Anda di halaman 1dari 21

Peranan Psikologi Kesehatan Dalam Menyelesaikan Masalah

Kesehatan Masyarakat
Peran Terapi Perilaku Menggunakan Reinforcement Positif
Terhadap Anak Dengan Retardasi Mental

(Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester


Mata Kuliah Psikologi Kesehatan Kelas D)

Oleh :
Dwi Kurnia Puspitasari
NIM 142110101028

Fakultas Kesehatan Masyarakat


Universitas Jember
2015
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Adapun maksud dari penyusunan karya tulis ilmiah ini adalah untuk memenuhi salah
satu tugas Ujian Tengah Semester (UTS) mata kuliah Psikologi Kesehatan.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna.
Untuk itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun
untuk perbaikan di masa yang akan datang. Penulis juga menyadari bahwa dalam
menyusun karya tulis ilmiah ini tidak terlepas dari peran serta dan bantuan dari
berbagai pihak, baik bantuan berupa moril maupun materil.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga amal kebaikan mereka mendapat
balasan dari Allah SWT. Penulis juga berharap semoga karya tulis ini bermanfaat
bagi penulis khususnya dan bagi yang berkepentingan pada umumnya.

Jember, 10 Oktober 2015

Dwi Kurnia P.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Banyak wilayah di Indonesia, khususnya di daerah yang jauh dari pusat kota ,
dimana sebagaian besar penduduknya mungkin belum mengetahui banyak informasi
mengenai retardasi mental, para penderita gangguan ini mendapat perlakuan yang
tidak selayaknya. Perlakuan yang tidak layak dalam konteks ini adalah mungkin
dianggap “gila” oleh masyarakat atau tidak mendapat perawatan yang tepat. Hal
inilah yang menghambat proses penggoptimalisasian potensi yang dimiliki anak-anak
dengan gangguan mental. Tidak jarang juga keluarga penderita juga mendapat
atribusi yang tidak menyenangkan dari masyarakat.
Retardasi mental merupakan masalah dunia dengan implikasi yang besar
terutama bagi negara berkembang. Diperkirakan angka penderita retardasi mental
berat sekitar 0.3 % dari seluruh populasi, dan hampir 3 % mempunyai IQ dibawah 70.
Sebagai sumber daya manusia tentunya mereka tidak bisa dimanfaatkan, karena 0.1
% dari yang menderita retardasi mental ini memerlukan perawatan, bimbingan serta
pengawasan sepanjang hidupnya. Ada 1-3 persen penduduk Indonesia menderita
kelainan ini. Data statistik dari berbagai sumber juga menyebutkan bahwa presentasi
keterbelakangan mental berada disekitar 2-3% dari populasi yang ada. Retardasi
mental merupakan suatu kelainan mental seumur hidup. Oleh karena itu retardasi
mental merupakan masalah di bidang kesehatan masyarakat, kesejahteraan sosial dan
pendidikan baik pada anak yang mengalami retardasi mental tersebut maupun
keluarga dan masyarakat. Retardasi mental merupakan suatu keadaan penyimpangan
tumbuh kembang seorang anak sedangkan peristiwa tumbuh kembang itu sendiri
merupakan proses utama, hakiki, dan khas pada anak serta merupakan sesuatu yang
terpenting.
Permasalahan yang timbul pada anak retardasi mental selain perilaku anak itu
sendiri adalah masalah yang disebabkan oleh lingkungan keluarga. Banyak anak
mengalami tekanan oleh tuntutan orang tua akan kondisi anak dan ketakutan orang
tua untuk menerima kenyataan bahwa anak memiliki kondisi yang berbeda dengan
anak lain. Tuntutan orang tua yang tinggi pada anak yang menderita retardasi mental
menyebabkan anak tampil sebagai anak yang terlihat takut, tidak punya kepercayaan
diri, mudah menyerah ketika mengerjakan aktivitas yang mudah. Munculnya berbagai
reaksi orang tua atau kerabat ketika salah satu anggota keluarga didiagnosis
mengalami keterbelakangan mental akan membedakan dalam memperlakukan dan
menerima keterbatasannya. Orang tua sering menjadi putus asa dan memperlakukan
anaknya secara kurang manusiawi, karena kurang bisa mengerti akan perilaku
anaknya (misalnya sulit dikendalikan, disuruh tidak mau, semaunya sendiri) atau ada
keinginan orang tua yang tidak bisa dipenuhi oleh anaknya. Orang tua yang tidak tahu
bagaimana cara menanganinya biasanya menggunakan hukuman secara fisik dan
psikis agar anaknya mau mengerti (misalnya dengan memukul, mencubit, menghina
bodoh/tolol, dll). Padahal hal ini, dapat membuat anak merasa direndahkan harga
dirinya. Retardasi mental saat ini masih merupakan dilema, sumber kecemasan bagi
keluarga dan masyarakat. Demikian pula dengan penanganannya berupa program
intervensi dan terapi masih merupakan masalah yang tidak mudah. Sebab wawasan
masyarakat tentang penderita retardasi mental masih sangat terbatas. Masyarakat
masih menganggap mereka adalah “idiot” yang sudah tidak mampu berkembang
kearah yang lebih baik. Akibatnya orang tua lebih menyukai untuk menjauhi
penderita atau mengamankan anak-anaknya untuk tidak bermain dengan penderita.
Selain, selalu muncul pertanyaan dalam benak orang tua penderita tentang bagaimana
cara mengasuh anak-anak yang terdiagnosa mengalami retardasi mental, para orang
tua juga terpaksa harus rela menerima label negatif dari lingkungan sekitar. Para
orang tua merasa kesulitan menjelaskan kondisi anaknya kepada lingkungan
sekitarnya. Orang tua menjadi sangat tertekan dan lebih menyukai anak main di
rumah daripada harus keluar rumah.
Terapi Perilaku dengan menggunakan reinforcement positif sebagai sarana
untuk melatih kemandirian anak dengan retardasi mental merupakan terapi yang
paling sederhana yang dapat dipergunakan untuk penderita retardasi dimana melatih
kemampuan dasar yang dapat berguna bagi pengembangan kemandirian dari
penderita retardasi mental tersebut. Melihat latar belakang diatas perlu bagi pihak-
pihak yang terkait dengan perkembangan anak yang mengalami retardasi mental
khususnya orang tua dalam usaha meningkatkan menjadi lebih baik dalam hal ini
lebih mandiri dari keadaan sekarang, diantaranya menggunakan teknik reinforcement
positif pada anak dengan retardasi mental.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa yang dimaksud dengan retardasi mental?
1.2.2 Apa yang penyebabkan anak mengalami retardasi mental?
1.2.3 Apa yang dimaksud dengan terapi perilaku?
1.2.4 Apa yang dimaksud dengan dengan reinforcement positif?
1.2.5 Bagaimana peran terapi perilaku dengan menggunakan reinforcement
positif terhadap anak yang mengalami retardasi mental?

