Anda di halaman 1dari 11

HUKUM ISLAM PADA ZAMAN SAHABAT

Tugas ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Tarikh Tasri’ ,
Semester Genap / 6, Tahun 2020

Dosen Pengemban : Sofia Gussevi M.Ag

Disusun oleh :

Edah Sa’adah :0101.1701.090

Listiani : 0101.1701.101

Rika Wulandari : 0101.1701.106

Syamsul Ma’arif : 0101.1701.112

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


STAI DR KHEZ MUTTAQIEN
PURWAKARTA
2020
Abstrak
Sumber penetapan hukum di masa Nabi adalah al-Quran dan as-
Sunah. Nabi SAW merupakan rujukan tertinggi dalam berfatwa dan memutuskan
hukum. Lalu setelah Nabi wafat dan wahyu tidak turun lagi, kepemimpian umat
dalam urusan dunia dan agama beralih ke tangan Khulafa’u Rasyidin dan para
sahabat terkemuka. Mereka itulah yang mulai memikul beban dan bangkit dalam
tugas berat ini.

Masa sahabat sebenarnya adalah massa transisi dari masa hidup dan
adanya bimbingan Rasululloh kepada masa Rasululloh tidak lagi mendapingi
umat Islam. Ketika Rasulullah masih hidup sahabat menggunakan tiga sumber
penting dalam pemecahan hukum, yaitu Al-qur’an, Sunah Ra’yu (nalar).

I. PENDAHULUAN

Dengan terjadinya perluasan wilayah Islam semakin kompleks pula


permasalahan yang dihadapi, dari situ muncul berbagai macam problematik yang
belum pernah teriadi sebelumnya, yang tidak ditunjuk secara langsung oleh nash,
baik dalam kitab maupun Sunnah. IniIah pertama kalinya fiqh berhadapan dengan
persoalan baru, yakni menyelesaikan atas masalah kemanusiaan dalam suatu
masyarakat yang pluralistik.

Para sahabat khususnya pada pcriode ini memainkan peranan yang sangat
penting dalam membina hukum Islam. Paraa sahabat dengan kapasitas
pemahaman yang komprehensif terhadap Islam karena lamanya bergaul dengan
Nabi, dan menyaksikan sendiri proses turunnya syariat, menyikapi setiap
persoalan yang muncul dengan merujuk kepada AlQr'an dan Sunnah Nabi.
Mereka melakukan interpretsi terhadap sebahagian wahyu yang bersifat global
dan menggali kandungan-kandungan moral yang terdapat di dalam Al-Qur'an.
Ada kalanya mereka menemukan nash Al-Qur'an atau petunjuk Nabi yang secara
jelas menunjuk pada peraoalan, tetapi dalam banyak ha1 mereka harus menggali

1
kaedah-kaedah dasar dan tujuan moral dari berbagai thema dalam Al-qur'an untuk
diaplikasikan terhadap persolan-persolan baru yang tidak dijumpai ketentuan
nashnya. Berbicara tentang tasyrik di masa sahabat ini akan menuntut untuk
berbicara panjang lebar, tetapi di dalam jurnal ini pembicaraannya hanya terbatas
pada bagian-bagian yang sudah dibatasi, di antaranya, Pengaruh fatwa dalam
perkembangan hukun Islam, Sumber hukum islam pada zaman sahabat, sebab
Ikhtilaf pada zaman sahabat. Bagian inilah yang akan dijelaskan pada
pembahasan.

A. Pengaruh Fatwa terhadap Perkembangan Hukum Islam


Fatwa-fatwa yang diungkapkan para sahabat pada zaman khulafaur
rasyidin mempunyai pengaruh terhadap perkembangan hukum islam. Banyak para
ulama dan imam madzhab merujuk pada pendapat para sahabat besar. 
Sahabat melakukan penelaahan terhadap Alquran dan Sunah dalam
menyelesaikan suatu kasus. Apabila tidak didapatkan dalam Alquran dan Sunnah,
mereka melakukan ijtihad. Ijtihad dalam menyelesaikan kasus disebut fatwa, yaitu
suatu pendapat yang muncul karena adanya peristiwa yang terjadi. Dengan
dimuainya ijtihad oleh para sahabat, permasalahan-permasalahan kontemporer
umat islam dapat terselesaikan dengan bijak dan benar. Hal ini kemudian
mendorong para ulama sesudah masa sahabat besar untuk mengembangkan lagi
ijtihad mereka guna menemukan penyelesaian permasalahan-permasalahan
hukum islam, bahkan masalah yang belum dihadapi. 
Sahabat telah menentukan thuruq al-istinbath dalam menyelesaikan kasus
yang dihadapi. Thuruq al-Istinbath tersebut digunakan dalam rangka
menyelesaikan kasus yang dihadapi. Sehingga generasi sahabat kecil dan tabiin
mengikuti jejak shahabat besar dalam menyelesaikan suatu perkara.
B. Sumber hukum islam pada masa sahabat

Pada masa sahabat, hukum Islam mengalami perkembangan sejalan dengan


semakin luasnya wilayah kekuasaan umat Islam dan seiring dengan perubahan
kondisi sosial pada masa itu. Banyak sekali persoalan-persoalan baru yang
muncul di kalangan umat Islam pada masa itu yang memerlukan penentuan

2
hukum. Oleh karena itu dalam memutuskan setiap perkara, para sahabat selalu
berpedoman pada al-Quran dan Hadits sebagai sumber hukum Islam pertama.
Namun bila tidak dijumpai dalam al-Quran dan hadits, para sahabat menggunakan
ijtihad sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah.

Para sahabat sangat berhati-hati dalam menggunakan akal (ra’yu).


Kebanyakan mereka mencela ra’yu. Yang mereka cela bukanlah apa yang mereka
lakukan, tetapi mereka mencela apabila mengikuti hawa nafsu dalam berfatwa
tanpa bersandar pada pokok agama. Dengan demikian, pada masa sahabat ada
empat sumber hukum, yaitu:
1.  Al-Quran sebagai pegangan (landasan)
2.  As-Sunah
3.  Qiyas dan ra’yu (pendapat) sebagai cabang al-Quran dan Sunnah
4.  Ijma’ yang bersandar pada al-Quran, Sunah dan qiyas.
Alasan para sahabat melakukan ijtihad, ialah karena mereka melihat
Rasulullah melakukan ijtihad bila wahyu Ilahi tidak turun. Suatu ketika Rasul
mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman. Rasul bertanya kepada Mu’adz, “Dengan
apa engkau menghukumi sesuatu?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi dengan
Kitab Allah.” Kemudian Rasul bertanya lagi, “Jika tidak kamu jumpai dalam
Kitab Allah?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Sunnah
Rasulullah.” Dan Rasul bertanya lagi, “Dan jika kamu tidak menjumpai dalam
Sunnah Rasulullah?” Jawab Mu’adz, “Saya berijtihad dengan
pendapatku.” Kemudian Rasul membenarkannya seraya memuji Allah atas
limpahannya Taufik-Nya.
Para sahabat yang pernah mengalami hidup bersama Nabi Muhammad,
diantara mereka banyak yang hafal Al-Qur’an dan Hadits. Karena keistimewaan
inilah mereka memiliki keahlian untuk menjelaskan nash-nash tersebut jika ada
pertanyaan atau persoalan yang muncul pada masa itu. Karena para sahabat
mengetahui sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dan sebab-sebab Nabi
bersabda, maka mereka memahami tentang ketetapan hukum serta maksud dan
tujuan ditetapkan hukum untuk menjamin kemaslahatan ummat. Diantara para

3
sahabat yang termasyhur yakni, Abu bakar, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khatab,
Usman bin Affan, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Abu Musa, Abdullah bin
Amir bin As, Zaid bin Tsabit dll.
Dan dalam berijtihad tidak jarang para sahabat berbeda pendapat. Keputusan
fiqih yang berbeda ini karena beberapa hal, misalnya:
a.      Perbedaan persepsi dalam menjawab persoalan dan pertanyaan yang muncul.
Misalnya dalam sebuah riwayat disebutkan, Rasulullah berdiri ketika
menyaksikan jenazah orang Yahudi. Ini melahirkan keragaman penafsiran, apakah
Nabi tidak tahu bahwa jenazah tersebut adalah orang Yahudi, sehingga, andaikata
Nabi mengetahui ia tidak akan berdiri, atau apakah Nabi tahu, sehingga
penghormatan jenazah itu perlu tanpa memandang agama si mayit, ataukah Nabi
tidak mau kalau ketika mayit melintas, posisi Nabi lebih rendah sehingga beliau
berdiri.
b.      Perbedaan pendapat juga dapat terjadi karena sebuah hadits diketahui oleh orang
tertentu yang tidak dipakai atau diketahui oleh orang lain. Contohnya perbedaan
pendapat tentang najis mughalladzah, doa qunut dalam shalat subuh dll.
c.       Hadits yang dipandang tidak kuat, sehingga harus ditinggalkan. Dalam sebuah
riwayat disebutkan bahwa Fatimah binti Qais bersaksi di hadapan Umar bahwa ia
ditalak suaminya tiga kali, dan Rasulullah tidak menentukan baginya nafkah dan
tempat tinggal. Umar menolak kesaksiannya itu dan berkata, “Saya tidak akan
meninggalkan Kitab Allah hanya karena ucapan seorang wanita yang tidak saya
ketahui benar dan tidaknya. Dia berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal”.
d.      Keragaman pengetahuan tentang nash juga melahirkan perbedaan pendapat. Nabi
pernah memberi keringanan kepada sahabat untuk nikah mut’ah pada tahun
Khaibar dan Authas, kemudian melarangnya. Berdasarkan keputusan Nabi tadi,
sebagian orang islam mengatakan bahwa nikah mut’ah yang tadinya
diperbolehkan itu telah dinasakh dengan larangannya, dan tidak pernah
diperbolehkan itu telah diperbolehkan lagi. Sebagian lain berpendapat bahwa
dilarang dan diperbolehkannya nikah mut’ah itu karena pertimbangan tertentu,
bukan tanpa alasan seperti pendapat pertama.

4
Namun demikian perbedaan tersebut tidak menimbulkan perpecahan di
kalangan para sahabat. Perbedaan itu ditanggapi dengan bijaksana. Perbedaan
dianggap sebagai sesuatu yang sudah biasa (fitrah) dan rahmat bagi manusia. Hal
inilah yang patut kita teladani dalam menyikapi segala perbedaan.
C. Sebab Ikhtilaf pada Zaman Sahabat
1. Perbedaan yang disebabkan oleh sifat Alquran.

Dalam alquran terdapat kata atau lafadz yang bermakna ganda (isytira’).
Umpamanya firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228, Wanita-wanita yang
ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Q.S. Al-Baqarah: 228)
Kalimat “yang diceraikan oleh suaminya hendaklah menunggu tiga kali quru’,“
membuat para sahabat berbeda pendapat. Perbedaan ini disebabkan kata quru’
mengandung dua arti yakni Al-haidl dan at-thuhr. Adanya dua makna ini
membuat terjadinya perbedaan pendapat. Umar ibn Khattab memilih makna al-
haidl sebagai makna quru’. Sedangkan sahabat Zaid bin Tsabit menggunakan
makna At-tuhr. 

Hukum yang ditentukan Alquran masing-masing “berdiri sendiri” tanpa


mengantisipasi kemungkinan bergabungnya dua sebab pada satu kasus. Misalnya
pada alquran terdapat ketentuan bahwa waktu tunggu (iddah) bagi wanita yang
dicerai karena suaminya meninggal dunia adalah 4 bulan 10 hari.Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila Telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali)

5
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat. (Q.S. Al-Baqarah: 234)

Dan iddah wanita yang hamil adalah sampai melahirkan disebutkan dalam
alquran adalah tiga bulan. Sebagaimana firman Allah: Dan perempuan-perempuan
yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu
ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan;
dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-
perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.(Q.S. At-Thalaq: 4)

Dua ayat tersebut tidak mengantisipasi kemungkinan terjadinya seorang


wanita yang hamil ditinggal mati oleh suaminya. Apakah yang berlaku baginya
iddah hamil atau iddah wafat? Hal inilah yang membuat terjadinya perbedaan
pendapat diantara sahabat. Ada yang beranggapan bahwa hukum wanita haidh
yang ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan 10 hari seperti shahabat Umar. Ada
yang beranggapan menggunakan iddah hamil karena ayat iddah hamil turun
setelah iddah mati seperti kata ibnu mas’ud. Tapi sahabat Ali dan Banu Abbas
menggunakan iddah terpanjang diantara dua iddah tersebut.

2. Perbedaan pendapat yang disebabkan oleh sifat Sunnah

Tidak semua sahabat memiliki penguasaan yang sama terhadap sunnah. Di


antara mereka ada yang penguasaan sunnahnya cukup luas, ada pula yang sedikit.
Hal itu terjadi karena perbedaan mereka dalam menyertai nabi.Adayang intensif
dan ada yang tidak, ada yang paling awal masuk islam dan ada pula yang paling
akhir. Kadang-kadang riwayat telah sampai pada seorang sahabat tetapi tidak atau
belum sampai pada sahabat lain, sehingga diantara mereka ada yang
mengamalkan ra’y karena ketidaktahuan mereka terhadap Sunnah. Umpamanya
Abu Hurairah berpendapat bahwa orang yang masih junub pada waktu shubuh,
tidak dihitung berpuasa ramadhan, (man ashabaha junub (an) fa la shaum lah).

6
kemudian pendapat ini didengar oleh aisyah yang berpendapat sebaliknya. Aisyah
menjadikan peristiwa dengan nabi sebagai alas an. Maka Abu Hurairah menarik
kembali pendapatnya. 

Sahabat berbeda pendapat dalam penakwilan Sunnah. Umpamanya, thawaf.


Sebagian besar sahabat berpendapat bahwa bersegera dalam thawaf adalah
sunnah, sedangkan Ibnu Abbas berpendapat bersegera dalam thawaf tidak sunnah.
Perbedaan struktur masyarakat dan perubahan zaman menimbulkan perbedaan
dalam menetapkan sesuatu pendapat. 
3. Perbedaan pendapat dalam menggunakan Ra’yu
Adapun perbedaan pendapat di kalangan sahabat yang disebabkan oleh
penggunaan ra’yu diantaranya perbedaan pendapat antara Umar dan Ali tentang
permepuan yang menikah dalam waktu iddahnya. Menurut Umar, apabila seorang
wanita menikah dalam masa iddahnya, tetapi ia belum dukhul, maka pasangan itu
wajib dipisah. Dan perempuan itu wajib menyelesaikan waktu tunggunya. 

Apabila sudah dukhul, pasangan itu harus dipisahkan dan menyelesaikan dua
waktu tunggu. Waktu tunggu dari suami yang pertama dan waktu tunggu dari
suami berikutnya. Sedangkan menurut ali, perempuan itu hanya diwajibkan
menyelesaikan waktu tunggu yang pertama. Ali berpegang pada keumuman ayat,
sedangkan Umar berpegang pada tujuan hukum, yakni agar orang tidak lagi
melakukan pelanggaran.
D. Perkembangan hukum Islam

Perkembangan hukum islam mulai menunjukkan perkembangan dinamisnya sejak


kurun waktu yang relative lama. Dalam potret sejarah penetapan hokum Islam,
perkembangan pemikiran hokum Islam dalam realitas empiric dapat diidentifikasi
secara sistematis sejak periode Rasulullah SAW. Hingga era kontemporer saat
ini.Nabi Muhammad SAW. Adalah orang yang pertamakali memberikan fatwa
kepada manusia dalam agama Islam, beliau memberi fatwa dengan wahyu yang
diturunkan kepadanya, sepeninggal beliau gelar pemberi fatwa disandang oleh
para sahabatnya seperti Umar bin Khotob, Alin bin abi thalib, Abdullah bin

7
Mas’ud, Aisyah, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin ‘Abbas, dan lain-lain.kemudian
setelah para sahabat, generasibfatwa disandang oleh para tabi’in yang tersebar di
berbagai daerah kekuasaan Islam. Di Madinah ada Sa’id bin Musayyab, di
Makkah terdapat Atha’ bin rabah, di Kufah terdapat Ibrahim an-Nakha’i, dan lain-
lain. Pada masa sahabat dan Tabi’in orang-orang islam telah terbiasa meminta
fatwa kepada siapapunbtanpa menentukan kepada mufti tertentu, demikian pula
pada masa ini ulama’ yang memenuhi syarat berijtihadlah yang berani memegang
amanat fatwa. Akan tetapi pada masa selanjutnya kecenderungan ijtihad
mengalami gejala kelesuan yang dengan sendirinya taqlid menjadi pilihan dan
pola pikir sebagian besar generasinya

Dalam realitanya, pada masa selanjutnya, pasca masa kelesuan beruijtihad


(jumud) perkembangan hukum Islam senantiasa menampakkan potret keragaman
pemikiran yang amat varian, baik berkenaan dengan konstruk teori-teori
pemikiran Hukum Islam yang bersifat mendasar maupun beberapa aspek khusus
yang bersifat parsial. Dalam perkembangannya hukum Islam senantiasa
mengalami pasang surut terkait dengan perbedaan dikalangan para ulama’,
implikasi dari perbedaan ini terdapat pro dan kontra, ada pandangan yang
beranggapan bahwa perbedaan merupakan biang perpecahan, namun tidak sedikitr
yang beranggapan bahwa perbedaan merupakan sebuah hikmah yang mendorong
perkembangan dalam hukum Islam.

Secara garis besar, penyebab perbedaan sejak masa sahabat, tabi’in, sampai
munculnya madhab terutama madhab fiqh karena disebabkan beberapa hal;

a. perbedaan rujukan atau kutipan nash/hadis karena kondisi dan tempat,


b. perbedaan memahami nash,
c. perbedaan pengetahuan yang mereka miliki (metodologi),
d. perbedaan tingkat sosio cultural, sosio historis dan stratifikasi masyarakat
tempat mereka berdomisili,
e. subyektivitas para imam.

8
Sejarah telah membuktikan bahwa segala usaha untuk membuat hukum Islam
senantiasa relevan di setiap tempat dan masa telah dilakukan untuk membentuk
hukum Islam yang sesuai dengan ajaran Islam, walaupun harus memberantas
segala kekacauan pemahaman keagamaan yang bersumber dari sisa dan
kelanjutan masa sebelumnya. Banyaknya fatwa yang dikeluarkan oleh setiap
Imam menambah wawasan pemikiran yang luas serta menjadikan hokum Islam
senantiasa dinamis.

9
Daftar Pustaka

https://www.tongkronganislami.net/tarikh-tasyri-masa-khulafaur-rasyidin/

10

Anda mungkin juga menyukai