TMC menjadi salah satu solusi teknis yang
teknologi ini sudah dipakai oleh lebih dari 60 negara untuk berbagai kepentingan
(Anonim, 2014).
Teknologi modifikasi cuaca (TMC) yaitu usaha campur tangan manusia dalam
intensitas curah hujan pada daerah tertentu untuk meminalkan bencana alam yang
disebabkan oleh iklim dan cuaca dengan memanfaatkan parameter cuaca yang terjadi
(Heru, 2014).
4
Sejarah modifikasi cuaca di dunia diawali pada tahun 1946 ketika Vincent Schaefer
pendingin, saat schaever secara tidak sengaja melihat hujan yang berasal dari
nafasnya waktu membuka lemari es. Kemudian pada tahun 1947, Bernard Vonnegut
mendapatkan terjadinya deposit es pada kristal perak iodida (Agl) yang bertindak
sebagai inti es. Vonnegut tanpa disengaja suatu hari melihat titik air di udara ketika
sebuah pesawat tebang dalam rangka reklame Pepsi Cola, membuat tulisan asap nama
minuman itu. Kedua penemuan penting ini adalah merupakan tonggak dimulainya
Gambar II(Ir. Soebagio (kedua dari kiri) selaku Ketua Tim Hujan Buatan
mendampingi Prof.Dr.Ing. BJ Habibie saat mengawali percobaan hujan buatan di
Indonesia)
Kegiatan modifikasi cuaca di Indonesia atau yang lebih dikenal dengan istilah
hujan buatan dikaji dan diuji pertama kali pada tahun 1977 atas gagasan Presiden
5
Soeharto (Presiden RI saat itu) yang difasilitasi oleh Prof.Dr.Ing. BJ Habibie melalui
(BPPT), dibawah asistensi Prof. Devakul dari Royal Rainmaking Thailand (Heru,
2014).
Pada Tahun 1985 dibentuk satu unit di BPPt yang bernama Unit Pelayanan
Teknis Hujan Buatan (UPT-HB) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Riset
menjaga ketersediaan air pada waduk yang berfungsi sebagai sumber air untuk irigasi
banyaknya gelembung udara yang terbentuk oleh busa laut secara terus-menerus dan
dengan aerosol inilah yang berfungsi sebagai perangkap air dan selanjutnya akan
membentuk titik-titik air. Selanjutnya aerosol ini naik ke atmosfer, dan bila sejumlah
besar udara terangkat ke lapisan yang lebih tinggi, maka ia akan mengalami
pendinginan dan selanjutnya mengembun. Kumpulan titik-titik air hasil dari uap air
dalam udara yang mengembun inilah yang terlihat sebagai awan. Makin banyak udara
6
Gambar III Jenis-jenis awan berdasarkan ketinggiannya dapat dlihat pada gambar
berikut.
Awan yang dijadikan sasaran dalam kegiatan hujan buatan adalah jenis awan
Cumulus (Cu) yang aktif, dicirikan dangan bentuknya yang seperti bunga kol. Awan
Cumulus terjadi karena proses konveksi. Secara lebih rinci awan Cumulus terbagi
dalam 3 jenis, yaitu: Strato Cumulus (Sc) yaitu awan Cumulus yang barau tumbuh ;
Cumulus, dan Cumulonimbus (Cb) yaitu awan Cumulus yang sangat besar dan
mungkin terdiri beberapa awan Cumulus yang bergabung menjadi satu. Jenis awan
Cumulus (Cu) yang bentuknya seperti bunga kol, merupakan jenis awan yang
dijadikan sebagai sasaran penyemaian dalam kegiatan hujan buatan (Miftahun, 2014).
7
II.4. 1Awan Dingin dan Awan Hangat
berkembang, awan dibedakan atas awan dingin (cold cloud) dan awan hangat (warm
cloud). Terminologi awan dingin diberikan untuk awan yang semua bagiannya berada
pada lingkungan atmosfer dengan suhu di bawah titik beku (< 00C), sedangkan awan
hangat adalah awan yang semua bagiannya berada diatas titik beku ( > 00C)
(Anonim, 2014).
Awan dingin kebanyakan adalah awan yang berada pada daerah lintang
menengah dan tinggi, dimana suhu udara dekat permukaan tanah saja bisa mencapai
nilai <00C. Di daerah tropis seperti halnya di Indonesia, suhu udara dekat permukaan
tanah sekitar 20-300C, dasar awan mempunyai suhu sekitar 180C. Namun demikian
puncak awan dapat menembus jauh ke atas melampaui titik beku, sehingga sebagian
awan merupakan awan hangat, sebagian lagi diatasnya merupakan awan dingin.
Awan semacam ini disebut awan campuran (mixed cloud) (Anonim, 2014).
8
II. 4.1.a Proses Terjadinya Hujan Pada Awan Dingin
Pada awan dingin hujan dimulai dari adanya kristal-kristal es. yang
berkembang membesar melalui dua cara yaitu deposit uap air atau air super dingin
butiran es. Keberadaan kristal es sangat penting dalam pembentukan hujan pada awan
dingin, sehingga pembentukan hujan dari awan dingin sering juga disebut proses
Hujan, salju dan hujan batu es terutama disebabkan oleh air yang menjadi
dingin. Salju terbentuk dalam atmosfer atas yang suhunya dibawah titik beku. Waktu
jatuh lewat atmosfer salju mencair dan menjadi hujan. Pada musim dingin, salju jatuh
tanpa menjadi cair dan masih berbentuk salju. Butiran salju terdiri dari kristal es
Sewaktu udara naik lebih tinggi ke atmosfer, terbentuklah titik-titik air, dan
terbentuklah awan. Ketika sampai pada ketinggian tertentu yang sumbunya berada di
bawah titik beku, awan itu membeku menjadi kristal es kecil-kecil. Udara
sekelilingnya yang tidak begitu dingin membeku pada kristal tadi. Dengan demikian
kristal bertambah besar dan menjadi butir-butir salju. Bila menjadi terlalu berat, salju
itu turun. Bila melalui udara lebih hangat, salju itu mencair menjadi hujan. Pada
Ketika uap air terangkat naik ke atmosfer, baik oleh aktivitas konveksi
ataupun oleh proses orografis (karena adanya halangan gunung atau bukit), maka
pada level tertentu partikel aerosol (berukuran 0,01 – 0,1 mikron) yang banyak
9
beterbangan di udara akan berfungsi sebagai inti kondensasi (condensation nucleus)
kondensasi adalah garam yang berasal dari golakan air laut. Karena bersifat
cair (droplets) dan kumpulan dari banyak droplets membentuk awan. Partikel air yang
mengelilingi kristal garam dan partikel debu menebal, sehingga titik-titik tersebut
menjadi lebih berat dari udara, mulai jatuh dari awan sebagai hujan (Miftahun, 2014).
mikron) maka ketika kebanyakan partikel dalam awan baru mencapai sekitar 30
mikron, ia sudah mencapai ukuran sekitar 40 – 50 mikron. Dalam gerak turun ia akan
lebih cepat dari yang lainnya sehingga bertindak sebagai kolektor karena sepanjang
lintasannya ke bawah ia menumbuk tetes lain yang lebih kecil, bergabung dan jauh
menjadi lebih besar lagi (proses tumbukan dan penggabungan). Proses ini
berlangsung berulang-ulang dan merambat keseluruh bagian awan. Bila dalam awan
terdapat cukup banyak GN maka proses berlangsung secara autokonversi atau reaksi
berangkai (Langmuir Chain Reaction) di seluruh awan, dan dimulailah proses hujan
dalam awan tersebut, secara fisik terlihat dasar awan menjadi lebih gelap. Hujan
turun dari awan bila melalui proses tumbukan dan penggabungan, droplets dapat
berkembang menjadi tetes hujan berukuran 1.000 mikron atau lebih besar. Pada
proses hujan tidak dapat berlangsung atau dimulai, karena proses tumbukan dan
10
Gambar IV. Tipikal Ukuran Diameter Tetes Hujan (Rain Drop), Tetes Awan (Cloud
Droplet), dan Inti Kondensasi (Condensation Nucleus) ( Sumber :
http://rst.gsfc.nasa.gov/Sect14/Sect14 1d.html)
Dalam penerapan TMC, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
menyampaikan bahan semai ke dalam awan. Yang paling sering dan biasa dilakukan
modifikasi pesawat terbang juga dapat dilakukan dari darat dengan menggunakan
sistem statis melalui wahana Ground Base Generator (GBG) pada daerah pegunungan
untuk memodifikasi awan-awan orografik dan juga menggunakan wahana roket yang
Di Indonesia untuk saat ini yang sudah operasional dan dikuasai teknologinya
berubah TMC dengan menggunakan wahana pesawat terbang TMC sistem GBG saat
ini masih dalam tarap ujicoba dan telah terpasang sejumlah menara di daerah Puncak,
Bogor (lereng Gunung Gede – Pangrango), sedangkan untuk wahana roket baru
sebatas kajian dan dalam wacana akan mulai dicoba di Indonesia (Anonim, 2014).