1.3 Tujuan Masalah


1.3.1 Untuk mengetahui pengertian mengenai retardasi mental.
1.3.2 Untuk mengetahui penyebab anak mengalami retardasi mental.
1.3.3 Untuk mengetahui pengertian mengenai terapi perilaku.
1.3.4 Untuk mengetahui pengertian mengenai reinforcement positif.
1.3.5 Untuk mengetahui peran terapi perilaku dengan menggunakan
reinforcement positif terhadap anak yang mengalami retardasi mental.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Retardasi Mental

Retardasi Mental ialah keadaan dengan inteligensi kurang (abnormal) sejak


masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa kanak-kanak) atau keadaan
kekurangan inteligensi sehingga daya guna sosial dan dalam pekerjaan seseorang
menjadi terganggu. Retardasi mental dapat mengenai anak-anak dan remaja dengan
indikasi yang ditemukan dibawah umur 18 tahun, dengan ciri yang khusus yaitu
fungsi intelektual yang rendah. Fungsi intelektual yang rendah dapat mengakibatkan
cara berpikir yang terlalu sederhana, daya tangkap dan daya ingatnya lemah,
demikian pula dengan pengertian bahasa dan berhitungnya juga sangat lemah. Hal ini
berpengaruh juga kepada perilaku adaptif penderita retardasi mental (mengalami
gangguan perilaku adaptif) yaitu kurang mampu untuk mandiri, kesulitan
menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitar, kurang mempunyai tanggungjawab
sosial dan budayanya, dan tingkah lakunya kekanak-kanakan. Tingkat retardasi
mental menurut kesepakan Asosiasi Keterbelakangan Mental Amerika Serikat
(American Association of Mental Retardation) digolongkan sebagai berikut :
a. Retardasi mental lambat belajar (slow learner) – IQ = 85-90
b. Retardasi mental taraf berbatasan (borderline) – IQ = 70-84
c. Retardasi mental ringan (mild) – IQ = 55-69
d. Retardasi mental sedang (moderate) – IQ = 36-54
e. Retardasi mental berat (severe) – IQ = 20-35
f. Retardasi mental sangat berat (profound) – IQ = 0-19
2.2 Penyebab Retardasi Mental

Penyebab anak mengalami retardasi mental tidak dapat dipisahkan dari


tumbuh kembang anak tersebut. Seperti diketahui faktor penentu tumbuh kembang
seorang anak pada garis besarnya adalah faktor genetik/heredokonstitusional yang
menentukan sifat bawaan anak tersebut dan faktor lingkungan. Yang dimaksud
dengan lingkungan pada anak dalam konteks tumbuh kembang adalah suasana
dimana anak tersebut berada. Dalam hal ini lingkungan berfungsi sebagai penyedia
kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang. Penyebab seorang anak mengalami
retardasi mental diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Retardasi mental primer
Retardasi mental primer dipengaruhi oleh dua kemungkinan yaitu
kemungkinan faktor keturunan (retardasi mental genetik) dan kemungkinan tidak
diketahui (retardasi mental simpleks). Faktor genetik merupakan modal dasar
dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Melalui intruksi
genetik yang terkandung dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan
kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Ditandai dengan intensitas dan kecepatan
pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas, dan
berhentinya pertumbuhan tulang. Yang termasuk faktor genetik antara lain adalah
berbagai faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin, suku bangsa
atau bangsa. Potensi genetik yang bermutu hendaknya dapat berinteraksi dengan
lingkungan secara positif sehingga diperoleh hasil akhir yang optimal. Gangguan
pertumbuhan dinegara maju lebih sering diakibatkan oleh faktor genetik ini.
Sedangkan dinegara yang sedang berkembang, gangguan pertumbuhan selain
diakibatkan oleh faktor genetik , juga faktor lingkungan yang kurang memadai
untuk tumbuh kembang anak yang optimal., bahkan kedua faktor ini dapat
menyebabkan kematian anak-anak sebelum usia balita
b. Retardasi mental sekunder
Retardasi mental sekunder dipengaruhi oleh faktor luar yang diketahui
dan mempengaruhi otak (faktor prenatal, faktor perinatal dan faktor postnatal).
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin ketika
masih dalam kandungan (faktor prenatal), antara lain adalah gizi ibu pada waktu
hamil, endokrin, infeksi, stress, imunitas, anoksia embrio dan toksin/zat kimia.
Contoh kasus yang terjadi pada tahun 2015 ini yaitu masalah kebakaran lahan dan
asap yang ada di Riau. Jika masalah asap ini tidak segera diatasi, maka akan
sangat membahayakan kondisi anak-anak, baik itu yang balita maupun yang
masih berada dalam kandungan. Asap akan berakibat pada gangguan fisik dan
mental pada janin ketika telah lahir nanti. Bagi janin, ketika sudah lahir dan
menjadi bayi dapat berakibat pada keterbelakangan mental atau idiot (retardasi
mental). Asap juga dapat menyebabkan kecacatan bagi bayi karena sejak dalam
kandungan janin telah terpapar asap secara rutin. (Senin, 28 September 2015,
Riau Online, Pekanbaru)
Pada faktor perinatal seorang anak dapat mengalami retardasi mental,
penyebabnya antara lain : Prematuritas, Asfiksia, Kernikterus, Hipoglikemia,
Meningitis, Hidrosefalus, Perdarahan intraventrikular. Kebanyakan anak retardasi
mental disebabkan karena prematuritas. Penelitian dengan 455 bayi dengan berat
lahir 1250 g atau kurang menunjukkan bahwa 85% dapat mempelihatkan
perkembangan fisis rata-rata, dan 90% memperlihatkan perkembangan mental
rata-rata. Penelitian pada 73 bayi prematur dengan berat lahir 1000 g atau kurang
dari normal, menunjukkan IQ yang bervariasi antara 59-142, dengan IQ rata-rata
94. Keadaan fisis anak-anak tersebut baik, kecuali beberapa yang mempunyai
kelainan neurologis, dan gangguan mata. Banyak peneliti berpebdapat bahwa
semakin rendah berat lahirnya bayi maka semakin banyak kelainan yang dialami
baik fisis maupun mental. Asfiksia, hipoglikemia, perdarahan intraventrikular,
kernikterus, meningitis dapat menimbulkan kerusakan otak yang ireversibel, dan
merupakan penyebab timbulnya retardasi mental.
Seorang anak dapat mengalami retardasi mental dipengaruhi oleh faktor
postnatal pada saat tumbuh kembangnya. Faktor lingkungan post-natal yang
mempengaruhi tumbuh kembang anak secara umum dapat digolongkan menjadi :
a. Lingkungan biologis, antara lain : ras/suku bangsa, jenis kelamin, gizi, umur,
kepekaan terhadap penyakit, perawatan kesehatan, penyakit kronis, fungsi
metabolisme, hormon.
b. Faktor fisik, antara lain : cuaca, musim, keadaan geografis suatu daerah,
sanitasi, keadaan rumah, tingkat radiasi disekitar lingkungan rumah.
c. Faktor psikososial, antara lain : stimulasi, motivasi belajar, ganjaran atau
hukuman yang wajar, kelompok sebaya, stress, sekolah, cinta dan kasih
saying, kualitas interaksi anak dan orang tua.
d. Faktor keluarga dan adat-istiadat, antara lain : pekerjaan/pendapatan
keluarga, pendidikan ayah/ibu, kepribadian ayah/ibu, stabilitas rumah tangga,
jumlah saudara, agama, adat istiadat yang berlaku disetiap daerah, kehidupan
poitik dalam masyarakat.
Betapa kompleksnya pengaruh lingkungan terhadap tumbuh kembang
anak, dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 1 : Pengaruh lingkungan terhadap tumbuh


kembang anak
2.3 Pengertian Terapi Perilaku (Behavior Therapy)

Terapi perilaku adalah salah satu teknik yang digunakan dalam menyelesaikan
tingkah laku yang ditimbulkan oleh dorongan dari dalam dan dorongan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup, yang dilakukan melalui proses belajar agar
bisa bertindak dan bertingkah laku lebih efektif lalu mampu menanggapi situasi dan
masalah dengan cara yang lebih efektif dan efesien. Masalah-masalah dalam terapi
perilaku adalah perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan harapan, artinya
kebiasaan-kebiasaan negatif atau tidak tepat. Perilaku seperti ini merupakan hasil dari
interaksi yang salah dengan lingkungannya, sehingga mengakibatkan penyimpangan
perilaku. Jadi perilaku yang tidak sesuai dengan harapan dan tingkah laku yang sama
sekali berbeda dengan perilaku normal merupakan masalah dalam terapi perilaku.
Dalam setiap pemberian terapi tentu saja mengharapkan sebuah hasil yang
tampak dari terapi tersebut. Dalam terapi perilaku yang memfokuskan pada
persoalan-persoalan perilaku spesifik atau perilaku menyimpang, bertujuan untuk
menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Tujuan dari terapi perilaku
secara umum, antara lain menghapus pola tingkah laku maladaptive atau
maladjustment (perilaku yang mempunyai dampak merugikan bagi
individu/masyarakat), membantu belajar tingkah laku konstruktif, dan merubah
tingkah laku.

2.4 Reinforcement positif

Reinforcement dapat dikatakan sama atau serupa dengan penghargaan, dan


sering kali banyak psikolog yang menggunakan kedua istilah ini sebagai sesuatu yang
sama. Untuk para ahli behaviorisme, sebuah stimulus adalah sebuah reinforcement
ketika stimulus ini memperkuat perilaku yang sebelumnya, baik itu menyenangkan
ataupun tidak menyenangkan bagi yang bersangkutan. Demikian juga sebaliknya,
seberapa pun menyenangkan atau tidaknya suatu stimulus, namun bila stimulus ini
tidak meningkatkan kemungkinan munculnya respon maka hal ini tidak bisa disebut
sebagai reinforcement.
Sebagian besar teori Skinner adalah tentang perubahan tingkah laku, belajar
dan modifikasi perilaku. Bersama banyak teoritikus, Skinner yakin bahwa
pemahaman tentang kepribadian akan tumbuh dari tinjauan tentang perkembangan
tingkah laku organisme manusia dalam interaksinya yang terus menerus dengan
lingkungan. Maka, interaksi ini telah menjadi pusat sejumlah besar penelitian
eksperimental yang dilakukan secara cermat. Konsep kunci dalam sistem Skinner
adalah prinsip perkuatan (principle of reinforcement), maka pandangan Skinner
sering disebut teori perkuatan operan (operant reinforcement theory).
Reinforcement positif maksudnya adalah suatu peristiwa yang bila hadir
mengikuti suatu perilaku tertentu dapat menyebabkan perilaku tersebut akan diulangi.
Reinforcement positif adalah sesuatu yang diberikan menyusul suatu tingkah laku
apakah itu hadiah (reward) atau hukuman (punishment). Pada proses reinforcement
positif (positive reinforcement), sebuah konsekuensi yang menyenangkan membuat
sebuah respons perilaku lebih mungkin untuk sering muncul. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa reinforcement positif merupakan prosedur memperkuat perilaku dimana
respons diikuti oleh penyajian atau peningkatan intensitas stimulus yang memperkuat
perilaku, sebagai hasilnya repons ini semakin kuat dan semakin mungkin terjadi.

2.5 Peran Terapi Perilaku Dengan Menggunakan Reinforcement Positif


Terhadap Anak yang Mengalami Retardasi Mental

Dalam mengatasi masalah terkait dengan bidang kesehatan masyarakat


terutama berhubungan dengan psikis, perlu adanya peran psikologi kesehatan dalam
penerapannya. Psikologi Kesehatan dalam hal ini dikembangkan untuk memahami
pengaruh psikologis terhadap bagaimana seseorang menjaga dirinya agar tetap sehat,
dan mengapa mereka menjadi sakit dan untuk menjelaskan apa yang mereka lakukan
saat mereka jatuh sakit. Selain mempelajari hal-hal tersebut di atas, psikologi
kesehatan mempromosikan intervensi untuk membantu orang agar tetap sehat dan
juga mengatasi kesakitan yang dideritanya. Psikologi kesehatan tidak mendefinisikan
“sehat” sebagai tidak sakit. Sehat dilihat sebagai pencapaian yang melibatkan
keseimbangan antara kesejahteraan fisik, mental dan sosial. Psikologi kesehatan
mempelajari seluruh aspek kesehatan dan sakit sepanjang rentang hidup. Psikologi
kesehatan fokus pada pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, seperti bagaimana
mendorong anak mengembangkan kebiasaan hidup sehat, bagaimana meningkatkan
aktivitas fisik, dan bagaimana merancang suatu kampanye yang dapat mendorong
orang lain. Konsep dari Psikologi Kesehatan ini menyangkut pada ilmu perilaku,
terutama pada perilaku seseorang dalam mempertahankan status kesehatannya. Dari
perilaku sehat (health behavior) maka akan memberikan kontribusi nyata kepada
peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Terkait dengan Psikologi kesehatan, maka bentuk intervensi kepada anak
yang mengalami retardasi mental dapat dilakukan dengan menggunakan behavior
therapy atau perilaku dengan menggunakan reinforcement positif. Terapi perilaku
menerapkan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori
belajar. Terapi perilaku ini menyertakan penerapan sistematis prinsip-pinsip belajar
pada perubahan perilaku ke arah cara-cara yang lebih adaptif dan menjadikan lebih
mandiri. Tujuan pemberian terapi ini menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses
belajar. Dasar alasannya bahwa semua perilaku dapat dipelajari, termasuk perilaku
yang maladaptif. Jika perilaku belajar maladaptif sebelumnya sudah tersimpan dalam
memori, maka dengan menggunakan terapi ini perilaku belajar yang tersimpan di
dalam memori bisa dihapus dari ingatannya., dan perilaku yang lebih efektif bisa
diperoleh. Salah satu yang penting dalam modifikasi tingkah laku adalah
penekanannya pada tingkah laku yang bisa didefinisikan secara operasional, diamati
dan diukur. Intervensi diatas diambil dikarenakan sesuai pada kondisi anak dengan
retardasi mental yang umumnya anak tersebut tidak mempunyai kepercayaan diri
yang baik, memiliki kapasitas intelektual yang rendah karena fungsi kognitif tidak
berkembang sesuai dengan usianya, memiliki perilaku yang menyimpang dari anak
normal, dan memiliki kecenderungan kesulitan dalam menyelesaikan masalah karena
pemahaman konsep serta kemampuan konsentrasinya sangat kurang.
Merujuk pada proses penerapan intervensi dalam menerapkan terapi perilaku
dengan menggunakan teknik reinforcement positif terhadap anak yang mengalami
retardasi mental, harus disertai dengan mengoptimalkan peran keluarga, ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini yaitu :
a. Instruksional harus menggunakan kata yang sederhana, singkat, jelas agar
mudah dipahami.
b. Terapis dalam melakukan intervensi harus lebih sabar, telaten.
c. Terapis harus pintar dalam melakukan kegiatan, misalnya diberikan
permainan yang menarik.
d. Terapis harus mengetahui benda yang dapat mempengaruhi perilaku dari
orang dewasa yang mengalami retardasi mental, misalnya kue manis, permen.
e. Orang tua atau keluarga harus dapat menerima kenyataan yang ada tentang
kondisi ananya, sehingga dapat membantu proses intervensi yang dilakukan
oleh terapis.
f. Keluarga harus merubah sikap bagaimana memperlakukan anaknya, misalkan
tidak memarahi subyek lagi, tidak memukul subyek.
g. Peran keluarga adalah melaksanakan apa yang sudah diajarkan dalam terapi
dengan dipandu oleh terapis.
h. Peran keluarga adalah selalu menciptakan lingkungan yang mendukung untuk
perubahan perilaku subyek.
Intervensi terapi perilaku menggunakan reinforcement positif ini
dimaksudkan sebagai latihan keterampilan awal yang harusnya diajarkan pada
kehidupan anak dengan retardasi mental sedini mungkin sebagai usaha awal
memandirikan mereka. Beberapa kegiatan rutin harian yang perlu diajarkan meliputi
kegiatan atau keterampilan mandi, makan, menggosok gigi, dan ke kamar kecil
(toilet), serta kegiatan lainnya yang sangat erat kaitannya dengan aspek kesehatan
seseorang. Kegiatan atau keterampilan bermobilisasi, berpakaian dan merias diri,
selain berkaitan dengan aspek kesehatan juga berkaitan dengan aspek sosial budaya,
ditinjau dari sudut sosial budaya maka pakaian merupakan salah satu alat untuk
berkomunikasi dengan manusia lain. Dengan demikian jelaslah bahwa pakaian ini
bukan saja untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat biologis material, tetapi juga
akan berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sosial psikologis. Berpakaian yang
cocok atau serasi baik dengan dirinya ataupun keadaan sekelilingnya akan dapat
memberikan kepercayaan pada diri sendiri.
Tujuan intervensi terapi perilaku menggunakan reinforcement positif ini
adalah agar anak dengan retardasi mental dapat mandiri dengan tidak atau kurang
bergantung pada orang lain dan mempunyai rasa tanggung jawab. Sedangkan fungsi
dari intervensi terapi perilaku menggunakan reinforcement positif ini adaah untuk :
1) Mengembangkan keterampilan-keterampilan pokok atau penting untuk memelihara
dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan personal.
2) Untuk melengkapi tugas-tugas pokok secara efisien dalam kontak sosial sehingga
dapat diterima di lingkungan kehidupannya,
3) Meningkatkan kemandirian.
a. Usaha membersihkan diri dan merapikan diri.
Semua orang mempunyai kepentingan terhadap kebersihan dan kerapian
diri, karena hal ini sangat penting untuk menjaga kelangsungan hidup dan
kesehatan. Dengan hidup sehat, manusia akan terhindar dari segala macam
penyakit. Kebersihan dan kerapian mempunyai fungsi etik dan kesopanan.
Orang kadang-kadang merasa tidak sopan bila membiarkan dirinya kotor.
Kebersihan dan kerapian juga mempunyai fungsi sosial. Orang-orang yang
memperhatikan kebersihan dan kerapian dirinya, akan lebih dihargai dalam
hidup bermasyarakat daripada mereka yang kurang memperhatikan hal
tersebut. anak dengan retardasi mental harus dilatih untuk memperhatikan
kebersihan dan kerapian dirinya, agar terhindar dari penyakit dan lebih
mendapat penghargaan daripada emreka yang membiarkan dirinya kotor.
b. Berbusana.
Berbusana sama artinya dengan berpakaian. Berbusana mempunyai
fungsi untuk menjaga kesehatan dan kesusilaan, berbusana juga berfungsi
untuk menambah keindahan badan dan berbusana sangat penting bagi
kehidupan manusia. Oleh karena itu anak dengan retardasi mental sangatlah
perlu dilatih untuk berbusana dengan rapi, sopan, sesuai dengan keadaan,
sehingga mereka mempunyai rasa percaya diri dan dapat mengembangkan
perasaan estetis. Pakaian yang bersih, rapi dan serasi akan membuat
pemakainya kelihatan gagah, tampan, dan cantik.
c. Makan dan minum.
Makan dan minum merupakan bagian vital bagi kelangsungan hidup
manusia. Tanpa makan dan minum manusia tidka dapat mempertahankan
hidupnya. Makan dan minum juga mempunyai fungsi sosial dan susila.
Makanan dan minuman kadang-kadang juga dipakai untuk menyenangkan
orang lain misalnya pada waktu bertamu. Cara makan dan minum seseorang
dapat menunjukkan status sosial, tingkat pendidikan dan kebiasaan sehari-
hari. Makan adalah proses yang rumit, dan jauh lebih rumit di awal-awal
tahapan belajar. Bagi anak dengan retardasi mental cara makan dan minum
haruslah dialtihkan karena mereka tidak langsung dapat melakukan sebelum
adanya latihan. Anak dengan retardasi mental tidak memiliki koordinasi yang
baik, ketidak mampuan fisik yang mungkin mengganggu cara kerja tangan.
Jika anak makan sendiri, mungkin membutuhkan waktu yang lama, dan
malahan isi makanannya berantakan. Semua anak suatu waktu enggan
menghadapi makanannya, baik itu makan yang disukai maupun yang tidak
disukai. Bantuan dan dorongan harus diberikan agar anak mau makan sampai
selesai. Dengan makan dan minum yang teratur, kesehatan anak dengan
retardasi mental akan lebih terjaga, dan akan lebih terdidik.
d. Menghindari bahaya.
Menghindari bahaya adalah sama artinya dengan menyelamatkan diri.
Setelah orang yang tertimpa bahaya akan berusaha menghindarkan diri atau
menyelamatkan diri karena ini merupakan suatu refleks. Dengan kecerdasan
yang terbatas anak dengan retardasi mental tidak mampu untuk meramalkan
akibat-akibat perbuatan yang tidak mereka ketahui mengapa bahaya itu tiba.
Oleh karena itu mereka haruslah diajarkan untuk mengetahui apa yang
berbahaya dan bagaimana cara menghindarkan diri dari bahaya itu. Dengan
melalui latihan ini diharapkan anak dapat menjaga keselamatan dirinya dan
dapat menghindarkan diri dari bahaya yang mungkin akan terjadi.
e. Bidang kesehatan lingkungan.
Bidang kesehatan lingkungan meliputi: Bagaimana menanamkan
kebiasaan yang baik mengenai kesehatan, kesadaran tentang pentingnya
kesehatan, misalnya: menanamkan rasa tanggung jawab kebersihan,
memelihara kebersihan di rumah dan sekitarnya, memelihara kebersihan
kelas, sekolah, mengenalkan instansi-instansi yang menangani kesehatan
rakyat, belajar bertanggung jawab atas kesehatan umum.
Kemandirian yang diharapkan meningkat dari anak retardasi mental adalah
yang berhubungan dengan fungsi intelektual dan fungsi adaptasi, meliputi perilaku
anak agar dapat merawat dan mengurus diri mulai dari mandi, berpakaian, makan,
minum, mengatur diri, dan bekerja dalam arti mengerjakan tugas dari sekolah, dan
kesehatan misalnya mencuci tangan sebelum makan dan sebelum tidur. Selain itu
anak retardasi mental usia sekolah diharapkan lebih menguasai kemampuan yang
melibatkan proses belajar dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari seperti
konsep waktu. Anak tidak hanya menerapkan konsep waktu dengan mengetahui
angka pada jam, tetapi juga memahaminya bila dihubungkan dengan waktu pagi,
siang, sore, atau malam. Tujuan utama dari peningkatan kemandirian adalah anak
dapat memenuhi tuntutan hidup, bertanggung jawab pada tugas hariannya, dan
mengurangi ketergantungan pada orang sekitarnya, sehingga mencapai tahap
kemandirian sesuai yang diharapkan lingkungannya.
Kemandirian merupakan tujuan utama bidang pendidikan untuk
mendewasakan anak didik. Anak dengan retardasi mental sedang sampai berat
mungkin akan cukup lama beradaptasi dengan pekerjaan sederhana dan keterampilan
yang bersifat rutin yang telah diajarkan, walaupun sebenarnya menurut pandangan
orang normal tugas-tugas tersebut hanya memerlukan kemampuan sederhana.
Intervensi terapi perilaku dengan reinforcement positif ini diajarkan pada anak
dengan retardasi mental, dengan tujuan agar anak dapat mengurus dirinya sendiri,
tanpa minta bantuan orang lain. Atau dengan kata lain dapat melatih kemandirian
anak tersebut.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

a. Retardasi Mental ialah keadaan dengan inteligensi kurang (abnormal) sejak


masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa kanak-kanak) atau keadaan
kekurangan inteligensi sehingga daya guna sosial dan dalam pekerjaan
seseorang menjadi terganggu.
b. Penyebab anak mengalami retardasi mental tidak dapat dipisahkan dari
tumbuh kembang anak tersebut. Seperti diketahui faktor penentu tumbuh
kembang seorang anak pada garis besarnya adalah faktor
genetik/heredokonstitusional yang menentukan sifat bawaan anak tersebut dan
faktor lingkungan.
c. Terapi perilaku adalah salah satu teknik yang digunakan dalam menyelesaikan
tingkah laku yang ditimbulkan oleh dorongan dari dalam dan dorongan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup, yang dikukan melalui proses belajar
agar bisa bertindak dan bertingkah laku lebih efektif lalu mampu menanggapi
situasi dan masalah dengan cara yang lebih efektif dan efesien.
d. Reinforcement positif merupakan prosedur memperkuat perilaku dimana
respons diikuti oleh penyajian atau peningkatan intensitas stimulus yang
memperkuat perilaku, sebagai hasilnya repons ini semakin kuat dan semakin
mungkin terjadi.
e. Terkait dengan Psikologi kesehatan, maka bentuk intervensi kepada anak
yang mengalami retardasi mental dapat dilakukan dengan menggunakan
behavior therapy atau perilaku dengan menggunakan reinforcement positif.
Terapi perilaku ini menyertakan penerapan sistematis prinsip-pinsip belajar
pada perubahan perilaku ke arah cara-cara yang lebih adaptif dan menjadikan
lebih mandiri. Tujuan intervensi terapi perilaku menggunakan reinforcement
positif ini adalah agar anak dengan retardasi mental dapat mandiri dengan
tidak atau kurang bergantung pada orang lain dan mempunyai rasa tanggung
jawab.

3.2 Saran

3.2.1 Bagi Orangtua :


 Diharapkan orang tua yang memiliki anak retardasi mental dapat
menerima anaknya apa adanya.
 Orang tua yang memiliki anak retardasi mental harus tahu kemampuan
yang bisa dijadikan modal untuk memberikan pendidikan guna kemajuan
anaknya.
 Orang tua yang memiliki anak retardasi mental memperlakukan dengan
cara memberi perhatian, kasih sayang, tidak memukulnya, apabila
melakukan kesalahan.
 Orang tua tidak menghukum yang membuat anak menjadi takut (cemas),
misalnya dalam berkata orang tua tidak menggunakan kata yang bernada
kasar atau menghina apabila anak melakukan kesalahan.
 Jika ditemukan keterlambatan pertumbuhan atau perkembangan pada
anaknya, orang tua harus proaktif untuk segera membawa kepada dokter
atau psikolog agar cepat dapat tertangani masalah keterlambatan
pertumbuhan atau perkembangannya.
 Orang tua bersama guru atau terapis saling bekerjasama untuk
menumbuhkan semangat anak untuk belajar.
3.2.2 Bagi Masyarakat yang disekitarnya Terdapat Anak Retardasi Mental
 Masyarakat harus bisa menerima keadaan anak tersebut, misalnya tidak
mencela, tidak menjauhi.
 Apabila anak tersebut keluar rumah, masyarakat bisa memberikan
informasi kepada orang tuanya, agar segera bisa di temukan.
3.2.3 Bagi Psikolog, praktisi, dan Pemerhati Retardasi Mental
 Diharapkan kepada para psikolog, praktisi dapat memberikan contoh
bagaimana cara mengasuh atau memberikan intervensi kepada orang tua
yang memiliki anak yang retardasi mental.
 Diharapkan kepada para pemerhati pro aktif dalam memberikan
pengetahuan kepada para orang tua, agar apabila menemukan anak yang
mengalami retardasi mental supaya cepat membawa orang tuanya dan
anak tersebut kepada psikolog, dokter, praktisi agar tidak terlambat dan
cepat tertangani.
3.2.4 Bagi Sekolah, terutama sekolah dengan kebutuhan anak khusus
 Pihak sekolah diharapkan memberikan stimulasi, dan metode penanganan
yang tepat untuk mengoptimalkan kemampuan anak retardasi mental.
 Guru kalau kalau memberikan hukuman sekiranya yang dapat mendidik
anak, misalnya dengan menulis kata sebagai latihan motorik.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. 2003. Pendidikan “Bagi Anak Berkesulitan Belajar”. Jakarta :


Rineka Cipta.
Gunarsa, S. 2003. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta : BPK Gunung
Mulia.
Sunaryo. 2004. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Wade, Carole dan Carol Tavris. 2008. Psikologi Edisi Kesembilan Jilid 1. Jakarta :
Penerbit Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai