Anda di halaman 1dari 16

Judul : Managing Keloid Scars: From Radiation Therapy to Actual and

Potential Drug Deliveries


Penulis : Huang C, Liu L, You Z, Du Y, Ogawa R
Diambil dari : Huang C, Liu L, You Z, Du Y, Ogawa R. Managing Keloid
Scars: From Radiation Therapy to Actual and Potential Drug
Deliveries. Int Wound J 2019; 1-8.
Penerjemah : Mutia Dian Permatasari Mochtar Z.

PENATALAKSANAAN BEKAS LUKA KELOID: DARI


TERAPI RADIASI HINGGA PENGIRIMAN OBAT AKTUAL
DAN POTENSIAL
Abstrak
Etiologi keloid telah menjadi semakin jelas, tetapi masih terdapat banyak pertanyaan, termasuk
tentang perawatan yang paling optimal untuk pengelolaannya. Terapi saat ini termasuk eksisi
bedah, radioterapi, dan berbagai obat-obatan farmasi. Namun, tidak satu pun dari obat ini yang
spesifik untuk keloid. Selain itu, semua intervensi saat ini dikaitkan dengan tingkat kekambuhan
yang tinggi. Artikel ini meninjau intervensi farmasi yang tersedia saat ini. Penatalaksanaan
didasarkan pada fakta bahwa keloid adalah massa padat yang berkembang dengan peradangan
kronis yang intens pada tepi-tepinya. Oleh karena itu, obat-obatan saat ini bertujuan untuk
mengurangi massa dan/atau gejala keloid, sama halnya seperti operasi dan radioterapi.
Penatalaksanaan yang tersedia saat ini mencakup kemoterapi, imunoterapi, terapi pengurangan
volume, dan terapi anti-inflamasi. Penulis juga menggambarkan kemajuan baru dalam obat-obatan
keloid. Agen-agen ini dirancang untuk mengobati penyakit sistemik seperti hipertensi atau kanker
payudara tetapi ternyata juga mengobati keloid. Selain itu, kemajuan terbaru dalam terapi genetika,
epigenetik, dan sel punca menunjukkan bahwa mereka dapat berguna dalam penatalaksanaan
keloid. Tinjauan dalam kemajuan farmasi ini diharapkan akan mendorong penelitian tambahan dan
pengembangan obat-obatan spesifik dan efektif untuk keloid.
Kata Kunci: intervensi genetik dan epigenetik, terapi keloid, farmakoterapi, radioterapi, terapi sel
punca
Pendahuluan
Keloid adalah bekas luka patologis yang umum: prevalensinya bervariasi
dari 0,09% di Inggris hingga 16% di Kongo. Keloid merupakan hasil dari
gangguan fibroproliferatif dengan mekanisme patogen utama adalah peradangan
kronis dari dermis retikuler pada proses penyembuhan luka. Secara klinis, keloid
biasanya tumbuh di luar batas luka asli, sehingga secara terus menerus menyerang
kulit sehat di sekitarnya dengan tepi terujung yang seringkali eritematosa dan
pruritik. Secara patologis, keloid mengandung sejumlah besar fibroblas dan

1
akumulasi serat kolagen yang berlebihan (terutama kolagen tipe I) yang
eosinofilik dan mengalami hialinisasi. Nodul dermis mungkin ada atau tidak ada.
Saat ini, tidak ada terapi khusus yang dapat secara instan, sepenuhnya, dan
permanen menghilangkan keloid dan mengembalikan fungsi dan estetika kulit
serta bagian tubuh yang terkena. Terlepas dari penelitian dan upaya klinis yang
telah dilakukan selama beberapa dekade, keloid tetap menjadi suatu lesi yang
sangat refrakter. Pilihan pengobatan saat ini termasuk operasi dengan berbagai
teknik serta radioterapi dan terapi farmasi potensial seperti kortikosteroid pita /
plester / injeksi. Pilihan adjuvan lainnya termasuk terapi laser dan krioterapi
intralesi. Hasil yang tidak memuaskan dari pendekatan ini, serta tingkat
kekambuhan pasca-terapi yang tinggi memunculkan kebutuhan akan pendekatan
lain yang lebih efektif.
Artikel ini mengulas dari sudut pandang praktis terkait kemajuan farmasi
terbaru dalam terapi keloid serta peran radioterapi. Mengingat bahwa keloid tetap
merupakan penyakit yang sulit disembuhkan, dan ada kebutuhan kuat untuk terapi
yang lebih efektif, tujuan dari artikel ini adalah untuk menimbulkan kesadaran
yang lebih tinggi terhadap mekanisme pendekatan radioterapi dan farmasi yang
dapat memperbaiki atau menghilangkan keloid bersama dengan penyakit fibrotik
selain pada kulit. Artikel ini diharapkan dapat memacu eksplorasi lebih lanjut
serta pengembangan intervensi baru yang dapat mencegah, mengurangi, atau
bahkan membalikkan pembentukan dan perkembangan keloid.
Poin-poin Penting

 Keloid adalah bekas luka patologis umum yang ditandai dengan pertumbuhan terus
menerus klinis di luar batas luka asli dan invasi ke kulit sehat yang terletak berdekatan,
serta akumulasi patologis fibroblas dan kolagen. Pendekatan terapeutik meliputi
pembedahan, radioterapi, dan berbagai obat-obatan, meski demikian, tidak ada terapi
khusus yang tersedia untuk menyembuhkan keloid secara efektif dan permanen,
dengan komplikasi atau kekambuhan yang sering terlihat.

