semalam Gunung Agung meletus. Wisatawan beraktivitas di Pura Besakih yang berlatar belakang Gunung Agung meletus di Karangasem, Bali, Selasa (28/11/2017). Kawasan Pura Besakih termasuk dalam zona awas Gunung Agung yaitu sekitar 9 km dari kawah, namun masih ada sejumlah wisatawan nekat ke obyek wisata tersebut. Pengelola Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai menyatakan operasional penerbangan berlangsung aman dan lancar setelah Gunung Agung mengalami gempa letusan dengan menyemburkan abu setinggi sekitar 1.500 meter dari puncak kawah pada Senin (1/1) malam. Kepala Komunikasi Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai Arie Ahsanurrohim di Denpasar, Selasa menjelaskan tidak ada penerbangan yang terganggu dan tidak ada maskapai yang membatalkan penerbangan. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah III Denpasar menyebutkan satelit cuaca Himawari mendeteksi pergerakan debu gunung mengarah ke barat daya Senin malam tadi. Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyebutkan terjadi hujan abu intensitas tipis di Desa Badeg, Yeha, Temukus, Besakih dan Muncan. Selain itu juga di Desa Angantaka Kabupaten Badung dan Peguyangan di Denpasar Utara. Hujan abu tipis hingga di luar Karangasem kni terbawa angin yang bertiup ke arah barat daya dan barat. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyebutkan hujan abu juga terjadi di Pos Pengamatan Gunung Agung di Desa Rendang, Karangasem, berjarak sekitar 12 kilometer jika ditarik garis lurus dari kaki gunung. Pada pengamatan setiap enam jam mulai 18.00-24.00 WITA Senin malam lalu, PVMBG merekam gempa letusan sebanyak satu kali dengan amplitudo 25 mm berdurasi sekitar empat menit pukul 22.02 WITA. PVMBG mencatat adanya hembusan sebanyak empat kali, vulkanik dangkal dan vulkanik dalam dengan arah angin yang tertiup lemah arah barat daya dan barat. Sementara itu pada pengamatan pukul 00.00 hingga 06.00 WITA hari ini PVMBG merekam asap kawah tidak teramati dan angin bertiup lemah ke arah barat daya dan barat, selain mencatat hembusan sebanyak empat kali dan vulkanik dalam tiga kali. 27 Agustus 1883: Krakatau Meledak Dahsyat, Bulan menjadi Biru 27 Agu 2017, 10:35 WIB Hari ini, 134 tahun lalu, Selat Sunda bak neraka. Gunung Krakatau yang tidur panjang selama 200 tahun menggeliat. Ia tak sekadar meletus, melainkan meledakkan diri hingga hancur berkeping-keping. Puncaknya terjadi Senin, 27 Agustus 1883, tepat pukul 10.20, Krakatau meletus dahsyat. Kekuatannya setara 150 megaton TNT, lebih 10.000 kali kekuatan bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki di Jepang. Melenyapkan pulau dan memicu dua tsunami, dengan tinggi 40 meter, menewaskan lebih dari 35 ribu orang. Itu versi resmi. Sejumlah laporan menyebut, korban mencapai 120 ribu. Kerangka-kerangka manusia ditemukan mengambang di Samudera Hindia hingga pantai timur Afrika sampai satu tahun setelah letusan. Suara ledakan dan gemuruh letusan Krakatau terdengar sampai radius lebih dari 4.600 km hingga terdengar sepanjang Samudera Hindia, dari Pulau Rodriguez dan Sri Lanka di barat, hingga ke Australia di timur. Letusan tersebut masih tercatat sebagai suara letusan paling keras yang pernah terdengar di muka bumi. Siapapun yang berada dalam radius 10 kilometer niscaya menjadi tuli. The Guiness Book of Records mencatat bunyi ledakan Krakatau sebagai bunyi paling hebat yang terekam dalam sejarah. “Akibatnya tak hanya melenyapkan sebuah pulau beserta orang-orangnya, melainkan membuat mandeg perekonomian kolonial yang berusia berabad-abad," demikian ungkap Simon Winchester, penulis buku Krakatoa: The Day the World Exploded, August 27, 1883. Letusan Krakatau juga menciptakan fenomena angkasa. Lewat abu vulkaniknya. Abu yang muncrat ke angkasa, membuat Bulan berwarna biru. Pasca letusan tersebut, Krakatau hancur sama sekali. Mulai pada 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau. Ia sangat aktif dan terus bertumbuh. Akankah ia akan meletus seperti induknya? Tak ada yang tahu. Anak Krakatau adalah satu dari 100 gunung berapi yang terus dipantau NASA melalui satelit Earth Observing-1 atau EO-1. Ada dua alasan yang membuat NASA terus mengamati Anak Krakatau. Selain karena terus-menerus bererupsi, ini juga dilatarbelakangi faktor historis.