Latar Belakang
Promosi kesehatan bukanlah sebuah konsep baru di bidang kesehatan. Istilah
ini pertama kali diperkenalkan oleh Henry E. Sigerist pada tahun 1945 yang
menjelaskan empat tugas utama dalam pengobatan yaitu promosi kesehatan,
pencegahan penyakit, pemulihan dari penyakit dan rehabilitasi (Kumar, S, 2012).
Konsep promosi kesehatan ini ditegaskan kembali di dalam Ottawa Charter oleh World
Health Organization (WHO) pada tahun 1986. Di dalam Ottawa Charter disebutkan
bahwa kesehatan didapatkan dan dinikmati oleh manusia dalam suatu tempat (setting)
dimana mereka belajar, bekerja, bermain dan memberi kasih sayang (WHO, 1986).
Pendekatan setting based pada promosi kesehatan ini mendasari munculnya konsep
promosi kesehatan kota, promosi kesehatan di sekolah, promosi kesehatan di
universitas, promosi kesehatan di hospital dan lain-lain. Strategi promosi kesehatan
melalui pendekatan setting based ini telah menjadi pilar utama reformasi promosi
kesehatan di seluruh dunia (Groene, O, 2005).
Salah satu strategi dalam pendekatan setting ini adalah dengan
mengorientasikan kembali promosi kesehatan di rumah sakit. Rumah sakit merupakan
tempat yang strategis dalam pengimplementasian promosi kesehatan karena
menyediakan kesempatan luas untuk berinteraksi dengan pasien, keluarga, karyawan
dan komunitas sekitarnya (Kar, 2012). Rumah sakit merupakan institusi yang banyak
dikunjungi oleh masyarakat dan dapat menjangkau sektor populasi yang luas. Di
beberapa negara, jumlah populasi yang datang ke rumah sakit sebagai pasien
mencapai 20% setiap tahunnya bahkan lebih besar lagi jumlahnya jika ditambah oleh
keluarga atau relasi pasien (WHO, 2007). Dalam interaksi tersebut, petugas kesehatan
tidak hanya dapat memberikan intervensi klinis tetapi juga intervensi lain seperti
pendidikan kesehatan mengenai gaya hidup yang sehat sehingga pasien bisa
mengambil keputusan yang tepat bagi kesehatannya. Dari semua setting yang ada,
rumah sakit mendapatkan perhatian khusus sebagai institusi yang memberikan
pengaruh yang kuat dalam kesehatan dan kesejahteraan pasien serta karyawannya
(Kar, 2012).
Berbagai penelitian mendorong rumah sakit untuk berpindah dari yang hanya
memberikan pelayanan klinis dan kuratif menjadi layanan yang juga memprioritaskan
sumber dayanya untuk pelayanan promosi kesehatan (Dierscher, C et al 2014).
Promosi kesehatan pada pasien telah terbukti dapat meningkatkan hasil pengobatan,
pemulihan setelah operasi (Thomsen, 2014, Egholm, 2018, Beier, 1996, Nielsen, 2008),
pada bagian obstetric (Cnattingius, 2004, Rasmussen, 2013, Ota, 2015), penyakit
dalam (Heiwe, 2011, Anderson, 2014, Thomas, 2006, McKeough, 2016, Oellgaard,
2018), dan psikiatri (Taylor, 2014. Promosi kesehatan pada pasien juga terbukti cost-
effective, dapat diterima baik oleh pasien dan dalam jangka panjang dapat berkontribusi
pada kesehatan populasi atau masyarakat umum. Petugas kesehatan di rumah sakit
juga memiliki dampak jangka panjang dalam mempengaruhi perilaku pasien dan
keluarga dimana mereka lebih patuh pada saran yang diberikan saat kondisi sakit
(Florin, D & Basham, S, 2000). Hal ini saat penting terutama untuk dua alasan yaitu
pertama prevalensi penyakit kronis (stroke, diabetes, penyakit jantung dan cancer)
meningkat di seluruh dunia (Murray, C, 1996) yang mengakibatkan peningkatan pasien
dan biaya yang dihabiskan untuk pengobatan di rumah sakit. Rata-rata negara
menghabiskan pembiayaan pengobatan di rumah sakit sebesar 40%-70% dari
anggaran kesehatan nasional (WHO, 2005). Kedua banyak metode penanganan di
rumah sakit tidak hanya mencegah kematian prematur tetapi juga meningkatkan
kualitas hidup pasien. Untuk mempertahankan kualitas ini, perubahan perilaku pasien
dan dukungan keluarga pada saat keluar dari rumah sakit merupakan hal yang sangat
penting. Program promosi kesehatan dapat mendorong perilaku sehat, mencegah
masuk rumah sakit kembali dan mempertahankan kualitas hidup pasien.
