Anda di halaman 1dari 39

EMOSI

MAKALAH PSIKOLOGI FAAL

Ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Faal yang dibimbing oleh Ainindita
Aghniacakti,M.Psi

Oleh:

Kelompok 3 Psikologi C

Khoiruddin Hidayatullah (19410085)

Cilika Aidah (19410089)

Rosita Nur Savitri (19410091)

Azhar Amirul Mudzaki (19410100)

Maghfira Aulia Rahman (19410112)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

FAKULTAS PSIKOLOGI

Tahun 2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................................1
PEMBAHASAN...................................................................................................................................2
A. Pengantar.................................................................................................................................2
B. Emosi sebagai Respon Pola.....................................................................................................2
1. Rasa Takut...........................................................................................................................2
2. Marah, Agresif, dan Impuls Kontrol..................................................................................5
3. Kontrol Hormon Atas Perilaku Agresif...........................................................................18
C. Penyampaian Emosi..............................................................................................................21
1. Ekspresi Wajah dari Emosi : Respon Bawaan................................................................21
2. Dasar Neuron dari Penyampaian Emosi : Pengenalan...................................................22
3. Dasar Neuron dari Penyampaian Emosi : Ekspresi........................................................30
D. Perasaan Emosi......................................................................................................................33
1. Teori James-Lange............................................................................................................33
2. Umpan Balik dari Ekspresi Emosi...................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................38

1
PEMBAHASAN
A. Pengantar

1. Pengetrian

Emosi berasal dari kata emotion dalam bahasa Prancis atau dalam bahasa Latin

emovere yang artinya keluar. Secara etimologisnya emosi diartikan “bergerak

keluar”. Emosi merupakan suatu konsep yang luas dan tidak dapat dispesifikkan.

Emosi merupakan suatu reaksi bisa positif maupun negatif sebagai dampak dari

rangsangan dari dalam diri sendiri maupun dari luar. Berikut ini pengertian emosi

menurut para ahli:

1. Prez, 1999 merupakan seorang EQ organizasional consultant dan juga pengajar.

Prez mengungkapkan arti emosi adalah suatu reaksi tubuh dalam menghadapi

sesuatu. Sifat dan intensitas emosi terkait erat dengan aktivitas kognitif sebagai hasil

dari persepsi terhadap situasi.

2. Hathersall, 1985 emosi adalah kondisi psikologis yang merupakan pengalaman

subjektif yang dapat diungkapkan atau dilihat dari reaksi wajah atau tubuh.

3. Keleinginan dan Keleinginna, 1981 emosi adalah kondisi yang berhubungan

dengan tujuan tingkah laku. Emosi diatikan sebagai perasaan, misalnya pengalaman

afektif, kenikmatan, marah, bahagia, takut, sedih.

4. William James, emosi yaitu kondisi budi rohani yang menampakkan diri dengan

suatu perubahan yang jelas.

2. Unsur-Unsur Perasaan

Perasaannitunbersifatnsubjektif daripada gejala lain yang dikenal, bersangkut paut

dengan gejala mengenal, perasaan yang dialami sebagai rasa senang, atau tidak
senang, dengan tingkatkan yang berbeda beda. Perasaan lebih erat dengan pribadi

seseorang dan bekaitan dengan gejala kejiwaan lainnya. Sehingga perasaan satu orang

dengan orang lain tidak sama.

3. Macam-Macam Emosi

Emosi pada individu dikelompokan menjadi beberapa bagian, yaitu:

1. Emosi Sensoris: Emosi sensoris yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan

dari luar tubuh seperti dingin, panas, lapar, sakit.

2. Emosi Psikis: merupakan emosi yang memiliki alasan kejiwaan seperti perasaan

intelektual yang berhubungan dengan perasaan benar atau perasaan terkait hubungan

dengan orang lain baik secara perorangan maupun kelompok.

B. Emosi sebagai Respon Pola

Respons emosional terdiri dari tiga jenis komponen yaitu perilaku, otonom, dan

hormonal. Itu komponen behavioral terdiri dari gerakan otot yang sesuai dengan situasi

yang memunculkan hal tersebut misalnya, seekor anjing yang mempertahankan

wilayahnya melawan seekor penyusup pertama mengadopsinpostur agresif, mengeram,

dan menunjukkan giginya. Jika penyusup tidak pergi, pembela berlari ke arahnya dan

menyerang. Respons otonom memfasilitasi perilaku dan memberikan mobilisasi cepat

energi untuk gerakan yang kuat. Dalam contoh ini aktivitas cabang simpatik meningkat

sementara itu dari cabang parasimpatis menurun. Sebagai konsekuensinya, detak jantung

anjing meningkat, dan berubah ukuran pembuluh darah melangsir sirkulasi darah jauh

dari organ pencernaan menuju otot. Responsnhormonal memperkuatnrespons otonom.

Hormon yang disekresikan oleh medula adrenal epinefrin dan norepinefrin peningkatan

lebih lanjut aliran darah ke otot dan menyebabkan nutrisi tersimpan di otot untuk diubah

3
menjadi glukosa. Tambahan, korteks adrenal mengeluarkan hormon steroid, yang juga

membantu membuat glukosa tersedia untuk otot.

1. Rasa Takut

Emosi ketakutan melibatkan berbagai pengalaman fisiologis yang menyertainya

seperti: kecepatan denyut jantung dan tekanan darah akan meningkat, biji mata

membesar (melotot, mendelik), berkeringat, mulut terasa kering, nafas cepat dan

tidak teratur, kadar gula di dalam darah meningkat, gemetar, motilitas gastrointestinal

berkurang, perut mual (mules), terasa lapar, bulu roma berdiri. Reaksi-reaksi

fisioiogis sedemikian ini digerakkan oleh beberapa area sistem urat syaraf otonom

dan sistem limbik. Sistem limbik adalah bagian otak yang sangat berperan dalam

pembentukan tingkah laku emosi (marah, takut, dorongan seksual). Sistem limbik

terdiri dari amigdala, septum, hipotalamus, talamus, dan hipokampus (Masters dkk.

1992).

Cerebra
T
h

r-iypothalamus

. Hippocamp Spinal cord


+mygdal us
a
4
Jika mengalami kekawatiran yang hebat dan berkepanjangan atau merasa

ketakutan menghadapi situasi yang misalnya berjalan di jalan sepi yang berbahaya,

maka sistem limbik akan digerakkan. Emosi takut akan menimbulkan reaksi

behavioral untuk bersembunyi. berlari atau bersiap-siap untuk melawan. Respon

melawan atau lari, berarti tubuh perlu menyiapkan diri secara otomatis, sehingga

akan terjadi perubahan fisiologis yang diperlukan untuk lari atau melawan. Respon

lari atau melawan ternyata mekanisme fisiologisnya sama. Penggerak respon ini

akan diprogram oleh lobus frontalis yang menggerakkan dan menyusun respon-

respon ke hipotalamus (Huffman dkk., 1991). Hipotalamus (ada di otak) akan

menstimulasi (memerintah) kelenjar adrenal (letaknya di atas ginjal) untuk melepas

adrenalin atau lebih tepatnya epineprin ke dalam aliran darah. "Epineprin akan

mengakibatkan denyut jantung meningkat, napas dangkal dan glukose dalam darah

meningkat. Sclanjutnya glukose akan didistribusi ke bagian tubuh yang akan

memerlukan energi ekstra. Misalnya karena takut seperti contoh di atas, akan

menimbulkan keinginan kuat pada seseorang untuk lari, maka sebagian besar dari

glukose darah akan didistribusi ke kaki. Sehingga tidak mcngherankan orang yang

mengalami ketakutan bisa lari kencang atau meloncat jauh lebih tinggi, yang kiranya

mustahil terjadi dalam kondisi normal (dalam kondisi tidak ketakutan). Atau dapat

juga terjadi bila ada keinginan kuat untuk melawan, siap memukul atau mencakar

dengan tangan, maka sebagian besar glukose dalam darah sebagai sumber energi

akan terpusat di sekitar telapak tangan . Akibat redistribusi ini bisa menyebabkan

wajah tampak pucat, telapak tangan dan telapak kaki menjadi lebih dingin (sebagai

indikasi adanya kecemasan dan kegugupan).

