Anda di halaman 1dari 5

Patogenesis HIV

HIV yang berhasil masuk dan mencapai permukaan mukosa akan menempel pada
limfosit T CD4+ atau makrofag (atau sel dendrit pada kulit)(1). Virus masuk dengan cara
mengubah RNA virus menjadi DNA oleh enzim Reverse transcryptase yang kemudian DNA
provirus akan diintegrasikan ke dalam sel pejamu. Sel dendrit (Dendritic cell) bertindak
sebagai APC (Antigen Presenting Cell) yang akan menangkap virus dan
mempresentasikannya ke sel limfosit T CD4+ sehingga dapat merangsang limfosit T di
kelenjar limfoid. (1,2)
Limfosit T CD4+ dibutuhkan sebagai pengatur utama respon imun dalam tubuh.
Ketika HIV menginfeksi sel limfosit T CD4+, terjadi penurunan drastis dari jumlah sel
limfosit T-CD4+. Virus yang masuk ke dalam sel limfosit T CD4+ akan bereplikasi sehingga
jumlahnya meningkat dan dapat menghacurkan sel itu sendiri. HIV juga dapat menginfeksi
sel lain misalnya, sel dendritik, astrosit, limfosit T CD8+ (sel T sitotoksik) dan sel retina. (2)
Setelah itu, HIV akan menuju kelenjar limfe regional dan merangsang respons imun
seluler maupun humoral sehingga semakin banyak sel limfosit yang terinfeksi. Hal ini
menyebabkan tingginya replikasi HIV yang tidak dapat dikontrol oleh sistem imun.
Kemudian pada infeksi akut terjadi peningkatan titer virus disertai penurunan jumlah sel
CD4+ dan rasio sel limfosit T CD4+/T CD8+.(2)
Rentan waktu 2-4 minggu akan terjadi peningkatan jumlah sel limfosit total yang
disebabkan karena tingginya subset limfosit T-CD8+ sebagai bagian dari respon imun seluler
terhadap HIV. Hal ini terjadi karena limfosit T dan B terus berusaha melakukan pertahanan
terhadap HIV sehingga jumlah virus menurun. Virus banyak dihasilkan dari sel limfosit T
CD4+ yang terinfeksi dan berproliferasi. Sel-sel yang terinfeksi yang memproduksi virus
tersebut kemudian dihancurkan baik oleh sistem imun maupun oleh HIV sendiri. Sel limfosit
T CD8+ akan mengeluarkan sejumlah sitokin yang dapat menghambat replikasi HIV dalam
sel limfosit T CD4+ sehingga jumlah virus akan menurun dan jumlah sel limfosit T CD4+
meningkat lagi. Akan tetapi, sistem imun tidak mampu mengeliminasi HIV secara permanen.
(1,2)
Fase laten berjalan dalam hitungan sekitar 8-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Selama
masa ini semua pasien mengalami penurunan sistem imun yang dapat dideteksi dengan
penurunan limfosit T CD4+. Pembentukan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya
virus dalam sel dendritik folikuler di pusat germinativum kelenjar limfe menyebabkan virion
dapat dikendalikan. Jumlah limfosit T CD4+ menurun hingga sekitar 500-200 sel/mm 3.
Tahun ke 8 setelah terinfeksi HIV muncul gejala klinis seperti demam, banyak keringat pada
malam hari, kehilangan berat badan lebih dari 10%, diare, lesi pada mukosa dan kulit yang
berulang. Penurunan sistem imunologis secara progresif dapat menimbulkan penyakit yang
disebut AIDS, berupa gejala infeksi oportunistik, neoplasma dan penyakit berat lainnya. (2)
Secara alamiah Candida ditemukan di permukaan tubuh manusia (mukokutan), bila
terjadi suatu perubahan pada inang, jamur penyebab atau keduanya maka terjadi infeksi.
Demikian juga halnya pada penderita HIV. Lapisan mukosa hifa Candida albicans memiliki
kemampuan untuk menempel erat pada epitel manusia dengan perantara protein dinding hifa
(Hyphal wall protein/Hwp1), hal ini dimungkinkan karena protein ini memiliki susunan asam
amino mirip dengan substrat transaminase keratinosit mamalia sehingga diikat dan menempel
pada sel epithelial. Jamur ini juga terdapat mannoprotein yang mirip integrin vertebrata
sehingga jamur mampu menempel ke matriks ekstraseluler seperti fibronektin, kolagen, dan
laminin. Hifa mengeluarkan proteinase dan fosfolipase yang mencerna sel epitel inang
sehingga invasi lebih mudah terjadi. (2,3)

Terapi
Terapi penyakit HIV dibagi menjadi pencegahan dan pengobatan, termasuk anti-
retroviral untuk mencegah infeksi lebih lanjut dan memperlambat replikasi HIV, sitokin
untuk mengimbangi penipisan sel yang sering dikaitkan dengan terapi antiretroviral,
modulator imun untuk meningkatkan respon imun dan anti-invektif untuk infeksi
oportunistik(4). Sebagian besar pasien diobati dengan kombinasi obat yang berbeda
dibandingkan terapi obat tunggal dengan tujuan dapat memperpanjang durasi efektivitas di
luar dari obat tunggal sehingga memiliki potensi sinergis, mengurangi resistensi virus, dan
mengurangi efek samping dari satu agen dengan mengurangi dosis(4).

