Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

TEKTONOFISIK “TSUNAMI”

DISUSUN OLEH

ACHMAD ARIZAL
09320180018
C7

JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020
A. LATAR BELAKANG

Tsunami ( 津 波 , "ombak besar di pelabuhan") adalah gelombang air besar


yang diakibatkan oleh gangguan di dasar laut, seperti gempa bumi. Gangguan ini
membentuk gelombang yang menyebar ke segala arah dengan kecepatan gelombang
mencapai 600–900 km/jam. Awalnya gelombang tersebut memiliki amplitudo kecil
(umumnya 30–60 cm) sehingga tidak terasa di laut lepas, tetapi amplitudonya
membesar saat mendekati pantai. Saat mencapai pantai, tsunami kadang menghantam
daratan berupa dinding air raksasa (terutama pada tsunami-tsunami besar), tetapi
bentuk yang lebih umum adalah naiknya permukaan air secara tiba-tiba. Kenaikan
permukaan air dapat mencapai 15–30 meter, menyebabkan banjir dengan kecepatan
arus hingga 90 km/jam, menjangkau beberapa kilometer dari pantai, dan
menyebabkan kerusakan dan korban jiwa yang besar.

Sebab tsunami yang paling umum adalah gempa bumi bawah laut, terutama
yang terjadi di zona penunjaman dengan kekuatan 7,0 skala magnitudo momen atau
lebih. Penyebab lainnya adalah longsor, letusan gunung, dan jatuhnya benda besar
seperti meteor ke dalam air. Secara geografis, hampir seluruh tsunami terjadi di
kawasan Lingkaran Api Pasifik dan kawasan Palung Sumatra di Samudra Hindia.
Risiko tsunami dapat dideteksi dengan sistem peringatan dini tsunami yang
mengamati gempa-gempa berkekuatan besar dan melakukan analisis data perubahan
air laut yang terjadi setelahnya. Jika dianggap ada risiko tsunami, pihak berwenang
dapat memberi peringatan atau mengambil tindakan seperti evakuasi. Risiko
kerusakan juga dapat dikurangi dengan rancangan tahan tsunami, seperti membuat
bangunan dengan ruang luas, serta penggunaan bahan beton bertulang, maupun
dengan penyuluhan kepada masyarakat tentang cara menyelamatkan diri dari
tsunami, seperti pentingnya mengungsi dan menyiapkan rencana darurat dari jauh-
jauh hari.

B. PENJELASAN

Kata tsunami adalah serapan dari bahasa Jepang 津 波


(tsunami): tsu berarti pelabuhan, dan nami berarti gelombang. Nama ini diperkirakan
berasal dari para nelayan Jepang, yang mengamati bahwa kapal-kapal dan bangunan
di pelabuhan rusak akibat fenomena ini sekalipun mereka tidak merasakan
gelombang besar ketika berada di laut lepas. Oleh orang awam, tsunami kadang
disebut "gelombang pasang". Namun, istilah yang dulunya populer ditolak para
pakar karena fenomena ini tidak ada hubungannya dengan fenomena pasang
surut yang diakibatkan gravitasi matahari dan bulan. Para pakar lebih menyukai
istilah tsunami, walaupun sebenarnya fenomena ini tidak hanya terjadi di pelabuhan.

Beberapa bahasa memiliki padanan untuk istilah tsunami. Contohnya, dalam bahasa


Aceh,tsunamidisebut iëbeuna atau alônbuluël (tergantungdaerah).
Kata smong dan emong digunakan dalam bahasa-bahasa di Pulau Simeulue, yang berada
sebelah barat pantai Sumatra. Dalam bahasa Tamil di pantai timur India, tsunami
disebut aazhi peralai

C. PROSES TERJADINYA TSUNAMI

Tsunami dapat dipicu oleh gangguan pada dasar laut yang menyebabkan
perpindahan sejumlah besar air. Dalam proses kembalinya air yang terganggu ini
menuju ekuilibrium atau keadaan tenang, suatu gelombang dapat terbentuk dan
menyebar meninggalkan pusat gangguan, sehingga menyebabkan tsunami. Peristiwa-
peristiwa yang dapat menyebabkan perpindahan air seperti ini meliputi gempa
bumi bawah laut, longsor yang terjadi di dasar laut, jatuhnya benda ke dalam air
seperti letusan gunung, meteor, atau ledakan senjata

Tsunami yang diakibatkan terjadinya gempa bumi bawah laut.


Pemicu paling umum adalah gempa bumi yang mengakibatkan sekitar 80%–
90% dari seluruh tsunami. Gempa yang paling berpotensi menimbulkan tsunami
adalah gempa yang terjadi pada zona penunjaman (daerah pertemuan
dua lempeng yang membenamkan salah satu lempeng tersebut) yang dangkal.
Namun, tidak semua gempa seperti ini menyebabkan tsunami. Biasanya, hanya
gempa berkekuatan di atas 7,0 skala magnitudo momen yang memiliki potensi ini.
Semakin kuat suatu gempa, semakin besar pula peluang tsunami yang disebabkan
oleh gempa tersebut. Selain paling umum, tsunami seperti ini adalah satu-satunya
yang dapat bertahan jauh (termasuk menyeberangi samudra) sehingga
membahayakan daerah yang lebih luas.  Tsunami Samudra Hindia 2004 merupakan
contoh tsunami seperti ini, dipicu oleh gempa bermagnitudo 9,1 dan merupakan
tsunami paling mematikan dalam sejarah.

Penyebab umum lainnya adalah tanah longsor, baik yang terjadi di bawah laut
maupun yang terjadi di daratan tetapi memindahkan material seperti bebatuan ke
laut. Karena longsor bawah laut sering terjadi akibat gempa, longsor dapat
memperparah gangguan pada air setelah gempa. Fenomena ini dapat menyebabkan
tsunami bahkan pada gempa dengan kekuatan yang biasanya tidak menyebabkan
tsunami (seperti gempa yang bermagnitudo sedikit di bawah 7,0), atau menyebabkan
tsunami yang lebih besar dari perkiraan berdasarkan kekuatan gempa.
Contohnya, gempa bumi Papua Nugini 1998 hanya bermagnitudo sedikit di atas 7,0,
tetapi menghasilkan tsunami besar dengan tinggi maksimum 15 meter. Contoh
longsor daratan yang menyebabkan tsunami adalah tsunami Alaska 1958.

Penyebab tsunami lainnya


adalah aktivitas vulkanik, terutama
dari gunung berapi yang berada di
dekat atau di bawah laut. Umumnya,
aktivitas vulkanik menyebabkan naik
atau turunnya bibir gunung berapi,
memicu tsunami yang mirip dengan
tsunami gempa bumi bawah
laut. Namun, dapat juga terjadi letusan besar yang menghancurkan pulau gunung
berapi di tengah laut, menyebabkan air bergerak mengisi wilayah pulau tersebut dan
memulai gelombang besar. Contoh tsunami akibat letusan besar seperti ini adalah
tsunami letusan Krakatau 1883, yang mengakibatkan tsunami setinggi lebih dari
40 m.

Selain penyebab-penyebab di atas, ada penyebab tsunami yang lebih langka, di


antaranya benturan benda besar ke dalam air akibat ledakan senjata atau kejatuhan
meteor.[7] Benturan ini memicu gelombang air, dan tsunami yang dihasilkannya
memiliki karakteristik fisika yang mirip dengan tsunami letusan gunung berapi.

D. STUDI KASUS TSUNAMI

Sebagian besar tsunami di bumi terjadi di Lingkaran Api Pasifik (kiri) dan Palung


Sumatra (kanan).

