Anda di halaman 1dari 7

Nama : Niswatun Aulia Hanifah

NIM : B0117042

Kelas : 5B

TUGAS AKHIR SEMESTER

TELAAH PRANATA MASYARAKAT JAWA

A. Pengertian Pranata Masyarakat

1) Pengertian Pranata

 Menurut Koentjaraningrat, pranata adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang
berpusat pada aktivitas-aktivitas khusus dalam kehidupan masyarakat. Pengertian ini
menekankan pada sistem tata kelakuan atau norma-norma untuk memenuhi kebutuhan. Atau
diartikan juga oleh beliau sebagai unsur-unsur yang mengatur perilaku para warga masyarakat
yang berinteraksi.
 Soekanto, pranata merupakan lembaga kemasyarakatan yang lebih menunjuk pada suatu
bentuk dan sekaligus mengandung pengertian-pengertian abstrak perihal adanya norma-norma
dan peraturan tertentu yang menjadi ciri-ciri suatu lembaga.
 Bruce J. Cohen mengartikan pranata sebagai sistem pola-pola sosial yang tersusun rapi dan
relatif bersifat permanen serta mengandung perilaku-perilaku tertentu yang kokoh dan terpadu
demi pemuasan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat.
 Menurut Mac Iver dan Page, pranata adalah tata cara dan prosedur yang telah diciptakan untuk
mengatur hubungan antarmanusia yang berkelompok dalam suatu kelompok masyarakat.
 Joseph S, Rucek dan Roland L. Waren, berpendapat pranata sosial adalah pola-pola yang
mempunyai kedudukan tetap untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia yang muncul dari
kebiasaan-kebiasaan dengan mendapatkan persetujuan dan cara-cara yang sudah tidak
dipungkiri lagi untuk memenuhi konsep kesejahteraan masyarakat dan menghasilkan suatu
struktur.

2) Pengertian Masyarakat

Secara umum, masyarakat merupakan sekumpulan individu-individu yang hidup bersama. Masyarakat
adalah sekelompok orang yang mebentuk sebuah sistem semi tertutup, yaitu sebagian besar interaksi
individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Istilah masyarakat umumnya mengacu pada
sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas teratur.

 Menurut Selo Soemardjan, mengatakan bahwa masyarakat sebagai orang-orang yang hidup
bersama dan menghasilkan kebudayaan.
 Menurut Paul B.Horton, mengatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang
relatif mandiri dengan bersama dalam jangka waktu cukup lama, mendiami suatu wilayah
tertentu dengan memiliki kebudayaan yang sama dan sebagian besar kegiatan dalam kelompok
itu.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian pranata masyarakat adalah suatu
tatacara atau norma yang mengatur tingkah laku kehidupan masyarakat. Norma tersebut bisa tertulis
maupun tidak tertulis. Nyatanya norma tersebut dapat mengatur tingkah laku suatu masyarakat. Di
Indonesia, pranata masyarakat diartikan sebagai suatu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat tertentu
secara turun-temurun. Sehingga menjadikannya sebagai suatu kebiasaan.

B. Upacara Kalang Obong

1) Pengertian Upacara Kalang Obong

Upacara kalang obong, salah satu upacara yang dilakukan orang Kalang untuk mensucikan arwah
keluarga yang sudah meninggal dunia. Kalang Obong berarti pembakaran jasat orang yang telah
meninggal dari keluarga Kalang. Hanya saja yang dibakar bukan jasat yang sebenarnya seperti upacara
ngaben di Bali, tetapi hanya tiruan yang meninggal, berupa boneka dari kayu jati atau yang disebut
puspa. Puspa ini diberi pakaian yang disenangi semasa almarhum masih hidup. Sedang jati untuk
membuat puspa harus kayu yang baik, tidak cacat, tidak ada ruas dahan.

Dalam upacara Kalang Obong ini bisa jadi puspa yang dibakar tidak hanya satu, tetapi bisa lebih sesuai
dengan arwah yang disucikan. Maksud dari upacara Kalang Obong untuk mensucikan arwah yang telah
meninggal. Jadi sebenarnya, iasat almarhum sudah dikubur dan upacara Kalang Obeng diadakan setelah
yang meninggal lepas 1000 hari. Maka tidak mengherankan kalau di kubur-kubur batu orang Kalang
masih ditemukan fragmen tulang manusia beserta berbagai macam bekal kubur.

2) Tempat Pelaksanaan

 Rumah keluarga yang mengadakan upacara


 Tempat terbuka (lapangan terbuka)

3) Waktu Pelaksanaan

 Sore hingga tengah malam

4) Pelaku

 Dukun wanita
 Keluarga yang melakukan upacara
 Tamu undangan (masyarakat Kalang)

5) Perlengkapan

 Puspa (boneka dari kayu jati)


 Kerbau
 Itik
 Petel
 Paju (tatah)
 Rumah-rumahan panggung kecil
 Dupa
 Air
 Bakul
 Nasi
 Uang logam
 Periuk
 Hidangan makan dan kue
 Empat buah gagar mayang yang terdiri dari : mayang (bunga Pinang), manggar (bunga kelapa)
dan daun beringin. Semuanya ditancapkan di batang pisang untuk dudukan.
 Nasi buceng (nasi tumpeng yang dibentuk kerucut) dengan lauk pauk telur ayam. kudupan dan
lain-lain yang mengelilingi tumpeng.
 Ayam panggang
 Terasi, bawang merah lombok merah, ditusuk-tusuk seperti sate, paling atas lombok lalu
ditancapkan di atas tumpeng.
 Berbagai iajan pasar.
 Kembang setaman.
 Kendi. berisi air.
 Pisang raja setangkep (dua sisir).
 Sirih sekapan
 Jenang putih, jenang merah, jenang bero (terbuat dari bekatul halus).
 Pakaian orang yang meninggal.
 Tikar

6) Proses Upacara

Sebelum dilaksanakan pembakaran di lapangan, di rumah keluarga yang mengadakan upacara,


dilaksanakan upacara selamatan lebih dahulu. Justru upacara di rumah inilah yang lebih sakral.

Sebelum puspa di bawa ke tempat pembakaran dengan cara digendong layaknya mengendong anak
kecil, di rumah dilaksanakan beberapa acara ritual. Kelengkapan acara ritual, diantaranya kerbau yang
sudah disembelih. isi perut dan dagingnya diambil, dimasak untuk selamatan. Kerbau yang tinggal
kepala, tulang dan kulitnya di taruh di depan rumah, menghadap pintu seperti layaknya kerbau hidup
dengan posisi ndhekem/njerum. Kalau yang meninggal dan diadakan upacara obong hanya seorang,
kerbau ini bisa digantikan kambing, kalau yang meninggal 1-6 kerbau bisa diganti lembu, dan lebih dari 6
orang yang akan dibakar, harus kerbau. Namun bagi keluarga mampu, meskipun yang disucikan hanya
seorang bisa dengan kerbau. Selain kerbau yang sudah disembelih juga itik yang masih hidup.

Konon kerbau ini sebagai kendaraan yang meninggal ketika menuju nirwana masih berjalan di daratan.
Sedang Itik sebagai kendaraan apabila yang meninggal menyeberang sungai atau lautan. Puspa dari
dalam rumah digendong keluar mengikuti sang dukun. Sampai di halaman dimana kerbau diletakkan,
puspa diminta dukun, kemudian dibawa mengelilingi kerbau tiga kali, lalu dinaikkan di atas punggung
kerbau, dipindah tiga kali dari bawah ke atas. Selanjutnya ditaruh di atas punggung itik dan diangkat naik
turun juga 3 kali. Setelah itu puspa kembali di istirahatkan di tempat semula . (di dalam rumah).

