CA SERVIX
a. Vulva
Tampak dari luar (mulai dari mons pubis sampai tepi
perineum), terdiri dari mons pubis, labia mayora, labia
minora, clitoris, hymen, vestibulum, orificium urethrae
externum, kelenjar-kelenjar pada dinding vagina.
b. Mons pubis/mons veneris
Lapisan lemak di bagian anterior symphisis os pubis. Pada
masa pubertas daerah ini mulai ditumbuhi rambut pubis.
c. Labia mayora
Lapisan lemak lanjutan mons pubis ke arah bawah dan
belakang, banyak mengandung pleksus vena. Homolog
embriologik dengan skrotum pada pria. Ligamentum
rotundum uteri berakhir pada batas atas labia mayora. Di
bagian bawah perineum, labia mayora menyatu (pada
commisura posterior).
d. Labia minora
Lipatan jaringan tipis di balik labia mayora, tidak mempunyai
folikel rambut. Banyak terdapat pembuluh darah, otot polos
dan ujung serabut saraf.
e. Clitoris
Terdiri dari caput/glans clitoridis yang terletak di bagian
superior vulva, dan corpus clitoridis yang tertanam di dalam
dinding anterior vagina.
f. Vestibulum
Daerah dengan batas atas clitoris, batas bawah fourchet, batas
lateral labia minora. Berasal dari sinus urogenital. Terdapat 6
lubang/orificium, yaitu orificium urethrae externum, introitus
vaginae, ductus glandulae Bartholinii kanan-kiri dan duktus
Skene kanan-kiri. Antara fourchet dan vagina terdapat fossa
navicularis.
g. Introitus / orificium vagina
Terletak di bagian bawah vestibulum. Pada gadis (virgo)
tertutup lapisan tipis bermukosa yaitu selaput dara / hymen,
utuh tanpa robekan.
Hymen normal terdapat lubang kecil untuk aliran darah
menstruasi, dapat berbentuk bulan sabit, bulat, oval,
cribiformis, septum atau fimbriae. Akibat coitus atau trauma
lain, hymen dapat robek dan bentuk lubang menjadi tidak
beraturan dengan robekan (misalnya berbentuk fimbriae).
Bentuk himen postpartum disebut parous.
h. Vagina
Rongga muskulomembranosa berbentuk tabung mulai dari
tepi cervix uteri di bagian kranial dorsal sampai ke vulva di
bagian kaudal ventral. Daerah di sekitar cervix disebut fornix,
dibagi dalam 4 kuadran : fornix anterior, fornix posterior, dan
fornix lateral kanan dan kiri. Vagina memiliki dinding ventral
dan dinding dorsal yang elastis. Dilapisi epitel skuamosa
berlapis, berubah mengikuti siklus haid.
Fungsi vagina : untuk mengeluarkan ekskresi uterus pada
haid, untuk jalan lahir dan untuk kopulasi (persetubuhan).
i. Perineum
Daerah antara tepi bawah vulva dengan tepi depan anus. Batas
otot-otot diafragma pelvis (m.levator ani, m.coccygeus) dan
diafragma urogenitalis (m.perinealis transversus profunda,
m.constrictor urethra).
1.1.1.2 Genitalia Interna
a. Uterus (rahim)
Suatu organ muskular berbentuk seperti buah pir, dilapisi
peritoneum (serosa). Selama kehamilan berfungsi sebagai
tempat implatansi, retensi dan nutrisi konseptus. Pada saat
persalinan dengan adanya kontraksi dinding uterus dan
pembukaan serviks uterus, isi konsepsi dikeluarkan. Terdiri
dari corpus, fundus, cornu, isthmus dan serviks uteri. Dinding
rahim terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1) Lapisan serosa (lapisan peritoneum), di luar
2) Lapisan otot (lapisan miometrium)di tengah
3) Lapisan mukosa (endometrium) di dalam.
1.2.5 Patofisiologi
Kanker serviks biasa timbul di daerah yang disebut squamo - columnar
junction (SCJ), yaitu batas antara epitel yang melapisi ektoserviks
(porsio) dan endoserviks kanalis serviks, dimana secara histologik terjadi
perubahan dari epitel ektoserviks yaitu epitel skuamosa berlapis dengan
epitel endoserviks yaitu epitel kuboid atau kolumnar pendek selapis
bersilia. Letak SCJ dipengaruhi oleh faktor usia, aktivitas seksual dan
paritas. Pada wanita muda SCJ berada di luar ostium uteri eksternum,
sedangkan pada wanita berusia di atas 35 tahun SCJ berada di dalam
kanalis serviks, Oleh karena itu pada wanita muda, SCJ yang berada di
luar ostium uteri eksternum ini rentan terhadap faktor luar berupa
mutagen yang akan displasia dari SCJ tersebut. Pada wanita dengan
aktivitas seksual tinggi, SCJ terletak di ostium eksternum karena trauma
atau retraksi otot oleh prostaglandin.
Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologis pada epitel
serviks, epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang
diduga berasal dari cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian epitel
kolumnar menjadi epitel skuamosa disebut proses metaplasia dan terjadi
akibat pengaruh pH vagina yang rendah. Aktivitas metaplasia yang tinggi
sering dijumpai pada masa pubertas. Akibat proses metaplasia ini maka
secara morfogenetik terdapat 2 SCJ, yaitu SCJ asli dan SCJ baru yang
menjadi tempat pertemuan antara epitel skuamosa baru dengan epitel
kolumnar. Daerah di antara kedua SCJ ini disebut daerah transformasi.
Penelitian akhir-akhir ini lebih memfokuskan virus sebagai salah satu
factor penyebab yang penting, terutama virus DNA. Pada proses
karsinogenesis asam nukleat virus tersebut dapat bersatu ke dalam gen
dan DNA sel tuan rumah sehingga menyebabkan terjadinya mutasi sel,
sel yang mengalami mutasi tersebut dapat berkembang menjadi sel
displastik sehingga terjadi kelainan epitel yang disebut displasia. Dimulai
dari displasia ringan, displasia sedang, displasia berat dan karsinoma in-
situ dan kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif. Tingkat
displasia dan karsinoma in-situ dikenal juga sebagai tingkat pra-kanker.
(Sjamsuhidajat,1997).
1.2.6 Pathway
1.2.7 Komplikasi
1.2.6.1 Fistula uretra
1.2.6.2 Disfungsi kandung kemih
1.2.6.3 Anemia trombositopenis
1.2.6.4 Mual,muntah, anoreksia
1.2.6.5 Infeksi pelvis
1.2.6.6 Sistitis dan kulit kering
1.2.6.7 Fistula rektovaginal. (Mardjikoen, 1999)
1.2.7.3 Biopsi
Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu
pertumbuhan atau luka pada serviks, atau jika hasil
pemeriksaan pap smear menunjukkan suatu abnormalitas atau
kanker. Biopsi ini dilakukan untuk melengkapi hasil pap smear.
Teknik yang biasa dilakukan adalah punch biopsy yang tidak
memerlukan anestesi dan teknik cone biopsy yang
menggunakan anestesi. Biopsi dilakukan untuk mengetahui
kelainan yang ada pada serviks. Jaringan yang diambil dari
daerah bawah kanal servikal. Hasil biopsi akan memperjelas
apakah yang terjadi itu kanker invasif atau hanya tumor saja
(Prayetni, 1997).
1.2.7.4 Kolposkopi
Kolposkopi dilakukan untuk melihat daerah yang terkena proses
metaplasia. Pemeriksaan ini kurang efisien dibandingkan dengan
pap smear, karena kolposkopi memerlukan keterampilan dan
kemampuan kolposkopis dalam mengetes darah yang abnormal
(Prayetni, 1997).
1.2.7.5 Tes Schiller
Pada pemeriksaan ini serviks diolesi dengan larutan yodium.
Pada serviks normal akan membentuk bayangan yang terjadi
pada sel epitel serviks karena adanya glikogen. Sedangkan pada
sel epitel serviks yang mengandung kanker akan menunjukkan
warna yang tidak berubah karena tidak ada glikogen ( Prayetni,
1997).
1.2.7.6 Radiologi
a. Pelvik limphangiografi, yang dapat menunjukkan adanya
gangguan pada saluran pelvik atau peroartik limfe.
b. Pemeriksaan intravena urografi, yang dilakukan pada kanker
serviks tahap lanjut, yang dapat menunjukkan adanya
obstruksi pada ureter terminal. Pemeriksaan radiologi
direkomendasikan untuk mengevaluasi kandung kemih dan
rektum yang meliputi sitoskopi, pielogram intravena (IVP),
enema barium, dan sigmoidoskopi. Magnetic Resonance
Imaging (MRI) atau scan CT abdomen / pelvis digunakan
untuk menilai penyebaran lokal dari tumor dan / atau
terkenanya nodus limpa regional (Gale & charette, 1999).
1.2.10 Prognosis
Prognosis kanker serviks adalah buruk. Prognosis yang buruk tersebut
dihubungkan dengan 85-90 % kanker serviks terdiagnosis pada stadium
invasif, stadium lanjut, bahkan stadium terminal (Suwiyoga, 2000;
Nugroho, 2000). Selama ini, beberapa cara dipakai menentukan faktor
prognosis adalah berdasarkan klinis dan histopatologis seperti keadaan
umum, stadium, besar tumor primer, jenis sel, derajat diferensiasi
Broders. Prognosis kanker serviks tergantung dari stadium penyakit.
Umumnya, 5-years survival rate untuk stadium I lebih dari 90%, untuk
stadium II 60-80%, stadium III kira - kira 50%, dan untuk stadium IV
kurang dari 30% (Geene,1998; Kenneth, 2000).
1.3.3 Perencanaan
Diagnosa 1: Kekurangan volume cairan
1.3.3.1 Tujuan dan Kriteria hasil (outcomes criteria):
Tujuan: tidak terjadi perdarahan. Kriteria hasil: setelah dilakukan
perawatan selama 2x/24 jam,diharapkan tekanan darah
normal,120/80 mmhg.
1.3.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional:
a. Awasi masukan dan haluaran. Ukur volume darah yang
keluar melalui perdarahan
b. Catat kehilangan darah ibu
c. Hindari trauma dan pemberian tekanan berlebihan pada
daerah yang mengalami pendarahan
d. Pantau status sirkulasi dan volume darah
e. Pantau TTV. Evaluasi nadi perifer, dan pengisian kapiler
f. Catat respon fisiologis individual pasien terhadap
pendarahan, misalnya kelemahan, gelisah, ansietas, pucat,
berkeringat / penurunan kesadaran
g. Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa, dan
perhatikan keluhan haus pada pasien
h. Kolaborasi :
Berikan cairan IV sesuai indikasi, berikan transfusi darah
(Hb, Hct) dan trombosit sesuai indikasi.
Wiknjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kandungan, Edisi Kedua. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
pHamilton, Persis. 1995. Dasar - Dasar Keperawatan Maternitas, Edisi 6. Jakarta :
EGC
Brunner and Suddarth. 1996. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 3.
Jakarta : EGC
Santosa, Budi. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA. Jakarta : Prima
Medika
Doengoes, Marylynn, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta :
EGC
Price, Sylvia. 2002. Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit, Edisi 6,
Volume 2. Jakarta : EGC
Guyton and Hall. 2005. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta : EGC
Banjarmasin, Februari 2017
(..................................................) (..................................................)