11
Wahana Pesawat Terbang
berupa serbuk garam NaCI melalui airscooper yang terpasang pada bagian bawah
pesawat. bahan semai dilepaskan pada medan updraft yang ada di sekitar dasar awan
(jenis aan hangat). Selain berupa serbuk (powder), bahan semai dapat pula dikemas
dalam bentuk flare yang dipasang pada bagian sayap ataupun bawah pesawat. Partikel
bahan semai masuk ke dalam awan jika flare terbakar. Bahan semai jenis ejectable
flare dimasukkan ke dalam awan dengan cara ditembakkan dari pesawat pada bagian
Ground Base generator (GBG) merupakan salah satu metoda alternatif untuk
memanfaatkan potensi topografi dan angin lembah (valley breeze), yaitu angin lokal
yang berhembus ke atas pegunungan pada siang hari dengan mengikuti kemiringan
permukaan gunung. Bahan semai dikemas dalam bentuk flare yang dibakar dari atas
menara pada ketinggian tertentu. Kembang api yang merupakan hasil pembakaran
dari flare dengan bahan higroskopik itu ditujukan untuk mengatur partikel Cloud
Condensation Nuclei ( CCN) yang berukuran sangat halus ke dalam awan sehingga
lintng menengah dan tinggi dengan suhu lingkungan berada di bawah titik beku
12
(<00C), namun saat ini sudah mulai diterapkan di Indonesia meski masih dalam taraf
ujicoba. Sejumlah menara GBG telah terpasang menyebar di kawasan Puncak, Bogor
orografis yang melintas di kawasan Puncak. Jika setiap awan yang melintas dapat
disemai, maka hujan dapat turun lebih awal sehingga tidak terjadi penumpukan awan
yang dapat menimbulkan hujan lebat di daerah tersebut sehingga diharapkan akan
mampu memperkecil resiko banjir untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya. Penyemaian
awan menggunakan sistem statis Ground Base Generator (GBG) yang memanfaatkan
Wahana Roket
semai ke dalam awan. Metode ini sudah banyak dikembangkan oleh negar-negara di
Eropa. Saat ini BPPT bekerjasama dengan LAPAN tengah menjajaki kemungkinan
Penyemaian awan menggunakan wahana roket yang ditembakkan ke dalam awan dari
darat.
bahan ini banyak terdapat di atmosfer sebagai hasil dinamika air laut, dan pada
pertanian. Dari sisi konsentrasi, satu butir bahan higroskopik berukuran 50 mikro
mengalami pengenceran hingga satu juta kali ketika menjadi tetes hujan berukuran
13
2.000 mikron. Hasil analisis kualitas air hujan dari beberapa kali kegiatan TMC telah
membuktikan bahwa parameter kualitas air hujan maupun badan-badan air masih
Penanggulangan Bencana (Bakornas PB), Pihak Pengelola Waduk seperti Perum Jas
Tirta I dan II, ataupun perusahaan swasta seperti PT INCO adalah beberapa contoh
para pengguna jasa teknologi ini. Saat ini pemanfaatan Teknologi Modifikasi Cuaca
(TMC) atau hujan buatan tidak lagi hanya terbatas untuk keperluan pengisian air pada
waduk/bendung yang berfungsi sebagai sumber air untuk irigasi ataupun PLTA saja,
namun juga telah banyak dimanfaatkan untuk mengantisipasi dan mengatasi berbagai
bencan yang disebabkan oleh kondisi iklim dan cuaca lainnya, contohnya untuk
mengatasi permasalahan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi
hampir setiap tahun di indonesia. Secara teori, teknologi ini juga mempunyai
kemampuan untuk mengantisipasi bencana banjir. Namun sejauh ini efektifitas TMC
(Miftahun, 2014).
14
BAB III
III.1 KESIMPULAN
Teknologi modifikasi cuaca (TMC) yaitu usaha campur tangan manusia dalam
intensitas curah hujan pada daerah tertentu untuk meminalkan bencana alam yang
alam, salah satunya yaitu proses penanggulangan banjir dan bencana alam lainnya.
III.1 SARAN
lingkungannya.
15
DAFTAR PUSTAKA
16