Anda di halaman 1dari 18

POLA PENGASUHAN ANAK REMAJA DALAM KELUARGA

Disusun

Oleh: Kelompok IV

Kelas: PSIK III-D

Nama Kelompok

1. Chairunnisa Hafsari Siregar 17.11.023


2. Nia Pratiwi Siregar 17.11.123
3. Siti Rohana 17.11.178
4. Sofiani Pohan 17.11.179

Nama Dosen : Juni Mariati Simarmata S.Kep. Ns, M.Kep

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN FISIOTERAPI

INSTITUT KESEHATAN MEDISTRA LUBUK PAKAM

T/A 2020/2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan


rahmat dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul”POLA PENGASUHAN ANAK REMAJA DALAM KELUARGA”

Kami menyadari, bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata
sempurna baik segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pembaca guna menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi di masa
mendatang.

Semoga makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa
bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Lubuk Pakam 03-April-2020

PENYUSUN
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

Bab I PENDAHULUAN

1.1 latar Belakang………………………………………………………………1

1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………..2

Bab II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dari pola asuh usia remaja dalam keluaga………………………4

2.2 Jenis-jenis Pola asuh usia remaja dalam keluaga…………………………...5

2.3 Fungsi keluarga dalam menerapkan pola asuh ……………………………..7

2.4 Studi Kasus………………………………………………………………….14

Bab III Penutup

3.1 Kesimpulan………………………………………………………………….17

3.2 Saran………………………………………………………………………...18

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 latar Belakang

Pada era globalisasi ini terdapat berbagai dampak pada masyarakat, baik yang
positif maupun yang negatif. Dampak positif globalisasi adalah perkembangan
teknologi yang semakin canggih sehingga mempermudah seseorang untuk
memperoleh berbagai informasi yang tidak terbatas. Informasi dapat berupa
hiburan, pengetahuan dan teknologi, yang diperoleh dan berbagai cara seperti :
TV, Video, Film-Film, Internet dan sebagainya. Kemudahan informasi memang
memuaskan keinginan tahu kita serta dapat mengubah nilai dan pola hidup
seseorang, termasuk sikap orang tua terhadap anaknya dan pola asuh yang
diterapkan dalam mendidik anak.

Sedangkan dampak negatif yang ditakuti adalah gaya hidup “Barat”, yang
sangat menonjolkan sifat individualistik dan bebas. Hal ini dibuktikan dengan
semakin banyak timbulnya masalah psikososial pada remaja seperti penyalah
gunaan narkotika dan obat terlarang, perilaku seks bebas dan menyimpang,
kriminalitas anak, perkelahian masal (tawuran), sehingga banyak mengakibatkan
kegagalan pendidikan, atau kegagalan dibidang lain. Dampak negatif era
globalisasi ini lebih cepat diadopsi oleh anak- anak sehingga mereka sangat rentan
terhadap pengaruh negatif globalisasi tersebut.

Sebagai orang tua tentu berharap mereka dapat menyaring informasi apa yang
berguna yang patut dicontoh dan apa yang dapat merugikan yang harus
dijauhinya. Kepandaian anak dan remaja dalam menyiasati hal tersebut tentu tidak
lepas dan peran orang tua dalam memberikan pola asuh dan pendidikan yang tepat
bagi anak- anaknya.

Gaya pengasuhan orang tua tidak terlepas dengan moral dalam mendidik
perilaku anak, bagaimana agar memiliki moral dalam kehidupan, terutama di
lingkungan keluarga dan sekolah. Kejadian dan peristiwa ini sering terjadi di kota
besar namun sekarang bergeser ke semuatingkatan masyarakat baik di desa, dan
kota metropolitan. Para remaja ikutikutan dengan segala dampak perilaku negatif
tanpa memikirkan dampak negatif yang akan dialami baik untuk dirinya dan
orang tuanya telah gagal menjaga nama baik orang tua baik di dunia dan di
hadapan Allah Swt.

Anak merupakan masa depan keluarga bahkan bangsa oleh sebab itu perlu
dipersiapkan agar kelak menjadi manusia yang berkualitas, sehat, bermoral dan
berguna bagi dirinya, keluarga dan bangsanya. Seharusnya perlu dipersiapkan
sejak dini agar mereka mendapatkan pola asuh yang benar saat mengalami proses
pertumbuhan dan perkembangan. Pola asuh yang baik menjadikan anak
berkepribadian kuat, tak mudah putus asa, dan tangguh menghadapi tekanan
hidup.”.

1.2 Rumusan Masalah

a. Apa pengertian dari pola pengasuhan anak remaja dalam keluarga?

b. apa saja 2 dimensi yang berhubungan dengan pola asuh usia remaja dalam
keluarga?

c. apa saja jenis-jenis pola asuh anak remaja dalam keluarga?

d. apa saja fungsi-fungsi keluarga dalam pola asuh?


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Dari Pola Asuh Anak Remaja Dalam Keluarga

Orang tua memiliki gaya masing-masing dalam mendidik anak mulai dari
dalam kandungan, bayi, remaja bahkan sampai usia dewasa. Usia remaja
merupakan masa transisi dari masa awal anak-anak hingga masa dewasa. Masa
remaja merupakan usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat, masa
remaja berlangsung kira-kira dari usia 13-16 tahun dan akhir masa remaja
berlangsung kira-kira dari usia 17-18 tahun.

Masa remaja merupakan masa yang tumpah tindih dengan masa pubertas,
dimana remaja mengalami ketidaksetabilan dalam dirinya atas perubahan biologis
yang di alami anak remaja tersebut, usia remaja sering kali mudah marah,mudah
di rasang dan emosinya cenderung meledak-ledak, serta tidak bisa mengendalikan
perasanya.

Pola asuh anak usia remaja merupakan proses membesarkan dan


mendukung perkembangan fisik dan mental yang juga meliputi emosional sosial
spritual dan tujuan utama pada pola asuh, disini seharusnya orang tua lebih
mendekat atau face to face pada anak memenuhi apa segala yang dia mau dalam
hal positif, mendukung segal hal prestasi yang dia harapkan, orang tua juga perlu
memperhatikan perkembangan fisik yang di hadapi remaja atau biasa yang di
sebut masa pubertas, orang tua sebaiknya tidak terlalu membiarkan kehidupan
anak. Dan dalam usia remaja tanpa sepengetahuan kedua orang tua dan harus
lebih intensif dan perhatian tapi dalam artian tidak perhatian yang berlebihan.

Terdapat dua dimensi besar yang menjadi dasar dari kecenderungan jenis pola
asuh orang tua (Diana Baumrind dalam Respati 2006), yaitu:
a. Tanggapan atau responsiveness Dimensi ini berkenaan dengan sikap orang
tua yang menerima, penuh kasih sayang, memahami, mau mendengarkan,
berorientasi pada kebutuhan anak, menentramkaan dan sering memberikan
pujian.
b. Tuntutan atau demandingness Terdapat dua sikap orang tua dalam
mendidik anak, yaitu: sikap orang tua yang membuat standar tinggi untuk
anak dan mereka menuntut agar standar tersebut dipenuhi anak
(demanding), serta orang tua yang menuntut sangat sedikit dan jarang
sekali berusaha untuk mempengaruhi tingkah laku anak (undemanding)
Tuntutan-tuntutan orang tua yang bersifat ekstrim cenderung menghambat
tingkah laku sosial, kreativitas, inisiatif dan fleksibilitas dalam pendekatan
masalah-masalah pendidikan maupun praktis.

Bagi setiap orang tua, jenis pola asuh yang diterapkan merupakan jenis
pola asuh yang paling baik untuk mengasuh anak. Pola asuh orang tua terhadap
anak-anaknya sangat menentukan dan mempengaruhi kepribadian (sifat) serta
perilaku anak (Olds and Feldman dalam Helmawati, 2014). Anak menjadi baik
atau buruk semua tergantung dari pola asuh orang tua dalam keluarga

Beberapa di antaranya memperlihatkan kadar parental responsiveness yang


tinggi seperti tampak pada sikap hangat dan menerima, sementara orang tua
lainnya ada yang tidak mau mendengarkan (unresponsiveness) dan yang menolak
(rejecting). Dalam parental demandingness beberapa orangtua tampak menuntut
dan banyak sekali pengharapan terhadap perilaku remaja mereka, sementara orang
tua lainnyaserba membolehkan dan menuntut terlalu sedikit

. 2.2 Berikut ini diuraikan macam-macam pola asuh orang tua terhadap
anak ((Diana Baumrind):

1. Pola Pengasuhan Authoritative/ demokrasi

Konsep Baumrind yang pertama adalah authoritative yaitu orang tua


memiliki responsifitas yang tinggi dan menaruh harapan serta tuntutan yang tinggi
juga. Orang tua ini berusaha untuk menunjukkan atau mengatur aktivitas remaja
melalui penggunaan cara yang berpusat pada isu rasional.

Melalui penjelasan kepada remaja dan mempertimbangkan dengan


mereka, orang tua berusaha untuk merangsang tingkah laku yang diinginkan para
remaja. Orang tua authoritative berusaha untuk mengontrol remaja, oleh karena
itu, orang tua macam ini memberi dorongan lisan (verbal) saling memberi dan
menerima, karena orang tua disini mengizinkan remaja duduk bersama-sama
dengan dirinya untuk mempertimbangkan apa yang tersirat dibalik kebijakan
mereka.

Orang tua menggunakan kontrol terhadap remaja, tetapi tidak membebani


remaja dengan restriksi atau kekangan, walaupun pemeliharaan tersebut
merupakan hak-hak orang tua dan orang dewasa, namun orang tua authoritative,
berusaha mengkombinasikan kekuasaan atau kewenangan, untuk membesarkan
remaja dengan aturan-aturan yang dilihat sebagai hak-hak dan tugas-tugas atau
kewajiban orang tua dan remaja yang saling melengkapi.

Gaya pengasuhan authoritative menggambarkan orang tua yang


mempunyai harapan yang tinggi, memberi penjelesan terhadap peraturan, dan
menciptakan lingkungan yang hangat dan melindungi remaja. Orang tua
authoritative adalah memberi dukungan, membuat standar yang wajar, nilai
kontrol diri, dan memberikan kepada remaja mengenai peraturan yang mereka
buat. Mereka percaya bahwa orang tua dan remaja sama-sama punya hak tetapi
pennetuan akhir dalam pengambilan keputusan ada pada orang tua.

 Pola asuh yang paling baik adalah jenis Authoritative. Anak yang diasuh
dengan pola ini tampak lebih bahagia, mandiri dan mampu untuk mengatasi
stress. Mereka juga cenderung lebih disukai pada kelompok sebayanya, karena
memiliki ketrampilan sosial dan kepercayaan diri yang baik.
2. Pola Pengasuhan Authoritarian/Otoriter

Responsifitas orang tua rendah dan terlalu tinggi tuntutan terhadap anak.
Orang tua berusaha untuk menentukan, mengontrol, dan menilai tingkah laku dan
sikap remaja sesuai dengan yang telah di tentukan, terutama berdasarkan standar
absolute yang mengenai prilaku.

Orang tua menekan nilai kepatuhan yang tinggi terhadap kekuasaan atau
wewenangnya. Ayah dan ibu menyetujui tindakan menghukum, memaksa dengan
kuat untuk mengekang kehendak diri bilamana perilaku dan keyakinan remaja
bertentangan dengan apa yang dipandang benar menurut pemikiran orang tua.
Orang tua percaya pada kepatuhan, kekuasaan atau kewenangan yang
dikombinasikan dengan suatu orientasi kepatuhan terhadap kerja, pemeliharaan
terhadap perintah, dan sturktur social tradisional.

Orang tua authoritarian tidak memberi dorongan dengan lisan (verbal)


tentang “memberi dan menerima”. Malahan ia yakin atau percaya bahwa seorang
remaja akan menerima dengan baik perkataan atau perintah orang tua mengenai
tingkah laku mana yang dipandang baik oleh orang tua. Orang tua authoritarian
mencoba untuk mengontrol remaja dengan peraturan. Mereka menggunakan
ganjaran dan hukuman untuk membuat perintah dan tidak menjelaskannya

Orang tua authoritarian menuntut dan kurang memberi otomasi, serta


gagal memberikan kehangatan kepada remaja mereka. Orang tua authoritarian
cenderung lebih suka menghukum, tidak boleh tawarmenawar (absolut), dan
bertindak disiplindisiplin seperti pemimpin yang kuat.

Perkataan meberi dan menerima tidaklah lazim atau umum di dalam


rumah tangga authoritarian adalah bahwa remaja menerima tanpa beleh bertanya
mengenai aturan dan standar yang dibuat atau ditetapkan oleh orang tua. Mereka
cenderung tidak mendorong tingkah laku independent malahan menempatkan
pentingnya perilaku atau hubungan baik atas tindakan yang membatasi
kemandirian remaja. Orang tua authoritarian bersikap kaku, keras, cepat marah,
otoritasnya tinggi, kasar dan tidak mau mendengarkan kebutuhan remaja.

3. Pola Pengasuh Indulgent

Gaya pengasuhan orang tua ketiga yang dikenal dengan Baumrind diberi
nama dengan orang tua indulgent. Orang tua yang memiliki renponsifitas yang
tinggi sedangkan tuntutan serta harapan ke anak rendah. Orang tua indulgent
mencoba untuk menunjukan reaksi terhadap perilaku remaja, hasrat atau
keinginan, impuls-impuls, dengan cara yang tidak menghukum, menerima, lunak,
pasiif dalam hal berdisiplin dan cara yang serba membolehkan. Orang tua
kebanyakan memperbolehkan atau membiarkan remajanya untuk menentukan
mematuhi tingkah lakunya sendiri. Seperti orang tua indulgent menghindar untuk
mengotrol standar eksternal (social). Jadi dengan alas an tersebut orang tua tidak
menggunakan kekuasaan atau wewenang dengan tegas, dalam usahanya untuk
membesarkan remaja

Gaya pengasuh orang tua indulgent menggambarkan orang tua yang


meberi kebebasan sangat luas pada remaja dan mebiarkan remaja untuk
melakukan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri. orang tua indulgent
menggunakan sedikit bahan tanpa mengontrol terhadap remaja dan lemahnya cara
mendisiplinkan remaja. Alasan orang tua indulgent memilih gaya pengasuhan
orang tua karena mereka percaya bahwa remaja harus mempunyai kebebasan yang
luas dan bukan di control oleh orang dewasa. Orang tua indulgent berperilaku
menerima, lunak dan pasif dalam disiplin.

Orang tua indulgent meyakini bahwa control atau pengendalian


mengganggu perkembangan kesehatan. Orang tua indulgent longgar secara
berlebihan dan disiplin yang tidak konsisten. Orang tua yang menganut gaya
pengasuhan indulgent sering menimbulkan kecewa dan tidak nyaman bagi anak
ddan remaja. Akibatya anak merasa tidak diperhatikan oleh orang tuanya, dan
anak/remaja bebas untuk dapat berbuat semuanya. Perilaku remaja yang terbentuk
dengan gaya pengasuhan seperti tidak patuh, dan menentang peraturan yang
diterapkan.

4. Pola Pengasuhan Indiferrent

Orang tua berusaha untuk melakukan apapun dan meminimalkan waktu dan
energi dalam berinteraksi dengan anak. Orang tua indifferent adalah orang tua
yang gagal. Mereka tidak mau tahu tentang aktifitas anak-anaknya, tidak
senangmenayakan pengalaman disekolah dengan temannyadan selalu
mempertimbangkan segala keputusan yang diambil oleh anak.

Orang tua indifferent adalah “parent-centered” yaitu orang tua yang hanya
mengurusi hidupnya sendiri baik itu kebutuhan, keinginan, maupun hobi. Orang
tua seperti ini cenderung menolak kehadiran anaknya (neglectful). Akibatnya
apabila terjadi sejak lahir maka perilaku penelantaran ini akan menganggu seluruh
macam perkembangan anak.

Para orang tua yang tertekan dan terpisah secara emosional dengan anak
akan membuat anak-anaknya menajdi minimalis dalam berbagai macam termasuk
kelekatan/kedekatan, kognisi, bermain, kemampuan emosional dan sosial.
Minimnya kehangatan dan pengawasan dari orang tua secara berkelanjutan akan
menimbulkan perilaku agresif dan pengucilan diri pada remaja, bahkan
pengabaian pengasuhan pengasuhan tidak diekspresiakan secara terbuka,
perkembangan akan terganggu.

 2.3 Fungsi Keluarga Dalam Menerapkan Pola Asuh Terhadap Anak Dalam
Keluarga.

Pola asuh di atas harus disesuaikan dengan determinasi yang jelas antara
hak dan kewajiban anak; tetapi terutama hak anak. Hak anak yang dimaksud ialah
bermain, belajar, kasih sayang, nama baik, perlindungan, dan perhatian.
Berdasarkan pendekatan sosio-kultural, dalam konteks bermasyarakat, keluarga
memiliki fungsi berikut :
1. Fungsi Biologis. Tempat keluarga memenuhi kebutuhan seksual ( suami - istri )
dan mendapatkan keturunan (anak); dan selanjutnya menjadi wahana di mana
keluarga menjamin kesempatan hidup bagi setiap anggotanya. Secara biologis,
keluarga menjadi tempat untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan,
sandang, dan papan dengan syarat-syarat tertentu.  Berkaitan dengan fungsi ini,
pola asuh anak di bidang kesehatan juga harus mendapat perhatian para orangtua.

Pola hidup sehat perlu diterapkan di dalam keluarga yang bisa dilakukan dengan
cara :
1. Memberitahukan pada anak untuk berolah raga secara rutin.
2. Menyediakan sayuran dan buah bagi anak untuk dikonsumsi.
3. Memberitahukan pada anak untuk memperbanyak minum air putih.
4. Memberitahukan pada anak untuk mengurangi konsumsi makanan instan atau
cepat saji.
2. Fungsi Pendidikan. Keluarga diajak untuk mengkondisikan kehidupan
keluarga sebagai “institusi” pendidikan, sehingga terdapat proses saling belajar di
antara anggota keluarga. Dalam situasi ini orangtua menjadi pemegang peran
utama dalam proses pembelajaran anak-anaknya, terutama di kala mereka belum
dewasa. Kegiatannya antara lain melalui asuhan, bimbingan dan pendampingan,
dan teladan nyata. Dalam bidang pergaulan pun, anak tetap dikontrol.

3. Fungsi Religius. Para orangtua dituntut untuk mengenalkan, membimbing,


memberi teladan dan melibatkan anak serta anggota keluarga lainnya mengenal
kaidah-kaidah agama dan perilaku keagamaan. Di sini para orangtua diharuskan
menjadi tokoh inti dan panutan dalam keluarga, untuk menciptakan iklim
keagamaan dalam kehidupan keluarganya.  Berkatian dengan pola asuh anak di
bidang agama, banyak orangtua sepakat bahwa agama adalah solusi terakhir dan
tertinggi bagi setiap persoalan hidup anak-anak mereka. 
4.  Fungsi Perlindungan. Fungsi perlindungan dalam keluarga ialah untuk
menjaga dan memelihara anak dan anggota keluarga lainnya dari tindakan negatif
yang mungkin timbul. Baik dari dalam maupun dari luar kehidupan
keluarga.  Selama ini dalam mendidik anak, banyak orangtua mendidik anak-anak
mereka dengan sabar dan telaten, agar anak menurut sesuai dengan yang
diinginkan.

5. Fungsi Sosialisasi. Para orangtua dituntut untuk mempersiapkan anak


untuk menjadi anggota masyarakat yang baik, kalau tidak mau disebut warga
negara kelas satu. Dalam melaksanakan fungsi ini, keluarga berperan sebagai
penghubung antara kehidupan anak dengan kehidupan sosial dan norma-norma
sosial, sehingga kehidupan di sekitarnya dapat dimengerti oleh anak, sehingga
pada gilirannya anak berpikir dan berbuat positif di dalam dan terhadap
lingkungannya.
6. Fungsi Kasih Sayang. Keluarga harus dapat menjalankan tugasnya
menjadi lembaga interaksi dalam ikatan batin yang kuat antara anggotanya, sesuai
dengan status dan peranan sosial masing-masing dalam kehidupan keluarga itu.
Ikatan batin yang dalam dan kuat ini, harus dapat dirasakan oleh setiap anggota
keluarga sebagai bentuk kasih sayang. Dalam suasana yang penuh kerukunan,
keakraban, kerjasama dalam menghadapi berbagai masalah dan persoalan hidup.  

7. Fungsi Ekonomis. Fungsi ini menunjukkan bahwa keluarga merupakan


kesatuan ekonomis. Aktivitas dalam fungsi ekonomis berkaitan dengan pencarian
nafkah, pembinaan usaha, dan perencanaan anggaran biaya, baik penerimaan
maupun pengeluaran biaya keluarga.  

8.  Fungsi Rekreatif. Suasana Rekreatif akan dialami oleh anak dan anggota


keluarga lainnya apabila dalam kehidupan keluarga itu terdapat perasaan damai,
jauh dari ketegangan batin, dan pada saat-saat tertentu merasakan kehidupan
bebas dari kesibukan sehari-hari.  

9.   Fungsi Status Keluarga. Fungsi ini dapat dicapai apabila keluarga telah


menjalankan fungsinya yang lain. Fungsi keluarga ini menunjuk pada kadar
kedudukan (status) keluarga dibandingkan dengan keluarga lainnya. Dalam
mengembangkan anak untuk menjadi sumber daya manusia yang berkualitas
diperlukan persiapan dan perlakuan terhadap anak secara tepat sesuai dengan
kondisi anak. Sebagai manusia, setiap anak mempunyai ciri individual yang
berbeda satu dengan yang lain

STUDI KASUS

Ibu KMT berasal dari Weleri, Kendal, Jawa Tengah. Tinggal di


Yogyakarta sudah 5 (lima) tahun. Ia menikah dengan laki-laki kemudian
bertempat tinggal di Jlagran, Yogyakarta. Keluarga mereka dikaruniai seorang
anak bernama DS yang sedang duduk di bangkusekolah dasar. Pekerjaan suami
ibu KMT sebagai tukang becakdengan penghasilan minim sekali, sehingga untuk
memenuhi kebutuhan dapur saja sangat kurang, belum lagi untuk kebutuhan yang
lainnya. Oleh karena itu ibu KMT kemudian membantu beban suami dalam
mencari nafkah dengan mengamen di perempatan jalan Patang puluhan dan
Jokteng. Ia tidak mau mengamen di dekitar Jl agran karena bagaimanapun juga ia
malu dan sungkan dilihat tetangga.

Menurut pengakuan ibu KMT, anaknya yang bernama DS tidak boleh


ikut-ikutan ibunya mengamen. Meskipun sebenarnya DS ingin sekali ikut
mengamen seperti ibunya dan teman-teman sebayanya di lingkungan rumah
tinggal mereka. Pernah pada suatu hari DS diam-diam ikut teman-temannya
mengamen di sekitar jalan Jl agran, kemudian dilihat oleh ibunya, lalu ia pun
”diseret” (dipaksa) pulang ke rumah. Kebetulan hari itu adalah hari Sabtu yang
merupakan hari libur khusus bagi ibu KMT untuk tidak mengamen,dipergunakan
untuk mengurus keluarganya, sehingga saat itu ketika DS mengamen sepulang
sekolah akhirnya diketahui juga oleh ibu KMT.

Ibu KMT dan suami memang sepakat untuk membesarkan anak satu-
satunya itu dengan cara yang wajar, dalam arti anak yangsemestinya masih
sekolah, masih ingin bermain dengan leluasa dan mengerjakan serta mengulangi
pelajaran di sekolah, perlu istirahat dan sebagainya, maka anak tidak boleh
bekerja dulu untuk mencari uang sebelum dewasa.

Rencana ibu KMT, DS tidak akan dikenalkan dengan kerja ”mengamen”.


Besok ketika sudah selesai sekolah dan sudah mampu bekerja maka diharapkan
DS bisa bekerja di perusahaan atau yang setara dengan itu. DS tidak
diperbolehkan menjadi pengamen seperti orang tuanya. Selain itu, ibu KMT juga
mengemukakan pendapatnya bahwa seorang anak itu harus diupayakan
mempunyai nasib yang baik di masa depan, tidak sengsara seperti nasib orang
tuanya.

Dalam hal sekolah dan belajar anak, ibu KMT sangat memperhatikannya.
Ia telah menyediakan beberapa fasilitas belajar bagi anak di rumahnya, antara lain
ruangan belajar, meja, kursi, papan tulis, kapur, penghapus, dan sebagainya. Ia
bersama suaminya mengharapkan agar DS setelah pulang dari sekolah cepat-cepat
makan siang dan menikmati jajanan kesukaannya yang telah disiapkan oleh ibu
KMT sebelum berangkat mengamen. Kemudian setelah makan DS dipesan untuk
belajar mengulangi pelajaran yang telah didapatkan di sekolahnya, terus istirahat
(tidur siang). Biasanya setelah bangun tidur, DS membantu ibunya mengerjakan
pekerjaan rumah tangga dengan menyapu, mengepel lantai, belanja kebutuhan
dapur dan sebagainya. Sehingga sepulang dari mengamen, ibu KMT merasa lega.

Mengenai pemilihan teman dalam bergaul bagi DS, ibu KMT cukup
selektif. Tidak sembarangan anak-anak lain bisa membawa DS pergi bermain. DS
sering diberi nasehat panjang lebar mengenai hal ini. Ibu KMT melakukan ini
semua karena pernah suatu ketika DS bermain dengan teman-temannya sampai
pukul 21.00 malam. Oleh karena itu ibu KMT tidak ingin anaknya mengalami
salah pergaulan, sehingga ia menerapkan peraturan yang ketat bagi DS. Ibu KMT
sekeluarga memeluk agama Islam. Dalam hal ibadah, tidak jarang mereka
sekeluarga pergi sholat berjama’ah di masjid. Ibu KMT mendidik anaknya untuk
senantiasa menunaikan sholat lima waktu. Ia juga menegaskan, bahwa meskipun
mengamen tiap hari, namun ia tidak lupa selalu membawa mukena sehingga
sewaktu mendengar adzan ia segera mengambil air wudhu dan sholat di masjid
terdekat.

Berdasarkan paparan kondisi kehidupan ibu KMT di atas dapat diketahui,


bahwa ibu KMT dan suami telah menerapkan pola asuh yang demokratis bagi
anaknya. Hal ini tercermin dari beberapa aspek yang diserahkan kepada anak
dalam pelaksanaannya, kemudian beberapa aspek lainnya diatur oleh ibu KMT
bersama suami.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Orang tua memiliki gaya masing-masing dalam mendidik anak mulai dari
dalam kandungan, bayi, remaja bahkan sampai usia dewasa. Usia remaja
merupakan masa transisi dari masa awal anak-anak hingga masa dewasa. Masa
remaja merupakan usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat, masa
remaja berlangsung kira-kira dari usia 13-16 tahun dan akhir masa remaja
berlangsung kira-kira dari usia 17-18 tahun.

  Pola asuh yang paling baik adalah jenis Authoritative. Anak yang diasuh
dengan pola ini tampak lebih bahagia, mandiri dan mampu untuk mengatasi
stress. Mereka juga cenderung lebih disukai pada kelompok sebayanya, karena
memiliki ketrampilan sosial dan kepercayaan diri yang baik.

3.2 Saran

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya bagi
para oramg tua dalam mengasuh anaknya dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/cobaBK/article/view/318
http://blog-dianpuspa.blogspot.com/2013/04/pola-asuh-anak-dalam-keluarga-
makalah.html
https://www.neliti.com/publications/122664/keluarga-sebagai-lembaga-pertama-
pendidikan-islam
https://ejournal.kemsos.go.id/index.php/Sosioinforma/article/download/105/72

Anda mungkin juga menyukai