Menjelang tengah malam, upacara menaikan puspa di punggung kerbau dan punggung itik kembali
dilakukan, kemudian baru puspa dibawa ke tanah lapang tempat pelaksanaan pembakaran. Sang dukun
yang memimpin upacara berjalan di depan dengan membawa petel dan paju (tatah) yang dipukul-
pukulkan sehingga berbunyi thing....thing...thing.... sepanjang perjalanan menuju tempat pembakaran.
Di tempat pembakaran telah disediakan rumah-rumahan panggung kecil, terbuat dari bambu, atap
ilalang. Puspa di taruh di dalamnya. Kemudian sang dukun membakar dupa sambil membaca mantra,
lalu rumah-rumahan kecil yang di dalamnya berada puspa dibakar sampai habis menjadi abu. Kalau
rumah dan puspa telah menjadi arang/abu, kemudian di siram air. Abu dikumpulkan, ditaruh di bakul
yang lelah disediakan, lalu dibawa ke sungai untuk dilarung. Konon apabila dukun yang memimpin palsu
atau laki-laki, api tidak mau menyala.

Seusai menaikan puspa di punggung kerbau dan itik tahap pertama, kemudian puspa diistirahatkan
kembali, diadakan upacara menjual nasi yang dipimpin (penjual) sang dukun. Penjualan nasi ini hanya
simbolis bukan untuk di makan, karena nasi yang diberikan si pembeli hanya sekitar sesuap kemudian
dikembalikan di tempat yang telah disediakan. Nasi yang dijual dinamakan nasi kuku. Bisa jadi sebutan
kuku ini karena nasi yang diberikan sedikit, sebesar kuku. Ada lagi yang menyebutkan kuku berarti kukut
atau habis atau selesai. Uang untuk membeli harus uang logam bukan uang kertas. Uang hasil penjualan
nasi dikumpulkan dimasukkan dalam periuk untuk diikutkan dalam pembakaran. Acara jual nasi ini juga
dilakukan 2 kali. Saat upacara jual nasi pertama, para tamu diberi hidangan makan dan kue.

C. Tradisi Ceprotan

1) Pengertian

Ceprotan merupakan tradisi Bersih Desa yang wajib digelar tiap Hari Senin Kliwon, Bulan Longkang atau
Selo kalender Jawa. Tujuannya, untuk menyingkirkan marabahaya dari segenap penjuru desa. Tak sekali
pun warga berani melewatkan. Kalau tidak dilakukan sugesti dari masyarakat sini, banyak orang sakit,
menanam tidak jadi. Sehingga sampai kapan pun tetap diadakan tradisi adat Ceprotan. .

Seperti halnya beberapa tradisi lain di Tanah Jawa, kelahiran upacara adat Ceprotan juga menampilkan
tokoh Panji. Latar belakang kisah ini adalah runtuhnya Kerajaan Kediri yang terbagi menjadi dua
kerajaan kecil. Yakni Jenggolo dan Doho.

Konon, romantika sepasang anak manusia dari lingkungan kerajaan turut menjadi korban perpecahan.
Jalinan asmara antara Raden Panji Wanengpati dan Dewi Sekartaji tercerai berai. Keduanya terpaksa lari
dari istana untuk menyelamatkan diri.

Selama puluhan tahun, terus saling mencari satu sama lain. Akhirnya, mereka pun bertemu di sebuah
tempat yang menjadi cikal bakal bedirinya Desa Sekar.
Dewi Sekartaji menyamar menjadi Brambang Bawang. Sedangkan Raden Panji Wanengpati menjadi Kyai
Godheg. Pada saat Raden Panji babat hutan disini ketemu dengan Dewi Sekartaji. Kata Sekar sendiri
diambil dari nama Dewi Sekartaji.

Selama ratusan tahun, kisah yang terkandung dalam upacara adat Ceprotan telah menjadi cerita turun
temurun. Meskipun banyak pihak meyakini, tokoh Panji yang ditampilkan merupakan sosok fiktif namun
sebagian warga tetap meyakini pria yang dikenal sakti mandaraguna itu adalah nenek moyang mereka.