 Dalam ulasan ini, penulis mengklasifikasikan dan meringkas obat-obatan saat ini
berdasarkan pandangan terhadap keloid sebagai (a) tumor yang didistribusikan secara
lokal (misalnya, kemoterapi, imunoterapi, dan obat-obatan yang mengurangi volume
lesi) atau lesi inflamasi (misalnya, kortikosteroid dan toksin botulinum) dan (b)
sebagai entitas yang merespon secara tidak sengaja terhadap obat sistemik lainnya
(misalnya, anti-hipertensi dan kanker payudara).

2
 Memfokuskan pada penelitian dasar-dasar penelitian, penulis juga menyertakan terapi
genetik, epigenetik, dan sel punca dalam manajemen keloid untuk memungkinkan
intervensi translasi. Tinjauan kemajuan farmasi ini diharapkan akan mendorong
penelitian tambahan dan pengembangan obat-obatan spesifik dan efektif untuk keloid

Terapi Radiasi
Radioterapi pasca bedah adalah komponen rejimen terapi konvensional
untuk keloid yang telah diterapkan secara luas. Terapi radiasi bekerja dengan
memperlambat angiogenesis dan / atau mengurangi proliferasi fibroblast baru,
sehingga menghambat deposisi kolagen. Regimen radioterapi yang paling umum
digunakan untuk mencapai efek yang diinginkan sambil menghindari komplikasi
sangat bervariasi dalam hal penggunaan jenis radiasi (misalnya, brakhiterapi, sinar
elektron, dan sinar-X), parameter radiasi (misalnya, dosis, fraksinasi, ukuran
lapang perawatan, dan kedalaman perawatan), titik waktu setelah operasi ketika
perawatan dimulai, dan durasi perawatan.
Sebuah meta-analisis baru-baru ini menunjukkan bahwa radioterapi pada
dasar luka setelah eksisi keloid telinga dikaitkan dengan tingkat kekambuhan
keseluruhan 14,0%, serupa dengan tingkat kekambuhan 15,4% dengan
pengobatan triamsinolon asetonid (TAC) perioperatif (P=0,60). Dalam meta-
analisis lain ditunjukkan bahwa radiasi monoterapi dikaitkan dengan tingkat
kekambuhan yang secara signifikan lebih tinggi (37%) daripada radiasi pasca-
bedah (22%; P = 0,0046). Selain itu, ditunjukkan pula bahwa brakhiterapi
berkaitan dengan angka kekambuhan yang lebih rendah (15%) daripada terapi
sinar-X (23%; P = 0,04); serta bahwa keloid di dada dan badan memiliki tingkat
kekambuhan yang lebih tinggi (34%) daripada keloid di lokasi lain, seperti
ekstremitas atas / bawah atau kepala, leher, maupun telinga.
Komplikasi radioterapi untuk keloid meliputi reaksi kulit akut (misal
eritema, pigmentasi, epilasi, dan deskuamas) selama 7 sampai 10 hari pertama
serta komplikasi sub-akut dan komplikasi lanjut (misal jaringan parut, pigmentasi
permanen, depigmentasi, atrofi, telangiektasis, fibrosis subkutan, dan nekrosis)
beberapa minggu setelah radioterapi. Komplikasi ini dapat diminimalkan dengan

3
melindungi organ yang rapuh seperti kelenjar tiroid dan kelenjar mammae, dan
dengan memilih protokol dosis yang paling tepat terkait situs yang diobati.
Menurut pengalaman penulis, untuk mengurangi kekambuhan serta untuk
membatasi komplikasi, terapi iradiasi sinar elektron pasca operasi harus
diterapkan dengan dosis yang sesuai, tergantung pada masing-masing lokasi yang
diterapi. Dengan demikian, untuk keloid pada dada anterior, daerah skapula, dan
daerah suprapubik, diberikan 20 Gy dalam empat fraksi selama 4 hari; sementara
untuk keloid daun telinga diberikan 10 Gy dalam dua fraksi selama 2
hari; sedangkan untuk keloid di situs lain diberikan 15 Gy dalam tiga fraksi
selama 3 hari.

Pengobatan Farmasi Saat Ini Dan Kemunculan Pengobatan Lain Dalam


Manajemen Keloid Klinis
Obat-obatan saat ini maupun obat yang baru muncul dapat diklasifikasikan
dalam berbagai cara, yaitu, sesuai dengan tujuan terapeutik mereka (misalnya,
untuk mengurangi massa keloid atau mencegah kekambuhan), konstituen target
mereka (misalnya, sel, matriks ekstraseluler, maupun sitokin), tahap luka target
mereka (misalnya tahap peradangan, proliferasi, atau remodeling), rute
pemberiannya (misalnya lokal atau sistemik), dan tingkat biologis di mana agen
tersebut bekerja (misal pada jaringan, seluler, atau molekul). Penulis
mengklasifikasikan obat-obatan keloid terkini maupun obat-obatan baru yang
akan muncul, sesuai dengan tiga cara utama pengelolaan keloid dalam terapi.
Dengan demikian, keloid dapat dianggap sebagai (1) tumor lokal, yang
memerlukan tatalaksana tertentu, misalnya kemoterapi. Hal ini karena keloid
menyerupai tumor padat, yang tumbuh dengan mapan di luar batas luka
semula. Keloid juga dapat dianggap sebagai lesi inflamasi, yang memerlukan
tatalaksana misalnya kortikosteroid karena menunjukkan tanda-tanda klasik
peradangan (kemerahan, edema, dan gatal / nyeri selama progresi lesi). (2) Keloid
juga dapat dianggap sebagai suatu entitas yang merespons secara tidak sengaja
terhadap obat sistemik lain, seperti obat hipertensi. (3) Akhirnya, keloid juga
dapat dianggap sebagai target penyakit untuk intervensi baru, seperti terapi
genetik, epigenetik, dan sel punca (Tabel 1).

4
5
Tabel 1. Obat-obatan saat ini untuk Terapi Keloid
Pandangan Strategi Klasifikasi Contoh
Keloid Anti-tumor Kemoterapi Bleomisin, 5-FU, mitomisin
sebagai lesi Imunoterapi Takrolimus, imiquimod, interferon
topikal Reduksi Volume Kolagenase
Anti-inflamasi Kortikosteroid
Toksin botulinum A
Diadopsi Anti-hipertensi Penghambat enzim Captopril, enalapril
dari terapi konversi
penyakit Angiotensin
sistemik lain Penghambat saluran Verapamil
kalsium
Anti-kanker Anti-estrogen Tamoksifen
payudara nonsteroid sintetis

Kemunculan Genetik Mematikan CDglyTK, relaksin


terapi lain fibroblas /
berdasarkan mengurangi sintesis
kemajuan di kolagen
bidang lain
Epigenetik Penghambat 5-aza-2’deoksisitidin
metilase
Penghambat Trikostatin A
deasetilasi histon
RNA non-pengkode miR-196a, miR-200c, H19 siRNA

Sel Punca Sel punca


mesenkim turunan
jaringan adiposa
Sel punca
mesenkimal
Sel punca
Wharton’s Jelly
Sel punca amniotik
Terapi Farmasi Yang Menargetkan Massa Padat Keloid
Kemoterapi
Meski secara klinis didefinisikan sebagai penyakit jinak, keloid
menyerupai tumor karena mereka tumbuh terus menerus dan menyerang jaringan
kulit normal di sekitarnya. Selain itu, area perifer dan tepi keloid ditandai dengan
angiogenesis, proliferasi fibroblas, dan produksi kolagen, sedangkan area sentral
ditandai dengan hipoksia, apoptosis, dan kolagen yang berlimpah. Oleh karena itu,
kemoterapi tumor telah diterapkan pada keloid. Agen utama yang telah digunakan
adalah bleomisin, 5-fluorourasil (5-FU), dan mitomisin.
Bleomisin berfungsi sebagai antibiotik sitotoksik khas yang
memiliki sifat anti-tumor, antibakteri, dan antivirus. Sifat-sifat ini bekerja untuk

6
menunda siklus sel dalam fase G2, memotong DNA, menurunkan RNA, dan
menginduksi apoptosis. Pada 12 pasien dengan 13 keloid refrakter terhadap TAC,
injeksi bleomisin (0,1 mL 0,15 IU per injeksi, 0,4 mL/cm 2/lesi, volume
maksimum 3,5 mL/sesi) menggunakan teknik injeksi dermojet setiap bulan
selama 2 hingga 6 sesi memberikan perbaikan lesi yang merata dengan baik,
dengan 9 lesi merata secara lengkap (100%), 2 lesi merata sangat signifikan
(>90%), 1 lesi merata signifikan (75%-90%), dan 1 lesi merata sedang (50%
-75%). Tidak ada rekurensi selama periode tindak lanjut rata-rata 18,7 bulan.
Namun, studi prospektif kontrol acak single-blinded terhadap 26 pasien dengan
keloid atau jaringan parut hipertrofik menunjukkan bahwa injeksi bleomisin
intralesi (1 IU/mL, 0,1 mL/cm2) setiap bulan (<6 mL / sesi) selama 3 bulan tidak
secara signifikan meningkatkan lesi dibandingkan dengan injeksi TAC yang
diukur menggunakan penilaian Skala Penilaian Jaringan Parut Pasien dan
Pengamat (Patient and Observer Scar Assessment Scale). Namun, 50% pasien di
kedua kelompok meyakini bahwa pengobatan yang mereka terima telah
memberikan peningkatan yang memuaskan. Kemungkinan efek terapi dan
samping bleomisin bervariasi tergantung pada lokasi keloid, ukuran, penyebab,
jenis kulit, teknik infus, dan apakah perawatan sebelumnya telah diterapkan.
5-FU adalah analog pirimidin dan agen kemoterapi klasik. Dalam suatu
penelitian terhadap 24 pasien dengan keloid berukuran sedang (dimensi maksimal
≤6 cm) yang menerima injeksi 50 hingga 150 mg 5-FU setiap minggu selama
hingga 16 sesi, lesi pada lebih dari separuh pasien menunjukkan lesi yang merata
hingga >50% dibandingkan lesi awal. Efek samping yang dikeluhkan termasuk
rasa sakit, purpura, luka kuning (slough) pada bagian superfisial, hiperpigmentasi
sementara, dan munculnya ulkus (yang dapat menyembuh dengan pengobatan
yang sesuai). Selain itu, percobaan prospektif acak yang tidak terkontrol pada 28
pasien keloid menunjukkan bahwa injeksi intralesi mingguan 5-FU (50 mg / mL,
0,5 hingga 2 mL per sesi) selama 12 minggu memicu penurunan ukuran lesi
hingga >50% serta regresi tepi jaringan parut dan lesi yang merata pada sebagian
besar pasien. Tidak ada kekambuhan yang diamati selama periode tindak lanjut 24
minggu. Efek samping utama adalah rasa sakit, ulserasi, dan sensasi terbakar.