Rawan tidaknya suatu daerah terhadap tsunami ditentukan oleh ada tidaknya
pemicu-pemicu di atas, terutama gempa bumi berkekuatan besar di lautan, yang
merupakan penyebab tsunami paling umum. Hampir 80% dari tsunami di bumi
terjadi di kawasan yang disebut Lingkaran Api Pasifik, zona penunjaman di
sekitar Samudra Pasifik yang mengalami banyak gempa bumi besar. Lingkaran api
(Inggris: ring of fire) ini mencakup (searah jarum jam) Selandia Baru, Papua
Nugini, Indonesia, pantai timur Asia (terutama Filipina dan Jepang) sampai ke utara,
lalu pantai barat Amerika Utara dan Selatan. Selain itu, kawasan Palung
Sumatra yang berada di Samudra Hindia lepas pantai barat dan selatan pulau
Sumatra dan Jawa, Indonesia, juga merupakan zona penunjaman yang rentan
tsunami. Di luar dua kawasan ini, tsunami cukup .
E. HUBUNGAN TSUNAMI DENGAN TEKTONIK LEMPENG

Gangguan yang terjadi di tengah laut menyebar sebagai gelombang. Seperti


gelombang pada umunya (termasuk gelombang air di kolam atau ombak di pantai),
gelombang tsunami memiliki fase "bukit" dan "lembah", panjang
gelombang, periode,
dan kecepatan. Namun gelombang
tsunami memiliki perbedaan besar
daripada gelombang ombak biasa.
Tak seperti ombak biasa yang
energinya berasal dari angin,
gelombang tsunami bisa terus
bertahan karena gaya gravitasi bumi
yang menarik air untuk kembali ke kesetimbangannya. Perbedaan-perbedaan lain
adalah dari sifatnya secara matematis. Panjang gelombangnya (jarak antara satu bukit
ke bukit berikutnya) berkisar antara beberapa kilometer hingga ratusan kilometer. Ini
jauh lebih besar dibandingkan ombak yang panjang gelombangnya sekitar 100 meter.
Karena panjang gelombangnya ini, serta kecilnya amplitudo atau tinggi gelombang
(umumnya 30–60 cm), gradien atau kemiringan air yang terbentuk sangatlah kecil,
sehingga tidak terasa oleh kapal-kapal di laut lepas. Gelombang tsunami juga
memiliki perioda yang jauh lebih besar (dapat mencapai 70–2.000 detik) dibandingan
ombak biasa (sekitar 10 detik). Hal ini berarti arus yang ditimbulkan tsunami
bertahan jauh lebih lama.

Kecepatan gelombang tsunami (dapat mencapai 600–900 km/jam) juga amat


besar dibandingkan ombak biasa (sekitar 50 km/jam). Namun ini hanyalah kecepatan
rambatan gelombang, dan bukan kecepatan partikel air. Kecepatan partikel air jauh
lebih rendah, umumnya di bawah 1 m/s (3,6 km/jam). Kecepatan ini kira-kira
berbanding lurus dengan akar kuadrat dari kedalaman laut, sehingga tsunami
bergerak lebih cepat di tengah samudra dibanding dekat pantai dangkal. Karena itu,
waktu tempuh sebelum tsunami mencapai suatu titik tergantung pada karakteristik
dasar laut maupun jarak dari pusat tsunami. Contohnya, Tsunami Samudra Hindia
2004 mulai menghantam Indonesia setelah 15 menit, Sri Lanka setelah 2 jam,
dan Kenya (di sisi lain Samudra Hindia) setelah 9 jam.
Perbedaan lainnya antara tsunami dan ombak biasa adalah gelombang
tsunami melibatkan air di seluruh area vertikal, baik bagian dalam dan dangkal. Tak
seperti ombak biasa yang dalamnya jarang melebihi 20 m, gelombang tsunami
mencapai dasar laut sehingga memiliki total energi yang jauh lebih besar. Saat
merambat di laut dalam, gangguan yang terjadi di permukaan hanyalah sebagian
kecil dari total energi yang dimiliki oleh tsunami tersebut.

Saat Mendekati Pantai

Saat gelombang tsunami mendekati pantai, kecepatan gelombang menurun


akibat gesekan dengan dasar laut. Pada frekuensi tetap, panjang gelombang
berbanding lurus dengan kecepatan sehingga gelombang tsunami memendek. Selain
itu, karena tsunami menjangkau hingga dasar laut, saat laut menjadi dangkal, energi
yang sebelumnya tersebar jauh hingga ke bawah mulai berpindah ke atas.
Berpindahnya energi ini meningkatkan amplitudo atau tinggi gelombang. Alhasil,
saat mendekati pantai, energi tsunami menjadi jauh lebih padat baik secara horizontal
(akibat berkurangnya panjang gelombang) dan secara vertikal (akibat berkurangnya
kedalaman air dan meningkatnya amplitudo). Akibat yang lain adalah gradien atau
kemiringan air menjadi jauh lebih curam.

Surutnya air laut sering dilaporkan terjadi sebelum datangnya tsunami, dalam
kasus tertentu air laut dapat bergerak hingga ratusan meter menjauhi daratan. Hal ini
sering memancing datangnya penduduk yang tidak tahu bahwa tsunami akan terjadi,
karena dalam keadaan ini ikan mudah ditangkap dan sering terlihat karang atau
makhluk laut lainnya yang biasanya tidak terlihat. Tidak semua tsunami didahului
oleh surutnya air, tsunami juga dapat langsung dimulai dengan naiknya permukaan
air. Hal ini karena tsunami berbentuk gelombang, dengan puncak dan lembah. Jika
lembah gelombang yang sampai lebih dahulu, permukaan air laut akan turun.
Sebaliknya, puncak gelombang menghasilkan naiknya air laut. Kedua hal ini dapat
terjadi dengan peluang yang sama.
Mencapai Daratan

Tsunami sering digambarkan secara ikonik sebagai dinding air raksasa yang
bergerak menghantam daratan, seperti ombak yang
ditunggangi peselancar. Fenomena ini memang terjadi, tetapi hanya pada tsunami-
tsunami yang sangat besar, seperti pada Tsunami Samudra Hindia 2004. Pada
sebagian besar kasus, tsunami tidak menyebabkan dinding air raksasa, tetapi terjadi
dengan naiknya permukaan laut secara tiba-tiba (terkadang didahului surut). Air
dapat naik dan surut selama berjam-jam, sesuai bukit dan lembah
gelombang. Tsunami yang mencapai daratan bukan hanya sebuah gelombang tetapi
terdiri dari rangkaian gelombang yang memiliki amplitudo dan frekuensi berbeda
dan dapat saling memperkuat. Saat ini, tidak mungkin memperkirakan jumlah
puncak besar yang ada dalam suatu tsunami, atau puncak mana yang paling
berbahaya. Karena itu, daerah pantai masih dianggap berbahaya walaupun beberapa
gelombang besar telah lewat.

Tsunami yang mencapai daratan


dapat menyebabkan kenaikan permukaan air
hingga 15–30 meter. Banjir yang dihasilkan
dapat bergerak cepat hingga 90 km/jam, dan
menjangkau hingga beberapa kilometer dari
pantai. Aliran air ini mampu
menghancurkan bangunan dan tanaman,
menghanyutkan kendaraan atau benda-benda bergerak lainnya. Kerusakan akibat
arus yang berkecepatan tinggi dan dipenuhi puing serta benda hanyut ini sering kali
lebih besar daripada kerusakan akibat hantaman awal tsunami. Banjir yang
diakibatkan tsunami ini sering diukur dengan dua besaran: inundasi atau
penggenangan (inundation) dan kenaikan (run-up). Inundasi adalah jarak maksimal
yang ditempuh tsunami secara horizontal ke dalam daratan. Kenaikan adalah
ketinggian maksimum yang digenangi banjir dibandingkan dengan ketinggian normal air laut

Saat banjir tsunami mulai surut, arus balik air ke laut juga dapat menimbukan
kerusakan besar. Air dapat mengalir dengan cepat dan bergejolak, menyebabkan
erosi dan merusak fondasi bangunan. Air dapat bergerak bolak balik hingga beberapa
hari.