1. Anti-Retroviral
Anti-retroviral yang paling umum dan satu-satunya yang disetujui FDA menghambat
replikasi HIV dengan bantuan analog nukleosida. Senyawa ini bertindak sebagai inhibitor
kompetitif dari reverse transcriptase dan menghentikan sintesis DNA proviral. Analog
nukleosida anti-retroviral yang disetujui untuk digunakan di Amerika Serikat adalah
zidovudine, dideoxyinosine (ddI), dideoxycytidine (ddC) dan stavudine atau d4T.(4)
a. Analog Nukleosida
Zidoduvine (AZT) dosis yang direkomendasi AZT 500 hingga 600 mg secara oral
perharinya untuk pasien dengan jumlah sel CD4+ kurang dari 500 sel/mm 3. Dideoxyinosine
(ddI) 200 mg diberikan sebagai tablet kunyah atau sebagai bubuk yang dilarutkan dalam air
dua kali sehari. Obat ini digunakan pada pasien dengan jumlah CD4+ di bawah 500 sel/mm 3
atau yang tidak toleran terhadap AZT. Dideoxycytidine (ddC) merupakan obat yang paling
poten dengan dosis 0,75 mg/waktu digunakan dalam kombinasi dengan AZT pada pasien
dengan jumlah HIV dan CD4+ di bawah 300 sel/mm 3. Stavudine (d4T) 40mg/bid
diindikasikan pada pasien yang tidak mentolerir atau yang tidak menunjukkan manfaat pada
analog nukleosida lainnya.(4)
b. Analog Nukleosida
Menghambat reverse transcriptase tetapi tidak menghentikan sintesis DNA. Obat
golongan ini yaitu deoxyflurothymidine (FLT), carbocyclic didehydrodideoxyguanosine
(carbovir), 3-thiacytidine (3TC, Lamivadine), foscarnet (foscavir), neviraprine dan
tetrahydroimidazobenzodiazepine (TIBO).(4)

2. Inhibitor Protease
Obat ini mencegah pemecahan protein virus untuk replikasi virus. Golongan obat ini
adalah amprenavir (APV), indinavir (IDV), nelfinavir (NFV), ritonavir (RTV) dan
saquinavir.(4)

3. Lesi Jamur
Perawatan kandidiasis oral termasuk obat antijamur topikal dan sistemik.
Pengobatan topikal menggunakan nistatin oral suspensi 100.000 unit/ml; 10ml
dikumur lalu ditelan empat hingga lima kali per hari. Salep dan krim seperti clotrimazole 1%,
krim ketoconazole 2% atau krim nistatin. Antijamur sistemik termasuk ketoconazole 200 mg
tab dua kali sehari; fluconazole 100mg tab; 200mg pada hari 1 diikuti oleh 100mg setiap hari
selama 14 hari dan itraconazole 100mg tab; 200mg setiap hari. Untuk infeksi jamur yang
parah, amphotericin B intravena digunakan dalam dosis 50 mg, 3 kali sehari. (4,5)

4. Lesi Virus
Pengobatan infeksi HSV-1 digunakan asiklovir 200 mg per oral lima kali/hari.
Famciclovir juga dapat digunakan. Untuk infeksi sitomegalovirus, terapi asiklovir dosis
tinggi 800 mg per oral lima kali sehari selama minimal 2 minggu. Untuk lesi virus Epstein
Barr, acyclovir 800 mg per oral lima kali sehari dan podophyllin 25% efektif untuk mencapai
resolusi lesi dalam 2 minggu. (4,6)

5. Lesi Bakteri
Pengobatan untuk Necrotizing Ulcerative Gingivitis (NUG) dan Necrotizing
Ulcerative Periodontitis (NUP) terdiri dari debridemen jaringan lunak dan keras nekrotik,
terapi antibiotik dengan metronidazole atau tetrasiklin 500 mg empat kali sehari selama
seminggu dan tindak lanjut dengan scaling dan debridemen. Obat antijamur juga diresepkan
dengan antibiotik. Chlorohexidine gluconate (0,12%) obat kumur direkomendasikan sebagai
terapi pemeliharaan. (4)
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhaimi D, Savira M, Krisnadi SR. Pencegahan Dan Penatalaksanaan Infeksi Hiv/Aids


Pada Kehamilan. Maj Kedokt Bandung. 2009;41(2):1–7.
2. Amanah A. Efektivitas ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana) terhadap jumlah
limfosit T CD4+ dan kadar IL-2 pada penderita HIV dengan terapi antiretroviral.
2015;9–28.
3. Scully C, Ei-Kabir M, Samaranayake LP. Candida and oral candidosis: A review. Crit
Rev Oral Biol Med. 1994;5(2):125–57.
4. Garg K, Sachdev R. Management of Oral Manifestations in HIV / AIDS : A Review
Review Article. 2018;(January).
5. Siregar ML. Kandidiasis Orofaring Pada HIV/AIDS. Cakradonya Dent J.
2015;7(2):807–68.
6. Brasileiro CB. Critical review of topical management of oral hairy leukoplakia. World
J Clin Cases. 2014;2(7):253.

Anda mungkin juga menyukai