7
Mitomisin adalah penghubung silang DNA yang poten, bekerja dengan
menghambat sintesis DNA dan menginduksi fragmentasi DNA pada fase akhir G1
dan S awal siklus sel. Pada penelitian yang melibatkan dua pasien dengan keloid
Ketika keloid dari dua pasien diberikan mitomisin intralesi (1 mg / mL), lesi
memburuk, dan ditemukan peningkatan risiko ulserasi. Namun, ketika keloid atau
skar hipertrofik dari sembilan pasien direseksi dengan eksisi cukur dan dasar luka
diterapi dengan mitomisin topikal (1 mg / mL) selama 3 menit, keluhan nyeri dan
pruritus pasien berkurang secara nyata. Selain itu, pada 10 pasien dengan bekas
luka pembedahan akibat eksisi inti keloid yang diberikan kain kasa yang direndam
dengan mitomisin (0,4 mg/5 mL) selama 4 menit dan kemudian diirigasi
sepenuhnya dengan larutan saline, rekurensi keloid selama rata-rata periode tindak
lanjut 8 bulan ditemukan hanya 10%.

Imunoterapi
Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh
memilki peran penting dalam pertumbuhan dan progresivitas keloid. Sebagai
contoh, pasien keloid memiliki angka kompleks imun dan sel yang secara
signifikan lebih tinggi dalam sirkulasi dibandingkan subjek kontrol. Akibatnya,
beberapa imunoterapi memiliki manfaat potensial dalam manajemen keloid.
Imunoterapi keloid utama yang telah diuji secara klinis adalah takrolimus,
imiquimod, dan interferon (IFN).
Takrolimus adalah penghambat kalsineurin dan obat imunosupresif yang
dapat menghambat aktivasi sel T. Ketika fibroblas keloid diobati dengan
takrolimus in vitro, maka proliferasi, migrasi, dan produksi kolagen yang
diinduksi TGF-β mereka turun secara signifikan. Namun, analisis microarray
genome-wide yang diikuti oleh PCR kuantitatif menunjukkan bahwa pengobatan
fibroblas keloid pada manusia selama 72 jam dengan takrolimus 2 nmol / L in
vitro tidak secara langsung memblokir jalur ekspresi kolagen mereka, melainkan
bekerja dengan menghambat nukleosida difosfat nukleosida NME /
NM23 (penekan metastasis) dan ribonukleoprotein nuklir heterogen H3-2H9,
yang terlibat dalam interaksi epitel-mesenkimal fibrogenik dan kontrol post-
transkripsional dari kolagen. Dalam hal bukti klinis, seorang pasien dalam uji

8
klinis untuk pengobatan topikal konvensional dermatitis atopik dengan takrolimus
melaporkan bahwa ia juga telah mengobati keloidnya dengan agen tersebut, dan
mengamati bahwa lesi keloidnya membaik dengan pemberian takrolimus.
Imiquimod adalah agonis reseptor Toll-like. Krim Imiquimod 5%
berfungsi sebagai pengubah respons imun dalam pengelolaan keloid. Pengobatan
topikal keloid dengan krim imiquimod setiap hari selama 2 hingga 8 minggu
sebelum eksisi bedah secara signifikan meningkatkan regulasi DFFA dan
menurunkan regulasi kaspase 3; di mana kedua gen tersebut merupakan penanda
apoptosis. Selain itu, ketika luka yang menetap setelah eksisi keloid daun telinga
eksisi dirawat setiap hari dengan krim imiquimod selama 6 minggu, hasil
kosmetik cukup memuaskan, dan tidak ada kekambuhan keloid selama periode
tindak lanjut 12 bulan. Namun, pendekatan serupa kurang memuaskan untuk
keloid yang tumbuh di batang tubuh. Dari sembilan pasien dengan luka pasca
bedah yang dirawat setiap hari dengan imiquimod topikal selama 8 minggu, tujuh
diantaranya mengalami kekambuhan pada waktu sekitar 12 minggu setelah
operasi. Perawatan topikal juga dikaitkan dengan reaksi kulit lokal, termasuk
eritema, erosi, dan krusta. Sebuah studi meta-analisis pada tahun 2017
menunjukkan bahwa perkiraan tingkat kekambuhan keloid pada pasien yang
menjalani perawatan krim imiquimod pasca bedah adalah 24,7%.
IFN-γ dan IFN-α2b adalah terapi keloid yang kontroversial, yang mungkin
disebabkan karena perbedaan protokol antara studi. Injeksi IFN-γ intralesional
(0,01 atau 0,1 mg) tiga kali seminggu selama 3 minggu dapat mengurangi tinggi
lesi keloid sebesar 30,4% dibandingkan dengan sebesar 1,1% pada lokasi kontrol.
Efek ini dikaitkan dengan berkurangnya bundel kolagen yang menebal dan
fibroblas kulit aktif. Namun, uji coba terkontrol plasebo buta ganda menunjukkan
bahwa injeksi IFN- γ lokal (10 μg setiap minggu selama 10 minggu) setelah eksisi
keloid tidak mengurangi tingkat kekambuhan keloid. Sementara itu, untuk IFN-
α2b, sebuah penelitian retrospektif pada 16 situs keloid yang mendapat injeksi
topikal pasca-bedah dengan IFN-α2b (1 juta unit dalam 0,1 mL / cm linier)
ditambah suntikan tambahan 5 juta unit pada 12/16 situs yang diberikan 1 minggu
kemudian, diketahui bahwa tingkat kekambuhan selama rata-rata periode

9
observasi 7 bulan pasca operasi adalah 18,7%. Namun, percobaan klinis
prospektif kemudian menunjukkan bahwa, ketika keloid dieksisi dan dasar luka
diinjeksi intraoperatif dan seminggu kemudian dengan IFN-α2b (1 juta unit / cm
linier, maksimum 5 juta unit), tingkat kekambuhan tidak lebih baik daripada
kelompok kontrol TAC (54% vs 15%).

Obat-Obatan yang Mengurangi Volume Lesi


Beberapa penelitian telah menguji kemampuan injeksi kolagenase intralesi
dalam mengatasi keloid. Para ahli memiliki hipotesis bahwa injeksi ini secara
enzimatik dapat mendegradasi kolagen, yang merupakan komponen utama
matriks ekstraseluler dalam keloid. Dalam satu penelitian pada enam keloid
rekuren di daun telinga (diameter ≥ 5 mm), kolagenase clostridium histolyticum
0,225mg dalam 0,195 mL pengencer kemudian dirawat setiap hari dengan anting
kompresi. Dalam tiga keloid, ditemukan perubahan pengurangan volume
maksimum masing-masing 91%, 83%, dan 86% pada bulan ke 12, 12 dan 10
pasca injeksi. Tiga pasien lainnya memilih eksisi keloid untuk alasan kosmetik
pada 6, 8, dan 11 bulan setelah diikutkan dalam penelitian; dan pada kunjungan
terakhir sebelum operasi, ditemukan volume keloidnya menurun, masing-masing
sebesar 39% (1 bulan pasca injeksi), 58% (10 bulan), dan 33% (1 bulan). Namun,
penelitian lain menunjukkan bahwa, ketika lima keloid mendapat satu atau lebih
injeksi intralesi dengan 600 hingga 4.500 unit kolagenase bakteri murni, volume
bekas luka tidak memberikan perbaikan yang memuaskan. Selain itu, diamati
adanya efek samping yang signifikan, diantaranya pembengkakan, ulserasi, nyeri,
lepuh, dan memar lokal.

Terapi Farmasi Menargetkan Fase Inflamasi Berkepanjangan Dalam Keloid


Sejumlah obat bertujuan untuk meredam peradangan hebat yang terjadi
secara berkepanjangan pada keloid, termasuk diantaranya adalah pemberian
kortikosteroid dan botulinum toksin A (BTA).
Aplikasi kortikosteroid klasik adalah dengan injeksi TAC intralesi. Dosis
TAC bervariasi dari 10 hingga 40 mg / mL tergantung pada volume, ukuran, dan
lokasi keloid, serta karakteristik masing-masing pasien. Dalam literatur, satu uji