5
Perlu dimengerti bahwa wajah yang pucat (memutih) karena sedang mengalami

ketakutan, secara fisiologis bisa jadi sebenarnya ia lebih siap untuk mengadakan

perlawanan atau melarikan diri. Selain itu pada saat yang bersamaan berkaitan

dengan respon menghadapi emosi takut, hormon ACTH (Adreno Corticotropic

Hormone) dilepas. Hormon ini akan mengaktifkan kelenjar adrenal, yang

selanjutnya akan melepaskan kortikoid ke dalam darah. Kortikoid akan membawa

pesan untuk disampaikan ke kelenjar yang lain maupun ke organ tubuh lainnya.

Sebagai contoh Limpa dimobilisasi untuk melepaskan lebih banyak se1 darah merah

ke dalam aliran darah. Sel darah merah akan membawa oksigen dan sari makanan

yang sangat diperlu kan untuk menghadapi tuntutan tubuh selama terjadi emosi takut

tadi. Demikian pula dibagian lain juga terjadi perubahan, misalnya kemampuan

darah untuk membekukan diri meningkat. Keadaan ini dimaksudkan untuk persiapan

mengatasi kerusakan bagian tubuh tertentu yang diakibatkan oleh adanya respon

untuk melawan menghadapi ketakutan tadi. Hati akan melepas sukrose dan vitamin

(B dan C) akan didistribusi ke seluruh otot oleh darah. Lambung melepas asam

hidroklorik yang ber- fungsi untuk mempercepat proses pencemaan makanan

sebagai penunjang adanya kebutuhan energi yang meningkat.

Apabila keadaan takut dan kekhawatiran ini berlanjut, dengan sendirinya respon

akan berlanjut pula. Akibatnya timbul ketegangan otot pada punggung bagian

bawah, bahu, leher dan sering diikuti dengan sakit kepala karena ketegangan.

Keadaan ini dapat dipakai sebagai indikator, bahwa orang tersebut mengalami stres.

Jika stressor ini bertahan, maka tubuh akan melawan terus secara aktif dan giat. Hal

ini akan meningkatkan pengeluaran hormon ACTH, dan apabila stres berlangsung

6
lama akan menguras bahan gizi dan vitamin (sebagai sumber daya tahan tubuh),

yang akhirnya akan menjadi kosong dan kehabisan tenaga. Akibatnya: tubuh rentan

terhadap gangguan berbagai penyakit, disfungsi organik dari berbagai jenis,

penyakit serta kondisi yang berkaitan dengan stres mulai muncul, seperti :

hipertensi, penyakit jantung, gangguan saluran pencernaan makanan, diabetes

mellitus, asma, migren, immunologis, ketegangan menjelang haid, artirtis reumatik,

gangguan kulit di bagian tertentu, beberapa jenis kanker , berbagai jenis gangguan

mental maupun emosional.

2. Marah, Agresif, dan Impuls Kontrol

a. Amarah

Banyak budaya yang menganggap bahwa marah adalah hal yang negative.

Seseorang boleh saja mengekspresikan emosi tertekan yang dirasakan kecuali

marah. Akibatnya banyak yang tidak tahu bagaimana mengekspresikan marah

secara tepat. Beberapa pakar mendefinisikan marah, emosi yang muncul karena

adanya persepsi ketidak adilan, ahli lain mengatakan kemarahan terjadi ketika kita

tidak mendapatkan pengakuan dan penerimaan bahwa seharusnya kita pantas

untuk mendapatkan suatu hal . walaupun banyak definisi yang diungkapkan para

ahli, setiap orang menyepakati bahwa marah adalah perasaan negative yang

membuat ketidaknyamanan bagi yang merasakan.Marah dapat dipengaruhi oleh

faktor eksternal dan internal yaitu faktor biologis, psikologis, perilaku dan sosial.

Semua ini harus didefinisikan dalam konteks keluarga, sosial, dan teman sebaya.

Menyalahkan orang lain merupakan salah satu indikator munculnya kemarahan.

1) Faktor

7
Faktor internal yang mempengaruhi kemarahan diantaranya adalah tipe

kepribadian, kurangnya ketrampilan problem solving, ingatan tidak

menyenangkan, efek hormon, kecemasan, depresi, permusuhan, tekanan,

agitasi, problem system saraf. Kehadiran kondisi tidak menyenangkan

dapat memperkuat rasa marah dan kemampuan untuk mengontrol diri.

Sedangkan faktor eksternal meliputi, pengasuhan orang tua yang negatif,

situasi dan faktor lingkungan (kemacetan, gonggongan anjing, suara

berisik, dan lain sebagainya), efek teman sebaya dan media, status sosial

ekonomi, tekanan sosial. Beberapa emosi negative dapat berubah menjadi

kemarahan, terutama rasa tidak aman dan ketakutan. Marah adalah emosi

yang wajar, namun marah menjadi permasalahan ketika terjadi terlalu

intens, terlalu sering dan tidak tepat mengekspresikannya. Merasakan

marah terlalu sering dan intens dapat mempengaruhi kesehatan fisik.

Apabila marah terjadi dalam waktu yang lama, maka ada bagian dari

sistem saraf yang bekerja sepanjang watu, tekanan pada tubuh

memungkinkan munculnya masalah kesehatan lainnya.

2) Reaksi Biologis

Ketika marah terjadi, tubuh langsung mengalami serangkaian reaksi yang

melibatkan hormone, system saraf dan otot. Tubuh melepaskan adrenalin

yang membuat nafas sesak, kulit memerah, otot tegang, rahang

mengencang, termasuk perut , bahu dan tangan. Seseorang dikatakan

berhenti marah ketika ciri-ciri ini sudah tidak muncul (Novaco, 2000).

3) Aspek Positif dan Negatif dari Marah

8
Marah adalah reaksi yang normal dalam kehidupan sehari-hari. Marah

memberikan sinyal peringatan kepada otak bahwa ada sesuatu yang salah

dan memberikan energi pada tubuh untuk memperbaiki keadaan. Marah

memberikan manfaat berupa pergerakan energi untuk melakukan aksi.

Cara orang mengekspresikan marah dapat memberikan efek yang positif

maupun negatif pada orang lain. Marah membuat kita dapat bertahan

untuk menghadapi berbagai situasi. Ketika marah diekspresikan dengan

konstruktif, serta tidak menyakiti, maka akan memberikan hasil yang

positif seperti mengekspresikan emosi yang penting, mengidentifikasi

permasalahan, upaya menangani kekhawatiran, dan memotivasi

munculnya perilaku yang efektif. Marah yang konstruktif dapat

menurunkan tekanan darah. “It is oke to be angry but not ok to be mean”.

Ketika marah tidak di ekspresikan secara konstruktif dan sehat, maka akan

menimbulkan permusuhan, kebencian,dan perbuatan agresi yang

merugikan. Dampak marah yang akut dapat memicu serangan jantung atau

stroke hingga kematian.

4) Bentuk Kemarahan

a. Ekspresi Destruktif: yaitu ketika seseorang mengekspresikan

marahnya dengan berteriak, membentak, meninju orang lain, merusak

barang, atau melempar barang.

b. Memendam: sama sekali tidak mengekspresikan kemarahan dapat

merusak diri. Beberapa efeknya yaitu dapat meningkatkan resiko tekanan

darah, depresi, bunuh diri, permasalahan gastrointestinal, gangguan

9
pernafasan, dapat menjadi pemicu seseorang merokok, minum, dan

melakukan perbuatan berbahaya untuk dirinya sendiri dan lain sebagainya

5) Amarah Menurut Aristoteles

1. Dengan orang yang tepat: untuk menjaga kedisiplinan sebagai bentuk

tanggung jawab dapat membuat seseorang marah

2. Dengan kadar yang tepat : tidak berlebihan, dan tidak melebih-

lebihkan permasahan pada hal sepele.

3. Pada waktu yang tepat: kemarahan seharusnya tidak salah tempat dan

tidak diekspresikan pada saat yang membuat orang lain malu atau malah

memberontak.

4. Untuk tujuan yang tepat: kemarahan perlu ditunjukkan dengan

maksud untuk memperbaiki atau mengembangkan orang lain atau suatu

hal.

5. Dengan cara yang benar: kemarahan menunjukkan bahwa ada yang

salah dan perlu dikoreksi. Ketidaksenangan dapat diekspresikan dengan

tenang, tegas dan mendapat hasil yang lebih baik.