2) Tempat Pelaksanaan

 Halaman rumah Kepala Desa Sekar, Kecamatan Donorojo, Pacitan

3) Waktu Pelaksanaan

 Hari Senin Kliwon, Bulan Longkang atau Selo di kalender Jawa.


 Sore hari

4) Pelaku

 Kepala Desa sebagai Raden Panji Wanengpati (Kyai Godheg)


 Istri Kepala Desa sebagai Dewi Sekartaji (Brambang Bawang)
 Pemuda
 Warga desa Sekar dan wisatawan

5) Perlengkapan

 Dupa
 Kemenyan
 Panggung kecil berukuran 2x2 meter
 Janur sebagai pagar
 Daun beringin
 Tungku
 Tempat dupa
 Pakaian pria khas Jawa
 Tandu setinggi 2 meter
 Jadah
 2 ekor ayam panggang
 Jajanan lainnya
 Gamelan
 Janur kuning berbentuk Gapura
 Kelapa muda

6) Proses
Kepulan asap dupa mulai berpadu dengan temaram senja yang beranjak petang. Semerbak bau
kemenyan menyeruak semakin menambah suasana magis. Di panggung kecil berukuran 2x2 meter
berpagar janur dan daun beringin, juru kunci menghadap tungku tempat dupa. Mulutnya komat-kamit
membaca mantera. Ini adalah ritual awal dimulainya Ceprotan.

Beberapa saat kemudian, sekelompok orang dengan pakaian khas Jawa membawa tandu setinggi 2
meter. Di dalamnya terdapat sesaji yang terdiri beragam jenis makanan. Mulai dari ketan yang ditanak
dan dipadatkan bernama Jadah, ayam panggang, hingga aneka penganan lainnya

Berada di garda depan Iman Tukidjo yang memerankan Kyai Godeg dan sang istri Dewi Sekartaji yang
diperankan Sri Gianti, istri Iman Tukidjo. Dengan gerakan serba tertata seirama suara gamelan,
keduanya mengantar sesaji hingga ke depan gapura yang terbentuk dari janur kuning.

Ritual yang diperagakan ini mencerminkan perjalanan Kyai Godeg bersama Dewi Sekartaji saat memulai
kehidupan hari tua sebagai guru.

Seperti tergambar dalam prosesi, dua ekor ayam dimasak panggang yang sebelumnya berada di dalam
tandu akhirnya dibawa oleh dua orang yang berlarian ditengah halaman. Sedangkan ratusan warga yang
berada sisi kanan kiri halaman saling berebut melemparnya dengan kelapa muda. Siapa yang berani
merebut panggang maka akan diceprot (lempar, red) dengan kelapa. Itu menggambarkan para murid
Kyai Godheg yang berebut saat makan.

Setelah hampir 2 jam mengikuti keseluruhan prosesi, Upacara Adat Ceprotan pun berakhir. Dengan
tubuh basah kuyup akibat lemparan kelapa, dua kelompok yang umumnya masih berusia muda
berkumpul di tengah halaman. Mereka kemudian larut dalam sorak sorai menandai perhelatan usai.
DAFTAR PUSTAKA

Hoery, J.F.X. 2014. Napak Tilas Wong Kalang Bojonegoro. Yogyakarta : Elmatera Publishing.

Horton, Paul B.- Hunt, Chester L. (1992). Sosiologi, (terj.). edisi keenam, Jakarta: Penerbit Erlangga

Koentjaraningrat. (1996). Pengantar Antropologi; Jakarta: Rineka Cipta.

Soemardjan, Selo-Soemardi, (1974). Setangkai Bunga Sosiologi; Jakarta: Lembaga Penerbit

Soekanto, Soerjono. (1983). Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Sosial, Jakarta: CV Rajawali.

https://m.detik.com/news/berita-jawa-timur/d-2059005/melongok-tradisi-ceprotan-upacara-adat-
bersih-desa-khas-pacit

Anda mungkin juga menyukai