10
klinis buta ganda pada 40 orang dewasa dengan keloid menunjukkan bahwa
injeksi TAC bulanan intralesi (40 mg / mL, 0,5 mL / cm2) selama 3 bulan dapat
memperbaiki gejala seperti eritema dan pruritus, serta mengurangi ketinggian lesi
keloid selama 44 minggu periode tindak lanjut. Meski demikian, efek ini kurang
signifikan dibandingkan dengan pemberian bulanan 5-FU tato (50 mg/mL, 2
mL/cm2) selama 3 bulan. Sebuah uji klinis prospektif pada 21 anak-anak juga
menunjukkan bahwa pemberian injeksi TAC intralesi bulanan (20 mg/cm 3, ≤40
mg/sesi) selama 3 bulan mengurangi ukuran rata-rata dari 25 keloid hingga
82,7%. Hanya satu keloid yang tidak menanggapi pengobatan, bahkan setelah
lima kali infiltrasi. Efek samping pemberian steroid intralesi terutama adalah
nyeri, hipopigmentasi, hiperpigmentasi, atrofi kulit, dan telangiektasia.
Efek terapeutik BTA saling bertentangan dan tidak meyakinkan. Ketika
fibroblas keloid dikultur dengan konsentrasi BTA optimal (2,5 μL / 106sel) selama
48 jam, jumlahnya berkurang hingga 50%. Namun, penelitian Haubner dkk gagal
mendeteksi efek yang konsisten dari BTA terhadap kemampuan fibroblas keloid
untuk menghasilkan IL-6, VEGF, atau TGF-β atau kemampuannya dalam
berprofilerasi. Satu laporan kasus dalam literatur menunjukkan bahwa injeksi
BTA intralesional (100 unit dalam 5 mL saline) berhasil mengobati nyeri
neuropatik pada satu pasien keloid. Namun, penelitian lain pada empat pasien
keloid yang dirawat dengan suntikan intralesional 70 hingga
140 unit Speywood BTA / sesi setiap 2 bulan hingga 6 bulan, regresi keloid yang
diamati sangat sedikit.

Obat-Obatan Terapeutik Untuk Penyakit Sistemik Lain Yang Efektif Untuk


Keloid
Obat-Obatan Anti-Hipertensi
Keloid berhubungan erat dengan hipertensi. Studi kohort menunjukkan
bahwa tekanan darah berkorelasi erat dengan ukuran dan jumlah keloid. Penulis
berspekulasi bahwa disfungsi endotel, hipoksia yang diinduksi oleh peradangan,
dan / atau perubahan perilaku fibroblas kulit pada hipertensi dapat memperkuat
kelainan sel pada keloid.

11
Obat-obatan anti-hipertensi seperti penghambat enzim pengonversi
angiotensin (misal Captopril dan enalapril) dan penghambat saluran kalsium
(misal verapamil) mungkin merupakan pengobatan yang efektif untuk
keloid. Aplikasi topikal krim captopril (5%) dua kali sehari selama 6 minggu
menurunkan ketinggian lesi keloid di tangan, dan secara bersamaan
menghilangkan kemerahan dan menghilangkan rasa gatalnya. TIdak diamati
adanya efek samping topikal mauoun sistemik dengan pemberiannya. Selain itu,
pemberian oral enalapril (10mg sehari) meningkatkan insisi keloid pada dua
pasien tanpa efek samping. Pemberian enapril dosis rendah ini tidak berhubungan
dengan efek samping secara umum (dengan pengecualian pasien dengan gagal
ginjal akut, insufisiensi ginjal kronis, atau penyakit kolagen vaskular), diusulkan
bahwa obat-obatan ini mungkin merupakan agen yang baik untuk penatalaksanaan
keloid. Terkait penggunaan verapamil, terdapat satu uji coba acak terkontrol buta
ganda yang menunjukkan bahwa injeksi intralesi verapamil bulanan (2,5 mg / mL)
selama 4 bulan pada separuh dari dasar luka setelah eksisi keloid berhubungan
dengan lebih banyak kekambuhan keloid pada 12 bulan setelah operasi,
dibandingkan dengan rejimen yang sama menggunakan injeksi TAC (10 mg/mL)
di separuh bagian dasar luka lainnya (P = 0,01), meskipun tidak ada efek samping
yang ditemukan pada bagian jaringan parut yang diobati dengan verapamil.
Mekanisme anti-hipertensi dalam memperbaiki keloid tidak diketahui, tetapi
mungkin melibatkan penurunan metabolisme kolagen, proliferasi sel, dan ekspresi
PDGF-BB, TGF-β1, dan HSP47 oleh fibroblas keloid.
Obat-Obatan Anti Kanker Payudara
Tamoxifen adalah obat anti-estrogen non-steroid sintetis yang awalnya
dikembangkan untuk mengobati kanker payudara. Agen ini telah terbukti
mengurangi sintesis kolagen oleh fibroblas keloid dengan menurunkan produksi
TGF-β in vitro. Sebuah studi klinis prospektif pada 13 pasien dengan keloid yang
disuntik dengan tamoxifen 20mmol / L (0,01 mL/cm 2) sekali seminggu selama 8
minggu, angka fibroblast dalam biopsi punch minggu ke-8 lebih rendah
dibandingkan dengan dalam biopsi pra-perawatan. Serabut kolagen juga

12
berkurang dan atrofik. Selain itu, terdapat infiltrasi inflamasi yang nyata pada
minggu ke 8.

Terapi Genetik dan Epigenetik


Beberapa terapi genetika dan epigenetik yang menarik telah diusulkan,
meskipun masih dalam penelitian tahap pra-klinis.
Terapi Genetika
Terdapat dua terapi genetik anti-keloid yang potensial: keduanya
membunuh fibroblas keloid atau menghambat sintesis kolagennya. Salah satunya
adalah gen double-suicide CDglyTK. Gen ini terdiri dari sitosin deaminase (CD)
yang berhubungan dengan timidin kinase (TK), yang masing-masing mengubah 5-
florositosin dan gansiklovir menjadi metabolit toksik. Ketika fibroblas keloid
terinfeksi dengan suatu adenovirus rekombinan yang mengekspresikan CDglyTK
(Ad-CMV-CDglyTK) kemudian diberikan 5-florositosin dan gansiklovir, mereka
mengalami apoptosis yang lebih hebat (seperti yang ditunjukkan oleh pewarnaan
TUNEL positif, penurunan Bcl-2 dan peningkatan ekspresi mRNA Bax)
dibandingkan dengan sel kontrol. Terapi genetik lain adalah replikasi inkompeten
adenovirus dl-lacZ-RLX-RGD yang mengekspresikan relaxin. Relaxin adalah
anggota keluarga faktor pertumbuhan mirip insulin (insulin-like growth factor –
IGF) yang dikenal memiliki efek anti-fibrotik. Ketika fibroblas keloid terinfeksi
adenovirus dl-lacZ-RLX-RGD, ekspresi mRNA kolagen I dan III menurun
masing-masing sebesar 28% dan 59%. Selain itu, ekspresi mPNA MMP-1 dan
MMP-3 juga menurun.
Terapi Epigenetik
Terapi epigenetik yang memodulasi metilasi DNA dan modifikasi histon
pada fibroblast keloid serta RNA non-pengkode mungkin berguna dalam
manajemen keloid.
Mengubah metilasi DNA fibroblas keloid dapat mengurangi karakteristik
patologisnya. Temuan ini didukung oleh fakta bahwa DNA methyltransferase 1
(DNMT1) diekspresikan oleh masing-masing 100% pada sampel keloid dan
hanya 8% pada kulit normal. Selain itu, pemberian inhibitor metilase 5-aza-2’-
deoksisitidin (5-aza-dC), pada fibroblas keloid dapat mengurangi ekspresi mRNA

13
pada TGF-β1 dan DNMT1. Selain itu, fibroblas keloid, berbeda dengan fibroblas
dermis yang normal, mengekspresikan kadar tinggi gen profibrotik yang
mengkode faktor pertumbuhan mirip insulin pengikat protein-5 (insulin-like
growth factor-binding protein-5 – IGFBP5). Ketika fibroblas keloid diobati
dengan 2 μM 5-aza-dC selama 4 hari, ekspresi IGFBP5 menurun drastis
dibandingkan pada fibroblast normal yang mendapatkan 5-aza-dC.
Modifikasi histon pasca-translasi seperti deasetilasi histon (HDAC)
memberikan target lain terapi epigenetik. Pengobatan fibroblas keloid dengan
HDAC inhibitor trichostatin A (TSA) menurunkan proliferasi, menginduksi
apoptosis, dan mengurangi sintesis kolagen yang diinduksi TGF-β1. Selain itu,
mengobati fibroblas keloid dengan TSA (0,33 μM) untuk 1 hari menyebabkan
kenaikan hingga ~ 15 kali ekspresi protein secreted frizzled-related protein-1
(SFRP1), yang berfungsi sebagai penghambat WNT dan diekspresikan dalam
kadar yang jauh lebih rendah pada fibroblas keloid dibandingkan pada fibroblas
kulit normal.
RNA non-pengkode seperti mikroRNA (miRNA) dan RNA non-pengkode
panjang  (lncRNA) juga dapat berguna dalam manajemen keloid. MiRNA adalah
RNA pendek, untai tunggal, non-pengkode yang mengatur ekspresi gen pada
tingkat pasca transkripsional dengan menargetkan mRNA spesifik
untuk degradasi atau menghambat translasi mRNA. lncRNA (>200 nukleotida)
adalah molekul mirip-mRNA yang tidak memiliki kerangka baca terbuka yang
stabil dan diketahui mengatur proses perkembangan dan penyakit. Sebuah analisis
microRray miRNA menunjukkan bahwa miR-196a secara signifikan diatur dalam
fibroblas keloid dibandingkan dengan fibroblast normal. Ketika miR-196a
diekspresikan secara berlebihan ataupun ‘anjlok’ dalam fibroblast keloid, sekresi
kolagen tipe I / III pun masing-masing menjadi turun ataupun naik. Demikian
pula, miR-200c, yang menargetkan ZNF217, kurang diekspresikan dalam fibrosis
keloid. Kadar MiR-200c RNA berkorelasi terbalik dengan transkrip lncRNA yang
diaktifkan oleh TGF-β (lncRNA-ATB). Ketika lncRNA-ATB anjlok dalam
fibroblast keloid, kadar miRNA-200c naik, yang menurunkan ZNF217 kemudian
menekan sekresi otokrin TGF-β2. Dengan demikian, menurunkan lRRNA-ATB

14
mungkin merupakan strategi terapi untuk keloid. Selain itu, keloid memiliki kadar
lncRNA-H19 yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol kulit normal,
sehingga menurunkan lncRNA dengan memberikan sedikit gangguan pada RNA
dapat secara signifikan mengurangi proliferasi fibroblas keloid in vitro.

Terapi Sel Punca


Beberapa penelitian telah menilai apakah sel punca dapat melawan fibrosis
dengan mengurangi peradangan, membersihkan spesies oksigen reaktif,
mempromosikan produksi faktor-faktor anti-fibrotik, dan meningkatkan
angiogenesis dan remodeling matriks.
Kandidat sel punca yang mungkin memiliki efek anti-fibrotik ini termasuk
sel punca mesenkim derivat jaringan adiposa (ASC), sel punca mesenkimal
(MSC), sel punca Wharton’s jelly (WJSC), dan sel punca amniotik. Dengan
demikian, media yang dikondisikan ASCs (ASCs-CM) menghambat proliferasi
dan migrasi fibroblas keloid; mengurangi ekspresi mRNA dari IL-6, TGF-β1,
kolagen 1a1, dan SMA; dan mengurangi kontraktilitas mereka. Selanjutnya,
ketika disuntikkan ke dalam model tikus athymic implantasi keloid, ASC-CM
menginduksi penyusutan dari implan keloid.
Efek ini dikaitkan dengan penurunan akumulasi sel CD68+ dan CD31+ dan
kepadatan pembuluh darah yang lebih rendah dan deposisi kolagen. media yang
dikondisikan MSC mengurangi viabilitas, ekspresi α-SMA, dan sekresi kolagen
dari fibroblas keloid secara in vitro. Selain itu, suntikan intralesi dari media yang
dikondisikan BM-MSC (100 μL setiap hari selama 3 minggu) ke dalam model
tikus dermal fibrosis yang diinduksi bleomisin secara signifikan menurunkan
fibrosis kulit. Efek-efek ini diperkuat melalui aktivasi yang bergantung pada TGF-
β3. Selain itu, ketika sel-sel keloid manusia diobati dengan medium yang
dikondisikan untuk WJSC manusia atau lisat setiap 72 jam hingga 9 hari, tampak
adanya penurunan proliferasi, peningkatan apoptosis, gangguan siklus sel, dan
penghambatan migrasi. Untuk sel punca amnion, studi pada pasien pria Kaukasia
yang mengeluhkan sangat nyeri menunjukkan bahwa ketika bekas luka
torakotomi dan kulit di sekitarnya disuntikkan dengan 2 juta sel punca amnion
manusia yang dicampur dengan matriks membran amnion, keluhan nyeri menurun

15
secara signifikan. Dua suntikan tambahan benar-benar menghilangkan rasa sakit
dan meningkatkan remodelling bekas luka.

Arah di Masa Depan


Pemahaman yang lebih mendalam tentang etiologi keloid memberikan
peluang munculnya intervensi farmasi baru untuk keloid di masa depan. Hal ini
telah dicontohkan oleh penelitian baru-baru ini yang menunjukkan peran penting
dari mekanobiologi dalam pembentukan jaringan parut: informasi ini telah
membantu perkembangan dan penggunaan klinis intervensi mekanoterapi baru-
baru ini yang mempromosikan penyembuhan luka yang tepat dengan mendorong
stimulus mekanik pada tingkat molekuler, seluler, dan / atau jaringan. Intervensi
ini meliputi teknik bedah untuk menurunkan ketegangan seperti sayatan
gelombang kecil dan pembalut luka penurun ketegangan seperti lembaran silikon.
Investigasi lebih lanjut mengenai mekanisme biologi jaringan parut abnormal
akan membantu mengidentifikasi molekul baru dan proses yang dapat ditargetkan
oleh agen farmasi khusus untuk keloid. Molekul-molekul kandidat diantaranya
molekul pensinyalan mekanis (mechanosignalling) dan molekul yang menentukan
bentuk sel, kekakuan matriks ekstraseluler, atau interaksi matriks-sel. Penelitian in
vivo lebih lanjut, termasuk dengan model hewan keloid dan uji acak terkontrol
jangka panjang juga diperlukan untuk mengidentifikasi molekul ini serta molekul
target lainnya untuk menguji potensi teknik anti-keloid dari bidang lain dan untuk
mengidentifikasi mekanisme biokimia, histologis, dan genetik tambahan yang
dapat mengatasi perkembangan dan kekambuhan keloid. Kemajuan ini cenderung
memacu pengembangan strategi baru yang dapat mencegah, mengurangi, atau
bahkan membalikkan pembentukan dan perkembangan keloid.

Rencana dibacakan pada tanggal 1 April 2020


Moderator

Dr. Novi Kusumaningrum, Sp.KK, PhD

16

Anda mungkin juga menyukai