6) Manajemen Amarah

a. Akuilah bahwa anda marah- hal ini sangat sulit untuk orang yang terlalu

ego (terlalu berfokus pada diri sendiri)

b. Analisis dan identifikasi sumber kemarahan –seringkali problem yang

sesungguhnya sangat kecil tetapi bingung dengan perasaan negatif lainnya

atau sudah menyimpan beberapa masalah dengan orang yang

bersangkutan

10
c. Analisis perasaan marahmu: mengapa kamu merasa marah?

d. Analsis alasan mengapa kamu perlu marah

e. Analisis apakah rasa marahmu memiliki alasan yang masuk akal.

b. Perilaku Agresif

Dari sudut pandang psikologi, ada sejumlah teori besar yang mendasari

pemikiran mengenai agresi, antara lain teori instinct oleh Sigmund Frued, teori

survival oleh Charles Darwin dan teori social learning oleh Neil Miller dan John

Dollard, yang kemudian dikembangkan lagi oleh Albert Bandura. Teori Freud

memandang perilaku agresif sebagai hal yang intrinsik dan merupakan instinct

yang melekat pada diri manusia. Selanjutnya Darwin dengan teori survivalnya

memandang bahwa secara historis, perilaku agresif ini dianggap sebagai suatu

tindakan manusia untuk kebutuhan survivalagartetap dapatmenjaga dan

mengembangkan kemanusiawiannya ataupun membangun dan mengembangkan

komunitas. Teori social learning yang dipelopori oleh Neil Miller dan John

Dollard yang meyakini bahwa perilaku agresif merupakan perolehan daripada

hasil belajar yang dipelajari sejak kecil dan dijadikan sebagai pola respon.

Dalam perkembangannya selanjutnya, Bandura dan Walters (1959, 1963),

mengusulkan satu perbaikan atas gagasan Miller dan Dollard tentang belajar

melalui peniruan. Bandura dan Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak

perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement)

sekalipun yang kita terima. Kita bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui

pengamatan terhadap perilaku model, dan akibat yang ditimbulkannya atas model

tersebut. Proses pembelajaran semacam ini disebut “observational learning”

11
pembelajaran melalui pengamatan. Percobaan Bandura dan Walters (1963)

mengindikasikan bahwa ternyata anak-anak bisa mempunyai perilaku agresif

hanya dengan mengamati perilaku agresif seorang model, misalnya melalui film.

Dari sinilah akhirnya melahirkan beragam perspektif dalam melihat perilaku

agresif.

Kerumitan dalam memahami perilaku agresif menumbuhkan beberapa

pendekatan dalam upaya mencoba menjelaskan dinamika penyebab perilaku

agresif. Beberapa pendekatan beserta masing-masing cara pandang terhadap

perilaku agresif ini diidentifikasi terdiri atas dua bagian besar yaitu;

pendekatan biologis, dan pendekatan psikologis.

1) Pendekatan Biologis

Dalam pandangan biologis, perilaku agresif disebabkan oleh karena

meningkatnya hormon testosterone (Tieger dalam Dunkin, 1995). Walaupun,

peningkatan hormon testosteron saja ternyata tidak mampu memunculkan

perilaku agresif secara langsung. Hormon testosteron dalam hal ini bertindak

sebagai anteseden, sehingga perlu ada pencetus dari luar. Hasil kajian

mengenai peningkatan hormon testosteron terhadap meningkatnya perilaku

agresi ini tidak konsisten. Pada anak lelaki memang meningkat perilaku

agresinya tetapi tidak ditemukan pada anak perempuan (Brigham, 1991; Baron

& Byrne, 1994). Dalam pandangan biologis yang lain, perilaku agresif juga

bisa disebabkan karena adanya abnormalitas anatomis, misalnya kelainan pada

jaringan syaraf otak.

Ada beberapa perspektif agresif yang mencoba untuk menjelaskan perilaku

12
agresif dari sisi pendekatan biologis ini, yaitu perspektif etologi, sosiobiologi

serta genetika perilaku. Dalam perspektif Etologi, perilaku agresif disebabkan

oleh karena faktor instingtif dalam diri manusia dan perilaku ini dilakukan

dalam rangka adaptasi secara evolusioner (Brigham, 1991; Dunkin, 1995).

Perilaku agresif yang dikembangkan biasanya merupakan upaya untuk

mempertahankan teritori dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Dalam

konsep ini dikenal dengan agonistic aggression (Brigham, 1991) yaitu suatu

perilaku agresi yang dilakukan dalam rangka mempertahankan teritori dan

hirarki dominasi. Bahkan Zastrow (2008) masih meyakini dan beranggapan

bahwa manusia itu sama ada halnya hewan, yang juga memiliki naluri

(instinct) bawaan yang sifatnya agresif. Pendapat ini menyiratkan bahwa

naluri (instinct) merupakan faktor yang tidak boleh diabaikan yang bisa

membangkitkan perilaku agresif. Perilaku ini akan muncul manakala

kebutuhan-kebutuhan dasarnya (basic needs) tidak terpenuhi, seperti halnya

kebutuhan akan makan, rasa aman dan kebutuhan dasar lainnya.

Perspektif sosio-biologi percaya bahwa perilaku agresif berkembang karena

adanya kompetisi sosial yaitu kompetisi terhadap sumber daya yang

terbatas. Dalam pandangan ini, manusia diharapkan bertindak agresif ketika

sumber daya yang penting itu terbatas, ketika mengalami ketidaknyamanan,

ketika sistem sosial tidak berjalan dengan baik, dan ketika ancaman dari

pihak luar (Dunkin, 1995). Hal ini dilakukan dalam rangka

mempertahankan kelangsungan hidup manusia. Tindakan ini dilakukan

manusia agar tetap survive, untuk tetap menjaga dan mengembangkan

13
kemanusiawiannya ataupun membangun dan mengembangkan komunitas.

Tanpa agresi manusia akan punah atau dipunahkan oleh pihak lain

(Wiggins, Wiggins & Zanden, 1994; Zastrow, 2008). Perilaku agresif

menurut perspektif ini merupakan sesuatu yang fundamental karena

merupakan strategi adaptasi dalam kehidupannya.

Dalam pandangan lain, kecenderungan perilaku agresif merupakan bagian

dari sifat bawaan genetic individu yang diwariskan dari orang tuanya

(hereditary). Pandangan semacam ini dikenal sebagai perspektif genetika

perilaku. Individu-individu yang berhubungan secara genetis memiliki

kecenderungan agresif yang satu sama lain lebih serupa, dibanding

individu-individu yang tidak memiliki hubungan secara genetis (Krahe,

2001). Hal demikian didasarkan pada bukti empiris bahwa pada

kebanyakan anak yang diasuh oleh orang tua biologis yang memiliki

hubungan genetis dengannya, maka pengaruh-pengaruh sifat bawaan

(nature) dan pola asuh (nurture) dalam perkembangan individu biasanya

berjalan seiring. Penjelasan “nature” dirumuskan oleh Charles Darwin

pada abad kesembilan-belas di mana dalam teorinya dikemukakan bahwa

semua perilaku manusia merupakan serangkaian naluri (instinct) yang

diperlukan agar bisa bertahan hidup. Naluri inilah yang membangun

individu dalam berperilaku berdasarkan pengalaman. Namun, perspektif ini

mendapatkan banyak tentangan, salah satunya daripada Dewey (Wiggins,

Wiggins & Zanden, 1994), yang mengatakan bahwa perilaku kita tidak

sekedar muncul berdasarkan pengalaman masa lampau, tetapi juga secara

14
terus menerus berubah atau diubah oleh lingkungan “situasi kita” termasuk

tentunya orang lain.

2) Pendekatan Psikologi

Banyak perspektif agresi yang dijelaskan secara psikologis yang mencoba

mendiskripsikan bagaimana munculnya perilaku agresif ini. Krahe (2001)

setidaknya mencatat ada tujuh perspektif agresif dalam ranah psikolgikal.

Pertama, adalah perspektif psikoanalisis. Menurut perspektif psikoanalisis

seperti yang dijelaskan oleh Freud bahwa dalam diri manusia selalu

mempunyai potensi bawah sadar yaitu suatu dorongan untuk merusak diri

atau thanatos. Pada mulanya, dorongan untuk merusak diri tersebut ditujukan

untuk orang lain. Operasionalisasi dorongan tersebut dikatakan oleh Baron

dan Byrne (1994) dapat dilakukan melalui perilaku agresif, dialihkan pada

objek yang dijadikan kambing hitam/ korban, atau mungkin disublimasikan

dengan cara-cara yang lebih bisa diterima masyarakat. Bahkan, Freud (dalam

Zastrow, 2008) percaya bahwa, “humans have a death wish that leads them to

enjoy hurting and killing others and themselves,” sehingga tidaklah

mengherankan apabila kita juga sering mendapatkan informasi adanya orang-

orang yang melakukan bunuh diri, karena di dalam diri manusia ada naluri

kematian yang mendorong manusia senang menyakiti tidak hanya kepada

orang lain tetapi juga kepada diri sendiri.

Kedua, adalah perspektif frustrasi-agresi atau hipotesis frustrasi-agresi

(frustration- aggression hypothesis) yang berandaian bahwa bila usaha

seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan, akan timbul

15
dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang

dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustrasi,

demikian ulasan Dollard, Doob, Miller, Mowrer, dan Sears (Brigham, 1991).

Menurut formulasi ini, agresi bukan dorongan bawaan, tetapi karena frustrasi

merupakan keadaan yang cukup universal, agresi tetap merupakan dorongan

yang harus disalurkan. Selanjutnya, Dollard, Doob, Miller, Mowrer, dan Sears

(Brigham, 1991) lebih jauh mengemukakan bahwa walaupun frustrasi

menimbulkan perilaku agresif tetapi perilaku agresif dapat dicegah jika ada

hukuman terhadap pelaku. Dalam kenyataannya, tidak setiap perilaku

agresif dapat diarahkan pada sumber frustrasi, sehingga orang akan

mengarahkan pada sasaran lain (Worchel & Cooper, 1986).

Ketiga, perspektif neo-asosianisme kognitif merupakan pengembangan

daripada hipotesis frustrasi-agresi oleh Berzkowitz (1993). Perspektif ini

menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa yang tidak mengenakkan akan

menstimulasi perasaan negatif (afek negatif). Kemudian, perasaan negatif

selanjutnya akan menstimulasi secara otomatis ke berbagai pikiran, ingatan,

respon fisiologis dan reaksi motorik; yang berasosiasi dengan reaksi melawan

atau menyerang. Asosiasi ini menimbulkan perasaan marah (emosi) dan takut.

Sejauh mana perilaku agresif terbentuk, tergantung kepada proses kognisi

tingkat tinggi seseorang (Brehm & Kassin, 1993). Kekuatan relatif dari respon

menyerang atau melarikan diri tergantung faktor genetik, pengalaman masa

lalu, faktor kognisi, dan faktor-faktor situasi (Brigham, 1991; Brehm &

Kassin, 1993; Baron & Byrne, 1994). Hal demikian sesuai dengan pendapat

16
Steffgen dan Gollwitzer (2007) bahwa emosi bukan hanya merupakan gejala

dalam perilaku agresif, ianya dapat juga merupakan pencetus (trigger),

penguat (amplifer), moderator atau bahkan merupakan ultimate goals dari

perilaku agresif.

Keempat, model pengalihan rangsangan, dibangun berdasarkan teori emosi

dua faktor, yang memiliki pandangan bahwa intensitas pengalaman

kemarahan merupakan fungsi dua komponen, yaitu 1) kekuatan rangsangan

fisiologis yang bangkitkan oleh kejadian aversif, dan 2) cara rangsangan itu

dijelaskan dan diberi label (Schachter, 1964; Zillmann, 1979). Selain itu,

Zillmann (Krahe, 2001) juga merumuskan bahwa jika suatu rangsangan

emosional tidak spesifik dan asalnya tidak segera diketahui dengan jelas oleh

individu, ia akan mencoba mencari penjelasan dengan mendasarkannya

pada stimulus informasional yang ada dalam situasinya saat itu.

Rangsangan – rangsangan fisiologis dari sumber-sumber netral atau tidak

relevan mungkin akan dialihkan ke rangsangan yang ditimbulkan oleh

stimulasi aversif melalui proses miss-attribution (kesalahan atribusi).

Rangsangan yang dibangkitkan oleh sumber yang tidak berhubungan dengan

stimulasi aversif mungkin salah diatribusikan pada kejadian aversif sehingga

mengintensifkan kemarahan yang ditimbulkan oleh kejadian semacam itu.

Tetapi yang penting dalam hal ini adalah adanya kesadaran tentang sumber

asli rangsangan telah hilang, sehingga individu tersebut masih merasakan

rangsangan itu namun sudah tidak lagi menyadari asalnya.

17
Kelima, pendekatan sosial-kognitif, yang dipelopori oleh Huesmann (1988,

1998) telah memperluas perspektif bahwa cara orang memikirkan kejadian

aversif dan reaksi emosional yang mereka alami sebagaisebuah akibat,

merupakan aspek penting dalam menentukan manifestasi dan kekuatan respon

agresifnya. Pendekatan ini telah menemukan titik temu tentang perbedaan

individual dalam agresi sebagai fungsi perbedaan dalam pemrosesan informasi

sosial dengan melontarkan dua issue khas yaitu: 1) perkembangan skemata

(schemata) kognitif yang mengarahkan performa sosial perilaku agresif, dan

2) cara-cara pemrosesan informasi yang spesifik yang membedakan antara

individu yang agresif dan yang non agresi (Krahe, 2001). Pandangan ini

sejalan dengan pemikiran dalam teori kognitif dari Goldstein (dalam Payne,

2005). Teori kognitif Goldstein beranggapan bahwa tingkah laku manusia

digerakkan oleh pikiran, bukan pada sekedar dorongan-dorongan yang tidak

disadarinya, konflik – konflik maupun perasaan – perasaan yang ada pada

dirinya.

Keenam, teori pembelajaran sosial, yang dikembangkan secara lebih luas oleh

Albert Bandura. Teori ini berkeyakinan bahwa perilaku agresif merupakan

perilaku yang dipelajari dari pengalaman masa lalu apakah melalui

pengamatan langsung (imitasi), pengukuh positif, dan karena stimulus

diskriminatif. Perilaku agresif juga dapat dipelajari melalui model (Modeling)

yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau

melalui media massa (Bandura, 1973). Disamping itu, apakah perilaku agresi

akan semakin meningkat atau menurun tergantung sejauh mana

18
pengukuh/penguat diterima. Perilaku agresi yang disertai pengukuh positif

akan meningkatkan perilaku agresi. Pengukuh positif dalam konteks sehari-

hari seringkali diekspresikan dengan persetujuan verbal dari orang-orang di

sekelilingnya (Wiggins Wiggins & Zanden, 1994). Hal ini sering kali

dijumpai pada kelompok yang mempunyai sub budaya agresif separti gang

remaja, kelompok militer, maupun kelompok olah raga beladiri seperti tinju,

silat dan lain-lain. Perilaku agresi yang disertai pengukuh negatif juga mampu

meningkatkan perilaku agresi. Dalam hal ini, perilaku agresi dilakukan karena

seseorang menjadi korban dari stimulus yang menyakitkan separti diejek atau

diserang orang lain dan ia melakukan pembalasan. Inilah yang dikenal dengan

istilah Model Belajar melalui pengalaman langsung.

Ketujuh, model interaksi sosial, menurut model ini perilaku agresif

dipandang sebagai pengaruh sosial yang koersif. Tedeshci dan Felson (1994)

telah memperluas analisis perilaku agresif menjadi teori interaksi sosial

mengenai tindakan koersif. Tedeshi dan Felson lebih menyukai terminologi

koersif dibanding perilaku agresif, yang dipandang lebih tradisional dengan

alasan; 1) bahwa istilah koersif memiliki beban nilai yang kurang,

karena menghindari kualifikasi tindakan menyakiti sebagai sesuatu yang dapat

atau tidak dapat dibenarkan, dan alasan ke 2) adalah bahwa konsep koersif

memasukkan ancaman dan hukuman maupun paksaan badaniah sebagai

strategi penting untuk menyakiti atau mendapatkan kepatuhan dari target yang

menolak untuk disakiti atau untuk patuh. Dalam model ini, Tedeshci dan

Felson (1994) berpandangan bahwa strategi koersif dipergunakan oleh si

19
pelaku untuk menyakiti targetnya atau untuk membuat targetnya mematuhi

tuntutan pelaku berdasarkan tiga tujuan utama, yaitu mengontrol perilaku

orang lain, menegakkan keadilan, dan mempertahankan atau melindungi

identitas positif. Oleh karena itulah tindakan koersif ini dikonsepkan sebagai

hasil proses pengambilan keputusan dimana pelakunya pertama-tama

memutuskan menggunakan strategi koersif untuk mempengaruhi orang lain,

kemudian memilih bentuk koersi tertentu diantara pelbagai pilihan yang ada.

3. Kontrol Hormon Atas Perilaku Agresif

Banyak contoh perilaku agresif ada kaitannya dengan reproduksi, misalnya jantan

dari beberapa spesies memantapkan terotori yang memikat betina selama musim

kawin. Untuk melakukan itu mereka harus mempertahankan teritori dari penyusupan

jantan lain. Bahkan pada spesies yang perbaikannya tidak bergantung kepada

penetapan teriroti, jantan mungkin bersaing untuk memperoleh betina, persaingan

juga melibatkan perilaku agresif.

a. Agresif Pada Jantan

Keagresifan antar jantan juga dimulai pada sekitar masa pubertas, yang

menununjukan bahwa tampaknya perilaku tersebut dikontrol oleh sirkuit-sirkuit

neuron yang distimulasi oleh androgen. Beeman (1947) menemukan bahwa kebiri

menguragi keagresifan sedangkan penyuntikan testoteron mengembalikannya.

Sekresi androgen di awal perkembangan memodifikasi otak yang sedang

berkembang menjadi sirkuit-sirkuit neuron yang mengontrol perilaku seksual

jantan menjadi lebih responsitif terhadap testoteron.

20
Adrogenisasi di awal perkembangan memiliki efek organisasi yang menstimulasi

perkembangan sirkuit-sirkuit neuron yang peka testosterone yang memfasilitasi

agresi antar jantan. Adrogen menstimulasi perilaku seksual jantan dengan cara

berinteraksi dengan reseptor-reseptor androgen di neuron-neuron yang terletak di

area praoptik medial (MPA). Wilayah ini tampaknya penting dalam

memperantarai efek-efek androgen terhadap agresi antarjantan.

Bean dan Conner (1978) menemukan bahwa menanam testoteron di MPA

mengembalikan agresi antar jantan pada tikus jantan yang sudah di kebiri.

Testoteron secara langsung mengaktivasi perilaku itu dengan menstimulasi

neuron-neuron peka-androgen yang terletak di situ. Bean (1982) menemukan

bahwa agresi antarjantan bisa dihilangkan dari mencit dengan memotong saraf

vomeronasal yang membuat otak tidak memperoleh masukan dari organ

vemoronasal.

b. Agresif Pada Betina

Dua hewan pengerat betina dewasa yang bertemu di teritori netral lebih kecil

kemungkinannya berkelahi dari pada jantan. Namun agresi antar betina seperti

agresi pada jantan, tampaknya difasilitasi oleh testoteron. Adrogen memiliki efek

organisasi terhadap keagresifan betina dan androgenisasi prenatal sampai tingkat

tertentu tampaknya terjadi pada secara ilmiah.

c. Efek Androgen Terhadap Perilaku Manusia

Androgenisasi prenatal meningkatkan perilaku agresif pada semua spesies yang

telah dipelajari, termasuk primate. Oleh karena itu bila androgen tidak

mempengaruhi perilaku agresif pada manusia maka spesies kita akan merupakan

21
kekecualian. Setelah pubertas androgen jugs mulsi mrmiliki efek efek aktivasi.

Kadar testoteron anak laki-laki mulai meningkat selama awal remaja, ketika

perilaku agresif dan pertarungan antar laki laki juga meningkat. Tentu saja status

sosial anak laki-laki berubah saat pubertas dan testoteron mereka mempengaruhi

otot maupun otak mereka sehingga kita tidak bisa yakin bahwa efek itu timbul

oleh hormone atau diperantai oleh otak.

Lingkungan seseorang bisa mempengaruhi kadar testoteronya misalnya, kalah

main tenis atau tanding gulat menyebabkan penurunan kadar testoteron dalam

darah. Bahkan menang atau kalah dalam permainan taruhan sederhana yang

dilakukan di laboraterium psikologi yang mempengaruhi kadar testoteron peserta:

yang menang merasala lebih enak sesudahnya dan memiliki kadar testoteron yang

lebih tinggi.

Bernhardt (1998) menemukan bahwa penggemar bola basket dan sepak bola

menunjukan peningkatan kadar testoteron saat tim mereka menang dan penurunan

bila tim kalah. Dengan demikian kita tidak bisa yakin dalam penelitian

korelasional mana pun bahwa kadar testoteron tinggi menyebabkan orang menjadi

dominan ataukah agresif, barangkali keberhasilan mereka menetapkan posisi

dominasi meningkatkan kadar testoteron yang relative terhadap orang orang yang

mereka dominasi.

C. Penyampaian Emosi

Banyak spesies hewan (termasuk kita sendiri) menyampaikan emosinya kepada orang

lain melalui perubahan pose, ekspresi wajah, dan suara-suara non-lisan (seperti desahan,

erangan, dan geraman). Ekspresi-ekspresi ini menjalankan peran fungsi sosial yang

22
berguna: Memberitahukan orang lain bagaimana perasaan kita dan — lebih tepatnya —

apa yang mungkin kita lakukan. Misalnya, ekspresi tersebut memperingatkan lawan

bahwa kita marah atau memberi tahu kepada teman bahwa kita sedih dan ingin dihibur

dan ditenangkan. Ekspresi emosi juga bisa mengindikasikan bahwa mungkin ada bahaya

atau bahwa sesuatu yang menarik tampaknya sedang terjadi.

1. Ekspresi Wajah dari Emosi : Respon Bawaan

Charles Darwin (1872/1965) mengatakan bahwa ekspresi emosi manusia telah

berevolusi dari ekspresi-ekspresi serupa pada hewan-hewan lain. Ia mengatakan

bahwa ekspresi emosional adalah respons bawaan yang tidak dipelajari, yang terdiri

atas seperangkat kompleks gerakan, terutama otot-otot wajah. Dengan demikian,

seringai seseorang dan seringai serigala adalah pola respons yang ditentukan secara

biologis, keduanya dikontrol oleh mekanisme-mekanisme otak bawaan, seperti juga

batuk dan bersin.

Darwin memperoleh bukti dari kesimpulannya bahwa ekspresi emosional

merupakan bawaan dengan mengamati anak-anaknya sendiri dan melalui

korespondensi dengan orang-orang yang hidup di berbagai budaya terisolasi di

berbagai penjuru dunia. Ia menalar bahwa bila orang-orang di seluruh dunia, tak

peduli seberapapun terisolasinya, menunjukkan ekspresi emosi yang sama di wajah,

maka ekspresi-ekspresi ini pastilah diwariskan, alih-alih dipelajari. Darwin

menemukan bahwa orang-orang dari kebudayaan yang berbeda-beda menggunakan

pola-pola gerakan otot wajah yang sama untuk mengekspresikan kondisi emosional

tertentu.

23
Ekman dan Friesen menyimpulkan bahwa ekspresi merupakan pola perilaku yang

tidak dipelajari. Kontras dengan itu, kebudayaan yang berbeda-beda menggunakan

kata-kata yang berbeda untuk mengekspresikan konsep-konsep terentu; produksi

kata-kata ini tidak melibatkan respons bawaan, melainkan harus dipelajari.

Para peneliti lain membandingkan ekspresi wajah tunanetra dan orang

berpenglihatan normal. Mereka menalar bahwa bila ekspresi wajah kedua kelompok

ini serupa, maka ekspresi bersifat alamiah bagi spesies kita dan tidak membutuhkan

pembelajaran melalui peniruan. Sebuah penelitian mengenai ekspresi-ekspresi

emosional orang-orang yang berkompetisi (menang atau kalah) dalam kegiatan-

kegiatan atletik dalam Paralimpiade 2004 tidak menemukan perbedaan ekspresi

antara atlet-atlet yang buta sejak lahir, buta tidak sejak lahir, maupun berpenglihatan

normal, tidak ditemukan adanya perbedaan.

2. Dasar Neuron dari Penyampaian Emosi : Pengenalan

Komunikasi yang efektif merupakan proses dua-arah. Dengan kata lain,

kemampuan untuk menampilkan kondisi emosional seseorang melalui perubahan

ekspresi berguna hanya jika orang-orang lain mampu mengenalinya. Kraut dan

Johnston menemukan bahwa situasi-situasi menyenangkan hanya menimbulkan

tanda-tanda kecil kebahagiaan sewaktu orang itu sendirian. Akan tetapi, ketika

seseorang berinteraksi secara sosial dengan orang lain, lebih besar kemungkinan ia

tersenyum.

Pengenalan ekspresi emosi di wajah orang lain umumnya otomatis, cepat, dan

akurat. Tracy dan Robbins (2008) menemukan bahwa pengamat dengan cepat

24
mengenali ekspresi singkat berbagai macam emosi. Bila mereka diberi waktu untuk

memikirkan ekspresi yang baru mereka lihat, sangat lama peningkatannya.

a. Lateralitas Pengenalan Emosi

Kita mengenali perasaan orang lain melalui penglihatan dan pendengaran -melihat

ekspresi wajah dan mendengar nada suara serta pilihan kata-kata mereka. Banyak

penelitian telah menemukan bahwa hemisfer kanan menjalankan peran yang lebih

penting daripada hemisfer kiri dalam memahami emosi. Misalnya, Bowers et al.

(1991) menemukan bahwa pasien dengan kerusakan hemisfer kanan kesulitan

menghasilkan atau menjabarkan citra mental dari ekspresi emosi di wajah.

Sejumlah penelitian pencitraan-fungsional telah mengkonfirmasi hasil-hasil ini.

Misalnya, George et al. (1996) meminta para subjek mendengarkan sejumlah

kalimat dan mengidentifikasi kandungan emosionalnya. Dalam salah satu kondisi,

para subjek mendengarkan makna kata-kata dan mengatakan apakah kata-kata itu

menjabarkan situasi ketika seseorang merasakan bahagia, sedih, marah, atau

netral. Dalam kondisi lain, para subjek menilai kondisi emosional dari nada suara.

Para peneliti mendapati bahwa pemahaman emosi dari makna kata meningkatkan

aktivitas korteks prefrontal secara bilateral, dan yang kiri lebih tinggi daripada

yang kanan. Pemahaman emosi dari nada suara meningkatkan aktivitas di korteks

prefrontal kanan saja. Penelitian pencitraan-fungsional oleh Geogre et al. (1996),

mengindikasikan bahwa pemahaman kata dan pengenalan nada suara adalah dua

fungsi yang berbeda.

b. Peran Amigdala dan Korteks Prafrontal

25
Amigdala berperan istimewa dalam respons emosi. Struktur tersebut juga

berperan dalam pengenalan emosi. Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa

lesi amigdala mengacaukan kemampuan ornag mengenali ekspresi emosi pada

wajah, terutama ekspresi-eskpresi rasa takut. Sebagai tambahan, penelitian-

penelitian pencitraan-fungsional telah menemukan peningkatan besar aktivitas di

amigdala ketika orang mengamati foto-foto wajah yang menampakkan takut,

namun hanya sedikit peningkatan (atau bahkan penurunan) ketika mereka

mengamati foto-foto wajah senang. Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa

lesi amigdala tampaknya tidak memengaruhi kemampuan orang mengenali emosi

dalam nada suara.

Sejumlah penlitian menunjukkan bahwa tampaknya amigdala menerima informasi

visual yang kita gunakan untuk mengenali ekspresi emosi pada wajah secara

langsung dari thalamus, bukan dari korteks aosisiasi visual. Adolphs (2002)

mencatat bahwa amigdala menerima masukan visual dari dua sumber: subkorteks

dan korteks. Masukan subkorteks (dari kolikulus superior dan pulvinar, sebuah

nucleus besar di thalamus posterior) tampaknya menyediakan informasi paling

penting untuk tugas ini. Bahkan sejumlah orang dengan kebutaan akibat

kerusakan korteks visual dapat mengenali ekspresi emosi pada wajah. Temietto

mengkonfirmasi bahwa ‘penularan emosi’ dapat berlangsung bahkan tanpa

disadari.

Orang dapat mengekspresikan emosi melalui bahasa tubuh mereka, maupun

gerakan otot-otot di wajah. Misalnya, kepalan tangan menyertai ekspresi wajah

marah, sementara orang yang ketakutan akan lari menjauh. Terlihatnya foto-foto

26
tubuh yang menunjukkan rasa takut mengaktivasi amigdala, seperti juga

terihatnya wajah-wajah takut. Sewaktu kita mengamati wajah orang lain, persepsi

kita mengenai emosi mereka dipengaruhi oleh postur tubuh maupun ekspresi

wajah.

Korteks visual menerima informasi dari dua sistem neuron. Sistem magnoselular

menyediakan informasi mengenai gerakan, kedalaman, dan perbedaan yang

sengat samar dalam kecerahan pemandangan di depan mata kita. Sistem

parvoselular hanya ditemukan pada sejumlah primate, termasuk manusia. Sistme

ini menyediakan penglihatan berwarna dan deteksi perincian halus kepada kita.

Bagian korteks asosiasi virtual yang bertanggung jawab atas pengenalan wajah,

menerima informasi terutama dari sistema parvoselular. Informasi yang diterima

oleh amigdala dari kolikulus superior dan pulvinar bersumber dari sistem

magnoselular yang lebih primitf.

Foto-foto berfrekuensi spasial tinggi menstimulasi sistem parvoselular, sementara

yang berfrekuensi spasial rendah menstimulasi sistem magnoseluler.

Area wajah fusiformis lebih baik dalam mengenali wajah-wajah individual dan

terutama menggunakan informasi frekuensi spasial tinggi (parvoselular) untuk

melakukannya. Amigdala (dan kolukulus superior dan pulvinar, yang

menyediakan informasi visual ke amigdala) mampu mengenali ekspresi takut

berdasarkan informasi frekuensi spasial rendah (magnoselular) namun tidak

berdasarkan informasi frekuensi spasial tinggi.

Wajah takut menimbulakn respons terbesar dan amigdala menunjukkan aktivitas

sebelum korteks visual. Respons cepat tersebut medukung kesimpulan bahwa

27
amigdala menerima informasi visual dari sistem magnoselular (yang

mengantarkan informasi dengan sangat cepat) yang memungkinkannya mengenali

ekspresi wajah takut.

Mata saja bisa menyampaikan ekspresi takut. Sebuah penelitian pencitraan-

fungsional oleh Whalen et al.. (2004) menemukan bahwa menatap mata yang

ketakutan mengaktivasi amigdala ventral, wilayah yang menerima mayoritas

masukan korteks dan subkorteks ke amigdala.

c. Persepsi Arah Tatapan

Perrett dan koleganya telah menemukan sebuah fungsi otak yang menarik yang

barangkali terkait dengan pengenalan ekspesi emosi. Mereka mendapati bahwa

neuron-neuron dalam Sulkus Temporal Superior (STS) monyet terlibat dalam

pengenalan arah tatapan mata monyet lain –atau bahkan tatapan manusia. Mereka

mendapati bahwa sebagian neuron di wilayah ini merespon ketika monyet

mengamati foto-foto monyet atau wajah manusia namun hanya bila tatapan

wajah di foto itu diorientasikan ke arah tertentu.

Mengapa tatapan penting dalam pengenalan emosi? Pertama-tama, penting untuk

mengetahui apakah ekspresi emosi itu diarahkan ke Anda atau ke orang lain.

Adam dan Kleck (2005) menemukan bahwa orang lebih mudah mengenali

amarah bila mata orang lain diarahkan ke pengamat, sementara rasa takut lebih

mudah dikenali bila mata orang lain itu diarahkan ke tempat lain. Seperti yang

dinyatakan oleh Blair (2008), ekspresi marah yang diarahkan ke pangamat berarti

bahwa orang lain itu ingin sang pengamat berhenti melakukan hal yang sedang ia

lakukan.

28
Neokorteks yang melapisi STS tampaknya menyediakan informasi semacam itu.

Lesi pada bagian itu menganggu kemampuan monyet membedakan arahh tatapan

hewan lain, namun tidak mengganggu kemampuan monyet mengenali wajah

hewan lain. Korteks parietal posterior –titik ujung aliran dorsal analisis virtual–

terkait dengan persepsi lokasi objek dalam ruang. Sebuah penelitian pencitraan-

fungsional oleh Pelphrey et al. (2003) meminta sejumlah orang mengamati kartun

animasi wajah. Sewaktu tatapan mata berubah, peningkatan aktivitas terlihat di

STS kanan dan korteks parietal posterior. Barangkali, sambungan antara neuron-

neuron di STS dan korteks parietal memungkikan orientasi tatapan mata orang

lain untuk mengarahkan perhatian pengamat ke lokasi tertentu.

d. Peran Peniruan Dalam Pengenalan Ekspresi Emosi : Sistem Neuron Cermin

Adolphs et al. (2000) menemukan kemungkinan tautan antara somatosensori dan

pengenalan emosi. Mereka menemukan bahwa kerusakan paling parah terhadap

kemampuan pasien dalam mengenali dan mengidentifikasi ekspresi-ekspresi

emosi pada wajah disebabkan oleh kerusakan korteks somatosensoris di hemisfer

kanan. Peneliti menyatakan bahwa sewaktu kita melihat ekspresi emosi pada

wajah, kita secara tidak sadar membayangkan diri kita sendiri melakukan ekspresi

itu. Adolphs et al. mengajukan bahwa representasi somatosensoris mengenai

seperti apa rasanya membuat ekspresi yang dipersepsi itu menyediakan petunjuk

yang kita gunakan untuk mengenali emosi yang diekspresikan oleh wajah yang

sedang kita lihat. Sebagai dukungan terhadap hipotesis ini, Adolphs dan

koleganya melaporkan bahwa kemampuan pasien dengan lesi hemisfer kanan

untuk mengenali ekspresi emosi pada wajah berkorelasi dengan kemampuan

29
mereka mempersepsi stimulus somatosensoris. Dengan kata lain, pasien-pasien

dengan cacat somatosensoris (akibat lesi hemisfer kanan) juga mengalami

gangguan pengenalan emosi.

Penelitian-penelitian pencitraan-saraf telah menunjukkan bahwa wilayah-wilayah

otak yang teraktivasi ketika ekspresi emosi terentu teramati juga teraktivasi ketika

ekspresi-ekspresi ini ditirukan. Sebuah penelitian oleh Pitcher et al. (2008)

menggunakan stimulasi magnetic transkranial untuk mengganggu aktivitas

normal wilayah-wilayah otak yang terlibat dalam persepsi visual wajah atau

persepsi umpan balik somatosensoris dari wajah kita sendiri. Mereka mendapati

bahwa gangguan wilayah yang mana pun di antara kedunya mengganggu

kemampuan orang untuk mengenali ekspresi emosi pada wajah.

Neuron-neuron cermin teraktivasi sewaktu seekor hewan melakukan perilaku

tertentu atau ketika ia melihat hewan lain melakukan perilaku itu. Barangkali

neuron-neuron ini terlibat dalam pembelajaran untuk meniru tindakan individu-

individu lain. Neuron-neuron ini (terletak di area pramotorik ventral di lobus

frontal) menerima masukan dari sulkus temporal superior dan korteks parietal

posteror. Sirkuit ini teraktivasi ketika kita melihat orang lain melakukan tindakan

bertujuan, dan umpan balik dari aktivitas ini membantu kita memahami apa yang

orang lain coba lakukan. Sistem neuron cermin mungkin terlibat dalam kemapuan

kita berempati dengan emosi-emosi orang lain.

Sindroma Moebius adalah kondisi bawaan yang melibatkan cacat perkembangan

saraf kranial keenam (abdusens) dan ketujuh (fasial), dan mengakibatkan

kelumpuhan wajah dan ketidakmampuan membuat gerakan mata lateral. Akibat

30
kelumpuhan ini, orang-orang yang menderita sindroma Moebius tidak bisa

membuat ekspresi emosi pada wajah. Selain itu, mereka kesulitan mengenali

ekspresi-ekspresi emosi orang lain.

Warren et al. (2006) memperoleh bukti bahwa neuron-neuron audiovisual juga

berperan dalam penyampaian emosi. Mendengar vokalisasi emosi mengaktivasi

wilayah-wilayah yang sama dengan yang teraktivasi oleh ekspresi-ekspresi emosi

ini pada wajah. Dengan kata lain, sewaktu kita mendengar orang lain membuat

suara-suara emosional non-lisan, sistem neuron cermin kita teraktivasi, dan

umpan balik dari aktivasi ini mungkin turut dalam bersumbangsih dalam

pengenalan emosi yang diekspresikan oleh suara-suara ini.

e. Ekspresi Jijik

Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa kerusakan korteks insular dan

ganglion basal mengganggu kemampuan orang mengenali wajah jijik. Mencium

bau yang menjijikkan maupun melihat wajah orang yang menunjukkan ekspresi

jijik, mengaktivasi korteks insular. Rasa jijik adalah emosi yang dipicu oleh

sesuatu yang terasa atau berbau tidak sedap –atau oleh tindakan yang kita anggap

berselera buruk. Insula mengandung korteks gustatoris primer, sehingga

barangkali bukan kebetulan bahwa wilayah ini juga terlibat dalam pengenalan

‘selera buruk’.

Ketika seseorang melihat wajah-wajah yang mengekspresikan jijik, korteks

insular dan sebagian ganglion basal teraktivasi.

Hasil dari sebuah survey daring yang digelar oleh situs web British Broadcasting

Science menunjukkan bahwa tampaknya emosi jijik bermula pada penghindaran

31
penyakit. Survei itu menyajikan sepasang foto dan meminta orang-orang

mengindikasikan foto mana yang lebih menjijikkan. Orang-orang yang merespon

mengindikasikan bahwa foto yang tampak mengandung potensi ancaman

penyakit-lah yang lebih menjijikkan. Misalnya, cairan kuning yang meresap ke

tisu terlihat cairan tubuh daripada cairan biru.

3. Dasar Neuron dari Penyampaian Emosi : Ekspresi

Ekspresi emosi pada wajah bersifat otomatis dan tidak disadari (walaupun seperti

yang sudah kita lihat, bisa dimodifikasi oleh aturan-aturan yang berpenampilan).

Tidak mudah membuat ekspresi emosi realistik pada wajah bila kita tidak benar-benar

merasakan emosi tersebut bahkan Ekman dan Davidson telah mengkonfirmasi salah

satu pengamatan oleh seorang ahli bedah saraf abad kesembilan belas, Guillaume

Benjamin Duchenne de Boulogne, bahwa senyum senang yang tulus, bukan senyum

palsu atau senyum sosial yang dibuat orang ketika mereka menyapa orang lain,

melibatkan kontraksi sebuah otot di dekat mata, bagian lateral dari okulus orbikularis,

sekarang terkadang disebut otot Duchenne. (Ekman, 1992; Ekman dan Davidson,

1993). Berdasarkan ilustrasi, kesulitan yang dihadapi para aktor dalam menghasilkan

ekspresi emosi yang meyakinkan pada wajah secara sadar adalah salah satu alasan

yang yang membuat Constantine stanislavsky mengembangkan sistem metode

aktingnya, yaitu aktor-aktor mencoba membayangkan diri mereka sendiri dalam

situasi yang akan menimbulkan emosi yang diinginkan. Begitu emosi itu terpicu,

ekspresi wajah akan mengikuti secara alamiah (Stanislavsky 1935).

ILUSTRASI. Senyum palsu

32
Dr. Duchenne menstimulasi otot-otot di wajah seorang sukarelawan dengan

listrik, sehingga menyebabkan kontraksi otot-otot di sekeliling mulut yang menjadi

aktif saat orang tersenyum. Akan tetapi, seperti yang Duchenne temukan, senyum

tulus juga melibatkan otot-otot disekitar mata.

Sejumlah penelitian telah menyelidiki mekanisme-mekanisme otak yang terlibat

dalam tawa, ekspresi emosi yang lebih intens daripada senyum (Arroyo et al. 1993)

melaporkan kasus seorang pasien yang terserang kejang-kejang disertai tawa tanpa

emosi. Dengan kata lain, pasien itu tertawa namun tidak bahagia ataupun terhibur.

Rekaman-rekaman yang dibuat dengan elektroda kedalaman mengindikasi bahwa

kejang-kejang dimulai di girus singulata anterior kiri. Pengangkatan sebuah tumor

non-kanker didekatnya mengakhiri kejang-kejang maupun tawa tak beremosi. Para

peneliti menyimpulkan bahwa tampaknya korteks singulata anterior mungkin terlibat

dalam gerakan-gerakan otot yang menghasilkan tawa. Shammi dan Stuss (1999)

menemukan bahwa kerusakan vmPFC kanan mengganggu kemampuan orang

memahami dan terhibur oleh lelucon.

33
Seperti yang terdapat pada sub-bagian sebelumnya, hemisfer kanan berperan lebih

signifikan dalam mengenali emosi pada suara atau ekspresi wajah orang lain,

terutama emosi negatif. Spesialisasi hemisfer yang sama tampaknya juga berlaku

dalam ekspresi emosi. Sewaktu orang-orang menunjukkan emosi dengan otot-otot

wajah, bagian kiri wajah biasanya membuat ekspresi yang lebih intens.

Lesi hemisfer kiri biasanya tidak mengganggu ekspresi emosi dengan vokal.

Misalnya, penderita avasia wernicke biasanya memodulasi suara mereka sesuai

dengan suasana hati, walaupun kata-kata yang mereka hasilkan tidak bermakna.

Kontras dengan itu, lesi hemisfer kanan memang mengganggu ekspresi emosi baik

melalui wajah maupun nada suara.

Pada sub-bagian sebelumnya bahwa amigdala terlibat dalam pengenalan ekspresi

emosi pada wajah. Penelitian mengindikasikan bahwa amigdala tidak terlibat dalam

ekspresi emosi. Anderson dan Phelps (2000) melaporkan kasus S.P, seorang wanita

berusia 54 tahun yang amigdala kanannya diangkat guna menyembuhkan suatu

gangguan kejang-kejang parah. Oleh karena sebuah lesi yang sudah ada di amigdala

kiri, pembedahan itu menghasilkan amigdalektomi bilateral. Setelah pembedahan S.P

kehilangan kemampuan mengenali ekspresi takut pada wajah, namun ia tidak

menghadapi kesulitan mengenali wajah individual, dan ia dengan mudah

mengidentifikasi wajah laki-laki dan perempuan serta secara akurat memperkirakan

usia mereka. Yang sangat menarik adalah lesi amigdala tidak menggangu

kemampuan S.P menghasilkan ekspresi wajah ketakutan sendiri. Ia tidak kesulitan

mengekspresikan secara akurat rasa takut, marah, senang, sedih, jijik, dan terkejut.

34
Akan tetapi sewaktu ia melihat fotonya sendiri menunjukkan rasa takut, ia tidak bisa

mengatakan emosi apa yang diekspresikan wajahnya itu.

D. Perasaan Emosi

1. Teori James-Lange

Teori ini dikemukakan oleh William James dan Carl Lange (1884) yang berasal

dari Amerika Serikat. Teori ini menyebutkan bahwa emosi timbul setelah terjadinya

reaksi psikologik, misalnya seseorang merasa senang karena orang tersebut meloncat-

loncat setelah melihat pengumuman dan orang tersebut takut karena lari setelah

melihat ular.

Menurut teori ini emosi adalah hasil persepsi seseorang terhadap perubahan-

perubahan yang terjadi pada tubuh sebagai respon terhadap berbagai rangsangan yang

datang dari luar. Misalnya jika seseorang melihat harimau reaksinya adalah peredaran

darah makin cepat karena denyut jantungnya makin cepat dan sebaginya. Respons-

respons tubuh ini kemudian dipersepsikan dan timbullah rasa takut. Rasa takut ini

timbul akibat pengalaman dan proses belajar. Orang tersebut dari pengalamannya

telah mengetahui bahwa harimau adalah makhluk yang berbahaya, karena itu debaran

jantung dipersepsikan sebagai takut.

Emosi terjadi adanya perubahan pada sistem vasomotor (otot-otot). Suatu

peristiwa dipersepsikan menimbulkan perubahan fisiologis dan perubahan psikologis

yang disebut emosi. Seseorang bukan tertawa karena senang melaikan senang karena

tertawa. Persepsi seseorang terhadap reaksi adalah dasar untuk emosi yang dialami,

sehingga pengalaman emosi yang dirasakan terjadi setelah perubahan tubuh.

35
Perubuhan tubuh (perubahan internal dalam sistem syaraf otomatis atau gerakan dari

tubuh) memunculkan pengalaman emosional.

Jadi menurut teori ini gejala gejala kejasmanian bukanlah merupakan akibat dari

emosi yang dialami oleh individu merupakan akibat dari gejala gejala kejasmanian.

2. Umpan Balik dari Ekspresi Emosi

James menekankan arti penting dua aspek respons emosi: perilaku emosional dan

repons otonom. Seperangkat khusus otot yang berada diwajah, membantu kita

menyampaikan kondisi emosi kita kepada orang lain. Sejumlah penelitian

menunjukkan bahwa umpan balik dari kontraksi otot-otot wajah dapat memengaruhi

suasana hati orang dan bahkan mengubah aktivitas sistem saraf otonom.

Ekman dan koleganya (Ekman, Levenson, dan Friesen, 1983, Levenson, Ekman,

dan Friesen 1990) meminta subjek menggerakkan otot-otot wajah tertentu untuk

meniru ekspresi emosi takut, marah, terkejut, jijik, sedih dan senang. Mereka tidak

memberitahu para subjek, emosi apa yang para peneliti minta subjek lakukan, namun

hanya gerakan-gerakan yang harus mereka lakukan. Sementara subjek membuat

ekspresi-ekspresi tersebut, para peneliti memonitor beberapa respon fisiologis yang

dikontrol oleh sistem saraf otonom.

Ekspresi-ekspresi yang ditirukan ternyata mengubah aktivitas sistem saraf

otonom. Bahkan berbagai ekspresi wajah berbeda menimbulkan pola-pola aktivitas

yang agak berbeda. Misalnya marah meningkatkan laju detak jantung dan suhu tubuh,

takut meningkatkan detak jantung dan menurunkan suhu tubuh, sementara

kebahagiaan menurunkan detak jantung tanpa memengaruhi suhu kulit.

36
Pola tertentu gerakan otot wajah menyebabkan perubahan suasana hati atau

aktivitas sistem saraf otonom, barangkali ketersambungan ini adalah akibat dari

pengalaman. Dengan kata lain: terjadinya gerak wajah tertentu bersama pada

perubahan-perubahan sistem saraf otonom menyebabkan pengondisian klasik

sehingga umpan balik dari gerakan wajah menjadi mampu memicu respons otonom

dan perubahan pada emosi yang dipersepsi. Nilai adaptif ekspresi emosi adalah

menyampaikan perasaan dan niat kita kepada orang lain.

Sebuah penelitian oleh Lewis dan Bowler (2009) menemukan bahwa

mengganggu gerakan otot yang berasosiasi dengan suatu emosi tertentu mengurangi

kemampuan orang mengalami emosi itu. Seperti penyuntikan larutan toksin

botulinum(Botox) yang sangat encer ke otot-otot wajah dapat mengurangi kerutan

kulit yang disebabkan oleh kontraksi terus menerus otot-otot wajah. Lewis dan

Bowler mempelajari orang-orang yang telah memperoleh suntikan Botox ke otot

korugator, yang kontraksinya bertanggung jawab atas sebagian besar ekspresi wajah

yang disebut cemberut, yang berasosiasi dengan emosi-emosi negatif. Mereka

mendapati bahwa orang-orang ini secara signifikan menunjukkan lebih sedikit

suasana hati negatif, dibandingkan orang-orang yang menerima bentuk-bentuk

perlakuan kosmetik lain. Hasil ini menunjukkan bahwa tampaknya umpan-balik dari

ekspresi wajah seseorang dapat memengaruhi suasana hatinya.

Imitasi memberikan salah satu saluran bagi organisme untuk menyampaikan

emosi dan memicu perasaan empati, misalnya ketika kita melihat seseorang yang

terlihat sedih, kita cenderung memasang ekspresi sedih juga. Umpan balik dari

ekspresi kita sendiri membantu kita memahami kondisi orang tersebut dan

37
memungkinkan kita lebih mungkin merespon dengan hiburan atau bantuan.

Barangkali alasan kita membuat mereka tersenyum adalah karena senyum mereka

membuat diri kita senang. Bahkan, sebuah penelitian pencitraan fungsional oleh

Pfeifer et al. (2008) menemukan bahwa sewaktu anak-anak normal berusia 10 tahun

mengamati dan meniru ekspresi emosi, terlihat peningkatan aktivitas di sistem neuron

cermin frontal. Sebagai tambahan, tingkat aktivasi neuron berkorelasi positif dengan

nilai perilaku empati dan keterampilan antarpribadi pada anak.

DAFTAR PUSTAKA
Carlson, Neil R. (2013). Psysiology of Behavior. Boston: Pearson Education, Inc.

Desmita,(2013). Psikologi Perkembangan.(cetakan ke 8).Bandung:PT Remaja Rosdakarya

Susantyo, B. (2011).Memahami Perilaku Agresif: Sebuah Tinjauan Konseptual. Informasi.


16.hal. 189.
Effendi. E.U .• & Praja. J.S. 1989. Pengantar Psikologi. Bandung: Angkasa.
Huffman, K., Vernoy, M., & Williams, B. 1991. Psychology in Action. 2th ed. New York:
John Wiley & Sons.
Masters, W.H., Johnson V.E., & Kolodny R.C. 1992. Human Sexuality. 4th ed. New York :
Harper Collins Publisher.
Lezak,Muriel D. Neuropsychological Assesment 4 th edition. 2004. OXFORD : University press.

38

Anda mungkin juga menyukai