Promosi kesehatan merupakan pendekatan yang paling relevan dalam
mengatasi masalah kesehatan masyarakat dimana dunia saat ini mengalami triple
burden of diseases yang terdiri dari penyakit menular, penyakit yang baru muncul
(newly emerging) dan muncul kembali (re-emerging) serta penyakit tidak menular yang
mengalami peningkatan signifikan (Kumar, 2012). Managemen penyakit kronik
membantu pasien untuk tetap sehat melalui tindakan pencegahan dan penemuan dini
komplikasi dan pengelolaan penyakit. Management penyakit kronik merupakan
pendekatan yang menekankan dan mendorong individu dengan penyakit kronis untuk
bisa mandiri dalam menjaga kondisi kesehatan dan kapasitas fungsionalnya. Intervensi
organisasi dan struktural sangat penting dalam pengelolaan penyakit kronik karena
berbeda dengan penyakit akut (Siantz E, 2014).
Berdasarkan Lancet Global Burden Disease Report 2018, terlihat bahwa
penyakit Stroke, Jantung dan Diabetes Melitus menempati 3 peringkat teratas penyebab
kematian di Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018, menunjukan
bahwa prevalensi penyakit tidak menular mengalami kenaikan dibandingkan dengan
tahun 2013. Prevalensi kanker meningkat dari 1.4% menjadi 1.8%, prevalensi stroke
meningkat dari 7% menjadi 10.9%, prevalensi diabetes melitus meningkat dari 6.9%
menjadi 8.5%, prevalensi gagal ginjal kronik meningkat dari 2% menjadi 3.8% dan
prevalensi hipertensi naik dari 25.8% menjadi 34.1%.
Rumah sakit di Indonesia hanya menekankan pada pelayanan kuratif dan
rehabilitatif saja, keadaan inilah yang menyebabkan rumah sakit menjadi sarana
kesehatan elit dan terlepas dari sistem kesehatan sehingga adanya reformasi rumah
sakit di Indonesia pun sangat diperlukan (Depkes RI, 2012). Menurut Lee, C (2014)
berdasarkan penelitian yang dilakukan di salah satu rumah sakit di Taiwan, faktor yang
menjadi penghambat terlaksananya kegiatan promosi kesehatan oleh petugas
kesehatan adalah kurangnya dukungan dari supervisor atau managemen dalam bentuk
kebijakan, guideline, dana (funding), pelatihan, dan fasilitas, kurangnya pehamaman,
kemampuan dan motivasi staf dalam melakukan promosi kesehatan, kurangnya jumlah
sumber daya manusia dan waktu, dan kurang dilibatkannya petugas kesehatan dalam
komite/unit program promosi kesehatan.
Penelitian Ribera menyebutkan dokter dan perawat mengalami kendala dalam
hal waktu, pelatihan serta pedoman terkait pemberian edukasi aktivitas fisik pada
penderita hipertensi sehingga mereka jarang melakukannya (Calderon, 2011). Senada
dengan hasil penelitian sebelumnya, Pace dkk. telah melaporkan faktor kesibukan kerja
dan keterbatasan waktu menjadi hambatan utama bagi dokter umum untuk
melaksanakan promkes di Malta, Eropa. Walaupun banyak bukti penelitian yang
menunjukan keefektifan promosi kesehatan, namun penelitian yang berfokus pada
faktor pendukung intervensi promosi kesehatan masih terbatas (Guldbrandsson, 2005).
B. Tujuan
Tujuan Umum
Memahami persepsi dan pengalaman petugas kesehatan dalam melakukan promosi
kesehatan di rumah sakit.
Tujuan Khusus
Memahami kegiatan promosi kesehatan yang biasa dilakukan oleh petugas
kesehatan di rumah sakit.
Memahami persepsi petugas kesehatan mengenai tantangan yang dihadapi dalam
melakukan promosi kesehatan di rumah sakit
Memahami persepsi petugas kesehatan mengenai faktor yang
mendukung/mendorong petugas kesehatan dalam melakukan promosi kesehatan
di rumah sakit.
C. Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana petugas kesehatan memahami dan mengimplementasikan promosi
kesehatan di rumah sakit?
2. Apa saja hambatan yang dialami oleh petugas kesehatan dalam melakukan
promosi kesehatan?
3. Apa saja yang mendukung pelaksanaan promosi kesehatan oleh petugas
kesehatan di rumah sakit?
D. Tinjauan Pustaka
Konsep Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan adalah proses memampukan manusia untuk meningkatkan
kontrol dan memperbaiki kesehatan mereka (WHO, 1986). Nutbeam (1998)
mengembangkan konsep diatas dengan memasukan poin determinan kesehatan,
sehingga menjadi “suatu proses yang memampukan manusia untuk meningkatkan
kontrol terhadap determinan kesehatan sehingga dapat memperbaiki kesehatan
mereka.” Promosi kesehatan memiliki perspektif yang lebih komprehensif dengan
melibatkan berbagai sektor untuk mengatasi adanya ketidakadilan dalam kesehatan,
perubahan pola konsumsi, lingkungan dan budaya serta keyakinan (WHO,2008).
Promosi kesehatan memiliki konsep yang lebih luas dari pendidikan kesehatan
dan pencegahan penyakit. Promosi kesehatan menekankan pada analisis dan
pengembangan potensi kesehatan individu (Greulich, 2002). Pencegahan penyakit
didefinisikan sebagai cara-cara yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit
(pengurangan faktor resiko) dan juga untuk menghentikan progres dari penyakit
tersebut dan konsekuensinya apabila penyakit tersebut sudah terjadi (WHO, 1998).
Pendidikan kesehatan didefinisikan sebagai suatu kesempatan untuk pembelajaran
dalam berbagai bentuk desain komunikasi untuk meningkatkan pengetahuan dan
pengembangan keahlian yang bermanfaat bagi kesehatan individu dan masyarakat
(WHO, 1986). Pendidikan kesehatan merupakan suatu aktivitas menyediakan informasi
kesehatan dan pengetahuan kepada individu dan komunitas serta menyediakan
pelatihan yang memampukan mereka untuk melakukan perilaku sehat.
Didalam Ottawa Charter disebutkan 5 fokus tugas dalam promosi kesehatan yaitu
(WHO, 1986):
1. Mengembangkan kemampuan personal baik melalui pendidikan kesehatan tentang
gaya hidup maupun melalui kerjasama dengan kelompok.
2. Menciptakan lingkungan yang mendukung pada berbagai setting seperti sekolah,
tempat kerja dan rumah sakit sehingga memampukan individu/kelompok dalam
mengambil keputusan yang tepat.
3. Memperkuat aksi komunitas.
4. Mengembangkan kebijakan kesehatan masyarakat yang melibatkan intersektoral,
pemerintah, komunitas target dan organisasi profesi.
5. Mengorientasikan pelayanan kesehatan untuk memiliki sumber daya yang
seimbang antara promosi kesehatan dan pelayanan kuratif serta memperbaiki
pemahaman sistem kesehatan mengenai perannya dalam peningkatan kesehatan.
Terdapat 3 elemen kunci dalam promosi kesehatan yaitu (WHO, 2016):
1. Good governance,
Dalam promosi kesehatan diperlukan kerjasama pemerintah sebagai pengambil
keputusan untuk membuat kebijakan kesehatan yang sesuai. Pemerintah harus
mempertimbangkan faktor kesehatan dalam setiap keputusan yang diambil dan
memprioritaskan kebijakan untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan.
2. Health Literacy
Masyarakat perlu mendapatkan pengetahuan, keahlian dan informasi dalam
mengambil keputusan yang sehat, sebagai contoh mengenai makanan yang
mereka konsumsi dan fasilitas kesehatan yang mereka butuhkan. Masyarakat
memiliki kesempatan untuk membuat pilihan.
3. Healthy cities
Suatu kota atau tempat memiliki peran yang penting dalam mempromosikan
kesehatan. Kepemimpinan dan komitmen yang kuat sangat penting dalam
perencanaan kota sehat dan mengembangkan strategi pemcegahan di komunitas
serta fasilitas pelayanan kesehatan primer. Dengan adanya kota yang sehat akan
berkembang menjadi negara yang sehat hingga dunia yang sehat.
WHO (1947) mendefinisikan sehat sebagai suatu kesatuan antara fisik, mental
dan sosial, serta tidak hanya terbebas dari penyakit ataupun kelemahan. Pada tahun
1986, dalam konferensi Ottawa di Kanada, WHO mendefinisikan sehat dalam perspektif
yang lebih luas yaitu sebagai suatu sumber yang memampukan manusia untuk
menjalani hidup yang produktif secara individu, sosial dan ekonomi. Salah satu konsep
yang sudah dipahami oleh sebagian besar masyarakat adalah ketika seseorang sedang
sakit berarti ada interaksi yang tidak seimbang antara individu dengan suatu agen
(bakteria, virus atau racun). Tubuh individu tersebut tidak dapat melawan agen yang
masuk ke tubuhnya sehingga dia menjadi sakit kemudian pergi ke pelayanan kesehatan
untuk mendapatkan obat. Namun banyak penelitian yang menunjukan bahwa kondisi
sakit seseorang juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana sebelumnya belum
banyak yang menyadari (Fertman, 2010).
Kesehatan individu dan masyarakat dipengaruhi oleh faktor biologis, psikologi,
social, intelektual, spiritual, kultur, ekonomi dan kondisi politik dimana mereka tinggal
(WHO, 2008). Dalam Lalonde report disebutkan bahwa gaya hidup yang tidak sehat
lebih berkontribusi kepada penyakit dan kematian premature dibandingkan
ketidakmampuan dalam mengakses pelayanan kesehatan (Lalonde, 1974). Eksplorasi
mengenai pengaruh interaksi antara individu dan lingkungannya terhadap status
kesehatan telah menjadi kunci utama dalam perkembangan promosi kesehatan.