Sistem Peringatan Dini

Sistem peringatan dini tsunami berfungsi untuk mendeteksi risiko tsunami,


memperkirakan daerah-daerah yang akan terkena, dan mengeluarkan pengumuman
agar publik dapat mengambil tindakan untuk mengurangi korban jiwa dan
kerusakan. Peringatan dini tsunami biasanya berawal dari terjadinya gempa
berkekuatan besar (magnitudo 7,0 atau lebih). Saat gempa seperti ini terjadi,
penduduk daerah terdekat dapat langsung diberi peringatan dini disertai perkiraan
kasar ukuran atau waktu kedatangan tsunami. Sementara itu, pusat sistem peringatan
dini mengumpulkan data-data lain, seperti perubahan pada permukaan laut, serta
kedalaman dan karakteristik dasar laut setempat. Perubahan ketinggian air laut dapat
diukur dengan alat seperti alat pengukur pasang surut yang sebelumnya telah
ditempatkan di berbagai lokasi. Data-data ini kemudian diolah untuk mengeluarkan
perkiraan yang lebih rinci. Dengan data yang cukup, dapat dideteksi apakah ada
tsunami, dan jika ada, perkiraan juga dapat meliputi peta pergerakan, daerah yang
mungkin terkena, waktu kedatangan, maupun ukuran tsunami. Jika dideteksi tidak
ada tsunami, peringatan dini dapat dibatalkan. Jika tsunami terdeteksi, pihak
berwenang di daerah yang dianggap berisiko dapat mengambil tindakan
penanggulangan, termasuk memerintahkan evakuasi daerah pesisir. Waktu respons
yang dimiliki tiap lokasi berbeda-beda tergantung jaraknya dari pusat tsunami.
Daerah yang cukup jauh bisa jadi memiliki waktu berjam-jam untuk bersiap dan
melakukan evakuasi.

Selain deteksi dan perkiraan bahaya tsunami, efektivitas sistem peringatan


dini juga tergantung kepada adanya rencana tindakan yang matang. Dalam rencana
seperti ini, lembaga pemerintah terkait harus sudah mengenal dan terlatih dalam
tindakan-tindakan yang perlu dilakukan, di antaranya menafsirkan sumber-sumber
ilmiah maupun menyebarkan informasi dan instruksi kepada masyarakat melalui
jalur komunikasi yang efektif. Karena rentang waktu sebelum datangnya tsunami
bisa jadi sangat singkat, faktor kecepatan amat penting. Dengan adanya persiapan
dan rencana yang matang, keputusan dan tindakan dapat diambil dengan lebih cepat.

Upaya deteksi tsunami melalui pemantauan gempa bumi bermagnitudo besar


telah dilakukan sekurangnya sejak awal 1900-an oleh vulkanolog Amerika
Serikat Thomas A. Jaggar di Hawaii. Namun, metode peringatan pada awal abad ke-
20 masih belum formal dan kurang efektif karena tidak akurat (sering mengeluarkan
peringatan ketika sebenarnya tidak ada tsunami), dan tidak adanya jalur komunikasi
resmi. Pusat peringatan dini formal pertama adalah Pacific Tsunami Warning
Center (PTWC), yang didirikan di Hawaii pada 1949, sebagai tanggapan atas
tsunami yang diakibatkan oleh Gempa bumi Kepulauan Aleut 1946. Sejak 1965,
negara-negara Samudra Pasifik lainnya ikut berpartisipasi dalam sistem ini, dan kini
telah beranggotakan 46 negara. Selain PTWC, Amerika Serikat juga memiliki satu
sistem lain yang disebut West Coast and Alaska Tsunami Warning Center.[33] Setelah
tsunami Samudra Hindia 2004, negara-negara Samudra Hindia membentuk Indian
Ocean Tsunami Warning and Mitigation System, lembaga kerja sama pemantauan
dan penyebaran informasi risiko tsunami. Banyak negara di kawasan rentan tsunami
memiliki lembaga yang bertugas mengatur sistem peringatan dini nasional,
seperti Badan Meteorologi Jepang di Jepang, dan Badan Meteorologi, Klimatologi,
dan Geofisika (BMKG) di Indonesia.

Rancangan Tahan Tsunami

Dengan kecepatan tinggi dan hanyutnya benda-benda yang berat, arus


tsunami memiliki energi tinggi yang dapat menghancurkan atau merusak bangunan-
bangunan di daerah pesisir. Namun, berdasarkan pengamatan, bangunan-bangunan
dengan rancangan tertentu memiliki peluang lebih besar untuk bertahan. Bangunan
dengan ruangan terbuka yang luas, yang bisa dilewati oleh air tanpa banyak benturan
sering mampu bertahan saat diterjang tsunami. Contohnya adalah rumah-rumah
panggung di Hawaii (air bisa mengalir antara lantai dan tanah), dan masjid-masjid
besar di Aceh (yang umum memiliki ruangan luas terbuka). Struktur beton
bertulang juga sering tidak hancur dalam tsunami, walaupun tembok-tembok
bangunannya dapat hancur. Jika bangunan berkerangka seperti ini cukup tinggi,
lantai atasnya dapat dirancang sebagai zona evakuasi darurat untuk penduduk yang
tidak sempat mengungsi ke tanah yang tinggi.

Sebuah rancangan bendungan tsunami, bertujuan membendung tsunami kecil dan


mengurangi kerusakan akibat tsunami besar.

Struktur khusus yang dibangun di tepi pantai, seperti pemecah


gelombang, tembok pantai dibangun di beberapa tempat yang rawan tsunami, seperti
Jepang dan Hawaii. Struktur-struktur seperti ini tidak berkekuatan atau berketinggian
yang cukup untuk sepenuhnya menghentikan tsunami, namun dapat mengurangi
kekuatan arusnya.

Perilaku Individu

Beberapa lembaga nasional maupun internasional menyarankan beberapa hal


yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan diri dari tsunami. Komisi Oseanografi
Antarpemerintah menyarankan penduduk di daerah rawan tsunami untuk
menyiapkan rencana darurat jauh-jauh hari (jika perlu melibatkan keluarga untuk
memudahkan koordinasi) dan mengikuti instruksi pihak berwenang setempat.
Lembaga ini juga menyarankan cepat mengungsi ke daerah yang lebih tinggi jika
merasakan gempa yang kuat di daerah pantai, bahkan sebelum adanya peringatan
resmi, karena tsunami dapat terjadi dengan cepat di daerah yang dekat dengan pusat
gempa.[43] Gejala alam yang dapat menandakan datangnya tsunami adalah naik atau
surutnya permukaan air laut secara tiba-tiba, ataupun bunyi deruan keras berasal dari
arah laut.
DAFTAR PUSTAKA

Awate, S.J. (2016). Environmental Geography. Raleigh: Lulu


Publication. ISBN 978-1-365-64482-5.

Intergovernmental Oceanographic Commission (2012). Tsunami, The Great Waves,


Second Revised Edition  (dalam bahasa Inggris). Paris: UNESCO.

National Tsunami Hazard Mitigation Program (2015). "Tsunami Awareness &


Safety" . National Weather Service Amerika Serikat.

Ward, Steven N. (2011) [naskah 2010]. "Tsunami". Dalam Gupta, Harsh


K. Encyclopedia of Solid Earth Geophysics. Dordrecht: Springer. doi:10.1007/978-
90-481-8702-7_2. Diakses tanggal 14 Januari 2019.

Anda mungkin juga menyukai