Hukum pidana-WPS Office
Hukum pidana-WPS Office
Sumber utama tentang berlakunya undang - undang hukum pidana menurut waktu tersimpul dalam
pasal 1 ayat (1) KUHP dan pasal 1 ayat (2) KUHP :
Menurut Bambang Poernomo, dua ketentuan dalam pasal 1 ayat (2) KUHP itu menimbulkan pandangan
dan masalah, sehingga perlu ditinjau kembali atas kemanfaatan dari hukum peralihan yang
perumusannya seperti itu akan ditiadakan dengan pertimbangan sebagai berikut :
Tidak ada hukum yang berdiri sendiri tanpa pengaruh dari ruang lingkup hukum yang lain sehingga
hukum pidana akan tetap memperhatikan perkembangan hukum yang lain.
a. Dasar perubahan undang-undang yang baru disebabkan oleh adanya
perasaan/keyakinan/kesadaran hukum rakyat, yang melalui badan pembentuk undang -
undang untuk membentuk undang - undang baru dalam perbuatan tindak pidana yang terjadi
kemudian sehingga perubahan undang - undang yang karena sifatnya berlaku sementara
tersebut tidak termasuk dalam perubahan.
b. Perubahan undang - undang yang menyangkut berat atau ringannya
1.1. Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Pruevia Lege Punali
Mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan,yaitu mengenai criminal act terdapat dasar yang
pokok, yaitu asas legalitas (principle of legality ) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang undangan.
Asas ini dikenal dengan bahasa latin “ Nullum Delictum Nulla Poena Sine Lege Punali “ yang artinya “
tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa undang undang hukum pidana terlebih dahulu. Ucapan ini
berasal dari Anselm von Feuerbach, seorang sarjana hokum pidana jerman (1775 – 1833) dalam
bukunya yang berjudul “ Lehrbuch des Peinlichen Rech “ (1801). Perumusan asa legalitas ini dalam
bahasa latin dikemukakan sehubungan dengan teorinya “ Von Psycologischen Zwang “ (paksaan
psikologis). Teori ini menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang
dalam peraturan bukan saja tentang perbuatan yamg harus ditulis oengan jelas tetapi juga tentang
macamnya pidana yung diancamkan.
Peraturan undang-unndang itu harus sudah ada sebelum tindak pidana itu terjadi, artinya peraturan
pidana tidak boleh berlaku surut ( retroaktif ). Dasar pemikirannya adalah untuk menjamin kebebasan
individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa dan peradilan, selain itu juga dengan adanya
pendirian yang berhubungan dengan pendapat bahwa pidana itu merupakan paksaan psikis
(psycologische dwang). Aturan tentang tidak berlaku surutnya suatu peraturan pidana ini dapat
diterobos oleh pembentuk undang-undang, sebab aturan itu cuma tercantum dalam undang-undang
biasa, jadi apabila pembentik undang-undang menyatakan suatu undang-undang berlaku surut,
merupakan sepenuhnya wewenang dari pembentuk undang-undang dalam hal ini berlaku asas “ Lex
posterior derogat legi piori “, artinya dalam hal tingkatan peraturan itu sama, maka peraturan yang
ditetapkan kemudian mendesak peraturan terdahulu. ( Sudarto.1990 ; 25 ).
Asas lex tempores delicti yang menimbulkan larangan berlaku retro aktif bagi peraturan pidana ini ada
pengecualiannya seperti tertera pada pasal 1 ayat 2 yang menyatakan bahwa jika sesudah perbuatan
dilakukan ada perubahan di dalam perundang-undangan dipakai peraturan yang paling ringan bagi
terdakwa.Jadi menurut pasal ini dimungkinkan suatu peraturan pidana berlaku surut.Pengecualian
terhadap asas ini terdapat pula dalam rancangan KUHP pasal 2 yang berbunyai “ Jika terdapat
perubahan peraturan undang-undang setelah perbuatan terjadi,maka diterapkan peraturan tang paling
menguntungkan “. Apakah arti perubahan dalam perundang-undangan ? Ada beberapa pandangan:
a. Ajaran Formil
Menurut Simons ada perubahan apabila ada perubahan dalam teks undang-undang pidana
sendiri.Perubahan dalam undang-undang lain bukanlah perubahan seperti yang dimaksud seperti dalam
pasal 1 ayat 2 KUHP.
Tiap perubahan dalam perundang-undangan digunakan untuk keuntungan terdakwa. Kapankah suatu
peraturan itu disebut meringankan atau menguntungkan terdakwa? Pengertian paling ringan atau paling
menguntungkan itu harus diartikan seluas-luasnya, dan tidak hanya mengenai pidananya saja,
melainkan mengenai segala sesuatu dari peraturan itu yang mempunyai pengaruh terhadap penilaian
suatu tindak pidana. Penentuan harus dilakukan in concreto dan tidak in abstracto. Misalnya terdapat
suatu delik, pidananya diperberat, akan tetapi delik itu dijadikan delik aduan. Manakah yang
menguntungkan terdakwa? Ini tergantung pada keadaan yang kongkrit apakah ada pengaduan atau
tidak. Kalau tidak ada pengaduan aturan baru yang berlaku berarti bahwa terdakwa dituntut, sebaliknya
kalau ada pengaduan maka peraturan lama yang diterapkan karena pidananya lebih ringan ( Sudarto
1990; 26-29 ).
