Anda di halaman 1dari 39

MANAJEMEN SEPSIS

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah


Keperawatan Kritis

Dosen Pengampu: Ari Setiyajati, S.Kep., Ns, M.Kes.

Disusun Oleh:

Kelompok 8
1. Agung Octanihando Rokawie
2. Dyan Nuli Angrenggani
3. Luvia Audina
4. Wa Ode Amfiar

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
JURUSAN KEPERAWATAN
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“Manajemen Sepsis”.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Ari Setiyajati, S.Kep., Ns, M.Kes., selaku dosen pengampu mata
kuliah keperawatan kritis.
2. Seluruh rekan-rekan Program Studi Profesi Ners kelas B Politeknik
Kesehatan Kemenkes Surakarta.
3. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan dalam rangka penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan
penyusunan di masa yang akan datang.

Surakarta, 12 September 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan....................................................................... 2
1. Tujuan Umum.................................................................... 2
2. Tujuan Khusus................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 3
A. Pengertian.................................................................................. 3
B. Etiologi...................................................................................... 3
C. Manifestasi Klinis..................................................................... 4
D. Patofisiologi.............................................................................. 5
E. Pathway..................................................................................... 9
F. Tahap Perkembangan................................................................ 9
G. Faktor Risiko............................................................................. 10
H. Pemeriksaan Penunjang............................................................ 12
I. Komplikasi................................................................................ 17
J. Penatalaksanaan Sepsis............................................................. 19
BAB III TELAAH JURNAL........................................................................ 28
BAB IV PENUTUP....................................................................................... 33
A. Kesimpulan............................................................................... 33
B. Saran.......................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sepsis adalah penyebab tersering perawatan pasien di unit perawatan
intensif. Jutaan orang meninggal karena sepsis setiap tahunnya di seluruh
dunia (Czura, 2011). Sepsis merupakan kondisi infeksi yang diikuti dengan
manifestasi infeksi sistemik yang dapat mengancam kehidupan karena
mengakibatkan gangguan homeostasis pada host sehingga dapat
menyebabkan gangguan pada berbagai organ tubuh (Guntur H., 2009;
Smeltzer, et al., 2010; Dellinger, et al., 2012; Rhodes, et al., 2017). Selama
tahun 2003–2015, sekitar 31,5 juta pasien sepsis dan 19,4 juta pasien sepsis
berat dirawat di rumah sakit setiap tahunnya. Angka kejadian sepsis pada
pasien hospitalisasi sebesar 437 kasus per 100.000 populasi. Hasil estimasi
secara global menunjukkan bahwa setiap tahunnya, sebanyak 5,3 juta kasus
kematian di ruang Intensive Care Unit (ICU) terjadi karena keadaan sepsis
(Fleischmann, et al., 2016).
Sepsis merupakan penyebab utama kematian akibat infeksi meskipun
perkembangan pengobatan modern termasuk vaksin, antibiotik, dan
perawatan akut telah meningkat (Czura, 2011). Angka kematian sepsis
berkisar antara 25-80 % diseluruh dunia tergantung beberapa faktor seperti
umur, jenis kelamin, ras, penyakit penyerta, riwayat trauma paru akut,
sindrom gagal napas akut, gagal ginjal dan jenis infeksinya yaitu nosokomial,
polimikrobial atau jamur sebagai penyebabnya.
Manajemen pasien sepsis pada perawatan intensif membutuhkan
pemantauan yang teliti dan pengetahuan mengenai hubungan antar variabel
sehingga keadaan pasien dapat lebih mudah diprediksi. Oleh karena itu,
sangatlah penting untuk dapat memahami sepsis mulai dari definisi,
penyebab, penegakkan diagnosis hingga penatalaksanaannya.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian sepsis?
2. Apa saja penyebab sepsis?
3. Apa saja gejala klinis sepsis?
4. Bagaimana patofisiologi sepsis?
5. Bagaimana pathway sepsis?
6. Bagaimana tahap perkembangan sepsis?
7. Apa saja faktor risiko sepsis?
8. Apa saja pemeriksaan penunjang sepsis?
9. Apa saja komplikasi sepsis?
10. Bagaimana penatalaksanaan sepsis?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum.
Untuk memahami mengenai konsep dasar dan manajemen pada
pasien sepsis.
2. Tujuan Khusus.
a. Mahasiswa/i dapat mengetahui pengertian sepsis.
b. Mahasiswa/i dapat mengetahui penyebab sepsis.
c. Mahasiswa/i dapat mengetahui gejala klinis sepsis.
d. Mahasiswa/i dapat mengetahui patofisiologi sepsis.
e. Mahasiswa/i dapat mengetahui pathway sepsis.
f. Mahasiswa/i dapat mengetahui tahap perkembangan sepsis.
g. Mahasiswa/i dapat mengetahui faktor risiko sepsis.
h. Mahasiswa/i dapat mengetahui pemeriksaan penunjang sepsis.
i. Mahasiswa/i dapat mengetahui komplikasi sepsis.
j. Mahasiswa/i dapat mengetahui penatalaksanaan sepsis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Menurut Surviving Sepsis Campaign (SSC) (2012), sepsis diartikan
sebagai adanya infeksi yang disertai dengan manifestasi klinis dari infeksi
sistemik.
Sepsis adalah disfungsi organ mengancam jiwa akibat disregulasi respons
tubuh terhadap infeksi (PERDACI, 2014).
Sepsis adalah suatu keadaan yang dihasilkan dari sebuah respon bahaya
atau serangan infeksi.

B. Etiologi
Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat
disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur).
Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa
adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus
pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering
ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks
antara efek toksik langsung dari mikroorganisme penyebab infeksi dan
gangguan respons inflamasi normal dari host terhadap infeksi (Caterino JM,
2012). Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah
infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran
kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan
sepsis yaitu:
1. Infeksi paru-paru (pneumonia).
2. Flu (influenza).
3. Appendiksitis.
4. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis).
5. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius).

3
6. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter
telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit.
7. Infeksi pasca operasi.
8. Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.
Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat
terdeteksi (National Heart UK, 2014).

C. Manifestasi Klinis
Gejala klinik sepsis tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda–tanda
sepsis non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti
lelah, malaise, gelisah atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk
infeksi dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non-
infeksius (PERDACI, 2014).
Sumber infeksi merupakan determinan penting untuk terjadi berat atau
tidaknya gejala–gejala sepsis. Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih berat
pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama.
Yang sering diikuti gejala Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS)
sampai terjadinya syok sepsis. Tanda–tanda MODS dengan terjadinya
komplikasi:
1. Sindroma distres pernafasan pada dewasa.
2. Koagulasi intravaskular.
3. Gagal ginjal akut.
4. Perdarahan usus.
5. Gagal hati.
6. Disfungsi sistem saraf pusat.
7. Gagal jantung.
8. Kematian.
(PERDACI, 2014)
Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu
demam, takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipotensi
pada kondisi vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik atau “hangat”,

4
dengan muka kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta peningkatan
curah jantung) atau vasokonstriksi perifer (renjatan septik hipodinamik atau
“dingin” dengan anggota gerak yang biru atau putih dingin). Pada pasien
dengan manifestasi klinis ini dan gambaran pemeriksaan fisik yang konsisten
dengan infeksi, diagnosis mudah ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara
dini.
Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah
kurangnya beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini mungkin
lebih sering ditemukan dengan manifestasi hipotermia dibandingkan dengan
hipertermia, leukopenia dibandingkan leukositosis, dan pasien tidak dapat
ditentukan skala takikardia yang dialaminya (seperti pada pasien tua yang
mendapatkan beta blocker atau antagonis kalsium) atau pasien ini
kemungkinan menderita takikardia yang berkaitan dengan penyebab yang lain
(seperti pada bayi yang gelisah).
Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin berlanjut
menjadi gambaran sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama perjalanan
tinggal di unit gawat darurat, dengan permulaan hanya ditemukan perubahan
samar-samar pada pemeriksaan. Perubahan status mental seringkali
merupakan tanda klinis pertama disfungsi organ, karena perubahan status
mental dapat dinilai tanpa pemeriksaan laboratorium, tetapi mudah
terlewatkan pada pasien tua, sangat muda, dan pasien dengan kemungkinan
penyebab perubahan tingkat kesadaran, seperti intoksikasi. Penurunan
produksi urine (≤0,5ml/kgBB/jam) merupakan tanda klinis yang lain yang
mungkin terlihat sebelum hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan dan
seharusnya digunakan sebagai tambahan pertimbangan klinis.

D. Patofisiologi
Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman
yang masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan
menyebabkan kerusakan jaringan disebut penyakit infeksi. Pada penyakit
infeksi terjadi jejas sehingga timbul reaksi inflamasi. Meskipun dasar proses

5
inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas
jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas saja
atau dapat meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik. (Rijal I,
2011).
Manifestasi klinik inflamasi sistemik disebut SIRS, sedangkan sepsis
adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui. Meskipun sepsis
biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, namun tidak harus terdapat
bakteriemia. Ketika jaringan terluka atau terinfeksi, akan terjadi pelepasan
faktor-faktor proinflamasi dan anti inflamasi secara bersamaan.
Keseimbangan dari sinyal yang saling berbeda ini akan membantu perbaikan
dan penyembuhan jaringan. Ketika keseimbangan proses inflamasi ini hilang
akan terjadi kerusakan jaringan yang jauh, dan mediator ini akan
menyebabkan efek sistemik yang merugikan tubuh. Proses ini dapat berlanjut
sehingga menimbulkan multiple organ dysfunction syndrome (MODS) (Rizal
I, 2011).
Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis,
masih banyak faktor lain (non sitokin) yang sangat berperan dalam
menentukan perjalanan penyakit. Respon tubuh terhadap patogen melibatkan
berbagai komponen sistem imun dan sitokin, baik yang bersifat proinflamasi
maupun antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah Tumor necrosis
factor (TNF), Interleukin-1 (IL-1), dan Interferon-γ (IFN-γ) yang bekerja
membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi.
Termasuk sitokin anti inflamasi adalah IL- 1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-
4, dan IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi
terhadap respon yang berlebihan. Sedangkan IL-6 dapat bersifat sebagai
sitokin pro- dan anti-inflamasi sekaligus (Rijal I, 2011).
Penyebab sepsis paling banyak berasal dari stimulasi toksin, baik dari
endotoksin gram (-) maupun eksotoksin gram (+). Komponen endotoksin
utama yaitu lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin glikoprotein kompleks
dapat secara langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral,
bersama dengan antibodi dalam serum darah penderita membentuk

6
lipopolisakarida antibodi (LPSab). LPSab yang berada dalam darah penderita
dengan perantaraan reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag yang
kemudian mengekspresikan imunomudulator (Rijal I, 2011).
Pada sepsis akibat kuman gram (+), eksotoksin berperan sebagai super-
antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai
antigen processing cell dan kemudian ditampilkan sebagai antigen presenting
cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal
dari major histocompatibility complex (MHC), kemudian berikatan dengan
CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan T cell receptor (TCR)
(Rizal I, 2011).
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limposit T
akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai
imunomodulator yaitu: IFN-γ, IL-2,dan macrophage colony stimulating
factor (M-CSF). Limfosit Th2 akan mengeluarkan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-
10. IFN-γ merangsang makrofag mengeluarkan IL-1ß dan TNF-α. Pada sepsis
IL-2 dan TNF-α dapat merusak endotel pembuluh darah. IL-1ß juga berperan
dalam pembentukan prostaglandin E2 (PG-E)2 dan merangsang ekspresi
intercellular adhesionmolecule-1 (ICAM-1). ICAM-1 berperan pada proses
adhesi neutrofil dengan endotel (Rijal I , 2011).
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim
yang menyebabkan dinding endotel lisis. Neutrofil juga membawa superoksi
dan radikal bebas yang akan mempengaruhi oksigenasi mitokondria. Akibat
proses tersebut terjadi kerusakan endotel pembuluh darah. Kerusakan endotel
akan menyebabkan gangguan vaskuler sehingga terjadi kerusakan organ
multipel (Rizal I, 2011).

Kaskade Inflamasi (Inflammatory Cascade)


Bakteri merupakan patogen yang sering dikaitkan dengan perkembangan
sepsis. Patofisiologi sepsis dapat dimulai oleh komponen membran luar
organisme gram negatif (misalnya, lipopolisakarida, lipid A, endotoksin) atau

7
organisme gram positif (misalnya, asam lipoteichoic, peptidoglikan), serta
jamur, virus, dan komponen parasit.
Umumnya, respons imun terhadap infeksi mengoptimalkan kemampuan
sel-sel imun (neutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk meninggalkan
sirkulasi dan memasuki tempat infeksi. Signal oleh mediator ini terjadi
melalui sebuah reseptor trans-membran yang dikenal sebagai Toll-like
receptors. Dalam monosit, nuclear factor-kB (NF-kB) diaktifkan, yang
mengarah pada produksi sitokin pro-inflamasi, tumor necrosis factor α (TNF-
α), dan IL-1. TNF-α dan IL-1 memacu produksi toxic downstream mediators,
termasuk prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor, dan fosfolipase
A2. Mediator ini merusak lapisan endotel, yang menyebabkan peningkatan
kebocoran kapiler. Selain itu, sitokin ini menyebabkan produksi molekul
adhesi pada sel endotel dan neutrofil. Interaksi endotel neutrofilik
menyebabkan cedera endotel lebih lanjut melalui pelepasan komponen
neutrofil. Akhirnya, neutrofil teraktivasi melepaskan oksida nitrat (NO),
vasodilator kuat. Dengan demikian memungkinkan neutrofil dan cairan
mengalami ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang terinfeksi.yang
mengarah ke syok septik.
Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi trombosit, dan
mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular. Peningkatan NO
tampaknya memberikan manfaat dalam arti meningkatkan aliran di tingkat
mikrosirkulasi, meskipun tentu saja vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi
merupakan penyebab hipotensi yang membahayakan dan refrakter yang dapat
mengakibatkan gangguan fungsi organ dan kematian (Caterino JM, 2012)
(LaRosa SP, 2013).

8
E. Pathway

Infeksi kuman

Bakteri gram (-): Saluran Bakteri gram (+): Infeksi kulit, saluran
empedu, saluran gastrointestinum respirasi, luka terbuka seperti luka bakar

Disfungsi dan kerusakan endotel


dan disfungsi organ multipel

Sepsis

Perubahan Perubahan ambilan Terhambatnya Terganggunya


fungsi dan penyerapan O2 fungsi sistem
miokardium terganggu mitokondria pencernaan

Kontraksi jantung Suplai O2 Kerja sel Nafsu makan


menurun terganggu menurun menurun

Curah jantung Sesak Penurunan respon imun Ketidakseimbangan


menurun nutrisi kurang dari
Gangguan pertukaran gas kebutuhan tubuh
Risiko infeksi
Suplai O2
menurun Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer

F. Tahap Perkembangan
Sepsis berkembang dalam tiga tahap:
1. Uncomplicated sepsis, disebabkan oleh infeksi, seperti flu atau abses
gigi. Hal ini sangat umum dan biasanya tidak memerlukan perawatan
rumah sakit.
2. Sepsis berat, terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi sudah mulai
mengganggu fungsi organ-organ vital, seperti jantung, ginjal, paru-paru
atau hati.

9
3. Syok septik, terjadi pada kasus sepsis yang parah, ketika tekanan darah
turun ke tingkat yang sangat rendah dan menyebabkan organ vital tidak
mendapatkan oksigen yang cukup.
Jika tidak diobati, sepsis dapat berkembang dari uncomplicated sepsis ke
syok septik dan akhirnya dapat menyebabkan kegagalan organ multiple dan
kematian (National Health Service UK, 20013).

G. Faktor Risiko
1. Usia.
Pada usia muda dapat memberikan respon inflamasi yang lebih baik
dibandingkan usia tua. Orang kulit hitam memiliki kemungkinan
peningkatan kematian terkait sepsis di segala usia, tetapi risiko relatif
mereka terbesar dalam kelompok umur 35 sampai 44 tahun dan 45
sampai 54 tahun.
2. Jenis Kelamin.
Perempuan kurang mungkin untuk mengalami kematian yang
berhubungan dengan sepsis dibandingkan laki-laki di semua kelompok
ras / etnis. Laki-laki 27% lebih mungkin untuk mengalami kematian
terkait sepsis. Namun, risiko untuk pria Asia itu dua kali lebih besar,
sedangkan untuk laki-laki Amerika Indian / Alaska Pribumi
kemungkinan mengalami kematian berhubungan dengan sepsis hanya 7%
(Melamed A, 2006).
3. Ras.
Orang Asia lebih cenderung mengalami kematian yang berhubungan
dengan sepsis di masa kecil dan remaja, dan kurang mungkin selama
masa dewasa dan tua usia. Ras Hispanik sekitar 20% lebih mungkin
dibandingkan kulit putih untuk meninggal karena penyebab yang
berhubungan dengan sepsis di semua kelompok umur (Melamed A,
2006).
4. Penyakit Komorbid.

10
Kondisi komorbiditas kronis yang mengubah fungsi kekebalan tubuh
(gagal ginjal kronis, diabetes mellitus, HIV, penyalah gunaan alkohol)
lebih umum pada pasien sepsis non kulit putih, dan komorbiditas
kumulatif dikaitkan dengan disfungsi organ akut yang lebih berat (Esper,
2006).
5. Genetik.
Pada penelitian Hubacek JA, et al menunjukkan bahwa polimorfisme
umum dalam gen untuk lipopolysaccharide binding protein (LBP) dalam
kombinasi dengan jenis kelamin laki-laki berhubungan dengan
peningkatan risiko untuk pengembangan sepsis dan lebih jauh lagi,
mungkin berhubungan dengan hasil yang tidak menguntungkan.
Penelitian ini mendukung peran imunomodulator penting dari LBP di
sepsis Gram-negatif dan menunjukkan bahwa tes genetik dapat
membantu untuk identifikasi pasien dengan respon yang tidak
menguntungkan untuk infeksi Gram-negatif (Hubeck JA, 2001).
6. Terapi Kortikosteroid.
Pasien yang menerima steroid kronis memiliki peningkatan
kerentanan terhadap berbagai jenis infeksi. Risiko infeksi berhubungan
dengan dosis steroid dan durasi terapi. Meskipun bakteri piogenik
merupakan patogen yang paling umum, penggunaan steroid kronis
meningkatkan risiko infeksi dengan patogen intraseluler seperti Listeria,
jamur, virus herpes, dan parasit tertentu. Gejala klinis yang dihasilkan
dari sebuah respon host sistemik terhadap infeksi mengakibatkan sepsis
(Klein NC, 2001).
7. Kemoterapi.
Obat-obatan yang digunakan dalam kemoterapi tidak dapat
membedakan antara sel-sel kanker dan jenis sel lain yang tumbuh cepat,
seperti sel-sel darah, sel-sel kulit. Orang yang menerima kemoterapi
beresiko untuk terkena infeksi ketika jumlah sel darah putih mereka
rendah. Sel darah putih adalah pertahanan utama tubuh terhadap infeksi.
Kondisi ini, yang disebut neutropenia, adalah umum setelah menerima

11
kemoterapi. Untuk pasien dengan kondisi ini, setiap infeksi dapat
menjadi serius dengan cepat. Menurut Penack O, et al., sepsis merupakan
penyebab utama kematian pada pasien kanker neutropenia (National
Health Service UK, 2014).
8. Obesitas.
Obesitas dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas
pada pasien dengan sepsis akut. Menurut penelitian Henry Wang, Russell
Griffin, et al. didapatkan hasil bahwa obesitas pada tahap stabil kesehatan
secara independen terkait dengan kejadian sepsis di masa depan. Lingkar
pinggang adalah prediktor risiko sepsis di masa depan yang lebih baik
dari pada BMI. Namun pada penelitian Kuperman EF, et al diketahui
bahwa obesitas bersifat protektif pada mortalitas sepsis rawat inap dalam
studi kohort, tapi sifat protektif ini berhubungan dengan adanya
komorbiditas resistensi insulin dan diabetes (Henry W, 2012) (Kuperman
EF, 2013).

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Kuman
1) Kultur Darah
Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku
emas dalam menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini
mempunyai kelemahan karena hasil biakan baru akan diketahui
dalam waktu minimal 3-5 hari. Hasil kultur perlu
dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan kuman
yang berlainan dari jenis kuman yang biasa ditemukan di
masing-masing klinik. Kultur darah dapat dilakukan baik pada
kasus sepsis dan sepsis berat.

2) Pewarnaan Gram

12
Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik
tertua dan sampai saat ini masih sering dipakai di laboratorium
dalam melakukan identifikasi kuman. Pemeriksaan dengan
pewarnaan Gram ini dilakukan untuk membedakan apakah
bakteri penyebab termasuk golongan bakteri Gram positif atau
Gram negatif. Walaupun dilaporkan terdapat kesalahan
pembacaan pada 0,7% kasus, pemeriksaan untuk identifikasi
awal kuman ini dapat dilaksanakan pada rumah sakit dengan
fasilitas laboratorium terbatas dan bermanfaat dalam
menentukan penggunaan antibiotik pada awal pengobatan
sebelum didapatkan hasil pemeriksaan kultur bakteri.
Pada rumah sakit dengan fasilitas laboratorium yang lebih
memadai, seperti inkubator, pemeriksaan kultur darah harus
dilakukan karena merupakan pemeriksaan baku emas untuk
diagnosis bakteremia. Automated blood culture system yaitu
kultur darah dengan medium cair dari sistem deteksi cepat dan
automated seperti Bactec™ dan BacT Alert™ dapat digunakan
apabila tersedia anggaran yang memadai. Dari penjelasan diatas
terlihat bahwa masih banyak ditemukan kekurangan pada
pemeriksaan identifikasi kuman. Oleh karena itu, berbagai
upaya penegakan diagnosis dengan mempergunakan petanda
sepsis banyak dilakukan oleh para peneliti. Berbagai petanda
sepsis banyak dilaporkan di kepustakaan dengan spesifisitas dan
sensitivitas yang berbeda-beda.
b. Procalcitonin (PCT)
PCT merupakan protein yang disusun oleh 116 asam amino,
memiliki berat 13 kDa dan merupakan prohormon dari kalsitonin
yang diproduksi oleh sel parafolikuler kelenjar tiroid, yang dalam
keadaan normal tidak akan terdeteksi dalam darah. Secara fisiologis
kadarnya meningkat pada neonatus. Pada hari pertama bervariasi
antara 0,1-21 ng/mL dengan median 2 ng/mL. Kemudian kadarnya

13
menurun dan setelah 48 jam nilainya normal yakni <2 ng/mL. PCT
bereaksi lebih cepat terhadap rangsangan inflamasi dari CRP,
mempunyai sensitivitas 92,6% dan spesifisitas 97,5% untuk sepsis
awitan dini, serta sensitivitas dan spesifisitas 100% untuk sepsis
awitan lambat. Selain itu, dapat membedakan infeksi bakterial dari
viral. Pada infeksi bakterial, mean PCT 29,7 ng/mL sedangkan pada
infeksi viral, mean PCT 0,28 (0–1,5) ng/mL. Pengukuran kadarnya
dapat dikerjakan secara imunologis dengan alat Vidas.
c. Pemeriksaaan Kemokin, Sitokin dan Molekul Adhesi
Modalitas pemeriksaan terkini dalam mengevaluasi sepsis
adalah dengan menggunakan petanda infeksi (infection markers)
seperti CD11b, CD64, Interleukin-6 (IL-6) yang dapat membantu
sebagai petanda tambahan. Pemeriksaan petanda-petanda infeksi
tersebut secara serial dikombinasikan dengan beberapa tes sehingga
dapat memberikan hasil yang baik. Sayangnya, pemeriksaan petanda
infeksi tersebut tidak dianjurkan untuk dijadikan pemeriksaan
tunggal. Pada beberapa kasus, pemeriksaan ini dapat menunjukkan
kapan pemberian antibiotik dapat dihentikan. IL-6 adalah sitokin
pleiotropik yang terlibat dalam berbagai aspek sistem imunitas. IL-6
disintesis oleh berbagai macam sel seperti monosit, sel endotel dan
fibroblas, setelah ada rangsangan TNF dan IL-1. Petanda ini
menginduksi sintesis protein fase akut termasuk CRP dan fibrinogen.
Pada sebagian besar kasus sepsis, IL-6 meningkat cepat yang terjadi
dalam waktu beberapa jam sebelum peningkatan konsentrasi CRP
dan akan menurun sampai ke kadar yang tidak terdeteksi dalam
waktu 24 jam. IL-6 ini memiliki waktu paruh yang singkat serta
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik sebagai petanda
infeksi. Dari penelitian didapatkan kesimpulan bahwa pemeriksaan
IL-6 atau IL-8 dikombinasikan dengan pemeriksaan CRP dapat
dijadikan pegangan untuk menyingkirkan kemungkinan sepsis

14
sehingga secara keseluruhan menurunkan biaya dan risiko pemberian
antibiotik.
d. Pemeriksaan Biomolekuler/Polymerase Chain Reaction (PCR)
Akhir-akhir ini di beberapa negara maju, pemeriksaan
biomolekular berupa Polymerase Chain Reaction (PCR) dikerjakan
guna menentukan diagnosis dini pasien sepsis. Dibandingkan dengan
biakan darah, pemeriksaan ini dilaporkan mampu lebih cepat
memberikan informasi jenis kuman. Di beberapa kota besar Inggris,
pemeriksaan cara ini telah dilakukan pada semua fasilitas
laboratorium guna mendeteksi dini kuman tertentu antara lain
N.meningitidis dan S.pneumoniae. Selain bermanfaat untuk deteksi
dini, PCR juga dapat digunakan untuk menentukan prognosis pasien
sepsis. Pemeriksaan ini merupakan metode pemeriksaan yang
sensitivitas dan spesifisitasnya hampir mencapai 100% dalam
mendiagnosis sepsis yang disebabkan oleh bakteri dalam waktu
singkat. Metode ini merupakan diagnosis molekular yang
menggunakan amplifikasi PCR dari 16S rRNA pada bayi baru lahir
dengan faktor risiko sepsis ataupun memiliki gejala klinis sepsis.21
Walaupun diagnostik molekular pada bakteri menggunakan PCR
dengan daerah target 16S rRNA telah terbukti cepat dan akurat
(sensitivitas 96%, spesifisitas 99,4% nilai prediksi positif 88,9% dan
nilai prediksi negatif 99,8%), masih dibutuhkan penelitian klinis
dengan lingkup yang besar untuk menentukan apakah teknik PCR
dapat menjadi adjunctive test untuk diagnostik cepat bakteremia
pada neonatus risiko tinggi dengan gejala sepsis. Diagnostik
molekular menggunakan 18S rRNA juga dapat digunakan untuk
mendeteksi jamur invasif di dalam darah neonatus dengan risiko
tinggi infeksi jamur. Dibandingkan dengan kultur, PCR mempunyai
sensitivitas 100% dan spesifisitas 98% dalam menentukan infeksi
jamur invasif. Namun pemeriksaan ini masih sangat terbatas di

15
Indonesia, dan hanya bisa dilakukan di Pusat Pendidikan atau
Rumah Sakit Rujukan Propinsi.
e. AGDA, Elektrolit dan Glukosa
Pada pemeriksaan AGD pada kasus sepsis, nilai serum laktat
dapat menjadi indikator hipoperfusi jaringan. Peningkatan serum
laktat menunjukkan adanya hipoperfusi jaringan yang signifikan
akibat perubahan metabolisme tubuh dari aerob menjadi anaerob.
f. Tes Fungsi Hati dan Ginjal
Fungsi hati dinilai dengan mengukur kadar bilirubin, alkali
fosfatase, SGOT dan juga SGPT dalam darah. Fungsi ginjal dinilai
dengan mengukur kadar kretinin dan BUN dalam serum. Kedua-dua
pemeriksaan in bertujuan untuk deteksi dini kemungkinan kegagalan
organ akibat dari sepsis yang dapat menyebabkan komplikasi yang
serius seperti MDOS.
g. Status Koagulasi
Tes PT dan PTT dilakukan pada kasus sepsis untuk mengukur
ada tidaknya DIC. DIC adalah salah satu komplikasi yang terjadi
akibat dari sepsis yang menggangu sistem koagulasi tubuh.

2. Pencitraan
a. Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa
gambaran, misalnya:
 Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya
difus, pola retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran
pada RDS (Respiratory Distress Syndrome).
 Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.
 Pneumonia. Penting dilakukan pemeriksaan radiologi toraks
karena ditemukan pada sebagian besar kasus, meninggal akibat
sepsis yang telah terbukti dengan kultur.

16
b. Pemeriksaan CT Scan diperlukan pada kasus meningitis untuk
melihat hidrosefalus obstruktif, lokasi obstruksi dan melihat infark
ataupun abses.
c. USG kepala pada kasus dengan meningitis dapat menunjukkan
ventrikulitis, kelainan ekogenesitas parenkim, cairan ekstraselular
dan perubahan kronis. Secara serial, USG kepala dapat menunjukkan
progresivitas komplikasi.

I. Komplikasi
Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi
komplikasi yang mungkin terjadi meliputi:
1. Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi
respirasi akut (acute respiratory distress syndrome).
Milieu inflamasi dari sepsis menyebabkan kerusakan terutama pada
paru. Terbentuknya cairan inflamasi dalam alveoli mengganggu
pertukaran gas, mempermudah timbulnya kolaps paru, dan menurunkan
komplian, dengan hasil akhir gangguan fungsi respirasi dan hipoksemia.
Komplikasi ALI/ ARDS timbul pada banyak kasus sepsis atau sebagian
besar kasus sepsis yang berat dan biasanya mudah terlihat pada foto
toraks, dalam bentuk opasitas paru bilateral yang konsisten dengan
edema paru. Pasien yang septik yang pada mulanya tidak memerlukan
ventilasi mekanik selanjutnya mungkin memerlukannya jika pasien
mengalami ALI/ ARDS setelah resusitasi cairan.
2. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC).
Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi diaktivasi
secara difus sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat yang sama,
sistem fibrinolitik, yang normalnya bertindak untuk mempertahankan
kaskade pembekuan, diaktifkan. Sehingga memulai spiral umpan balik
dimana kedua sistem diaktifkan secara konstan dan difus−bekuan yang
baru terbentuk, lalu diuraikan. Sejumlah besar faktor pembekuan badan
dan trombosit dikonsumsi dalam bekuan seperti ini. Dengan demikian,

17
pasien berisiko mengalami komplikasi akibat thrombosis dan perdarahan.
Timbulnya koagulopati pada sepsis berhubungan dengan hasil yang lebih
buruk.
3. Gagal Jantung.
Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik, dengan
mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah kerja langsung
molekul inflamasi ketimbang penurunan perfusi arteri koronaria. Sepsis
memberikan beban kerja jantung yang berlebihan, yang dapat memicu
sindroma koronaria akut (ACS) atau infark miokardium (MCI), terutama
pada pasien usia lanjut. Dengan demikian obat inotropic dan vasopressor
(yang paling sering menyebabkan takikardia) harus digunakan dengna
berhati-hati bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak dianjurkan.
4. Gangguan Fungsi Hati.
Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus kolestatik,
dengan peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkali fosfatase.
Fungsi sintetik biasanya tidak berpengaruh kecuali pasien mempunyai
status hemodinamik yang tidak stabil dalam waktu yang lama.
5. Gagal Ginjal.
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama
terjadinya gagal ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan
sebagai oliguria, azotemia, dan sel-sel peradangan pada urinalisis. Jika
gagal ginjal berlangsung berat atau ginjal tidak mendapatkan perfusi
yang memadai, maka selanjutnya terapi penggantian fungsi ginjal
(misalnya hemodialisis) diindikasikan.
6. Sindroma Disfungsi Multiorgan.
Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi diperlukan
untuk mempertahankan homeostasis.
 Primer, di mana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh
infeksi atau trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan
fungsi jantung/paru pada keadaan pneumonia yang berat.

18
 Sekunder, di mana gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons
peradangan yang menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau
ARDS pada keadaan urosepsis.

J. Penatalaksanaan Sepsis
Penatalaksanaan pasien sepsis di ICU menggunakan Surviving Sepsis
Campaign International Guidelines for Management of Severe Sepsis and
Septic Shock: 2012 adalah sebagai berikut:
1. Resusitasi Awal
Resusitasi pada pasien sepsis berat atau hipoperfusi jaringan yang
diinduksi sepsis (hipotensi atau asidosis laktat) harusnya dimulai
sesegera mungkin setelah sindrom tersebut diketahui dan tidak
seharusnya tertunda karena menunggu masuk ICU.
Peningkatan kadar laktat serum menunjukkan hipoperfusi jaringan
pada pasien yang tidak hipotensif. Selama 6 jam pertama, tujuan
resusitasi awal pada hipoperfusi yang terinduksi sepsis termasuk semua
kriteria dibawah ini sebagai satu bagian dari protokol penatalaksanaan :
a. Tekanan vena sentral : 8-12 mmHg.
b. Tekanan arteri rata-rata > 65 mmHg.
c. Produksi urin > 0,5 mm/kgBB/jam.
d. Saturasi oksigen ≥ 70 %.
Penatalaksanaan awal tersebut menunjukkan perbaikan harapan
hidup pasien UGD yang menderita sepsis. Resusitasi yang bertujuan pada
kriteria tersebut diatas pada periode 6 jam pertama resusitasi mampu
menurunkan angka mortalitas hari-28. Meskipun pengukuran laktat
mungkin berguna, presisinya sebagai pengukur status metabolisme
jaringan masih kurang. Pada pasien yang menggunakan ventilator
mekanik, target CVP direkomendasikan 12-15 mmHg sebagai
kompensasi peningkatan tekanan intrathorakal. Meskipun penyebab
takikardi pada pasien sepsis bersifat multifaktorial, penurunan frekuensi

19
nadi setelah resusitasi cairan merupakan petunjuk penting perbaikan
pengisian intravaskuler.
Selama 6 jam pertama resusitasi, jika saturasi 70 % tidak tercapai
dengan resusitasi cairan yang menunjukkan CVP 8-12 mmHg, diperlukan
tranfusi PRC untuk mencapai hematokrit ≥ 30 % dan/atau pemberian
dobutamin infus (sampai maksimal 20 μg/kg/menit) untuk mencapai
tujuan ini.

2. Diagnosis
Kultur seharusnya selalu dilakukan sebelum dimulai terapi
anbtimikrobial. Diperlukan setidaknya 2 kultur darah yang diambil salah
satunya lewat perkutan dan satunya lagi diambil melalui peralatan akses
vaskuler yang ada, kecuali jika alat tersebut dipasang kurang dari 48 jam.
Kultur dari tempat lainnya seperti urin, LCS, luka, sekret respirasi, atau
cairan tubuh lainnya harus diambil sebelum dimulai terapi antibiotik.
Pemeriksaan diagnostik seharusnya dilakukan secepatnya untuk
menentukan sumber infeksi dan organisme penyebab. Pemeriksaan
radiografis seharusnya juga dilakukan, meskipun terkadang pasien tidak
stabil untuk menjalani prosedur invasif tertentu atau ditransport keluar
dari ICU.

3. Terapi Antibiotik
Terapi antibiotik intravena seharusnya dimulai dalam 1 jam pertama
setelah diketahui terjadinya sepsis berat, setelah kultur diambil.
Terapi antibiotik awal secara empiris seharusnya termasuk 1 atau
lebih obat yang mempunyai aktifitas melawan patogen yang dicurigai
(bakterial atau fungal) dan memungkinkan menembus kedalam sumber
sepsis yang dicurigai. Pemilihan obat seharusnya berdasarkan pola
kuman di masyarakat dan di rumah sakit.

20
Pemberian antimikrobial seharusnya selalu ditinjau kembali setelah
48–72 jam yang tujuannya dapat dipilihnya antibiotik spektrum sempit
untuk mencegah terjadinya resistensi, mengurangi toksisitas, dan
mengurangi biaya. Apabila patogen penyebab telah teridentifikasi, tidak
ada bukti yang menunjukkan terapi kombinasi lebih efektif dibandingkan
monoterapi. Durasi terapi antibiotik seharusnya berjalan selama 7-10 hari
dan berdasarkan respon klinis.
Banyak klinisi menggunakan terapi kombinasi untuk pasien sepsis
berat atau syok septik dengan netropenia. Pada kasus ini terapi antibiotik
berlanjut sepanjang terjadinya netropenia.
Apabila sindrom klinis menunjukkan penyebabnya adalah non
infeksi, terapi antimikroba seharusnya dihentikan secepatnya untuk
meminimalkan terjadinya patogen resisten dan superinfeksi oleh
organisme patogen lainya.

4. Kontrol Sumber Infeksi


Setiap pasien sepsis seharusnya dievaluasi terdapatnya fokus infeksi,
terutama dari drainase abses atau fokus infeksi lokal, debridement
jaringan nekrotik terinfeksi, pelepasan peralatan yang memungkinkan
terinfeksi, atau kontrol definitif sumber kontaminasi mikroba yang masih
ada.
Pemilihan cara mengontrol sumber infeksi harus memperhatikan
untung ruginya. Intervensi kontrol sumber infeksi dapat menyebabkan
komplikasi seperti perdarahan, fistula, atau cedera jaringan yang tidak
dikehendaki.
Apabila sumber infeksi ternyata seperti abses intrabdomen, perforasi
gastrointestinal, kolangitis, atau iskemia intestinal, pengontrolan sumber
infeksi tetap harus secepatnya dilakukan setelah resusitasi awal.
Apabila peralatan akses intravena dicurigai sebagai sumber infeksi,
maka harus secepatnya dilepas setelah dipasang akses vaskular lainnya.

21
5. Terapi Cairan
Resusitasi cairan dapat berupa koloid alami atau buatan, atau
kristaloid. Tidak ditemukan bukti bahwa suatu jenis cairan lebih baik dari
jenis cairan lainnya.
Uji cairan pada pasien yang dicurigai hipovolemia (dicurigai
terdapat sirkulasi arterial yang tidak adekuat) dapat diberikan 500-1000
cc kristaloid atau 300-500 cc koloid dalam 30 menit dan diulang
berdasarkan respon klinis (peningkatan tekanan darah dan produksi urin),
dan dimonitor adanya kelebihan cairan intravaskuler.

6. Vasopresor
Apabila uji cairan tidak mampu menghasilkan tekanan darah dan
perfusi organ yang adekuat, terapi dengan obat vasopresor harus segera
dimulai. Terapi vasopresor dapat juga diperlukan untuk memelihara
perfusi pada kasus hipotensi yang mengancam jiwa, meskipun uji cairan
sedang berlangsung dan hipovolemia dapat dikoreksi.
Norepinefrin atau dopamin (melalui CVC yang sesegera mungkin
dipasang) merupakan obat vasopresor pilihan utama untuk mengatasi
hipotensi pada syok septik.
Dopamin dosis rendah tidak seharusnya digunakan untuk proteksi
renal sebagai bagian pengobatan sepsis berat.
Semua pasien yang memerlukan vasopresor seharusnya dipasang
kateter arterial sesegera mungkin.
Penggunaan vasopresin dapat dipertimbangkan diberikan pada
pasien dengan syok refrakter setelah pemberian resusitasi cairan dan
penggunaan vasopresor konvensional dosis tinggi.

7. Terapi Inotropik
Pada pasien dengan curah jantung rendah meskipun sudah dilakukan
resusitasi cairan yang adekuat, dobutamin dapat digunakan untuk
meningkatkan curah jantung. Jika digunakan pada kondisi tekanan darah

22
yang rendah, dobutamin seharusnya dikombinasi dengan terapi
vasopresor.
Strategi meningkatkan indeks kardial untuk memperoleh level yang
lebih tinggi tidak direkomendasikan.

8. Steroid
Kortikosteroid intravena (hidrokortison 200-300 mg/hari, selama 7
hari dalam 3-4 dosis terbagi atau dengan infus kontinyu)
direkomendasikan pada pasien dengan syok septik yang memerlukan
terapi vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat
setelah penggantian cairan yang adekuat.
a. Beberapa penelitian menggunakan tes stimulasi ACTH 250 μg untuk
mengidentifikasi pasien yang responsif (peningkatan > 9 μg/dL
kortisol setelah 30-60 menit pemberian ACTH) dan menghentikan
terapi pada pasien tersebut. Klinisi tidak harus menunggu hasil
stimulasi ACTH untuk memberikan kortikosteroid.
b. Beberapa ahli menurunkan dosis steroid setelah pebaikan syok septik.
c. Beberapa ahli mempertimbangkan menurunkan secara bertahap dosis
kortikosteroid pada akhir terapi.
d. Beberapa ahli menambahkan fludrokortison ( 50 μg peroral 4 kali
sehari) pada terapi steroid tersebut.
Dosis kortikosteroid hidrokortison > 300 mg dalam sehari tidak
boleh digunakan pada sepsis berat atau syok septik, jika tujuannya untuk
memperbaiki syok septik.
Kortikosteroid tidak boleh diberikan pada penatalaksanaan sepsis
jika tidak terdapat syok septik. Tidak ada kontraindikasi untuk
melanjutkan terapi steroid pemeliharaan atau menggunakan steroid dosis
tertentu jika pasien mempunyai riwayat pemberian kortikosterid atau
riwayat gangguan endokrin.

9. Recombinant Human Activated Protein C (rhAPC)

23
rhAPC direkomendasikan pada pasien yang beresiko tinggi
meninggal (APACHE II > 25, gagal organ multipel terinduksi sepsis,
syok septik, atau ARDS terinduksi sepsis) dan tidak ada kontraindikasi
absolut atau kontraindikasi relatif yang berhubungan dengan resiko
perdarahan.

10. Pemberian Produk Darah


Apabila hipoperfusi jaringan ditemukan dan tidak terdapat penyakit
arteri koroner, perdarahan akut, atau asidosis laktat, tranfusi sel darah
merah harus diberikan hanya jika hemoglobin turun kurang dari 7 gr/dL
untuk mencapai target hemoglobin 7-9 gr/dL.
Eritropoetin tidak direkomendasikan sebagai terapi spesifik untuk
anemia yang berhubungan dengan sepsis berat, tapi mungkin bisa
diberikan apabila pasien sepsis mempunyai alasan kuat pemberian
eritropoetin seperti gagal ginjal disertai produksi sel darah merah yang
kurang.
Tidak direkomendasikan pemberian rutin plasma segar yang
dibekukan untuk mengkoreksi abnormalitas pembekuan darah tanpa
disertai perdarahan atau direncanakan tindakan invasif.
Pemberian antitrombin tidak direkomendasikan dalam pengobatan
sepsis berat atau syok septik.
Trombosit seharusnya diberikan apabila AT < 50000 /mm3 meskipun
tidak muncul perdarahan. Tranfusi trombosit dipertimbangkan apabila
AT 5000-30000/mm3 dan terdapat resiko perdarahan. Angka trombosit
yang lebih tinggi (>50000 /mm3 ) diperlukan untuk operasi atau tindakan
invasif.
11. Ventilasi Mekanik pada ARDS/ ALI Terinduksi Sepsis.
Volume tidal yang tinggi dengan tekanan tinggi harus dihindari pada
ARDS/ALI. Titik awalnya adalah pengurangan volume tidal dalam 1-2
jam sampai volume tidal rendah ( 6 ml/kg) bersamaan dengan
mempertahankan tekanan akhir ekspirasi < 30 cmH2O.

24
Hiperkapnia dapat ditoleransi pada pasien ARDS/ALI jika
diperlukan untuk meminimalkan volume tidal dan tekanan plateu.
PEEP dapat diberikan untuk mencegah menutupnya alveoli pada
akhir ekspirasi. Pengaturan PEEP berdasarkan derajat defisit oksigenasi
dan ditentukan oleh FiO2 yang diperlukan untuk mempertahankan
oksigenasi.
Pada fasilitas ICU yang berpengalaman dapat dipertimbangkan
penggunaan posisi tengkurap pada pasien ARDS untuk mendapatkan
perbaikan Fi O2 atau tekanan plateu yang tidak memiliki resiko tinggi
untuk perubahan posisi tersebut.
Jika tidak dikontraindikasikan, pasien dengan ventilasi mekanis
dipertahankan pada posisi semirecumbent, dengan kepala tempat tidur
dinaikkan sampai 45o untuk mencegah pneumonia terkait ventilator
(VAP).
Protokol penyapihan ventilasi mekanis dilakukan sampai pernafasan
spontan untuk menilai kemampuan penghentian ventilasi mekanis apabila
menunjukkan kriteria:
a. Dapat dibangunkan
b. Hemodinamik stabil (tanpa vasopresor)
c. Tanpa kondisi yang berpotensial serius
d. Kebutuhan ventilasi dan tekanan akhir ekspirasi yang rendah
e. Memerlukan FiO2 yang dapat diberikan secara baik dengan sungkup
muka atau nasal kanul.
Jika nafas spontan berhasil, dipertimbangkan untuk ekstubasi.
Pilihan pernafasan spontan termasuk bantuan tekanan level rendah
dengan CPAP 5 cm H2O atau dengan T-piece.

12. Sedasi, Analgesi, dan Pelumpuh Otot pada Sepsis


Sedasi diperlukan pada pasien dengan ventilasi mekanis berdasarkan
skala sedasi subyektif yang terstandarisasi.

25
Sedasi dengan bolus intermiten atau infus kontinyu diberikan dengan
interupsi atau pengurangan sedasi setiap hari dengan disertai
membangunkan pasien dan titrasi kembali (jika diperlukan) merupakan
metode yang direkomendasikan untuk pemberian sedasi.
Pelumpuh otot dihindari jika memungkinkan pada pasien sepsis
karena resiko pemanjangan efek pelumpuh otot. Jika pelumpuh otot
harus diberikan harus diberikan lebih lama dari pada 1 jam pertama
ventilasi mekanis diperlukan dosis bolus intermiten atau infus kontinyu.

13. Kontrol Glukosa


Dipertahankan kadar glukosa darah kurang dari 150 mg/dL (8,3
mmol/L) pada stabilisasi awal pasien sepsis berat. Penelitian yang
bertujuan mengendalikan glukosa menggunakan infus kontinyu insulin
dan glukosa. Berdasarkan protokol ini glukosa harus dimonitor secara
ketat pada awal pemberian (setiap 30-60 menit) dan kemudian monitor
secara teratur setiap 4 jam apabila konsentrasi gula darah telah stabil.
Pada pasien sepsis berat pengendalian glukosa harus disertai
pemberian nutrisi yang diprioritaskan melalui jalur enteral.

14. Penggantian Ginjal


Pada gagal ginjal akut tanpa disertai stabilitas hemodinamik,
hemofiltrasi veno-venosa kontinyu sama baiknya dengan hemodialisis
intermiten. Hemofiltrasi kontinyu memudahkan management
keseimbangan cairan pada pasien sepsis yang hemodinamiknya tidak
stabil.

15. Terapi Bikarbonat

26
Terapi bikarbonat yang bertujuan memperbaiki hemodinamik atau
menurunkan kebutuhan vasopresor tidak direkomendasikan untuk
mengobati asidosis laktat terinduksi hipoperfusi dengan pH > 7,15.

16. Pencegahan Trombosis Vena Dalam (DVT)


Pasien sepsis berat seharusnya mendapatkan profilaksis DVT dengan
heparin dosis rendah atau heparin dengan berat molekul rendah. Pada
pasien sepsis dengan kontraindikasi penggunaan heparin (misalnya
trombositopenia, koagulopati berat, perdarahan aktif, perdarahan
intraserebral yang masih baru), dianjurkan menggunakan pencegahan
secara mekanis (stocking) yang menekan secara bertahap atau alat yang
menekan secara intermiten, kecuali apabila terdapat kontraindikasi
seperti penyakit vaskuler perifer. Pada pasien yang beresiko tinggi seperti
sepsis berat dan memiliki riwayat DVT, direkomendasikan menggunakan
terapi farmakologis yang dikombinasi dengan terapi mekanis.

17. Pencegahan Stress Ulcer


Pencegahan stress ulcer seharusnya diberikan pada semua pasien
dengan sepsis berat. Inhibitor reseptor H2 lebih bermanfaat bila
dibandingkan dengan sukralfat. Inhibitor pompa proton belum pernah
dibandingkan dengan antagonis reseptor H2, sehingga efikasinya masih
belum diketahui. (Dellinger, et. al., 2004)

18. Nutrisi
Disarankaan pemberian melalui oral atau enteral (jika perlu),
ditoleransi, lebih baik puasa lengkap atau hanya glukosa intravena dalam
48 jam pertama setelah didiagnosis sepsis berat / syok septik.
Disaranakan hindari makanan kalori penuh dalam minggu pertama,
melainkan menyarankan makanan dosis rendah (misalnya, sampai
dengan 500 kkal per hari), hanya sebagai toleransi.

27
Disarankan untuk menggunakan glukosa intravena dan nutrisi enteral
daripada total parenteral nutrition (TPN) atau nutrisi parenteral dalam
hubungannya dengan makanan enteral dalam 7 hari pertama setelah
diagnosis sepsis berat / syok septik.
Disarankan menggunakan nutrisi tanpa suplemen imunomodulasi
yang spesifik pada pasien dengan sepsis berat.

19. Menetapkan Goals of Care


Direkomendasikan Goals of Care dan prognosis akan dibahas
dengan pasien dan keluarga.
Direkomendasikan Goals of Care dimasukkan ke dalam pengobatan
dan perencanaan perawatan akhir kehidupan, memanfaatkan prinsip-
prinsip perawatan paliatif yang sesuai.
Disarankan bahwa tujuan perawatan ditangani sedini mungkin,
selambat-lambatnya dalam waktu 72 jam setelah masuk ICU.

28
BAB III
TELAAH JURNAL

Judul
Corticosteroids in sepsis: an updated systematic review and metaanalysis
(protocol)

Latar Belakang
Sepsis berhubungan dengan respons host yang tidak teratur terhadap infeksi dan
gangguan metabolisme kortikosteroid endogen. Dengan demikian, penggunaan
terapeutik kortikosteroid eksogen merupakan intervensi tambahan yang
menjanjikan. Meskipun sejumlah besar uji coba memeriksa pertanyaan penelitian
ini, ketidakpastian berlanjut mengenai efek kortikosteroid pada kelangsungan
hidup pada sepsis. Beberapa uji coba terkontrol acak besar telah diterbitkan baru-
baru ini mendorong evaluasi ulang literatur yang tersedia.

Tujuan
Tujuan dari tinjauan sistematis ini adalah untuk meringkas bukti-bukti terbaru
tentang efikasi dan keamanan kortikosteroid pada pasien dengan sepsis.

Setting
penelitian meta-analysis dilakukan untuk menjadikan satu kesatuan bukti tentang
penggunaan kortikosteroid dimana penelitian-penelitian yang diambil adalah
penelitian-penelitian yang ada di kawasan Amerika dan Eropa. Penelitian
dilakukan dari tahun 2014-2017.

Metode (Sampling, Teknik Sampling dan Uji yang di Gunakan)


Proses pencarian dan penyaringan yang teliti dari ulasan Cochrane pada topik
yang sama secara menyeluruh dari September 2014-Maret 2017. Peneliti mencari
MEDLINE, EMBASE, LILACS, registri uji Cochrane dan clinicaltrials. gov
untuk uji coba terkontrol acak yang memenuhi syarat dalam menyelidiki

29
penggunaan kortikosteroid pada pasien dengan sepsis. Hasil telah dipilih sesuai
pedoman, dibuat dalam konteks Rekomendasi BMJ Rapid paralel pada topik
tersebut. Peneliti menggunakan RevMan untuk mengumpulkan perkiraan efek
dari studi yang disertakan untuk setiap hasil menggunakan model efek acak. Etika
dan diseminasi Tujuan dari tinjauan sistematis ini adalah untuk meringkas bukti-
bukti terbaru tentang efikasi dan keamanan kortikosteroid pada pasien dengan
sepsis. Dengan nomor registrasi percobaan CRD42017058537.

Hasil
Studi meta-analisis ini memberikan informasi bahwa kortikosteroid lebih efektif
dalam dosis yang lebih rendah dengan durasi yang lebih lama. kortikosteroid lebih
efektif dengan obat-obatan yang memiliki lebih banyak aktivitas
mineralokortikoid. Kortikosteroid paling efektif pada pasien dengan pneumonia
dan mereka dengan syok septik. Kortikosteroid lebih efektif pada anak-anak (<18
tahun) dibandingkan orang dewasa

Kesimpulan

Studi meta-analisis yang dilakukan di kawasan Amerika dan Eropa dengan


mengumpulkan banyak penelitian yang telah dilakukan ini memberikan informasi
berbasis bukti dimana dalam jurnal penelitian dikatakan bahwa pemberian
kortikosteroid lebih efektif dalam dosis yang lebih rendah dengan durasi yang
lebih lama. Pemberian kortikosteroid lebih efektif dengan obat-obatan yang
memiliki lebih banyak aktivitas mineralokortikoid. Pemberian kortikosteroid
paling efektif pada pasien dengan pneumonia dan mereka dengan syok septik dan
paling efektif pada pasien dengan sepsis non-pneumonia tanpa syok.
Kortikosteroid lebih efektif pada anak-anak (<18 tahun) dibandingkan orang
dewasa

30
Implikasi

 Penelitian ini menjadi acuan yang baik untuk menambah literature


pengetahuan perawat tentang efikasi dan keamanan kortikosteroid pada pasien
sepsis.
 Tenaga kesehatan, khususnya perawat (dalam pelayanan rawat inap) penting
untuk mengetahui tentang penggunaan kortikosteroid dalam penatalaksanaan
sepsis karena salah satu tugas perawat adalah sebagai advokad pasien. Perawat
juga harus mampu menjalankan peran dalam hal kolaborasi secara profesional.

Kelebihan
Penelitian ini merupakan EBP dengan tingkatan tertinggi (meta-analysis) sehingga
bukti yang dinyatakan dalam hasil penelitian akan menjadi bukti dengan tingkat
kepercayaan yang tinggi. Author penelitian berasal dari berbagai bidang dengan
tempat yang berbeda-beda.

Kelemahan
Penelitian hanya mencakup banyak penelitian yang berasal dari kawasan Amerika
dan Eropa sehingga bukti keakuratan penggunaan kortikosteroid akan menjadi hal
yang perlu dipikirkan apakah sesuai jika rekomendasi yang diberikan untuk
diterapkan di kawasan Asia dengan pertimbangan banyak hal yang membedakan
individu/penelitian-penelitian tentang kortikosteroid yang ada di Amerika, Eropa
dan Asia

Rekomendasi
Direkomendasikan dalam pemberian kortikosteroid lebih efektif diberikan dalam
dosis yang lebih rendah dengan durasi yang lebih lama untuk memaksimalkan
efek dari kortikosteroid itu sendiri bagi kondisi pasien sepsis.

31
32
ANALISIS JURNAL DENGAN FORMAT PICO

No Kriteria Jawab Inti Jurnal


.
1. P Ya Sepsis berhubungan dengan respons host yang tidak teratur terhadap infeksi dan gangguan metabolisme
kortikosteroid endogen. Dengan demikian, penggunaan terapeutik kortikosteroid eksogen merupakan
intervensi tambahan yang menjanjikan. Meskipun sejumlah besar uji coba memeriksa pertanyaan penelitian
ini, ketidakpastian berlanjut mengenai efek kortikosteroid pada kelangsungan hidup pada sepsis. Beberapa uji
coba terkontrol acak besar telah diterbitkan baru-baru ini mendorong evaluasi ulang literatur yang tersedia.
2. I Ya Proses pencarian dan penyaringan yang teliti dari ulasan Cochrane pada topik yang sama secara menyeluruh
dari September 2014-Maret 2017. Peneliti mencari MEDLINE, EMBASE, LILACS, registri uji Cochrane
dan clinicaltrials. gov untuk uji coba terkontrol acak yang memenuhi syarat dalam menyelidiki penggunaan
kortikosteroid pada pasien dengan sepsis. Hasil telah dipilih sesuai pedoman, dibuat dalam konteks
Rekomendasi BMJ Rapid paralel pada topik tersebut. Peneliti menggunakan RevMan untuk mengumpulkan
perkiraan efek dari studi yang disertakan untuk setiap hasil menggunakan model efek acak. Etika dan
diseminasi Tujuan dari tinjauan sistematis ini adalah untuk meringkas bukti-bukti terbaru tentang efikasi dan
keamanan kortikosteroid pada pasien dengan sepsis. Dengan nomor registrasi percobaan CRD42017058537.
3. C Ya Dalam jurnal tidak disebutkan pembanding dengan jurnal lain. Namun penelitian akan menjadi penyatu
penelitian lain sebagai meta-analysis untuk mengetahui tentang bagaimana penggunaan kortikosteroid dalam
penanganan sepsis. Dalam penelitian disebutkan bahwa penelitian yang lama memberikan informasi bahwa

33
kortikosteroid dosis sangat tinggi dan durasi pendek diberikan untuk memaksimalkan efek anti-inflamasi,
sedangkan penelitian yang lebih baru memberikan informasi bahwa kortikosteroid dengan dosis yang lebih
rendah dan durasi yang lebih lama dengan tujuan mengkompensasi respon hipotalamus-hipofisis
disfungsional terhadap stress.
4. O Ya Studi meta-analisis ini memberikan informasi bahwa kortikosteroid lebih efektif dalam dosis yang lebih
rendah dengan durasi yang lebih lama. kortikosteroid lebih efektif dengan obat-obatan yang memiliki lebih
banyak aktivitas mineralokortikoid. Kortikosteroid paling efektif pada pasien dengan pneumonia dan mereka
dengan syok septik. Kortikosteroid lebih efektif pada anak-anak (<18 tahun) dibandingkan orang dewasa.

34
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut Surviving Sepsis Campaign (SSC) (2012), sepsis diartikan
sebagai adanya infeksi yang disertai dengan manifestasi klinis dari infeksi
sistemik. Penyebab sepsis paling tersering adalah infeksi saluran napas dan
infeksi saluran kemih, diikuti dengan infeksi saluran cerna dan infeksi
jaringan lunak. Gejala klinis yang dapat ditemukan pada sepsis berat
adalah hipotensi, peningkatan laktat plasma, produksi urin
<0.5ml/kg/jam selama lebih 12 jam walau resusitasi sudah adekuat, acute
lung injury (ALI) dengan rasio PaO2 < 250 tanpa terdapat pneumonia sebagai
sumber infeksi, ALI dengan rasio PaO2/FIO2 < 200 dengan pneumonia
sebagai sumber infeksi, kreatinin plasma > 2.0 mg/dl(176.8 µmol/L),
bilirubin plasma > 2 mg/dl (34,2 µmol/L), hitung trombosit
<100,000/µL dan koagulopati (INR >1,5). Penatalaksanaan pasien sepsis
berat di ICU pada saat ini menggunakan Surviving Sepsis Campaign:
International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic
Shock: 2012.

B. Saran
Sebagai salah satu calon tenaga kesehatan yang akan bekerja di instansi
kesehatan, penting sekali bagi mahasiswa/i jurusan keperawatan untuk
memahami betul tentang manajemen sepsis agar setiap asuhan keperawatan
yang diberikan tetap sejalan dengan panduan penatalaksanaannya.

35
DAFTAR PUSTAKA

Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. 2013. Surviving Sepsis Campaign
Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock. Eropa: Crit
Care Med.
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&cad=rja&uact=8&ved=2ahU
KEwjn6PuipavdAhWTfH0KHc-3COwQFjAGegQIChAC&url=http%3A
%2F%2Feprints.undip.ac.id
%2F44902%2F3%2FYessica_Putri_H_22010110120030_Bab2KTI.pdf&us
g=AOvVaw1VIS5BewemT9bk1y5Q4W28 diperoleh tanggal 03 September
2018.
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=11&cad=rja&uact=8&ved=2ahU
KEwjn6PuipavdAhWTfH0KHc-3COwQFjAKegQIARAC&url=http%3A
%2F%2Frepository.usu.ac.id%2Fbitstream%2Fhandle
%2F123456789%2F65951%2FChapter%2520II.pdf%3Fsequence
%3D4%26isAllowed%3Dy&usg=AOvVaw2CbdORKBuGEF1gVoVFZ301
diperoleh tanggal 03 September 2018.
http://repository.unjaya.ac.id/2183/2/UNTORO%20DWI
%20RAHARJO_2213142_pisah.pdf diperoleh tanggal 03 September 2018.

Anda mungkin juga menyukai