Konsep interaksi antara individu dan lingkungan menarik banyak perhatian dalam
mencegah penyakit kronis, penyakit menular, cidera dan kelainan perkembangan. Isu
yang menjadi target dalam promosi kesehatan meliputi perilaku merokok, konsumsi
alkohol, pola makan tidak sehat dan kurangnya aktivitas fisik dimana isu-isu ini
merupakan kunci dalam menurunkan beban penyakit tidak menular di dunia (GBD,
2015).
Promosi kesehatan terdiri dari 3 jenis yaitu (Fertman, 2010):
1. Pencegahan primer, dimana program ini dilakukan sebelum timbulnya masalah
kesehatan dengan mencegah atau memodifikasi penyebabnya sebelum
individu/kelompok berhubungan dengan penyebab tersebut. Sebagai contoh adalah
promosi kesehatan mengenai bahaya rokok dan narkotika pada remaja.
2. Pencegahan sekunder, dimana program ini dilakukan untuk mencegah timbulnya
masalah kesehatan pada orang-orang yang beresiko atau sudah melakukan gaya
hidup yang tidak sehat. Sebagai contoh adalah promosi kesehatan bahaya
merokok pada perokok atau promosi kesehatan peningkatan aktivitas fisik pada
orang dengan kelebihan berat badan.
3. Pencegahan tersier, dimana program ini dilakukan untuk memperbaiki kualitas
hidup seseorang dengan penyakit kronis.
Promosi kesehatan merupakan kombinasi dari 2 tindakan yaitu pendidikan
kesehatan dan intervensi lingkungan untuk mendukung kondisi hidup yang sehat
(Green & Kreuter, 1999).
Tujuan dari promosi kesehatan adalah memodifikasi faktor personal, sosial dan
lingkungan untuk meningkatkan kontrol individu/populasi atas determinan kesehatannya
(Nutbeam, 1998). Program promosi kesehatan dapat memperbaiki kondisi fisik,
psikologi, pendidikan dan pekerjaan seseorang serta membantu mengontrol atau
menurunkan biaya pengobatan dengan menekankan pada pencegahan masalah
kesehatan, promosi gaya hidup sehat, peningkatan kolaborasi dengan pasien dan
memfasilitasi akses ke pelayanan kesehatan. Dalam semua setting, promosi kesehatan
merupakan kebutuhan yang sangat penting, termasuk bagi pasien di rumah sakit
(Oppedal, 2011). Aktivitas promosi kesehatan perlu diorientasikan untuk peningkatan
kompetensi dan kapasitas individu (Fugleholm, 2005). Pengetahuan mengenai faktor
yang mendukung pelaksanaan promosi kesehatan yang berkelanjutan sangat penting
dalam pengembangan kapasitas untuk mendukung promosi kesehatan di masa depan
(Smith et al. 2006).
Setting dalam promosi kesehatan
E. Desain Penelitian
1. Rancangan Penelitian
2. Pemilihan Partisipan
a. Bagaimana partisipan dipilih
Partisipan dipilih dengan menggunakan purposive sampling dimana partisipan
yang dipilih adalah orang memiliki informasi dan pengalaman yang sesuai
dengan tujuan penelitian dan dapat menjawab pertanyaan penelitian yang
diajukan (Cresswell & Plano Clark, 2011). Purposive sampling ini
menggunakan tehnik stratified purposeful dimana pemilihan partisipan
dilakukan dengan membagi keseluruhan populasi menjadi kelompok-kelompok
yang lebih spesifik kemudian menarik sample sesuai dengan kriteria yang telah
ditentukan dari setiap kelompok tersebut (Patton, 2001). Dalam perencanaan
peneliti membagi populasi di rumah sakit menjadi tiga yaitu unit rawat jalan,
unit rawat inap dan farmasi. Selanjutnya dari setiap kelompok tersebut dipilih
sample yang memenuhi kriteria.
b. Bagaimana metode peneliti untuk menemukan/ mendapatkan partisipan
Peneliti menanyakan kepada kolega apakah ada karyawan rumah sakit yang
tertarik dan bersedia untuk menjadi partisipan. Proses ini disertai dengan
menjelaskan secara singkat mengenai topik dan tujuan penelitian, kriteria
partisipan, pertemuan yang diperlukan untuk wawancara serta informasi kontak
peneliti.
c. Perkiraan jumlah partisipan
Perkiraan jumlah partisipan yang dibutuhkan yaitu 10 orang terdiri dari dari 2
dokter dan 2 perawat dari unit rawat jalan, 2 dokter dan 2 perawat dari unit
rawat inap dan 2 apoteker dari unit farmasi.
d. Karakteristik partisipan
Kriteria yang diperlukan dalam penelitian ini adalah petugas kesehatan (dokter
dan perawat) yang sudah bekerja di rumah sakit minimal 2 tahun.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di lakukan di RS Sardjito
4. Metode Pengumpulan Data
a. Jenis pengumpulan data dan sasaran
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam (in-depth
interview) dimana wawancara dilakukan secara tatap muka untuk menggali
informasi yang detail dan mengeksplorasi pemahaman mendalam mengenai
pengetahuan dan pengalaman partisipan. Wawancara mendalam merupakan
tehnik yang efektif dalam pengumpulan data mengenai pemahaman dan
pengalaman hidup partisipan (Van Den Berg, 2005). Selama proses
wawancara, peneliti memeperhatikan partisipan dan mengobservasi ekspresi
wajah dan gerak tubuhnya. Wawancara juga dilakukan dalam kondisi yang
santai sehingga partisipan merasa nyaman dalam menceritakan pengalaman
mereka.
b. Instrument pengumpulan data
Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara
tidak terstruktur (semi-structured interview). Walaupun peneliti sudah
mempersiapkan pertanyaan terbuka tetapi penggunaan kalimat dan urutan
pertanyaan tetap fleksibel untuk membuat wawancara lebih interaktif dan
partisipan merasa nyaman (Merriam, 1998). Sebelum memulai wawancara,
peneliti menjelaskan kembali tujuan dari penelitian, prosedur penelitian, hak
partisipan jika ingin menolak berpartisipasi dalam penelitian serta kerahasiaan
identitas partisipan. Peneliti juga memberikan informasi mengenai identitas
peneliti untuk membangun hubungan baik dan rasa percaya (Patton, 1980).
c. Pihak yang mengumpulkan data
Pihak yang mengumpulkan data adalah peneliti sendiri.
d. Pengulangan wawancara
Peneliti tidak melakukan pengulangan wawancara.
e. Perekaman audio/visual
Atas persetujuan partisipan, proses wawancara direkam dengan menggunakan
aplikasi perekam (recorder) yang ada di telepon genggam untuk memastikan
akurasi dalam proses transkrip (Merriam, 1998).
f. Catatan lapangan
g. Durasi
Proses wawancara dilakukan selama…….menit
h. Saturasi
5. Metode Analisis Data
a. Cara pengembangan tema/analisis konten
Dalam melakukan analisis data, peneliti menggunakan model phenomenology
data analisis yang menekankan pada pola konsep yang menjelaskan suatu
proses (Colazzi, 1978). Langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti adalah:
Peneliti membaca dan membaca ulang hasil keseluruhan transkrip
wawancara untuk mengidentifikasi data dan mendapatkan ini dari latar
belakang dan pengalaman partisipan.
b. Software yang digunakan
Software yang digunakan oleh peneliti adalah MAXQDA 2020
6. Keabsahan Data
Menurut Sugiyono (2006), keabsahan data merupakan standara validitas dari data
yang diperolah. Validitas merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi
pada obyek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Menurut
Holloway & Daymon (2008), penelitian yang baik memiliki karakteristik keaslian
(authenticity) dan dapat dipercaya (trustworthiness) yang merupakan konsep
untama bagi keseluruhan proses penelitian. Trustworthiness dapat dibuktikan
dengan melakukan member check. Peneliti memberikan hasil wawancara kepada
partisipan untuk mengetahui apakah hasil yang ditulis sesuai dengan apa yang
dijelaskan oleh partisipan. Dalam Holloway & Daymon (2008) dijelaskan bahwa
tujuan spesifik dari member check adalah mengetahu apakah penulis menyajikan
realitas partisipan dengan cara yang tepat bagi mereka, memberi kesempatan bagi
partisipan untuk memperbaiki kesalahan yang mungkin mereka lakukan pada saat
proses wawancara dan menilai pemahaman dan penafsiran penulis terhadap data
yang ada.
F. Subjektivitas Peneliti
a. Karakteristik personal peneliti
Peneliti merupakan mahasiswa S2 di Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat
dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada dengan peminatan Perilaku dan
Promosi Kesehatan (PPK).
b. Hubungan dengan partisipan
Sebelumnya peneliti dan partisipan tidak saling mengenal. Hubungan baru terbina
pada saat partisipan bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
G. Hasil dan Pembahasan
A. Hasil
Satu orang partisipan berpartisipasi dalam penelitian ini dengan karakteristik
jenis kelamin perempuan, usia 27 tahun dan memiliki pengalaman bekerja sebagai
perawat di rumah sakit selama 4 tahun. Dari data yang didapatkan melalui
wawancara muncul satu tema yaitu praktik keperawatan berbasis promosi
kesehatan. Tema ini terdiri dari 6 kategori yaitu pemahaman promosi kesehatan,
nilai dari promosi kesehatan, strategi promosi kesehatan dan topiknya, partisipasi
pasien, hambatan dalam melakukan promosi kesehatan dan fasilitas dalam promosi
kesehatan.
“iya klo dari unit PKRS ini mereka dalam setahun itu mereka terjadwal nih misalnya edukasi
ke masyarakat misalnya di poli nih yang sambil nunggu dipoli pasti ada edukasi masyarakat
udah ada jadwalnya satu tahun misalnya terkait hari TB hari paru misalnya hari HIV AIDS
dimanfaatkan adanya edukasi-edukasi kaya gitu.”
Partisipan juga menyebutkan bahwa promosi kesehatan tidak hanya dalam bentuk
penyuluhan tetapi bisa juga dilakukan secara individu.
“kalo promosi kesehatan kan sebenernya tidak hanya misalnya penyuluhan kan tapi
kan individual juga bisa. dari awal pasien masuk kita udah misalnya promosi
kesehatan cara cuci tangan, bagaimana mencegah resiko jatuh, kaya gitu.”
“ya dijelasin gak boleh makan ini makan ini nanti gula darahnya naik. trus gimana
pake insulin yang benar, minum obatnya gimana gitu.”
“kalo pasien post-stroke kan emm biasanya kesulitan bicara karna bagian otaknya
terganggu trus badannya gak bisa gerak juga, tangan, kaki juga. jadi dibantu supaya
bisa ngomong lagi. kalo fisioterapi untuk badan supaya gak kaku apa itu ototnya gitu”
“nah kalo memang dia butuhnya spesifik misalnya harus di rumah butuh alat-alat nah
baru kita ee lebih dalam edukasinya lagi misalnya cara perawatan makan apa cara
pemberian makan melalui ee nasogastric tube, bagaimana cara pasien di rumah itu
harus miring kanan miring kiri gitu lalu bagaimana cara memandikan pasien itukan
misalnya ia dirumah harus bedrest total kan jadi kita ngajarin keluarga dari segi itu.
jadi dilihat kondisi pasiennya juga”
“biasanya sih kaya segan gitu kan misalnya oo pasiennya itu...segannya itu karena
ngeliat pasiennya itu mungkin lebih superior dari kita gitu terus mungkin malas gitu
kan atau misalnya pasiennya susah diajak kerjasama lah. kadang keluarganya
menolak kita tapi pelan-pelan sih klo hari ini dia gak bisa misalnya dia nolak nih hari
ini saya gak bisa karna bukan saya yang ngerawat di rumah yaudah nanti kita
ngomongnya sama keluarga yang ngerawat di rumah yang open sama kita untuk kita
kerjakan. klo misalnya yang jaga itu masih muda atau memang bukan keluarga deket
atau cuma kaya sekedar penjaga gitu kan dia gak mau diedukasi kaya gitu. karna
ngerasa itu bukan tanggung jawab dia. jadi nanti kita tentukan siapa keluarga yang
ini kita tentukan hari apa ntar dia di edukasi bener-bener misalnya perawatan
dirumah”
“iya misalnya pasiennya datangnya mepet pasiennya nanti dioper kan sama yang
berikutnya. misalnya pasiennya mepet waktunya nih dari dines malam ke dines pagi.
biasanya kaya gitu nanti aku coba lihat mana yang belum diedukasi nanti yang kalo gak aku
ya perawat yang megang pasiennya yang edukasi.”
Partisipan menjelaskan bahwa promosi kesehatan yang dia lakukan disesuaikan
dengan kondisi pasien dan kapan pasien/ keluarga bersedia untuk dilakukan promosi
kesehatan.
“oh itu dari kan kita ada namanya form discharge planning. form discharge
planningnya itu diawal udah tau nih pasiennya sakit apa terus ada discharge
planningnya nanti form discharge planningnya dicontreng misalnya selama dia
dirawat ini kebutuhan nanti yang mau diedukasi apa aja. misalnya sesuai dengan
kondisi pasiennya ya misalnya pasien stroke oh dia berarti butuh edukasi fisioterapi,
butuh misalnya ada diabetes berarti harus diedukasi diabetesnya terkontrol. trus
nanti diajarkan bagaimana nanti setelah pulang di rumah itu dia ee masih harus
misalnya komunikasi mengenai post stroke kaya gitu. dari awal ini sudah ditentukan”
“misalnya nih awal kita ngajarin dulu ya gimana di rumah sakit misalnya promosi
tentang cuci tangan, resiko jatuh nah sembari berjalan itu ee misalnya kalo pasien
stroke kan itu kami kalo pasiennya itu strokenya tidak ada apa ya tidak ada
perburukan yang gimana jadi kita udah setting 5 hari lah dia dirawat di rumah sakit.
selama 5 hari itu misalnya dia butuh apa ya kita udah plot-plot in nih ini ee ini sih
biasanya aku ingetin ya bagian ingetin ya untuk gizi edukasi apa trus fisioterapi
edukasi apa kaya gitu. nah kalo memang dia butuhnya spesifik misalnya harus di
rumah butuh alat-alat nah baru kita ee lebih dalam edukasinya lagi misalnya cara
perawatan makan apa cara pemberian makan melalui ee nasogastric tube,
bagaimana cara pasien di rumah itu harus miring kanan miring kiri gitu lalu
bagaimana cara memandikan pasien itukan misalnya ia dirumah harus bedrest total
kan jadi kita ngajarin keluarga dari segi itu. jadi dilihat kondisi pasiennya juga”
“sebenarnya di ruangan kami ada PJ edukasinya jadi nanti dia yang nilai kaya gitu,
oo ini masih kurang apa yang kurang misalnya edukasi nyeri, pasien sebelum
operasi gitu ini jarang dilakukan nah setelah ternyata ada yang ngeh juga kan jadi
udah mulai ngeh jadi itu diisi kaya gitu.”
“klo obat-obatnya nanti ada farmasi. kalo penyakit-penyakitnya nanti dokternya yang
edukasi gitu terus nanti dari fisioterapi bagaimana rehabilitasinya. kalo kami misalnya
ya cara pemberian makan melalui selang ee perawatan luka dirumah, gimana
merawat dekubitus, bagaimana klo dirumah pasien pakai NGT itu muntah.”
“Disini kadang pasiennya sakitnya gak cuma satu, misalnya stroke juga diabetes
juga, trus ada rawat luka. jadi perlu dijelasin semua-muanya supaya minum obatnya
benar, jenis makan benar, terapinya gimana. supaya gak lama juga di rumah
sakitnya.”
Dengan kolaborasi
“gak bisa mba, karna kan kita gak paham semuanya gitu, misalnya nih tentang obat
atau penyakit ya kita tahu sih tapi kan dokter lebih paham klo nanti apa pasien ada
yang tanya. kita terangin juga sih. Sama sih fisioterapi juga gizi juga farmasi
semuanya beda-beda.”
“Tanggung jawab sih mba tanggung jawab sama pasiennya ini masuk itu jangan
sampai..dan cuci tangan jangan sampai jatuh maka dikasih resiko jatuh jangan sampe dia
harus operasi itu merasa gak pernah diajarkan cara nyeri, cara mengatasi mengurangi nyeri.
terus ya tanggung jawab sih sebenarnya karena rasa tanggung jawab jadi pasiennya itu ya
harus diajarin sampai bener-bener dia bagus pulang juga dia memang sudah tau gitu harus
ngapain di rumah jadi enggak asal lepas aja pasiennya pulang kaya gitu.”
“kita tuh jadi tau cari cuci tangan yang benar, hahahaha, pasti lega didalam hati ooh
pasiennya udah di edukasi ya udah harusnya kita udah bisa lah melepas dia untuk pulang
kaya gitu istilahnya kita gak punya pr, gak punya utang sama pasien gitu. karna pernah
kepikiran tuh besok pasien pengen pulang mau pasang ini dirumah gak bisa.”
“iyalah kepikiran kalo pasiennya gak bisa ganti pampers gimana, ga bisa mandiin gimana,
gak bisa kasih makan gimana hehehe. yaud justru jadi ada utang donk sama orang lain
donk kalo kita gak ngajarin iya gitu..kita juga jadi tahu ooh ini resiko jatuh ini kaya gitu
bahayanya apa dari kita sendiri sebenarnya diedukasi dulu baru kita bisa edukasi orang lain”
apalagi klo apa yang kita ajarkan bener-bener dilakukan keluarga kan jadi lebih seneng lagi
gitu. dan meringankan kerjaan kita juga. misalnya aku pertama ngajarin yang kedua
supervisi nanti terus mereka bisa mandiri. misalnya nih cara mandiin kan pertama mandiinya
dulu bareng-bareng kita, kedua keluarga nanti kita liatin habis itu nanti bisa dilepas. jadikan
meringankan juga kan pekerjaan kita cara makan juga gitu jadi tetep ada namanya supervisi
sih (transkrip Kualitatif full, Pos. 100)
Faktor pendorong
“biasanya cuma WA di group kan tolong donk kalo misalnya eee ini maksudnya ternyata
pasien belum ngerti kaya gitu tapi dichecklistnya sudah mengerti nanti kalo rapat ruangan
dikasih tau juga. kasih feedback lah”
“nah itu ada pasti ada karna tiap pagi kan kita ada nya tiap keliling aku ada supervisi. waktu
itulah aku ditanyain udah tau belum cara kenapa ini dipasang tanda kuning kenapa
dipasang segitiga jatuh gitu nah kan nanti kelihatan tuh di checklistan nya dibuat udah ngerti
tapi pas ditanya ternyata ada yang belum mengerti kaya gitu. jadi ga sinkron cuma minta
asal tanda-tangan doank. tapi ada juga yang memang akhirnya yauda ngerti kok sampe
ngelotok itu isinya apa.”
“di apa namanya eee uraian jabatan. setiap orang dia punya, namanya siapa, golongan
berapa, dia punya uraian jabatan apa aja. salah satunya melakukan pendidikan kesehatan
kepada pasien terus juga memang masuk ini memang penilaian gitu nanti dari uraian
jabatan itu dilihat. karena kan nanti juga dipenilaian skp dalam memberikan pendidikan
kesehatan, jadi kita tuh sasaran kinerja pegawai. jadi satu tahun sasaran kinerja pegawai itu
memberikan pendidikan kesehatan. itu juga ada penilaiannya. jadi ada di uraian jabatan, tapi
di penilaian skp juga ada.”
“iya materinya paling materi ni udah ada, tapi maksudnya harus struktur SAP nya kan.
Misalnya SAP pengertian berapa menit dijelaskan, satuan pembelajaran harus pakai itu.
sebenernya sudah disusun Cuma belum di publish semuanya”
H. Kesimpulan
I. Daftar Pustaka
J. Lampiran
Sistem kesehatan saat ini menghadapi banyak tantangan seperti kebutuhan untuk
menurunkan pembiayaan pengobatan di rumah sakit dan pencegahan penyakit serta
managemen penyakit tidak menular (Afshari, 2018). Dalam merespon terhadap kebutuhan
ini WHO mengindikasikan bahwa pelayanan kesehatan tidak hanya fokus dalam
pengobatan penyakit tetapi juga dalam pencegahan penyakit dan promosi kesehatan (WHO,
1986).
Ada banyak kritik yang menyampaikan bahwa saat ini petugas kesehatan menghabiskan
waktunya lebih banyak dalam penanganan kilinis saja dan mengesampingkan promosi
kesehatan bahkan pendidikan kesehatan yang paling dasar sekalipun (Whitehead, 2005)
Dalam Gui et al, dijelaskan bahwa tantangan petugas kesehatan dalam melakukan promosi
kesehatan diantaranya keterbatasan dana, sumber daya manusia, waktu dan kompetensi
(Lee et al, 2015). Dalam Lee at al. menyebutkan tidak adanya sistem asuransi yang
mendukung, penolakan karyawan untuk berubah, kebijakan pemerintah yang kurang
mendukung dan kerjasama lintas sektor yang kurang menjadi penghalang terlaksananya
promosi kesehatan. Dalam studi yang lain, penolakan petugas kesehatan untuk
mengintegrasikan promosi kesehatan dalam pekerjaannya sehari-hari menjadi penghalang
yang utama.
Berdasarkan tantangan-tantangan yang telah diidentifikasi, penelitian-penelitian
mengajukakn beberapa strategi untuk memfasilitasi pelaksanaan promosi kesehatan di
rumah sakti seperti pengembangan kapasitas disertai dengan pengadaan sumber daya dan
pengetahuan (Wieczoreck, 2015; Lee, 2015; Lee, 2014)
Tantangan dalam melakukan promosi kesehatan (Afshari et al., 2018) yaitu kurangnya
motivasi pasien untuk meningkatkan pengetahuannya mengenai kesehatan. Selama tidak
ada permintaan dari pasien, petugas kesehatan tidak memprioritaskan pelayanan promosi
kesehatan dan merasa tidak bertanggung jawab melakukan promosi kesehatan. Sikap yang
negatif dari petugas kesehatan khususnya dokter dan manager menjadi penghalang besar
lainnya dalam promosi kesehatan. Perawat menyebutkan bahwa kurangnya motivasi dan
tidak adanya umpan balik yang positif dari managemen dan pasien menjadi faktor utama.
Tidak adanya penghargaan secara financial dan non-financial, penilaian kerja yang tinggi
dan respon yang negatif dari pasien dan keluarga, membuat mereka enggan melakukan
promosi kesehatan.
Prevalensi faktor resiko untuk penyakti tidak menular mengalami peningkatan cukup tinggi
terutama pada negara dengan pendapatan rendah dan menengah. 1,2,3
Pada tahun 2012, penyakit tidak menular menular berkontribusi terhadap 60% angka
kematian di dunia dan 80% dari angka tersebut terjadi di negara berpendapatan rendah dan
menengah. Angka kematian ini semakin mengkhawatirkan dengan 52% merupakan
kematian premature yang terjadi pada populasi dengan rentang usia 30-70 tahun 2
Pada tahun 2012 terjadi 48% angka kematian premature di Kawasan Asia Tenggara.
Penyakit tidak menular seperti penyakit jantung, diabetes, kanker dan stroke disebabkan
oleh faktor resiko yang dapat dimodifikasi diantaranya rokok, alcohol, pola makan tidak
sehat dan kurangnya aktifitas fisik, sehingga ada komitmen global untuk mengatasi faktor
resiko tersebut dengan pendekatan promosi kesehatan 4,5
Ada bukit yang mendukung bahwa promosi kesehatan untuk perubahan gaya hidup lebih
efektif jika dilakukan pada suatu setting khusus dibandingkan pada masyarakat luas saja. 6
Oleh karena itu promosi kesehatan dengan pendekatan setting dan mencakup metode yang
komprehenif dan multidisplin sangat penting dalam mengatasi faktor resiko 4 7
Keuntungan utama promosi kesehatan dalam suatu setting adalah adanya kontak yang
berkelanjutkan dengan partisipan. Ini mengindikasikan bahwa dukungan dari staf, sarana
dan lingkungan fisik yang memadai serta kebijakan promosi kesehatan dapat
mempengaruhi kesehatan individu pada setting ini. 8
Untuk melakukan promosi kesehatan secara efektif perawat perlu diperlengkapi denga
pengetahuan dan keterampilan dalam hal perubahan perilaku dan gaya hidup, pengkajian,
komunikasi dan advokasi (Kemppainen, 2012).