Dari sejarah hukum pidana dapat diketahui bahwa sudah sejak lama orang mengenal apa yang oleh
Mayer disebut elementen princip, atau yang oleh Van Hamel disebut grondbeginsel, yang kedua-duanya
dapat diterjemahkan dengan “asas dasar yang menentukan” pada waktu mengadili seseorang yang
dituduh telah melakukan tindak pidana. Hakim tidak dibenarkan memberlakukan undang-undang pidana
lain kecuali yang berlaku di negaranya sendiri. Tetapi sekarang orang harus mengakui kenyataan bahwa
sulit untuk memberlakukan asas dasar tadi tanpa penyimpangan sedikitpun. Bagaimana caranya agar
pelakuntindak pidana itu dapat diadili oleh hakim seperti yang dimaksud dalam asas dasar terdebut
(memberlakukan undang-undang negaranya sendiri?) untuk memecahkan persoalan tersebut di dalam
doktrin dikenal beberapa asas yang bias disebut sebagai: “Asas-asas tentang berlakunya undang –
undang pidana menurut tempat”. Asas-asas tersebut adalah:
Tercantum dalam Pasal 2 yang menyatakan: “ketentuan pidana dalam Undang-undang Indonesia
berlaku bagi setiap orang yang di alam wilayah Indonesia melakukan tindak pidana”. Berdasarkan
ketentuan pasal ini maka bagi setiap orang (baik WNI maupun orang asing) yang melakukan tindak
pidana di wilayah Republik Indonesia, maka baginya dikenakan aturan pidana yang dicantumkan dalam
undang-undang Indonesia.
2.2. Asas Kebangsaan atau Asas Nasional Aktif atau Asas Personal
Asas ini dapat pula disebut asas kepentingan nasional atau asas personalitas. Asas ini tercantum pada
Pasal 5 KUHP. Berdasarkan pasal ini maka, bagi warga Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana
di luar wilayah Indonesia yang menyangkut tentang keamanan Negara, kedudukan Kepala Negara,
penghasutan untuk melakukan tindak pidana, tidak memenuhi kewajiban militer, perkawinan melebihi
jumlah yang ditentukan, dan pembajakan, maka pelakunya dapat dituntut menurut aturan pidana
Indonesia oleh Pengadilan Indonesia. Kepentingan nasional yang dipertahankan di sini adalah agar
pelaku tindak pidana yang warga negara Indonesia itu, walaupun peristiwanya terjadi di luar Indonesia
tidak diadili dan dikenakan hukum dari Negara yempat terjadinya peristiwa itu.
Asas ini juga disebut asas perlindungan (bescherming-beginsel). Asas ini bertujuan melindungi wibawa
dan martabat Negara Indonesia dari tindakan orang jahat yang dilakukan oleh warga Negara Indonesia
maupun orang asing yang mengancam kepentingan nasional Indonesia. Asas nasionalitas pasif in tidak
melihat kewarganegaraan dari pelaku, melainkan melihat pada tindak pidana yang terjadi itu telah
mengancam kepentingan nasional (Indonesia).
Asas ini melindungi kepentingan antar Negara tanpa melihat kewarganegaraan pelakunya. Yang
diperhatikan adalah kepentingan Negara lain sebagai tempat dilakukannya suatu tindak pidana tertentu.
undang pidanatersebut. Pasal 1 ayat (2) KUHP merupakan pengecualian terhadap berlaku
surut(reokraktif) undang
undang pidana. Berdasarkan pasal 1 ayat (2) KUHPdimungkinkan suatu peraturan pidana berlaku surut,
namun demikian aturanundang
undang tersbeut haruslah yang paling ringan atau menguntungkan bagiterdakwa.Dalam pasal 1 ayat (2)
KUHP mempunyai 2 ketentuan pokok, yaitu :a. Sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam
perundang
undang yang baru adalah karena bahan perasaan/keyakinan/kesadaran hukum rakyat, yang melalui
badan pembentukundang
undang baru, untuk perbuatan pidanayang terjadi kemudian sehingga perubahan undang
undang yang karenasifatnya berlaku sementara tidak termasuk perubahan disini. b).Perubahan undang
undang yang menyangkut berat atau ringannya ancaman pidana tidak akan mempunyai arti, karena
didalam prakteknya hakim tetapmemegang asas kebebasan didalam menjatuhkan pidana yang di
ancam.c).Asas lex temporis delicti yang berlaku secara tertulis maupun tidak tertulisadalah asas yang
menjamin kepastian hukum serta keadilan hukum.Kemudian Bambang Poernomo lebih lanjut
menyatakan bahwa hukum peralihan yang tercantum dalam pasal 1 ayat (2) KUHP hanyalah mempunyai
artihistoris bagi suatu negara yang untuk pertama kali mempunyai dan membentuk
undang hukum pidana sebagai peralihan dari keadaanhukum yang teratur dan sewenang
–
pelanggarandan kejahatan
kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan yang diancam dengan hukuman yang merupakan
suatu penderitaan atau siksaan.2).Ruang lingkup berlakunya Hukum Pidana terbagi atas 2 keadaan yaitu
menuruttempat dan waktu.3).Ruang lingkup berlakunya hukum pidana menurut tempat terbagi atas
empatasas, yaitu (1). Asas teritorial, (2). Asas personal, (3) Asas perlindungan, (4)Asas universal.4).
Ruang lingkup berlakunya hukum pidana menurut waktu itu sumber utamanyatersimpul dalam pasal 1
ayat (1) KUHP dan pasal 1 ayat (2) KUHP.
3.2 Saran
Demikianlah makalah tentang ruang lingkup berlakunya hukum pidanamenurut tempat dan waktu yang
dapat kelompok kami sampaikan. Kamimenyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
banyakkesalahan. Untuk itu kami mohon maaf dan kritikannya yang membangun untuk perbaikan
makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat.