Anda di halaman 1dari 134

30 TAHUN

ANDY WIYANTO

Refleksi Pemikiran Bung Andy


tentang Negara dan Hukum
30 TAHUN
ANDY WIYANTO
Refleksi Pemikiran Bung Andy
tentang Negara dan Hukum
Andy Wiyanto

30 TAHUN
ANDY WIYANTO
Refleksi Pemikiran Bung Andy
tentang Negara dan Hukum
30 TAHUN
ANDY WIYANTO
Refleksi Pemikiran Bung Andy
tentang Negara dan Hukum

Penulis
Andy Wiyanto

Editor
Tim Pondok Juang Press

Tata Letak
Tim Pondok Juang Press

Desain Sampul
Tim Pondok Juang Press

Penyelaras Akhir
Tim Pondok Juang Press

Cetakan Pertama
14 Mei 2017

Pondok Juang Press


Pondok Juang: Jl. Waru II RT. 03/03, Kel. Pamulang Barat, Kec. Pamulang,
Tangerang Selatan – 15417, Telp./SMS 0896-9229-6776
e-mail: pondokjuangpress@gmail.com
KATA PENGANTAR

Semoga berkat rahmat Illahi melimpahi perjuangan kita.


Menerbitkan buku dalam rangka ulang tahun tidak harus
menunggu usia senja. Apalagi menanti gelar paripurna “Guru
Besar”. Bagi Penulis, siapapun layak untuk menerbitkan buku saat
menyambut hari kelahirannya. Itu jauh lebih baik dari pada
merayakannya dalam bentuk yang lain. Melampaui itu semua,
Penulis memang “nekat” untuk menerbitkan buku ini. Betapa
tidak, umumnya untuk buku ulang tahun ditulis oleh orang lain.
Setidaknya oleh sahabat sepemikiran. Atau juga lazim dituliskan
oleh para murid dari orang yang ber-ulang tahun. Andai kata
orang yang bersangkutan juga berkontribusi, tentu hanya sebagian
saja. Namun dalam buku ini, seluruh tulisan yang dimuat adalah
karya Penulis.
Kekonyolan Penulis itu bukan tanpa sebab. Pertama, Penulis
hanya orang biasa, adakah (di zaman ini) sahabat muda yang
rela/bisa luangkan waktunya untuk membuat artikel sebagai kado
ulang tahun? Kedua, Penulis memang tidak punya murid. Terlebih
yang berlatar belakang hukum. Ketiga, sebab ini sekaligus
merupakan tujuan Penulis. Yaitu Penulis sengaja menunjukkan
“kedangkalan ilmu” Penulis dalam artikel-artikel di buku ini. Jika
ditelaah, seluruh artikel dalam buku ini memang dangkal. Tidak
ada sesuatu yang baru, tidak ada yang istimewa. Sekalipun
seluruh artikel itu sebelumnya telah dimuat di media masa,
majalah ataupun jurnal nasional. Tujuan Penulis hanya ingin
membuat “standar yang serendah-rendahnya” bagi penulis muda
lain. Sehingga mereka sangat percaya diri, untuk menerbitkan
karya mereka yang serupa. Atau setidaknya, para penulis muda itu
tidak takut untuk “dihajar masa intelektual”.
Selamat membaca!
Tangerang Selatan, 14 Mei 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

30 TAHUN ANDY WIYANTO: REFLEKSI PEMIKIRAN


BUNG ANDY TENTANG NEGARA DAN HUKUM
Kata Pengantar .......................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................... ii

MENGGAGAS E-VOTING DI INDONESIA ........................... 1


Urgensi e-voting di Indonesia .................................................... 2
E-voting dan UU Pemilu dimasa Mendatang ............................. 4
Post Scriptum ............................................................................ 6

VALIDITAS ANTROPOLOGIS YURISPRUDENSI ............... 8


Manusia Makhluk Berbudaya .................................................... 8
Tradisi sebagai Wujud Kebudayaan .......................................... 8
Yurisprudensi sebagai Tradisi dalam Kebudayaan ..................... 9
Validitas Yurisprudensi dalam Sistem Hukum ........................... 10

PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN DAN


MAHKAMAH KONSTITUSI .................................................. 12
Pendahuluan .............................................................................. 12
Pertanggungjawaban Presiden ................................................... 16
1. Jabatan Presiden dalam Sistem Pemerintahan Presidensil . 17
2. Impeachment Presiden ...................................................... 20
Mahkamah Konstitusi ............................................................... 25
1. Latar Belakang Berdirinya Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia ........................................................... 27
2. Mahkamah Konstitusi dan Impeachment Presiden ............ 31
Penutup ..................................................................................... 36
Daftar Pustaka ........................................................................... 38

PEMAKZULAN DAN PELAKSANAAN MEKANISME


CHECKS AND BALANCES DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN INDONESIA ....................................... 42

ii
Pendahuluan .............................................................................. 44
1. Latar Belakang ................................................................. 44
2. Perumusan dan Pembatasan Masalah ................................ 49
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................... 50
4. Metodologi Penelitian ...................................................... 50
Kerangka Pemikiran .................................................................. 51
Analisis ..................................................................................... 63
1. Pemakzulan di Indonesia .................................................. 63
2. Mekanisme Checks and Balances dalam Proses
Pemakzulan di Indonesia .................................................. 69
Penutup ..................................................................................... 76
Daftar Pustaka ........................................................................... 79

KEKUASAAN MEMBENTUK UNDANG-UNDANG


DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIL
SETELAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR
1945 .......................................................................................... 83
Pendahuluan .............................................................................. 84
1. Latar Belakang ................................................................. 84
2. Perumusan Masalah .......................................................... 96
3. Tujuan .............................................................................. 96
Teori atau Kerangka Pemikiran ................................................. 96
Analisis ..................................................................................... 107
Penutup ..................................................................................... 119
1. Kesimpulan ...................................................................... 119
2. Saran ................................................................................ 120
Daftar Pustaka ........................................................................... 121

TENTANG PENULIS .............................................................. 125

iii
MENGGAGAS E-VOTING DI INDONESIA1

Sesungguhnya sejak tahun 2010 melalui Putusan Nomor


147/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi (MK) telah
menafsirkan bahwa Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilukada) dengan metode electronic voting (e-voting) atau
pemungutan suara menggunakan teknologi informasi adalah
konstitusional. Hanya saja hal itu diberlakukan dengan sejumlah
syarat. E-Voting atau electronic voting merupakan penggunaan
teknologi informasi dalam pemungutan suara. Para pemilih
umumnya ketika datang ke Tempat Pemungutan Suara cukup
memilih para kontestan Pemilu dengan menyentuh layar sentuh
(touch screen) seperti yang telah diaplikasikan oleh India dan
Amerika Serikat.
Di India pada pemilu 2004 e-voting sudah dilakukan
sekalipun dilakukan dengan cara offline. Offline e-voting
merupakan e-voting yang hasil pemilihannya di kumpulkan di
tiap-tiap TPS kemudian hasil tersebut dikirimkan kepada ke PPK
hingga direkapitulasi keseluruhan di KPU Pusat. Sementara di
Amerika Serikat e-voting bahkan bisa dilakukan secara online.
Berbeda dengan offline e-voting, dalam online e-voting hasil
pemilihan pada tiap-tiap TPS melalui jaringan internet langsung
terkirim ke KPU Pusat dan bisa dengan cepat dilakukan
rekapitulasi untuk mengetahui hasil pemilihan umum.

1
Publikasi pada Koran Tangsel Pos – Senin, 4 Januari 2016

1
Urgensi e-voting di Indonesia
Secara sederhana orang dapat melihat sisi positif e-voting
dengan adanya penghematan biaya karena tidak lagi
menggunakan surat suara. Hal ini juga merupakan pilihan yang
ramah lingkungan karena tidak lagi memakai kertas sebagai
media pemilihan suara. Sehingga e-voting bisa disebut sebagai
green election. Efisiensi juga dapat dirasakan dari segi waktu.
Mengingat dalam e-voting kita tidak perlu lagi melakukan
perhitungan manual hingga berjam-jam lamanya. Bahkan dalam
hitungan menit hasil pemilihan langsung dapat diketahui bila
menggunakan e-voting secara online seperti di Amerika Serikat.
Telaah lebih lanjut mutlak diperlukan untuk menggagas
keberadaan e-voting di Indonesia. Kajian multidimensi
diharuskan untuk dapat menakar urgensi e-voting di Indonesia. Di
Indonesia e-voting sesungguhnya pernah dilakukan dalam
pemilihan Bupati Jembrana, Bali pada Tahun 2010. Pemilihan
tersebut dilakukan setelah sebelumnya masyarakat Jembrana
terbiasa dengan e-voting dalam pemilihan Kepala Dusun di tiap-
tiap dusun dalam Kabupaten Jembrana.
Optimisme yang diiringi dengan rasa skeptis menjangkit
ketika melihat praktek tersebut hendak di aplikasikan dalam
Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia. Persoalan mendasar
adalah ketika pemilihan di Jembrana tersebut dilakukan untuk
memilih Calon Kepala Dusun dan Calon Bupati yang notabene
dengan jumlah kontestan tidak banyak. Pengaplikasian e-voting
dalam Pemilu perlu ditimbang ulang ketika kita masih
mempertahankan sistem Pemilu yang ada sekarang ini. Dengan
asumsi Pemilu 2014, berapa banyak tombol/gambar kontestan
yang harus dipersiapkan dalam perangkat e-voting Nasional.
Penyederhanaan tombol/gambar kontestan dengan mengunakan
kode-kode tertentu, tentu patut dilihat dengan perspektif buta

2
aksara nol persen di Indonesia. Misalnya untuk setiap Calon
Anggota Legislatif diberikan semacam nomor induk dan nomor
itu yang diinput sebagai pilihan para pemilih.
Penyederhanaan sistem Pemilu menjadi suatu keniscayaan
ketika e-voting hendak dijewantahkan dalam mekanisme
pemilihan dalam Pemilu di Indonesia. E-voting tentu relatif tidak
akan sulit bila sistem Pemilu menjadi lebih sederhana. Baik di
tingkat pusat maupun di tingkat lokal, pengaplikasikan e-voting
dalam pemilihan Eksekutif juga relatif mudah seperti di
Jembrana. Sebab lazimnya memiliki kontestan yang jumlahnya
sedikit bila dibandingkan dengan pemilihan anggota Legislatif.
Kunci keberhasilan yang tidak boleh terlewat dalam
penyelenggaraan e-voting adalah adanya tingkat pemahaman
masyarakat yang mumpuni. Selain terkait dengan teknis input
pilihan seperti contoh diatas, juga terkait dengan tingkat
kepercayaan masyarakat dengan sistem baru yang hendak digagas
ini. Sosialisasi masif diharapkan mampu menggebrak tradisi
mencoblos atau mencontreng dalam Pemilu 2014 lalu.
Selain itu, sistem teknologi informasi yang digadang sebagai
basis Pemilu ini juga harus mempertimbangkan keakurasian data
hasil pilihan para pemilih. Perlu juga dipersiapkan langkah
antisipatif bila ditengah proses pemilihan terjadi masalah teknis
agar data hasil pemilihan yang telah dilakukan sebelumnya tidak
raib begitu saja. Serta kemungkinan kinerja alat yang menjadi
lemot (lamban) karena lama dipakai. Jurus antisipatif juga
diperlukan untuk menangkal kemungkinan buruk lain yang
muncul dari luar. Misalkan, adanya operator nakal untuk offline e-
voting dan hadirnya gangguan para hacker kita yang terkenal
handal karena ketekunannya bila menggunakan online e-voting.
Untuk mengukur tingkat kebutuhan kita terhadap e-voting
tidak hanya dengan melihat penerapan sistem itu di negara lain

3
ataupun beberapa daerah di Indonesia. Namun juga harus turut
memperhatikan unsur plus minus serta segala kemungkinan yang
mungkin terjadi. Anasir-anasir tersebut patut mendapat perhatian
ekstra dalam pembahasan RUU tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD & DPRD (RUU Pemilu) dimasa mendatang,
apabila gagasan ini hendak diakomodir dalam UU Pemilu yang
hendak digunakan dalam Pemilu-Pemilu selanjutnya.

E-voting dan UU Pemilu dimasa Mendatang


Putusan MK Nomor 147/PUU-VII/2009 yang telah
memberikan konstitusionalitas pelaksanaan e-voting di Indonesia
sejatinya merupakan sebuah langkah bijak dalam membuka ruang
untuk proses pengambilan suara saat pemilu. Sehingga
pengambilan suara tidak hanya dapat dilakukan dengan cara
mencoblos dan mencontreng. Paling tidak, pengambilan suara
dengan e-voting dalam Pemilu tidak bertentangan dengan
Konstitusi. Hal ini menjadi poin penting sebagai pijakan hukum
pembentukan UU Pemilu. Hans Kelsen, perancang Mahkamah
Konstitusi Austria sebagai MK pertama di dunia mengatakan
bahwa validitas suatu norma belaku, bersumber dan berdasar dari
norma lain yang lebih tinggi. Begitu seterusnya hingga norma
tertinggi yang tidak lagi bergantung pada norma lain yang disebut
norma dasar atau grundnorm. Dalam konteks e-voting di
Indonesia, grundnorm dapat diterjemahkan dengan konstitusi.
Sehingga pasca Putusan MK publik mendapatkan kepastian
bahwa pelaksanaan e-voting tidaklah bertentangan dengan
konstitusi.
Dengan demikian kita telah menemukan dasar yuridis dalam
pembentukan UU Pemilu. Tinggal kemudian bagaimana dasar
filosofis dan sosiologisnya dipertimbangkan dengan matang.
Secara filosofis di era yang tak lagi mengenal batas ruang dan

4
waktu, kecepatan dan keakurasian data Pemilu menjadi dambaan
masyarakat. Disamping itu, e-voting paling tidak juga menjadi
contoh dari cara berbangsa dan bernegara yang sadar akan
pentingnya pelestarian lingkungan. Tidak menggunakannya kertas
(paperless) dalam e-voting, bisa menjadi teladan bagi segi
kehidupan bernegara lainnya. Bahwa dimulai dari UU Pemilu,
green constitution mulai diaplikasikan dalam penyelenggaraan
pemilu. Tiggal kemudian, persoalannya adalah ada pada dasar
sosiologis pembentukan UU tersebut.
Secara sosiologis pembentukan UU Pemilu haruslah
memperhatikan kenyataan-kenyataan sosial yang ada di dalam
masyarakat. Kenyataan mengenai kekuatan, kelemahan,
kesempatan dan hambatan perlu diobservasi mulai dari unsur
masyarakat hingga alatnya. Hal yang menarik adalah kultur
masyarakat kita yang masih belum akrab dengan teknologi
informasi dan tingkat kepercayaan mereka akan sistem-sistem
canggih tersebut masih minim. Sebagai contoh, di DPR hingga
kini dalam setiap pengambilan keputusannya masih manual
berbasis kertas. Itu karena belum adanya kepercayaan terhadap
sistem e-voting.
Selain itu nampaknya pengintegrasian e-KTP dengan e-
Voting mudah untuk dilakukan. Dengan berjalannya program e-
KTP, maka mudah tentunya untuk mengatasi berbagai masalah
daftar pemilih yang selama ini menjadi masalah krusial hampir
bagi semua penyelenggaraan Pemilu (mulai dari tingkap pusat
hingga tingkat lokal). Dan tentunya jangan lupa untuk kembali
memikirkan pengaturan tentang kemungkinan terjadinya sengketa
Pemilu.
Dalam e-voting, suara hasil pilihan para pemilih apakah
cukup langsung dikirim ke KPU Pusat, atau data tersebut sebelum
dikirim ke KPU Pusat juga perlu di back up pada tiap-tiap TPS

5
untuk dihitung terlebih dahulu. Sekalipun efisiensi menjadi
pertimbangan utama, perlu kiranya dalam tiap-tiap TPS hasil
pemilihan diumumkan kepada khalayak sebelum disetorkan ke
KPU. Sebab tanpa adanya informasi terhadap khalayak di tingkat
TPS, akuntabilitas pemilu tentu diragukan. Data hasil pemilihan
yang menjadi pembanding dalam setiap sengketa pemilu tidak
bisa didapatkan. Jadi di satu sisi ini akan menekan tingkat
sengketa Pemilu, namun di satu sisi juga rawan terhadap
penyimpangan. Lord Acton pernah mengingatkan kita bahwa
power trends to corrupt and absolute power corrupt absolutely.
Sehingga tidak bisa kita membiarkan penyelenggaran e-voting
tidak terkontrol. Data-data hasil pemilihan harus dibuka kepada
publik sebelum diakumulasi secara nasional. Atau jika dapat
dipastikan keakuratan data pemilihan itu, maka rumusan norma
dalam perselisihan hasil pemilihan umum harus diperbaharui agar
mendapatkan relevansinya.
Hal terpenting yang tentu menjadi alas dalam perumusan e-
voting dalam UU Pemilu adalah dengan terus mengingat pada
asas Pemilu langung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil
sebagaimana dimaksud Putusan MK. E-voting tidak boleh
mengganggu asas tersebut.

Post Scriptum
Kita harus belajar dari berbagai negara tentang sistem
pemilu yang telah dipakai. Pengalaman adalah guru terbaik dan
belajar dari pengalaman negara lain adalah sesuatu yang bijak.
Untuk mencari best practice bagi pelaksanaan Pemilu di
Indonesia, segala sesuatu memang perlu dipersiapkan dengan
baik. Perencanaan dan pengorganisasian, teori dan
implementasinya, serta monitoring dan evaluasi di negara lain
patut menjadi rujukan. Sungguh menjadi pekerjaan rumah yang

6
besar bagi kita semua, untuk dapat mempersiapkan pranata dan
masyarakat agar siap dengan sistem seperti itu.
Kajian secara komprehensif menjadi prasyarat dalam
menciptakan UU Pemilu yang memiliki daya akseptabilitas tinggi
terhadap kebutuhan zaman. Sehingga UU Pemilu tidak perlu
diubah saban kali kita hendak menyelenggarakan hajat demokrasi,
di negeri yang paling demokratis dengan jumlah umat Islam
terbesar di dunia ini.

7
VALIDITAS ANTROPOLOGIS YURISPRUDENSI2

Manusia Makhluk Berbudaya


Perbedaan mendasar antara manusia dengan organisme
lainnya di muka bumi terletak pada adanya kebudayaan sebagai
proses belajar terus menerus yang dilakukan oleh umat manusia.
Koentjaraningrat memberikan contoh dalam hal membangun
rumah. Jika dibandingkan dengan organisme lainnya, yang dalam
membanguun rumah berdasarkan pada naluri yang telah ada pada
dirinya, namun pada manusia ada proses belajar di dalamnya.
Sehingga konsep rumah bagi manusia secara evolutif terus
berubah sejalan dengan zamannya.
Lebah misalnya, yang sejak dahulu memiliki sarang persegi
enam yang saling terhubung satu sama lain. Ketidakubahan
bentuk sarang lebah tersebut tejadi karena dalam membentuknya
lebah hanya berdasarkan naluri yang di dapatnya sejak lahir tanpa
ada proses belajar. Tidak demikian dengan manusia, dalam
kehidupan yang primitif, manusia cukup memiliki gua sebagai
tempat tinggalnya, hingga kemudian terus berevolusi menjadikan
bentuk rumah seperti yang kita kenal saat ini. Adanya bentuk
evolusi tersebut membuktikan bahwa dalam perjalanannya,
manusia senantiasa mencari format yang terbaik atas konsep
rumah itu sendiri.

Tradisi sebagai Wujud Kebudayaan


Koentjaraningrat berpendirian bahwa salah satu wujud
kebudayaan adalah aktifitas serta tindakan-tindakan berpola dari

2
Publikasi pada Majalah Konstitusi – No. 100, Edisi Juni 2015

8
manusia dalam masyarakat yang kompleks. Yang perlu
digarisbawahi disini adalah adanya aktifitas-aktifitas manusia dari
detik ke detik, hari ke hari, hingga tahun ke tahun selalu
berdasarkan pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan.
Oleh karena itu sebagai sesuatu yang universal, dalam setiap
tingkatan kebudayaan mulai dari yang primitif hingga yang
modern sekalipun selalu menampakkan sebuah aktifitas yang
berpola mengikuti para pendahulunya.
Dari pengertian tersebut dapat ditemukan banyak varian atas
wujud kebudayaan yang berupa aktifitas tersebut. Mulai dari
ranah keagamaan, misalnya tata cara shalat yang terus terjaga
dalam Islam atau tata cara pemilihan Paus di Tahta Suci/Vatikan
yang terus terjaga tradisinya. Dalam bidang akademik, misalnya
adanya tata cara penulisan referensi dengan catatan kaki atau
catatan perut juga menunjukkan bahwa terdapat adanya
kesengajaan untuk menjaga pola pemikiran para pendahulu yang
dianggap baik dan benar, sejauh hal itu tidak dapat dibuktikan
sebaliknya. Atau yang paling sederhana dan mendasar misalnya
setiap kali kita hendak memasuki rumah orang lain tentu di
dahului dengan mengucap salam.

Yurisprudensi sebagai Tradisi dalam Kebudayaan


Sejatinya yurisprudensi merupakan tradisi dalam dunia
hukum, karena putusan-putusan para hakim terdahulu terus dijaga
dengan dijadikan rujukan untuk memutus perkara pada perkara
konkrit saat ini. Dalam sejarahnya menurut Michael Bogdan,
perkembangan yang demikian terjadi setelah sebelumnya para
hakim Kerajaan Inggris berkeliling ke seluruh penjuru negeri
untuk memeriksa kasus, namun juga memiliki kedudukan tetap di
London selama musim dingin. Karena itu awalnya mereka
menerapkan berbagai hukum adat setempat, namun karena sering

9
berpergian dan berkumpul antar sesama hakim di musim dingin,
akhirnya mereka menemukan bentuk-bentuk hukum yang
dianggap terbaik dan pada akhirnya diterapkan secara sama di
seluruh negeri dan terbentuklah sistem common law. Sistem yang
berdasar banyak pada yurisprudensi ini terus dijaga dalam
memutus suatu kasus, karena hukum yang telah diciptakan itu
dianggap terbaik bila dibandingkan dengan berbagai hukum adat
yang tersebar di Inggris.

Validitas Yurisprudensi dalam Sistem Hukum


Seperti dikatakan oleh Lawrence M. Friedman, bahwa
sistem hukum terdiri atas substansi hukum, struktur hukum dan
budaya hukum. Secara mekanis dianalogikan bahwa substansi
hukum adalah buku pedoman untuk menjalankan mesin,
sedangkan struktur hukum adalah mesin itu sendiri dan budaya
hukum adalah sang operator mesin tersebut. Sehingga menurut
penulis, disini yurisprudensi dapat digolongkan sebagai substansi
hukum dalam sebuah sistem hukum.
Jika Hans Kelsen mengatakan bahwa validitas suatu aturan
bergantung dan berdasar pada aturan lain diatasnya, sehingga
aturan itu mendapatkan dasar keberlakuanya karena sejalan
dengan aturan diatasnya. Maka dalam konteks ini, dengan
mendasar penulis memiliki keyakinan akademik bahwa
yurisprudensi mendapatkan validitasnya dalam sistem hukum
karena manusia hakikatnya selalu belajar dari pengalaman-
pengalaman para leluhurnya. Sehingga yurisprudensi sebagai
putusan pengadilan yang berpola berdasarkan putusan
sebelumnya, yang awalnya terdapat dalam sistem hukum common
law mendapatkan batu pijakannya sebagai wujud kebudayaan.

10
Dalam perkembangannya, putusan-putusan pengadilan
terdahulu yang menjadi rujukan dalam memutus perkara konkrit
di masa kini juga dilakukan dalam proses peradilan di negara
yang mengadopsi sistem hukum civil law, sekalipun pada
mulanya dalam sistem ini banyak bergantung pada undang-
undang yang menjewantahkan kehendak rakyat karena dibuat
oleh para wakilnya di badan legislatif. Hal ini tentu menjadi tanda
yang kuat, bahwa naluri alamiah manusia untuk terus menjaga
tradisi, sekaligus belajar dari pengalaman terdahulu juga terjadi
dalam sebuah sistem hukum. Karena banyak negara dalam sistem
hukum civil law yang sejatinya telah memiliki undang-undang
sebagai dasar memutus, juga masih menggunakan yurisprudensi
dalam memutus sebuah perkara.

11
PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN
DAN MAHKAMAH KONSTITUSI3

Pendahuluan
Lord Acton dalam sebuah surat mengingatkan bahwa, power
trends to corrupt and absolute power corrupt absolutely.4 Oleh
sebab itu, seorang pemikir besar mengenai negara dan hukum dari
Perancis bernama Charles de Secondat baron de Labrede et de
Montesquieu memisahkan kekuasaan memerintah negara yang
dilaksanakan oleh masing-masing badan yang berdiri sendiri.
Dengan ajarannya itu Montesquieu berpendapat bahwa:
“Apabila kekuasaan negara itu dipisahkan secara tegas menjadi
tiga, yaitu: kekuasaan perundang-undangan, kekuasaan
melaksanakan pemerintahan, dan kekuasaan kehakiman, dan
masing-masing kekuasaan itu dipegang oleh badan yang berdiri
sendiri, ini akan menghilangkan kemungkinan timbulnya tindakan
yang sewenang-wenang dari seorang penguasa, atau tegasnya
tidak memberikan kemungkinan dilaksanakannya sistem
pemerintahan absolutisme.”5

Ajaran Trias politica ini sesungguhnya merupakan


penyempurnaan dari ajaran John Locke. Menurut Locke, fungsi-
fungsi kekuasaan negara itu meliputi:6
1. Fungsi Legislatif;

3
Publikasi pada Jurnal Konstitusi – Volume 7 Nomor 3, Juni 2010
4
Mohammad Laica Marzuki, “Kesadaran Berkonstitusi dalam Kaitan
Konstitusionalisme”, Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 3 (September, 2009),
hlm. 21.
5
Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2004), hlm. 117.
6
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II
(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 13.

12
2. Fungsi Eksekutif;
3. Fungsi Federatif.

Dalam kuliah Ilmu Negara pada Fakultas Hukum dan


Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia tahun ajaran
1961-1962, Padmo Wahjono membandingkan keduanya sebagai
berikut:
“Fungsi pengadilan dalam ajaran John Locke dimasukkan dalam
bidang Exekutif, sebab Pengadilan itu adalah melaksanakan
hukum. Jadi dalam hal adanya perselisihan, maka itu menjadi
wewenang daripada fungsi Exekutif! Tapi Montesquieu
mengeluarkannya dari Exekutif karena Montesquieu melihat
kedalam di Perancis dengan adanya penggabungan itu timbul
kesewenang-wenangan. Oleh karena itu harus dipisahkan agar
supaya jangan timbul ketidakadilan.!
Disini terletak perbedaan peninjauan fungsi Yudikatif antara
Montesquieu dengan John Locke.
John Locke melihat secara prinsipel yaitu sebagai pelaksanaan
hukum. Dilihat hasilnya untuk keadilan, maka fungsi judikatif itu
dikeluarkan dari bidang Exekutif oleh Montesquieu. Dan ajaran
Montesquieu lebih populer daripada John Locke. Hanya
kemudian, dimanakah disalurkan wewenang Diplomasi dalam
Trias Montesquieu? Dan ini oleh Montesquieu dimasukkan dalam
fungsi legislatif, oleh karena hubungan Diplomasi menciptakan
ketentuan-ketentuan yang berlaku buat negara itu dengan negara
lain.! Jadi dimasukkan dalam bidang Legislatif karena membuat
peraturan-peraturan.”7

Cara bekerja dan berhubungan ketiga poros kekuasaan


tersebut dapat disebut sebagai sistem pemerintahan negara.
Dengan demikian yang dimaksud sistem pemerintahan negara

7
Teuku Amir Hamzah, Ilmu Negara: Kuliah-Kuliah Padmo Wahjono,
SH (Jakarta: Indo Hill Co., 2003), hlm. 164-165.

13
adalah sistem hubungan dan tata kerja antar lembaga negara.8
Indonesia dengan UUD 1945 pasca amandemen menganut sistem
pemerintahan presidensil yang lebih murni sifatnya.9 Hal ini
sesuai dengan kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan
UUD 1945 yang terdiri atas lima butir yaitu:
1. Tidak mengubah pembukaan UUD 1945;
2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensil;
4. Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan
dimasukkan dalam pasal-pasal (batang tubuh);
5. Melakukan perubahan dengan cara adendum.10

Sejalan dengan kesepakatan untuk mempertegas sistem


pemerintahan presidensil, maka presiden haruslah memiliki
legitimasi yang kuat. Legitimasi yang kuat itu hanya akan dapat
diperoleh bila Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Implikasi
dan konsekuensi hukum dari pengisian jabatan presiden melalui
pemilihan langsung sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945
adalah pertanggungjawaban Presiden harus langsung kepada
rakyat, tidak lagi kepada MPR. Karena tidak ada lagi hubungan
pertanggungjawaban antara Presiden dengan MPR, maka sebagai
gantinya diperlukan adanya pranata impeachment dalam
hubungannya dengan konsep tindakan terhadap pelanggaran oleh

8
Mohammad Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia
Edisi Revisi (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 74.
9
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 317.
10
MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat
(Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008), hlm. 13.

14
Presiden. 11 Hal ini ditegaskan dalam penjelasan perubahan UUD
1945 dalam buku panduan pemasyarakatan UUD 1945 sebagai
berikut:
“Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh
rakyat, menjadikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih
mempunyai legitimasi yang lebih kuat. Jadi, adanya ketentuan
tersebut berarti memperkuat sistem pemerintahan presidensial
yang kita anut dengan salah satu cirinya adalah adanya periode
masa jabatan yang pasti (fixed term) dari Presiden dan Wakil
Presiden, dalam hal ini masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden
Indonesia lima tahun. Dengan demikian Presiden dan Wakil
Presiden terpilih tidak dapat dijatuhkan dalam masa jabatannya
kecuali melanggar hukum berdasar hal-hal yang tercantum dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
melalui suatu prosedur konstitusional yang populer disebut
impeachment.”12

Sekalipun salah satu ciri dari sistim pemerintahan


presidensil adalah Presiden memiliki masa jabatan yang pasti
(fixed term), akan tetapi UUD 1945 juga memuat ketentuan
mengenai pemberhentian Presiden ditengah masa jabatannya.
Dalam hal ini, Mohammad Laica Marzuki berpendapat sebagai
berikut:
“Hal dimaksud merupakan pengecualian yang diberikan
konstitusi bagi pemberhentian presiden dan wakil presiden hasil
pemilihan langsung, yang sesungguhnya -dalam keadaan biasa
(normal procedure)- tidak dapat diberhentikan selama masa

11
Jimly Asshiddiqie, et al, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan
Pemilihan Presiden secara Langsung (Jakarta: Sekretaris Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 47-48.
12
MPR RI, op.cit., hlm. 56.

15
jabatan. Pengecualian yang diberikan konstitusi terhadap MPR
tidak dapat dipahami seketika selaku wewenang MPR”13

Dalam sistem Pemilihan Presiden secara langsung, tidaklah


mungkin dapat memberhentikan Presiden ditengah masa
jabatannya oleh MPR yang jumlahnya hanya beberapa ratus
orang, sementara yang memilih Presiden adalah mayoritas rakyat
yang jumlahnya ratusan juta orang. Hal ini akan menjadi
pengecualian ketika Presiden telah melakukan pelanggaran yang
begitu besar sehingga tidak terampuni lagi dan dapat diturunkan
dari jabatannya.

Pertanggungjawaban Presiden
Indonesia adalah negara hukum.14 Negara hukum sendiri
diartikan sebagai negara di mana tindakan pemerintah maupun
rakyatnya didasarkan atas hukum untuk mencegah adanya
tindakan sewenang-wenang dari pihak penguasa dan tindakan
rakyat menurut kehendaknya sendiri.15 Istilah Negara Hukum
merupakan terjemahan langsung dari istilah Rechsstaat.16
Dalam negara hukum tidak ada lagi tempat bagi
penyelesaian sengketa dengan adu kekuatan atau atas dasar rasa
dendam. Negara hukum disebut pula negara beradab, negara yang
dikelola dengan akal budi manusia, bukan oleh nafsu (bahaimiy).
Keharusan menyelesaikan perkara oleh otoritas hukum (bukan

13
Mohammad Laica Marzuki, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum (Jakarta:
Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 40.
14
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun
1945
15
Moh. Koesnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2000), hlm. 91.
16
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap: Bahasa Belanda
Indonesia Inggris (Semarang: Aneka Ilmu, 1977), hlm. 713.

16
main hakim sendiri) ditegaskan dalam Al-Quran sebagai berikut:
“Demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sampai mereka menghakimkan
kepadamu (Muhammad SAW) perihal apa-apa yang terjadi diantara
mereka.”17
Penegasan ayat tersebut yang berbunyi “menghakimkan
perkara kepadamu (Muhammad SAW)” bukan terbatas kepada
pribadi Muhammad SAW, melainkan kepada orang/pihak yang
diberi otoritas oleh publik untuk menyelesaikan segala perkara
secara hukum. Sehingga sejak Rasulullah SAW wafat dalam
praktik tetap ada orang/pihak yang berhak menyelesaikan
sengketa di masyarakat. Bahkan dalam kamus Fiqh Islam,
orang/pihak yang diberi kewenangan menyelesaikan perkara
hukum disebut “qadli”, kita menyebutnya “hakim/judg,
Inggris”.18
Dalam negara hukum setiap perbuatan haruslah
dipertanggungjawabkan, termasuk didalamnya adalah
Pertanggungjawaban Presiden. Mekanisme pertanggungjawaban
Presiden di Indonesia adalah sebagai bentuk dari mekanisme
pengawasan dan perimbangan kekuasaan dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia.

1. Jabatan Presiden dalam Sistem Pemerintahan


Presidensil
Dalam sistem pemerintahan presidensil terdapat beberapa
prinsip pokok yang bersifat universal, yaitu:

17
Q.S. An-Nisa: 65
18
Yudi Latif, et al, Syarah Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dalam Perspektif Islam (Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009), hlm. 43.

17
a. Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antar cabang
kekuasaan eksekutif dan legislatif;
b. Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif
presiden tidak terbagi dan yang ada hanya presiden dan
wakil presiden saja;
c. Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau
sebaliknya;
d. Presiden mengangkat mentri yang bertanggungjawab
kepadanya;
e. Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif,
demikian juga sebaliknya;
f. Presiden tidak dapat membubarkan ataupun memaksa
parlemen;
g. Jika dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi
parlemen, maka dalam sistem presidensil berlaku prinsip
supremasi konstitusi;
h. Eksekutif bertanggungjawab langsung kepada rakyat yang
berdaulat;
i. Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam
sistem parlementer yang terpusat pada parlemen.19

Amandemen undang-undang dasar seperti yang telah


diutarakan sebelumnya mengadakan penguatan sistem presidensil
di Indonesia. Walaupun demikian ciri pemerintahan parlementer
tidaklah hilang begitu saja dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
dewasa ini. Menurut Abdul Latif perkembangan sistem
pemerintahan di Indonesia menuju kearah yang semakin unik,
sebab dalam UUD 1945 disamping mengatur ciri-ciri sistem

19
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok...., op.cit., hlm. 316.

18
pemerintahan presidensil juga mengatur ciri-ciri sistem
pemerintahan parlementer. Lebih lanjut ia mengutarakan bahwa:
“Di lembaga kepresidenan bertahan dengan sistem presidensil,
tetapi semangat yang berkembang di lembaga legislatif menuju ke
arah sistem parlementer. Perubahan sistem pemilihan Presiden
secara langsung adalah konsekuensi sistem presidensil, sedangkan
sistem pembentukan kabinet, pengawasan dan
pertanggungjawaban kebijakan politik cenderung ke sistem
parlementer.”20

Menurut Mohammad Laica Marzuki terjadi dikotomi dalam


kedudukan lembaga kepresidenan di Indonesia. Presiden selaku
kepala negara (Chief of State) sekaligus sebagai kepala
pemerintahan (Chief of Government). Kedudukan dikotomis yang
demikian dianut dalam sistem pemerintahan presidensil, yakni
kedua fungsi menyatu (by one hand) pada alat perlengkapan
negara yang sama. Baginya tidak lazim memberlakukan dua
fungsi dikotomis demikian dalam sistem pemerintahan
presidensil, apalagi menyerahkannya pada alat perlengkapan
negara yang sama.21
Dikotomisasi kekuasaan yang demikian lahir dari
ketatanegaraan Inggris saat pecahnya the glorious revolution di
tahun 1688 yang menggulingkan King James II. Peristiwa
ketatanegaraan ini melahirkan parlemen yang kuat, serta mampu
memaksakan diwujukannya monarki konstitusional. Raja
(monarch) dijadikan simbol kekuasaan namun tidak dapat
diganggu gugat, “The King can do no Wrong”. Pemerintahan
yang terdiri dari Perdana Menteri dan menteri-menteri

20
Abdul Latif, “Pilpres dalam Perspektif Koali si Multipartai” Jurnal
Konstitusi, op.cit., hlm. 28.
21
Mohammad Laica Marzuki, Berjalan-Jalan...., op.cit., hlm. 33.

19
bertanggungjawab kepada parlemen yang kuat.22 Dalam konteks
pertanggungjawaban presiden di Indonesia, kedudukan yang
dikotomis ini terjadi ketika presiden sebagai kepala negara tidak
dapat diturunkan akan tetapi ia sebagai kepala pemerintahan dapat
diturunkan ditengah masa jabatannya.

2. Impeachment Presiden
Setidaknya ada tiga hal menarik dalam melakukan
pengkajian mengenai impeachment, masing-masing negara
mengadopsi ketentuan ini secara berbeda-beda sesuai dengan
pengaturannya dalam konstitusi. Pertama adalah mengenai objek
impeachment yang tidak hanya terbatas pada Kepala
Pemerintahan seperti Presiden atau Perdana Menteri, namun juga
pada pejabat tinggi negara. Bahkan terkadang beberapa negara
memasukkan pejabat tinggi negara seperti hakim atau ketua serta
para anggota lembaga negara yang menjadi objek impeachment.
Di Indonesia objek impeachment dibatasi oleh konsititusi hanya
untuk Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Kedua adalah alasan-alasan impeachment pada masing-
masing negara juga berbeda. Selain itu perdebatan mengenai
penafsiran dari alasan impeachment juga mewarnai proses
impeachment atau menjadi wacana eksplorasi pengembangan
teori dari sisi akademis. Contohnya adalah batasan dari alasan
misdeamenor dan high crime yang dapat digunakan sebagai dasar
impeachment di Amerika Serikat. Di Indonesia alasan tersebut
diadopsi dan diterjemahkan dengan “perbuatan tercela” dan
“tindak pidana berat lainnya”.

22
Ibid, hlm. 34.

20
Ketiga adalah mengenai mekanisme impeachment. Di
negara-negara yang mengadopsi ketentuan ini secara umum
membuat mekanisme impeachment melalui proses peradilan tata
negara yang melibatkan lembaga yudikatif, baik Mahkamah
Agung maupun Mahkamah Konstitusi. Bagi negara-negara yang
memiliki dua lembaga pemegang kekuasaan yudikatif yaitu
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, maka besar
kemungkinan bahwa Mahkamah Konstitusilah yang terlibat dalam
mekanisme impeachment tersebut, yang keterlibatannya
tergantung pula pada kewenangan yang diberikan oleh konstitusi
masing-masing. Di satu negara Mahkamah Konstitusi berada pada
bagian terakhir dari mekanisme impeachment setelah proses itu
melalui beberapa tahapan proses di lembaga negara lain, misalnya
Korea Selatan. Ada juga sistem yang menerapkan dimana
Mahkamah Konstitusi berperan sebagai jembatan yang
memberikan landasan hukum atas peristiwa politik impeachment
ini. Kata akhir proses impeachment berada dalam proses politik di
parlemen, negara yang menggunakan sistem ini misalnya adalah
Lithuania dan Indonesia.23
Banyak pihak yang memahami bahwa impeachment
merupakan turunnya, berhentinya atau dipecatnya Presiden atau
pejabat tinggi dari jabatannya. Sesungguhnya arti impeachment
sendiri merupakan tuntutan atau dakwaan, sebagaimana
dirumuskan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa:
“Jika tuntutannya terbukti, maka hukumannya adalah “removal
from office” atau pemberhentian dari jabatan. Dengan kata lain,
kata impeachment itu sendiri bukanlah pemberhentian, tetapi baru

23
Winarno Yudho, et al, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian-Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstirusi RI, 2005), hlm. v-viii.

21
bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran hukum yang dilakukan
oleh presiden atau wakil presiden.”24

Indonesia dalam sejarahnya telah mencatat praktek


ketatanegaraan pemberhentian Presiden ditengah masa
jabatannya. Pertama adalah pada saat pemberhentian Presiden
Soekarno yang dianggap bersalah karena ketidakmampuannya
memberikan pertanggungjawabannya atas peristiwa Gerakan Tiga
Puluh September (G30S)25 dan kemerosotan ekonomi. Kedua
adalah pada saat pemberhentian Presiden Abdurahman Wahid
yang dianggap bersalah karena ketidakmampuan (keengganan)
Presiden memberikan pertanggungjawaban di hadapan Sidang
Istimewa MPR, kesalahan Presiden yang dengan sengaja
mengeluarkan maklumat pembubaran MPR serta tidak
menjalankan ketetapan-ketetapan MPR dan undang-undang yang
berlaku di Indonesia.26
Dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia sebelum
perubahan UUD 1945, MPR dapat memberhentikan presiden
sebelum habis masa jabatannya. Hal ini tertuang dalam Pasal 4
Tap MPR No. III/MPR/197827 yang menjelaskan alasan
pemberhentian tersebut sebagai berikut:

24
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok...., op.cit., hlm. 600.
25
Tulisan ini tidak menggunakan istilah rezim orde baru yaitu G30S/
PKI melainkan Gerakan 30 September saja. Ada beberapa versi tentang
peristiwa itu dan PKI hanya salah satu versi. Oleh sebab itu lebih objektif
dengan menyebut Gerakan 30 September tanpa embel-embel apapun. [Asvi
Warman Adam, Pelurusan Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Ombak, 2007),
hlm. 176.]
26
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana
Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945 (Jakarta: Konstitusi Press, 2005),
hlm. 81
27
Tap MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata
Kerja Lembaga Tertinggi dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara

22
a. Atas permintaan sendiri;
b. Berhalangan tetap;
c. Sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara.

Alasan pemberhentian presiden yang demikian bertentangan


dengan sistem pemerintahan presidensil dan membuka peluang
terjadinya ketegangan dan krisis politik dan kenegaraan selama
masa jabatan presiden.28 Untuk itu perubahan UUD 1945 memuat
alasan pemberhentian presiden yang didasarkan pada alasan
hukum dan alasan lain (yang tidak bersifat politis dan multitafsir)
sebagaimana dirumuskan dalam amandemen UUD 1945 sebagai
berikut:
“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam
masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”29

Selain alasan-alasan pemberhentian, Tap MPR No. III


Tahun 1978 juga mengatur prosedur impeachment dalam Pasal 7.
Prosedur ini mensyaratkan dikeluarkannya dua kali surat
peringatan secara berturut-turut. Memorandum pertama
memperingatkan Presiden tentang pelanggaran-pelanggaran yang
dituduhkan kepadanya. Jika setelah tiga bulan kemudian Presiden
tidak menanggapi surat peringatan itu secara memuaskan,
memorandum kedua dilayangkan. Dan jika satu bulan kemudian

28
MPR RI, op.cit., hlm. 59.
29
Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945

23
tanggapan Presiden masih juga tidak memuaskan, MPR akan
menggelar sebuah Sidang Istimewa untuk membahas kedua
memorandum itu berikut tanggapan dari Presiden. Sidang ini
kemudian akan memutuskan apakah Presiden akan diberhentikan
atau tidak. Menurut Denny Indrayana prosedur impeachment
Indonesia ini problematik, apalagi kalau dibandingkan dengan
prosedur serupa milik Amerika Serikat.30
Yusril Ihza Mahendra memandang bahwa dengan
mekanisme ini MPR setiap waktu dapat memberhentikan presiden
dari jabatannya (kan hem op elk gewenst moment onslaan) atau
dapat menjatuhkan hukuman pemecatan (op straffe van ontslag).31
Hal inilah yang turut menjadikan alasan untuk mengakomodir
mekanisme impeachment yang lebih adil dalam amandemen
ketiga UUD 1945, sehingga tidak hanya menjadi proses politik
yang amat bergantung dari besar kecilnya dukungan dalam
parlemen tetapi juga dapat diukur dengan substansi dan prosedur
hukum.
Pemberhentian presiden dalam UUD 1945 hasil amandemen
dimulai dengan mekanisme berikut:
“Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu
mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan

30
Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan
Pembongkaran (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 245-246.
31
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi
Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 102.

24
tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.”32

Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden


dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum
maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk
meneruskan usul pemberhentian Presiden kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Kemudian MPR wajib
menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR
tersebut.33

Mahkamah Konstitusi
Pelembagaan ide peradilan konstitusi melanjutkan apa yang
telah dirintis oleh Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat John
Marshall, dengan ide pengujian konstitusionalitas undang-undang
yang ia putuskan dalam kasus Marbury versus Madison pada
tahun 1803.34
Praktek ini diperkuat oleh pandangan George Jellineck yang
pada penghujung abad 19 mengusulkan ide yang sama. Namun
fungsi pengujian undang-undang yang dilaksanakan secara
terpisah oleh suatu badan yang disebut Mahkamah Konstitusi
barulah ada ketika ide yang dikembangkan Hans Kelsen diadopsi
dalam Konstitusi Austria tahun 1919, yang membuat Mahkamah

32
Pasal 7B Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
33
Lihat Pasal 7B Ayat (5) dan (6) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
34
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I
(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 322.

25
Konstitusi Austria sebagai peradilan tata negara pertama di
dunia.35
Ide ini diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota
lembaga pembaharu konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun
1919-1920 dan diterima dalam konstitusi tahun 1920. Gagasan ini
menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi dengan
prinsip supremasi parlemen. 36
Mahkamah konstitusi yang beranjak dari gagasan uji
konstitusionalitas undang-undang terhadap undang-undang dasar
merupakan salah satu lembaga yang bergerak dalam ranah
kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung. Dalam
sejarahnya, justru Mahkamah Agunglah yang pertama kali
melakukan praktik uji konstitusionaitas di dunia, yaitu Mahkamah
Agung Amerika Serikat.
Jika kita amati, setidakya ada tiga model utama dalam hal
uji konstitusionalitas undang-undang terhadap undang-undang
dasar. Pertama adalah model Amerika, yaitu negara-negara
dengan tradisi common law yang menggunakan desentralize
model. Pada model ini fungsi pengujian konstitusionalitas di
Amerika Serikat dilakukan secara tersebar dan terdesentralisasi
diantara pengadilan di negara bagian dan Mahkamah Agung
Federal. 37

35
Jimly Asshiddiqie, Setahun Mahkamah Konstitusi: Refleksi Gagasan
dan Penyelenggaraan serta Setangkup Harapan, dalam Refly Harun, Zainal
AM Husein dan Bisariyadi (editor), Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi Satu
Tahun Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Konstitusi Press, 2004), hlm. 5-6.
36
Jimly Asshiddiqie dan Muchamad Ali Syafa’at, Teori Hans Kelsen
tentang Hukum (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 139-140.
37
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di
Berbagai Negara (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 82.

26
Kedua adalah model Austria, yaitu negara-negara dengan
tradisi civil law yang menggunakan sentralize model. Yaitu fungsi
pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang
dipisahkan dan dipusatkan secara tersendiri dalam kewenangan
Mahkamah Konstitusi.
Ketiga adalah Model Perancis, yaitu dipelopori oleh
Perancis dan negara-negara bekas jajahannya. Model yang ke tiga
ini lebih tepat disebut judicial preview, bukan judicial review.
Sebab Dewan Konstitusi Perancis dilatar belakangi oleh adanya
parlement heavy dalam konstitusinya, sehingga berlaku pendapat
bahwa undang-undang adalah suci dan tidak dapat diganggu
gugat.38 Undang-undang dianggap sebagai keinginan dan
pendapat masyarakat sehingga Dewan Konstitusi Perancis hanya
dapat menguji konstitusionalitas rancangan undang-undang
terhadap undang-undang dasar. Dalam hal ini berkembang juga
kritik diantara para ahli mengenai legitimasi dan kewenangan
Dewan Konstitusi, yaitu bahwa cara kerja mereka ini kadang-
kadang lebih bersifat politis daripada hukum, dan mereka
cenderung terjebak menjadi legislator daripada menjadi
interpreter konstitusi.39

1. Latar Belakang Berdirinya Mahkamah Konstitusi


Republik Indonesia
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara baru yang
diperkenalkan oleh perubahan ketiga UUD 1945. Namun

38
Dwi Putri Cahyawati, “Menelaah Keberadaan Mahkamah Konstitusi:
Pengaruh Gagasan Pembentukannya terhadap Perkembangan Ketatanegaraan
Indonesia”, Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Jakarta, Volume 1 Nomor 5 (Juli, 2002), hlm. 56.
39
Jimly Asshiddiqie, Model-Model...., op.cit., hlm. 83.

27
meskipun dapat dikatakan masih baru, dalam sidang BPUPK40
tahun 1945 Muhammad Yamin mengusulkan bahwa Balai Agung
(Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk “membanding”
undang-undang. Akan tetapi usulan ini ditentang oleh Soepomo
karena dikatakannya tidak sesuai dengan sistem berfikir UUD
1945 yang memang ketika itu didesain atas dasar prinsip
“supremasi parlemen” dengan menempatkan MPR sebagai
lembaga tertinggi negara, sehingga tidak cocok dengan asumsi
dasar Mahkamah Konstitusi yang mengadakan hubungan antar
lembaga yang bersifat checks and balances.41
Kendatipun dalam sidang BPUPK gagasan mengenai uji
konstitusionalitas tidak diakomodir dalam Undang-Undang Dasar
1945, namun ide ini kembali menyeruak saat momentum
amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang disebabkan oleh
beberapa alasan seperti:42

40
Badan ini biasanya “salah kaprah” disebut Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pencantuman kata
Indonesia kurang tepat karena badan ini dibentuk oleh rikugun (angkatan darat
Jepang) yang kewenangannya hanya meliputi pulau Jawa dan Madura saja.
Sementara itu di Sumatera juga terdapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan yang baru dibentuk pada tanggal 25 Juli 1945.
Sehingga akan lebih tepat bila menyebut badan ini dengan Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). [RM. A.B. Kusuma, Lahirnya
Undang-Undang Dasar: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek
Menyelidiki Oesaha-Oesaha Persiapan Kemerdekaan (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 1.]
41
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran
Kekuasaan dalam UUD 1945 (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia Press, 2004), hlm. 22.
42
Tim Penyusun Naskah Buku 3 Tahun MK, Menegakkan Negara
Hukum yang Demokratis: Catatan Perjalanan Tiga Tahun Mahkamah
Konstitusi 2003-2006 (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 28.

28
a. Pada masa itu ada kasus aktual mengenai impeachment
Presiden Abdurahman Wahid oleh MPR pada sidang
istimewa MPR tahun 2001. Kasus kontroversial ini turut
menginspirasi bahwa dalam hal impeachment Presiden harus
dibingkai dengan mekanisme hukum sehingga tidak
didasarkan atas alasan politis semata. Untuk itu diperlukan
lembaga yang berkewajiban menilai pelanggaran hukum
yang dilakukan Presiden sebagai alasan pemberhentian
Presiden sebelum habis masa jabatannya.
b. Secara sosiologis suatu keputusan yang demokratis tidaklah
melulu sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Oleh
karena itu diperlukan suatu lembaga yang berwengang
menguji konstitusionalitas Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945.
c. Bertambahnya jumlah lembaga negara sebagai akibat
amandemen Undang-Undang Dasar 1945 menyebabkan
potensi sengketa antar lembaga negara menjadi semakin
terbuka luas. Sementara karena telah terjadi pergeseran
paradigma dari supremasi MPR menjadi supremasi
konstitusi, maka tidak ada lagi lembaga tertinggi negara
yang dapat memutus sengketa antar lembaga negara. Untuk
itulah dibutuhkan lembaga negara yang netral untuk dapat
memutuskan sengketa tersebut.

Melihat kebutuhan tersebut maka timbullah gagasan untuk


memberikan kewenangan kepada cabang kekuasaan kehakiman
agar dapat memecahkan persoalan tersebut. Kemudian yang
menjadi pertanyaan apakah kekuasaan kehakiman yang ada pada
Mahkamah Agung akan ditambahkan kewenangannya agar dapat
mengakomodir kebutuhan tersebut atau akan dibentuk sebuah
mahkamah baru dengan kewenangan yang baru itu.

29
Hingga pada akhirnya dibentuklah Mahkamah Konstitusi
dalam cabang kekuasaan kahakiman di Indonesia disamping
Mahkamah Agung. Dalam hal ini Denny Indrayana berpendapat
bahwa:
“Keputusan untuk membentuk sebuah mahkamah baru adalah
satu solusi yang lebih baik ketimbang memberi kekuasaan-
kekuasaan yudisial baru kepada Mahkamah Agung, mengingat
begitu akutnya masalah korupsi di tubuh Mahkamah Agung dan
di tingkat-tingkat peradilan yang berada di bawahnya. Bahkan
seperti yang dikatakan Tim Lindsey, keprihatinan menyangkut
integritas badan-badan peradilan yang ada merupakan salah satu
alasan kunci di balik pembentukan Mahkamah Konstitusi.”43

Menindaklanjuti gagasan pembentukan Mahkamah


Konstitusi, panitia Ad Hoc (PAH) I badan Pekerja (BP) MPR
yang bertugas mempersiapkan rancangan perubahan Undang-
Undang Dasar 1945 membahas gagasan pembentukan Mahkamah
Konstitusi RI secara intensif sebelum diajukan dalam sidang-
sidang MPR. Kemudian setelah diajukan, dalam Sidang Tahunan
MPR tahun 2001 salah satu hasil yang dimuat dalam amandemen
ketiga Undang-Undang Dasar 1945 adalah pasal 24 ayat (2) dan
pasal 24 C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mengenai Mahkamah Konstitusi.
Mengingat untuk membentuk lembaga baru ini
membutuhkan waktu yang cukup. Maka PAH I BP MPR dalam
amandemen keempat Undang-Undang Dasar 1945 merumuskan
pasal III aturan peralihan yang menegaskan batas waktu paling
akhir pembentukan Mahkamah Konstitusi pada 17 Agustus 2003,

43
Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan
Pembongkaran (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 381.

30
kemudian sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk
kewenangannya ada pada Mahkamah Agung
Kemudian untuk menindaklanjuti amandemen undang-
undang dasar tersebut pemerintah bersama DPR membahas
Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konsitusi yang disahkan
dalam sidang paripurna DPR pada tanggal 13 Agustus 2003 dan
dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316.44

2. Mahkamah Konstitusi dan Impeachment Presiden


Kekuasaan kehakiman di Indonesia kini tidak lagi menjadi
monopoli dari Mahkamah Agung beserta badan peradilan yang
berada dibawahnya, melainkan juga menjadi domain dari sebuah
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
adalah constitutional court yang ke-78 di dunia dan pertama di
dunia yang dibentuk pada abad ke-21. Mahkamah Konstitusi
berkedudukan setara dengan Mahkamah Agung, berdiri sendiri
serta terpisah (duality of jurisdiction) dengan Mahkamah
Agung. 45 Dalam amandemen ketiga UUD 1945 mahkamah
konstitusi memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban46
yaitu:

44
Ibid, hlm. 28-29.
45
Mohammad Laica Marzuki, Pengaduan Konstitusional, sebuah
Gagasan Cita Hukum, dalam Refly Harun, Zainal AM Husein dan Bisariyadi
(editor), op cit., hlm. 28.
46
Menurut Feri Amsari terdapat perbedaan pendapat ahli dalam
penggunaan istilah dalam menyebutkan jumlah kewenangan Mahkamah
Konstitusi. Pada kelompok pertama, misalnya Jimly Asshiddiqie membagi
Mahkamah Konstitusi dengan empat kewenangan dan satu kewajiban.
Pembedaan ini dikarenakan sifat putusannya yang berbeda, pada empat
kewenangan ini sifat putusannya final, namun pada satu kewajibannya sifat
putusannya masih menimbulkan perdebatan. Sementara pada kelompok kedua,

31
a. Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk:47
1) Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar,
2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannnya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar,
3) Memutus pembubaran partai politik,
4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
b. Wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang
Dasar.48

Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin agar


konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana
mestinya. Dalam menjalankan fungsi peradilan, Mahkamah
Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan penafsiran terhadap UUD 1945.
Bahkan dalam rangka kewenangannya memutus perselisihan hasil
pemilu, Mahkamah Konstitusi juga dapat disebut sebagai
pengawal proses demokratisasi. Oleh karena itu, Mahkamah
Konstitusi disamping berfungsi sebagai pengawal dan penafsir

misalnya Saldi Isra dan Denny Indrayana yang menyebutkan terdapat lima
kewenangan Mahkamah Konstitusi, tanpa menyebutkan adanya perbedaan
antara kewenangan dan kewajibannya, sehingga hanya sifatnya saja yang
berbeda. [Feri Amsari, “Masa Depan MK: Kesesuaian Teori dan
Implementasi” Jurnal Konstitusi, Volume 5 Nomor 1 (Juni, 2008), hlm. 90-91.]
47
Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
48
Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

32
konstitusi, juga adalah pengawal demokrasi (the guardian and the
sole interpreter of the constitution, as well as the guardian of the
guardian of the process of the democratization). Bahkan
Mahkamah Konstitusi juga merupakan pelindung hak asasi
manusia (the protector of human right).49
Dalam hal impeachment presiden, sebelum DPR
mengusulkan kepada MPR untuk memberhentikan Presiden maka
terlebih dahulu DPR harus mengajukan permintaan kepada
Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus
pendapatnya bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum.
Untuk lebih jelasnya Abdul Mukthie Fadjar merunut
mekanisme impeachment menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi sebagai berikut:50
a. DPR mengadakan sidang paripurna untuk membahas
usulan/mosi impeachment dari anggota dalam rangka fungsi
pengawasan dengan korum (quorum) minimal 2/3 jumlah
anggota; tidak diatur syarat minimal jumlah anggota yang
dapat mengajukan usul impeachment ke forum paripurna
DPR (catatan: di Korea minimal 1/3 jumlah anggota
national assembly; mungkin tergantung peraturan tata tertib
DPR);
b. Agar usul impeachment dapat menjadi pendapat DPR yang
dapat diajukan ke MKRI harus disetujui oleh minimal 2/3
jumlah anggota yang hadir;

49
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi (Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, 2006), hlm. 154-155.
50
Abdul Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi & Mahkamah Konstitusi
(Yogyakarta: Konstitusi Press & Citra Media, 2006), hlm. 238-240.

33
c. Setelah terpenuhi ketentuan butir 1) dan butir 2), DPR
mengajukan permohonan ke MKRI (belum jelas siapa yang
mewakili DPR ke MKRI, di Korea oleh Komisi yang
mengurusi bidang hukum) pendapatnya tentang
impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden
yang menurut ketentuan Pasal 80 UU MK harus jelas
alasan-alasannya disertai keputusan DPR dan proses
pengambilan keputusannya, risalah/berita acara rapat
paripurna DPR, dan bukti-bukti dugaannya yang menjadi
alasan impeachment;
d. MKRI wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat
DPR tentang usul impeachment tersebut dalam jangka waktu
paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan
impeachment DPR dicatat dalam buku registrasi perkara
konstitusi (Pasal 84 UU MK); jika Presiden dan/atau Wakil
Presiden mengundurkan diri, permohonan DPR gugur;
e. Proses persidangan di MK RI belum cukup diatur dalam UU
MK, misalnya apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden
harus hadir di forum persidangan atau dapat diwakili kuasa
hukumnya, serta proses pembuktiannya, sehingga masih
harus diatur lebih lanjut dalam peraturan mahkamah
konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 86 UU MK;
f. Putusan MKRI ada tiga kemungkinan (Pasal 83 UU MK),
yaitu:
g. Permohonan DPR tidak dapat diterima jika tidak memenuhi
ketentuan Pasal 80 UU MK (syarat prosedural);
h. Permohonan DPR ditolak apabila impeachment tidak
terbukti;

34
i. Pendapat DPR dibenarkan apabila impeachment terbukti;51
j. Apabila pendapat DPR dibenarkan oleh MKRI, DPR
mengadakan Sidang Paripurna untuk meneruskan usul
pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden ke MPR;52
k. MPR wajib bersidang untuk memutus usul DPR untuk
pemakzulan Presiden dan/atau wakil Presiden paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya usul DPR;
l. Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diusulkan DPR
untuk dimakzulkan diberi kesempatan memberikan
penjelasan dalam rapat paripurna MPR yang korumnya
minimal ¾ dari jumlah anggota, sedangkan keputusan MPR
atas usul pemakzulan oleh DPR minimal 2/3 dari jumlah
anggota yang hadir.

Dalam hal ini Mohammad Mahfud MD berpendapat dengan


membandingkan impeachment pada saat sebelum dan sesudah
amandemen UUD 1945 sebagai berikut:

51
Dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi atas pendapat DPR
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar, terdapat dua golongan ahli yang berbeda menilai sifat
dari putusan tersebut. Kelompok pertama beranggapan bahwa putusan itu tidak
bersifat final karena masih ada proses selanjutnya, yaitu DPR akan membawa
putusan itu ke dalam Rapat Paripurna MPR. Kemudian kelompok kedua
berpendapat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pemakzulan
tersebut bersifat final dan mengikat secara yuridis, namun pelaksanaannya
secara de facto diserahkan kepada MPR. Sehingga MPR hanyalah melakukan
rapat untuk eksekusi (executable forum) kepada putusan Mahkamah Konstitusi.
[Feri Amsari, op. cit., hlm. 91-92.]
52
Ni’matul Huda berpendapat bahwa putusan MK yang membenarkan
pendapat DPR ini sifatnya tidak final karena tunduk pada (subject to) putusan
MPR, lembaga politik yang berwenang memberhentikan Presiden. Jadi berbeda
dengan Amerika Serikat yang mendahulukan proses politik daripada proses
hukum. [Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006), hlm. 202.]

35
“Pada masa lalu pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya
hanya didasarkan pada pertimbangan politik yang diatur dalam
Tap MPR Nomor III/MPR/1978 dengan alasan melanggar haluan
negara yang penafsirannya sangat luas. Namun pada saat ini
Presiden hanya dapat dijatuhkan (melalui impeachment) dengan
alasan-alasan tertentu yang harus dibuktikan lebih dulu secara
hukum (melalui forum previlegiatum). Di sini, memenangkan
suara dalam demokrasi dipadukan (bahkan diuji) dengan substansi
dan prosedur hukum berdasar nomokrasi”53

Lebih lanjut Mahfud MD dalam kuliah umum bertema


“Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Pembangunan Hukum dan
Demokrasi” menyampaikan bahwa demokrasi adalah konsep yang
biasanya setiap keputusannya berdasarkan menang-kalah,
berdasarkan suara terbanyak, meskipun mungkin belum tentu
benar hasil yang disepakatinya. Hal ini justru berbahaya, untuk itu
demokrasi harus tetap dipertahankan tanpa menggesernya dari
konsep asli dengan cara membangunnya bersama-sama dengan
nomokrasi (negara berdasar hukum). Demokrasi dan nomokrasi
dibangun secara interdependen. “Politik tanpa hukum itu dzalim.
Sebaliknya, hukum tanpa dikawal kekuasaan politik akan
lumpuh.”54

Penutup
Dalam sistem pemerintaran presidensil terlebih dengan
sistem pemilihan umum secara langsung, Presiden memiliki
legitimasi yang kuat. Dengan legitimasi yang kuat tersebut,
jalannya pemerintahan akan stabil. Karena porsi yang besar itu,

53
Mohammad Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara: Pasca
Amandemen Konstitusi (Jakarta: LP3ES, 2007), hlm. xvi.
54
“Demokrasi dan Nomokrasi dibangun secara Intrerdependen”,
Majalah Konstitusi, No. 34 (November, 2009), hlm. 62.

36
maka harus dibuat mekanisme saling mengimbangi dan
mengawasi antar lembaga negara, utamanya lembaga
kepresidenan. Untuk itulah ada mekanisme pertanggungjawaban
Presiden yang merupakan pertanda adanya penyeimbang kekuatan
antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif dan yudikatif.
Sekalipun Presiden memiliki legitimasi yang kuat, namun
DPR juga memiliki fungsi pengawasan, sehingga jalannya
pemerintahan dapat diawasi agar tidak keluar dari jalurnya.
Dalam rangka pengawasannya itulah DPR dapat mengusulkan
pemberhentian Presiden kepada MPR setelah sebelumnya terlebih
dahulu mengajukan ke Mahkamah Konstitusi. Namun alasan-
alasan pemberhentian presiden haruslah dibatasi sehingga tidak
terbuka ruang untuk terjadinya parlement heavy. Hal ini juga
merupakan konsekuensi logis dari sistem pemerintahan
presidensil, terlebih dengan sistem pemilihan umum langsung.
Sekalipun pemberhentian Presiden ditengah masa jabatan
merupakan mekanisme pertanggungjawaban dalam tradisi
parlementer.
Pertanggungjawaban Presiden dalam hal ini adalah proses
pemberhentian presiden kini tidak lagi merupakan mekanisme
politik murni yang sarat dengan adagium “siapa yang kuat dia
yang menang”. Mekanisme pemberhentian Presiden ditengah
masa jabatannya kini harus diimbangi dengan mekanisme hukum.
Sehingga dalam memberhentikan Presiden, Mahkamah Konstitusi
dengan putusannya berfungsi sebagai landasan hukum dalam
pemberhentian Presiden.

37
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Adam, Asvi Warman, 2007. Pelurusan Sejarah Indonesia,
Yogyakarta: Ombak.
Asshiddiqie, Jimly, 2004. Format Kelembagaan Negara dan
Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta:
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press.
-------, 2005. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai
Negara, Jakarta: Konstitusi Press.
-------, 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Jakarta:
Konstitusi Press.
-------, 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II,
Jakarta: Konstitusi Press.
-------, 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi, Jakarta: Sekretaris Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
-------, 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Asshiddiqie, Jimly, dan Muchamad Ali Syafa’at, 2006. Teori
Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta: Konstitusi Press.
Asshiddiqie, Jimly, et al, 2006. Gagasan Amandemen UUD 1945
dan Pemilihan Presiden secara Langsung, Jakarta:
Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
RI.
Fadjar, Abdul Mukthie, 2006. Hukum Konstitusi & Mahkamah
Konstitusi, Yogyakarta: Konstitusi Press & Citra Media.
Hamzah, Teuku Amir, 2003. Ilmu Negara: Kuliah-Kuliah Padmo
Wahjono, SH, Jakarta: Indo Hill Co.

38
Harun, Refly, Zainal AM Husein dan Bisariyadi (editor), 2004.
Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah
Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press.
Huda, Ni’matul, 2006. Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Indrayana, Denny, 2007. Amandemen UUD 1945 Antara Mitos
dan Pembongkaran, Bandung: Mizan.
Koesnardi, Moh., dan Bintan R. Saragih, 2000. Ilmu Negara,
Jakarta: Gaya Media Pratama.
Kusuma, RM. A.B., 2004. Lahirnya Undang-Undang Dasar:
Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek
Menyelidiki Oesaha-Oesaha Persiapan Kemerdekaan,
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
Latif, Yudi, et al, 2009. Syarah Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Perspektif Islam,
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi.
Mahendra, Yusril Ihza, 1996. Dinamika Tatanegara Indonesia:
Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan
dan Sistem Kepartaian, Jakarta: Gema Insani Press.
Mahfud, Mohammad, 2001. Dasar & Struktur Ketatanegaraan
Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta.
-------, 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara: Pasca
Amandemen Konstitusi, Jakarta: LP3ES.
Marzuki, Mohammad Laica, 2006. Berjalan-Jalan di Ranah
Hukum, Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI.
-------, 2009. “Kesadaran Berkonstitusi dalam Kaitan
Konstitusionalisme”, Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 3,
September 2009, Jakarta: Mahkamah Konstitusi.

39
MPR RI, 2008. Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai
dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat, Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR RI.
Puspa, Yan Pramadya, 1977. Kamus Hukum Edisi Lengkap:
Bahasa Belanda Indonesia Inggris, Semarang: Aneka Ilmu.
Soehino, 2004. Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty.
Tim Penyusun Naskah Buku 3 Tahun MK, 2006. Menegakkan
Negara Hukum yang Demokratis: Catatan Perjalanan Tiga
Tahun Mahkamah Konstitusi 2003-2006, Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
RI.
Yudho, Winarno, et al, 2005. Mekanisme Impeachment dan
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengkajian-Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstirusi RI.
Zoelva, Hamdan, 2005. Impeachment Presiden: Alasan Tindak
Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945,
Jakarta: Konstitusi Press.

Peraturan Perundang-Undangan:
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Indonesia, Tap MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan
Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi dengan/atau
Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.

Jurnal dan Majalah:


Amsari, Feri., 2005. “Masa Depan MK: Kesesuaian Teori dan
Implementasi”, Jurnal Konstitusi, Volume 5 Nomor 1, Juni
2008, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

40
Cahyawati, Dwi Putri., 2002. “Menelaah Keberadaan Mahkamah
Konstitusi: Pengaruh Gagasan Pembentukannya terhadap
Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Hukum
FH-UMJ, Volume 1 Nomor 5, Juli 2002, Jakarta: Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta.
“Demokrasi dan Nomokrasi dibangun secara Intrerdependen”,
Majalah Konstitusi, No. 34, November 2009, Jakarta:
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

41
PEMAKZULAN DAN PELAKSANAAN MEKANISME
CHECKS AND BALANCES DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN INDONESIA55

Abstrak
Historiografi ketatanegaraan Indonesia telah mencatat bahwa telah
sebanyak dua kali Presiden di Indonesia diturunkan ditengah masa
jabatannya. Catatan sejarah tersebut rupanya menyisakan polemik.
Untuk itulah kemudian di bawah kepemimpinan Mohammad Amien
Rais, MPR melakukan perubahan UUD 1945 yang menjadi salah satu
tujuan dari reformasi. Perubahan tersebut tidak hanya memperbaiki
mekanisme pemakzulan di Indonesia, namun juga menjadikan UUD
1945 tidak lagi sebagai UUD sementara sebagaimana yang diutarakan
Soekarno dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
tanggal 18 Agustus 1945. Sejatinya proses pemakzulan pasca reformasi
merupakan bentuk check and balances atas pemilihan Presiden secara
langsung. Sehingga ada legitimasi yang besar dalam pemerintahan pada
satu sisi, juga dalam sisi yang lainnya hal itu diimbangi dengan proses
pertanggungjawaban yang terukur. Secara akademik, konsep tersebut
tentu sesuai dengan ilmu pengetahuan. Tinggal bagaimana hal ini
terimplementasi dalam bentuk regulasi, mulai dari undang-undang dasar
hingga aturan-aturan lain dibawahnya yang menjadi penjabaran-
penjabaran yang lebih rinci dan jelas. Tulisan ini mencoba untuk
membedah hal tersebut dengan dimulai dari pembahasan struktur
ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi yang menganut prinsip checks
and balances di dalamnya, kemudian dilanjutkan dengan ulasan
mengenai proses pemakzulan di Indonesia, yang pada akhirnya dari
kedua variabel tersebut dibedah dengan teori-teori yang mengulas

55
Publikasi pada Jurnal Negara Hukum – Volume 4 Nomor 1, Juni 2013

42
tentang sistem chesks and balances dalam sistem ketatanegaraan pada
sebuah Negara.

Kata Kunci: Perubahan UUD 1945, Checks and Balances, Pemakzulan

Abstract
Historiography of Indonesia constitutional has noted that the President
of Indonesia has twice lowered in the middle of his tenure. The
historical record apparently leaves a polemics. In this case under the
leadership of Mohammad Amien Rais, MPR (Majelis Permusyawaratan
Rakyat) make changes UUD 1945 to be one of the purposes of the
reform. The changes are not only revise mechanism of impeachment in
Indonesia, but also makes the 1945 Constitution no longer as temporary
as stated Soekarno in the PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) Indonesia Independence Preparatory Committee meeting
dated August 18, 1945. even impeachment process after reformation is
form of Checks and balances on the direct election of the President. so
there is legitimacy in the Goverment on the one hand in one side, and
the other side it is balanced measurable accountability proccess.
Academically, the concept is certainly based on science. How this
implemented in the form of regulation , start from basic laws to other
rules it below to be explanations more detail and clear. This paper try
to explain these cases started from criticism structure of Indonesia
constitutional after the reform that embracing Checks and Balances
principle. Then followed by a review of the impeachment process in
Indonesia, and then the end of two variables are elaborate more deeply
with teories Checks and Balances system in the state system in a
country.

Keyword: Amendment of UUD 1945, Checks and Balances,


Impeachment

43
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Dalam pembahasan perubahan UUD 1945, alasan
pemberhentian Presiden disesuaikan dengan lampiran Keputusan
MPR No. IX/MPR/2000, yaitu masuk dalam kewenangan MPR
dengan dua alternatif. Alternatif pertama tanpa melibatkan
Mahkamah Konstitusi, yaitu “Memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya apabila terbukti
melanggar UUD, melanggar haluan negara, menghianati negara,
melakukan tindak pidana kejahatan, melakukan tindak pidana
penyuapan, dan/atau melakukan perbuatan tercela”. Dan alternatif
kedua dengan melibatkan Mahkamah Konstitusi, yaitu
“Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya apabila terbukti melanggar UUD, melanggar haluan
negara, menghianati negara, melakukan tindak pidana kejahatan,
melakukan tindak pidana penyuapan, dan/atau melakukan
perbuatan yang tercela, berdasarkan putusan MK”. Pada dasarnya
semua Fraksi bersepakat bahwa MK harus dilibatkan dalam
proses pemakzulan. Meskipun demikian, setiap fraksi memiliki
pemikiran yang berbeda-beda dalam implementasinya.56
Berdasarkan hasil pembahasan perubahan UUD 1945,
ketentuan mengenai peranan Mahkamah Konstitusi dalam proses
pemakzulan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 diatur dalam pasal tersendiri yaitu Pasal
24C Ayat (2). Kewenangan ini dipisahkan dari kewenangan

56
Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan
UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil
Pembahasan 1999-2002, Buku VI: Kekuasaan Kehakiman (Jakarta: Sekretaris
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2008), hlm. 541.

44
Mahkamah Konstitusi lainnya yang diatur dalam Pasal 24C Ayat
(1). Ketentuan ini terkait dengan ketentuan dalam Pasal 7A yang
mengatur tentang pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden dan terkait juga dengan ketentuan dalam
Pasal 7B Ayat (1) yang mengatur prosedur atau tata cara beracara
dalam rangka pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden.57
Dalam hal ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 tidak menyatakan Mahkamah Konstitusi
sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final dan mengikat. Mahkamah Konstitusi hanya
diletakkan sebagai salah satu mekanisme yang harus dilalui dalam
proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewajiban
konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah untuk membuktikan
dari sudut pandang hukum, mengenai benar tidaknya dugaan
pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden. Jika
terbukti pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden dan/atau
Wakil Presiden, putusan Mahkamah Konstitusi tidak secara
otomatis dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Karena hal itu bukan wewenang Mahkamah Konstitusi.
Akan tetapi, jika putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan
terbukti bersalah, maka DPR meneruskan usul pemberhentian itu
kepada MPR. Persidangan MPR nantinya, yang akan menentukan
apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden yang telah diusulkan
pemberhentiannya oleh DPR, dapat diberhentikan atau tidak dari
jabatannya.58 Konteks peletakan ketentuan Pasal 24C Ayat (2)
dipisah dari Ayat (1) dimaksud harus dilihat dari proses yang
sudah mulai diatur dalam Pasal 7B tersebut, di mana proses
hukum ketatanegaraan kita masih diteruskan walaupun proses

57
Ibid, hlm. 718.
58
Ibid, hlm. 595.

45
hukum di Mahkamah Konstitusi telah selesai.59 Menanggapi
kondisi ini Iwan Permadi berpendapat bahwa hal ini sangatlah
bertolak belakang dengan semangat demokrasi, karena telah
menganulir keputusan hukum yang bersifat final dengan suatu
kebijakan yang bersifat politik.60
Menarik untuk menjadikan hal tersebut sebagai sebuah
diskursus pasca perubahan UUD 1945. Karena Presiden dan
Wakil Presiden di Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat,61
sehingga memberikan legitimasi yang kuat bagi Presiden dan
Wakil Presiden. Pilihan ini merupakan penegasan terhadap sistem
presidensil62, dalam hal ini adalah adanya masa jabatan Presiden
dan Wakil Presiden yang pasti (fixed term). Masa jabatan Presiden
dan Wakil Presiden yang pasti ini tercermin dalam ketentuan
Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menegaskan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden
memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat
dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali
masa jabatan.” Sehingga dalam hal sistem pemerintahan, pasca

59
Ibid, hlm. 719.
60
Iwan Permadi, “Impeachment MK terhadap Presiden dan Kekuasaan
Mayoritas di MPR” Jurnal Konstitusi, Volume 4 Nomor 3 (September, 2007),
hlm. 132.
61
Pasal 6A Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menegaskan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat.”
62
Dalam sistem presidensil, setidaknya terdapat ciri-ciri: 1) Adanya
masa jabatan Presiden yang bersifat pasti (fixed term); 2) Presiden disamping
sebagai kepala negara, sekaligus sebagai kepala pemerintahan; 3) Adanya
mekanisme saling mengawasi dan saling mengimbangi; 4) Adanya mekanisme
impeachment. [Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan
Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat (Jakarta: Sekretariat Jenderal
MPR RI, 2008), hlm. 56.]

46
perubahan UUD 1945 Indonesia menganut sistem pemerintahan
presidensil yang lebih murni sifatnya.63 Hal ini sesuai dengan
kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945 yang
terdiri atas lima butir yaitu:64
a. Tidak mengubah pembukaan UUD 1945;
b. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
c. Mempertegas sistem pemerintahan presidensil;65
d. Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan
dimasukkan dalam pasal-pasal (batang tubuh);

63
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Reformasi, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007, hal. 317. Menurut Sri
Soemantri Mertosuwignyo sebelum diubah, UUD 1945 juga menganut ciri-ciri
sistem pemerintahan parlementer. [Sri Soemantri Mertosuwignyo, Kapabilitas
Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Menjalankan Mekanisme “Check And
Balances” Dalam Hubungan Antara Eksekutif Dan Legislatif, (Makalah untuk
Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Perubahan),
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM
Republik Indonesia, 2006, hal. 5.] Ia menambahkan bahwa sistem
pemerintahan presidensil untuk pertama kali dianut dan dilaksanakan di
Amerika Serikat. Itulah sebabnya sistem pemerintahan ini oleh Maurice
Duverger diberi nama sistem pemerintahan pola Amerika Serikat. Dalam
kepustakaan Inggris oleh SL. Witman dan JJ. Wuest sistem pemerintahan ini
juga disebut Presidential Government dan oleh CF. Strong disebut sebagai the
fixed excecutive. [Ibid, hal. 3.]
64
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, op.cit., 13.
65
Kesepakatan ini dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar
betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensil. Penyempurnaan
dilakukan dengan perubahan kedudukan MPR yang mengakibatkan kedudukan
MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara. Perubahan selanjutnya untuk
menyempurnakan sistem presidensil adalah menyeimbangkan legitimasi dan
kedudukan antara lembaga eksekutif dan legislatif, dalam hal ini terutama
antara DPR dan Prsiden. [Jimly Asshiddiqie, Hubungan Antar Lembaga
Negara Dalam Perspektif Perubahan UUD 1945, (Makalah untuk Seminar
Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Perubahan), Jakarta:
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik
Indonesia, 2006, hal. 4.]

47
e. Melakukan perubahan dengan cara adendum.

Sekalipun demikian, sebagai bentuk imbangan atas


legitimasi yang besar tersebut dirumuskan dalam Pasal 7A
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan
dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila
telah terbukti melakukan pelanggaran hukum maupun apabila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden. Sehingga Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak
dapat dijatuhkan dalam masa jabatannya kecuali karena hal-hal
yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Disini
terlihat konsistensi penerapan paham negara hukum, yaitu bahwa
tidak ada pengecualian penerapan hukum, bahkan terhadap
Presiden sekalipun. 66 Mengenai hal ini penulis bependapat bahwa:
“Dalam sistem Pemilihan Presiden secara langsung, tidaklah
mungkin dapat memberhentikan Presiden ditengah masa
jabatannya oleh MPR yang jumlahnya hanya beberapa ratus
orang, sementara yang memilih presiden adalah mayoritas rakyat
yang jumlahnya ratusan juta orang. Hal ini akan menjadi
pengecualian ketika Presiden telah melakukan pelanggaran yang
begitu besar sehingga tidak terampuni lagi dan dapat diturunkan
dari jabatannya.”67

Implikasi dan konsekuensi hukum dari pengisian jabatan


Presiden melalui pemilihan langsung adalah pertanggungjawaban
Presiden harus langsung kepada rakyat, tidak lagi kepada MPR.
Karena tidak ada lagi hubungan pertanggungjawaban antara

66
Ibid, hlm. 56.
67
Andy Wiyanto, “Pertanggungjawaban Presiden dan Mahkamah
Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 3 (Juni, 2010), hlm. 212.

48
Presiden dengan MPR, maka sebagai gantinya diperlukan adanya
pranata pemakzulan dalam hubungannya dengan konsep tindakan
terhadap pelanggaran oleh Presiden.68 Penulis menangkap hal
yang mendasar dari implikasi dan konsekuensi hukum tersebut
adalah karena legitimasi Presiden yang begitu besar. Maka harus
dibuat mekanisme checks and balances antar lembaga negara.
Untuk itulah ada mekanisme pertanggungjawaban Presiden yang
merupakan pertanda adanya penyeimbang kekuatan antara
lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif dan yudikatif.69 Oleh
sebab itu, pemakzulan dan pelaksanaan mekanisme checks and
balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi menarik
untuk dikaji.

2. Perumusan dan Pembatasan Masalah


Berdasarkan pemaparan pada latar belakang masalah diatas,
maka untuk dapat menjawab persoalan-persoalan yang berkenaan
dengan pemakzulan dan pelaksanaan makanisme checks and
balances di Indonesia perlu diadakan kajian secara akademis.
Penulis akan membatasi permasalahan dengan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimanakah perspektif ilmu hukum memandang proses
pemakzulan di Indonesia baik sebelum maupun sesudah
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945? Dan

68
Jimly Asshiddiqie, et al, Gagasan Perubahan UUD 1945 dan
Pemilihan Presiden secara Langsung (Jakarta: Sekretaris Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 47-48.
69
Andy Wiyanto, op.cit., hal. 227.

49
b. Bagaimanakah perspektif ilmu hukum memandang
mekanisme checks and balances dalam proses pemakzulan
di Indonesia?

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Penelitian yang dilakukan berdasarkan latar belakang dan
permasalahan yang diuraikan diatas bertujuan untuk:
a. Mengetahui dari perspektif ilmu hukum mengenai proses
pemakzulan di Indonesia baik sebelum maupun sesudah
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; dan
b. Mengetahui dari perspektif ilmu hukum mengenai
mekanisme checks and balances dalam proses pemakzulan
di Indonesia.

Sedangkan manfaat dari penelitian dengan uraian latar


belakang dan permasalahan seperti diatas adalah untuk
memberikan kontribusi pemikiran terkait dengan pemakzulan di
Indonesia, khususnya berkenaan dengan pelaksanaan mekanisme
check and balances dalam prosesnya.

4. Metodologi Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini penulis melakukan
penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti data sekunder
berupa bahan-bahan primer, sekunder dan tersier. Data-data
tersebut amat berguna dalam memahami teori-teori hukum dan
perundang-undangan yang digunakan dalam proses pemakzulan
di Indonesia. Dari data-data tersebut pula, kemudian dihubungkan
satu sama lain dan/atau ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban
atas masalah penelitian.

50
Kerangka Pemikiran
Perlu kita ketahui bahwa konsep negara hukum tidak
terlepas dari sejarah panjang terbentuknya konsep negara hukum
itu sendiri. Konsep negara hukum yang biasa kita pahami sebagai
konsep yang lahir dalam tradisi Eropa Kontinental dan Anglo
Saxon tidak lahir dalam waktu sekejap dan tanpa pengorbanan
yang besar. Konsep negara hukum terlahir dengan latar
belakangnya masing-masing dan seringkali harus dibayar dengan
nilai yang tidak sedikit.
Sudjito bin Atmoredjo merujuk pada Satjipto Rahardjo70
menggambarkan bahwa sejarah panjang terbentuknya negara
hukum dalam kerangka rechtsstaat adalah sebagai berikut:
“Rechtstaat adalah konsep negara modern yang pertama kali
muncul di Eropa dan kemudian menyebar ke seluruh penjuru
dunia. Kemunculannya bukan secara tiba-tiba melalui sebuah
rekayasa penguasa, melainkan melalui sejarah pergulatan sistem
sosial. Secara singkat dapat diceritakan bahwa Eropa sebelum
abad 17 diwarnai oleh keambrukan sistem sosial yang
berlangsung secara susul-menyusul dari sistem sosial satu ke
sistem sosial lain. Dimulai dari feodalisme, Staendestaat, negara
absolut, dan baru kemudian menjadi negara konstitusional. Eropa,
sebagai ajang persemaian negara hukum membutuhkan waktu
tidak kurang dari sepuluh abad, sebelum kelahiran rule of law dan
negara konstitusional. Masing-masing keambrukan sistem sosial
tersebut memberi jalan kepada lahirnya negara hukum modern.
Ambil contoh, Perancis. Negara ini harus membayar mahal untuk
bisa menjadi negara konstitusional, antara lain diwarnai dengan
pemegalan kepala raja dan penjebolan penjara Bastille. Belanda,
harus memeras negeri jajahan (Indonesia) dengan cara
mengintroduksi sistem tanam paksa (kultuur stelsel, supaya bisa
tetap hidup (survive). Hanya dengan pemaksaan terhadap petani

70
Satjipto Rahardjo, “58 Tahun Negara Hukum Indonesia, Negara
Hukum, Proyek yang Belum Selesai.”, Kompas, 11 Agustus, 2003

51
di Jawa untuk menanam tanaman tertentu dan pengurasan hasil
pertanian, Belanda bisa berjaya kembali.”71

Secara umum dalam setiap negara yang menganut paham


negara hukum, dapat dilihat dari bekerjanya tiga prinsip dasar,
yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan
hukum (equality before the law) dan penegakan hukum dengan
cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of
law).72 Dalam penjabaran selanjutnya, pada setiap negara hukum
akan terlihat ciri-ciri akan adanya:73
1. Jaminan perlindungan hak asasi manusia;
2. Peradilan yang merdeka;
3. Legalitas dalam arti hukum, yaitu baik pemerintah/negara,
maupun warga negara dalam bertindak harus berdasar atas
dan melalui hukum.

Setidaknya terdapat dua tradisi besar gagasan negara hukum


di dunia, yaitu negara hukum dalam tradisi eropa kontinental yang
disebut rechtsstaat dan negara hukum dalam tradisi anglo saxon
yang disebut rule of law.74 Konsep rechtsstaat lahir dari suatu
perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya
revolusioner, sebaliknya konsep rule of law berkembang secara

71
Sudjito bin Atmoredjo, Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila
(Makalah untuk Kongres Pancasila, Kerjasama Mahkamah Konstitusi RI dan
Universitas Gadjah Mada), Yogyakarta, 2009, hal. 6.
72
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, op.cit., hal. 46.
73
Ibid, hal. 46-47.
74
Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, di Inggris sebutan
untuk istilah Negara Hukum adalah Rule of Law, sedangkan di Amerika Serikat
Government of Law, But Not of Man. [Moh. Koesnardi dan Harmaily Ibrahim,
Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983, hal. 161.]

52
evolusioner. Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum
yang disebut civil law, sedangkan konsep rule of law bertumpu
pada sistem hukum yang disebut common law. 75 Menurut Roscoe
Pound karakteristik rechtsstaat adalah administratif, sedangkan
karakteristik rule of law adalah judicial. 76 Sedangkan menurut
Mohammad Mahfud MD perbedaan antara keduanya adalah
sebagai berikut:
“Kebenaran hukum dan keadilan di dalam Rechsstaat terletak
pada ketentuan bahkan pembuktian tertulis. Hakim yang bagus
menurut paham civil law (legisme) di dalam Rechtsstaat adalah
hakim yang dapat menerapkan atau membuat putusan sesuai
dengan bunyi undang-undang. Pilihan pada hukum tertulis dan
paham legisme di Rechtsstaats karena menekankan pada
‘kepastian hukum’. Sedangkan kebenaran hukum dan keadilan di
dalam the Rule of Law bukan semata-mata hukum tertulis,
bahkan di sini hakim dituntut untuk membuat hukum-hukum
sendiri melalui yurisprudensi tanpa harus terikat secara ketat
kepada hukum-hukum tertulis. Putusan hakimlah yang lebih
dianggap hukum yang sesungguhnya daripada hukum-hukum
tertulis. Hakim diberi kebebasan untuk menggali nilai-nilai
keadilan dan membuat putusan-putusan sesuai dengan rasa
keadilan yang digalinya dari masyarakat. .... Pemberian
keleluasaan bagi hakim untuk tidak terlalu terikat pada hukum-
hukum tertulis disini karena penegakan hukum di sini ditekankan
pada pemenuhan ‘rasa keadilan’ bukan pada hukum-hukum
formal.”77

75
Nukthoh Arfawie Kurde, Telaah Kritis Teori Negara Hukum,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal. 20.
76
Mohammad Mahfud MD, Politik Hukum Menuju Pembangunan
Sistem Hukum Nasional, (Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum
Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen), Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006, hal. 12.
77
Ibid. hal. 12.

53
Dalam perkembangannya, konsep negara hukum mengalami
perumusan yang bermacam-macam. Misalnya dalam kerangka
rechtsstaat, Immanuel Kant menyebutkan bahwa negara hukum
memiliki unsur-unsur sebagai berikut:78
1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia;
2. Pemisahan kekuasaan.

Sementara itu Frederich Julius Stahl menambahkan unsur-


unsur yang disebutkan oleh Kant tersebut menjadi:79
1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia;
2. Pemisahan kekuasaan;
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan;
4. Adanya peradilan administrasi negara yang berdiri sendiri.

Negara Anglo Saxon tidak mengenal Negara hukum dalam


kerangka rechtsstaat, tetapi mengenal atau menganut apa yang
disebut dengan rule of law. A.V. Dicey salah seorang pemikir
Inggris yang termasyur, mengemukakan tiga unsur utama
pemerintah yang kekuasaannya di bawah hukum (rule of law),
yaitu supremacy of law, equality before the law dan constitution
based on individual right.80 Unsur-unsur tersebut sebagaimana
tergambar dalam uraiannya mengenai doktrin rule of law sebagai
berikut:81
1. Tidak seorang pun yang dihukum atau membayar denda atas
perbuatan yang tidak secara jelas dilarang oleh hukum;

78
Nukthoh Arfawie Kurde, op.cit., hal. 17.
79
Ibid, hal. 18.
80
Ibid, hal. 18-19.
81
AV. Dicey, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, terjemahan Nurhadi,
Bandung: Nusamedia, 2007, hal. 37.

54
2. Hak hukum atau kewajiban setiap orang hampir tanpa
kecuali ditentukan oleh pengadilan umum diwilayahnya;
3. Hak hukum setiap individu sama sekali bukan hasil dari
konstitusi, melainkan landasan konstitusi.

Sejak awal kemerdekaannya, Indonesia telah didesain


sebagai negara hukum yang berkedaulatan rakyat.82 Hal ini
kemudian dipertegas dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.83 Konsepsi Negara

82
Lihat Penjelasan UUD 1945 yang menyatakan “Indonesia ialah
Negara yang berdasar atas hukum .... ” dan lihat juga Pembukaan UUD 1945
alinea ke-4, “ .... maka disusunlah Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia itu
dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat .... ”
Menurut Bung Hatta apabila kekuasaan negara digantungkan kepada diri
seorang raja ataupun digenggam oleh seorang diktator yang bukan raja, maka
kedaulatan tersebut tidaklah bisa kekal. Karena dengan lenyapnya dia dari
muka bumi atau dari kedudukannya, maka lenyap pula kekuasaan itu. Oleh
karena itu, dasar yang teguh untuk susunan negara haruslah diserahkan kepada
pemerintahan yang berdasar pada pertanggungjawaban yang luas dan kekal,
yaitu dalam paham kedaulatan rakyat. Karena rakyat adalah jenis yang kekal,
yang hidupnya tak bergantung pada umur manusia yang menyusunnya.
Manusia akan lenyap berganti, tetapi rakyat tetap ada. Selama ada negara, ada
rakyatnya. [Mohammad Hatta, Kedaulatan Rakyat, Surabaya: Usaha Nasional,
1980, hal. 17.] Pada hakikatnya kedaulatan rakyat adalah inti dari partisipasi
umum rakyat dalam kehidupan bernegara. Adanya kesempatan melakukan
partisipasi umum secara efektif adalah wujud sebenarnya dari kebebasan dan
kemerdekaan. [Nurcholish Madjid, “Menata Kembali Kehidupan
Bermasyarakat dan Bernegara” Jurnal Dialog Peradaban, Volume 2 Nomor 1
(Juli-Desember, 2009), hal. 27.]
83
Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menegakkan
supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta tidak ada
kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan. Masuknya ketentuan mengenai
Indonesia adalah negara hukum dalam Pasal UUD 1945 dimaksudkan untuk
memperteguh paham bahwa Indonesia adalah negara hukum, baik dalam
penyelenggaraan negara maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
[Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, op.cit., hal. 46.]

55
hukum yang dahulu dikesankan menganut rechtsstaat84 sekarang
dinetralkan menjadi Negara hukum saja85, tanpa embel-embel
rechtsstaat dibelakangnya yang diletakkan di dalam kurung. Oleh
sebab itu politik hukum Indonesia tentang konsepsi negara hukum
Indonesia menganut unsur-unsur yang baik dalam rechtsstaat dan
rule of law atau bahkan sistem hukum lain sekaligus.86 Di
Indonesia unsur negara hukum dalam rechtsstaat salah satunya
terlihat dengan adanya Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai
pengadilan administrasi negara.87 Sedangkan unsur negara hukum
dalam rule of law terlihat dengan adanya jaminan konstitusional
mengenai kesamaan kedudukan dalam hukum (equality before the
law).88

84
Vide Penjelasan UUD 1945, “Indonesia ialah Negara yang berdasar
atas hukum (rechsstaat) tidak berdasarakan atas kekuasaan belaka
(machstaat)”.
85
Vide Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
86
Mohammad Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara: Pasca
Amandemen Konstitusi, Jakarta: LP3ES, 2007,. 50-51. Dalam tulisan yang lain
Mahfud MD mengatakan bahwa UUD 1945 yang telah diperubahan memberi
arahan kepada hukum adat untuk dipertahankan sebagaimana dimaksud Pasal
18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut pasal tersebut hukum adat yang diakui adalah hukum adat yang masih
nyata-nyata hidup, jelas materi dan lingkup masyarakat adatnya dan tidak
bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[Mohammad Mahfud MD, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem
Hukum Nasional…., op.cit., hal. 16.]
87
Vide Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.”
88
Vide Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di

56
Dapat dikatakan bahwa konsep negara hukum Indonesia
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 ialah negara hukum Pancasila, yaitu konsep negara
hukum yang memenuhi kriteria dari konsep negara hukum pada
umumnya dan diwarnai oleh aspirasi-aspirasi keindonesiaan yaitu
nilai fundamental dari Pancasila.89 Sehingga menurut Darji
Darmodiharjo dan Shidarta materi hukum di Indonesia harus
digali dan dibuat dari nilai-nilai yang terkandung dalam
masyarakat Indonesia.
“Nilai-nilai itu dapat berupa kesadaran dan cita hukum
(rechtsidee), cita moral, kemerdekaan individu dan bangsa,
perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian, cita politik, sifat,
bentuk dan tujuan negara, kehidupan kemasyarakatan,
keagamaan, dan sebagainya. Dengan perkataan lain, sedapat
mungkin hukum Indonesia harus bersumber dari bumi Indonesia
sendiri.”90

Negara hukum Indonesia merupakan konsep yang khas


Indonesia. Indonesia merupakan negara hukum, namun Indonesia
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 juga merupakan negara yang berdasarkan kedaulatan
rakyat.91 Dari ketentuan tersebut telah nyata bahwa Indonesia

dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan


pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
89
Abdul Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Malang: Bayumedia,
2005, hal. 86.
90
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa
dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2006, hal. 209.
91
Vide Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar.” Hal ini berarti kedaulatan rakyat dilakukan
oleh seluruh organ konstitusional dengan masing-masing fungsi dan
kewenangannya berdasarkan UUD 1945. Jika berdasarkan ketentuan sebelum

57
menganut paham kedaulatan rakyat yang dibingkai dalam hukum
yang terukur kebenaran dan keadilannya.92 Menurut Jean Jacques
Rousseau dalam teori kontrak sosialnya sumber dari segala
sumber hukum menurut paham ini adalah kedaulatan rakyat itu
sendiri. 93 Akan tetapi catatan diberikan oleh Darji Darmodiharjo
dan Shidarta bahwa:
“Teori kedaulatan rakyat dari Rousseau tidak sama dengan teori
kedaulatan rakyat dari Negara Pancasila, karena kedaulatan rakyat
kita dijiwai dan diliputi oleh Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila-
sila lain dari Pancasila. Demikian pula, teori kedaulatan rakyat
kita pun berbeda dengan teori kedaulatan rakyat dari Hobbes
(yang mengarah ke absolutisme) dan John Locke (yang mengarah
ke demokrasi parlementer).”94

Mohammad Hatta memaksudkan kedaulatan rakyat sebagai


kekuasaan yang dijalankan oleh rakyat atau atas nama rakyat
diatas dasar permusyawaratan. Kedaulatan rakyat memberi
kekuasaan yang tertinggi kepada rakyat, tetapi juga memberi

perubahan kedaulatan sepenuhnya dilakukan oleh MPR dan kemudian


didistribusikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara, maka berdasarkan
ketentuan setelah perubahan ini kedaulatan berada tetap ditangan rakyat dan
pelaksanaannya langsung didistribusikan secara fungsional kepada organ-organ
konstitusional. [Jimly Asshiddiqie, Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam
Perspektif Perubahan UUD 1945, ...., op.cit., hal. 3-4.]
92
Kedaulatan rakyat yang dibingkai dalam hukum adalah sebagaimana
konsepsi Bung Hatta mengenai kedaulatan rakyat sebagai pemerintahan rakyat
yang dijalankan menurut peraturan yang telah dimufakati dengan
bermusyawarah. [Mohammad Hatta, op.cit., hal. 18.] Paham negara hukum
Indonesia juga terkait erat dengan negara kesejahteraan (welfare state) atau
paham negara hukum materil yang sesuai dengan bunyi alinea keempat
Pembukaan dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. [Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, op.cit.,
hal. 48.]
93
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, op.cit., hal. 212.
94
Ibid. hal. 212.

58
tanggung jawab yang terbesar. Sehingga merupakan dasar
pemerintahan yang adil, karena siapa yang mendapat kekuasaan
dia itulah yang bertanggung jawab. Manakala rakyat seluruhnya
merasa kewajibannya untuk mencapai keselamatan bersama,
maka tertanamlah sendi negara yang kokoh.95
Berbicara mengenai Negara Hukum tidak akan lepas dari
sejarah ketatanegaraan pemerintahan-pemerintahan di berbagai
macam belahan dunia, yang mana hal ini turut menentukan hingga
akhirnya konsep Negara Hukum menjadi populer hingga saat ini.
Jika kita tarik ke belakang, hingga abad ke-18 seringkali
pemerintahan dalam suatu negara bersifat despotis, hingga pada
akhirnya seorang pemikir besar mengenai negara dan hukum dari
Perancis bernama Charles de Secondat baron de Labrede et de
Montesquieu memisahkan kekuasaan memerintah negara yang
dilaksanakan oleh masing-masing badan yang berdiri sendiri.
Dengan ajarannya itu Montesquieu berpendapat bahwa:
“Apabila kekuasaan negara itu dipisahkan secara tegas menjadi
tiga, yaitu: kekuasaan perundang-undangan, kekuasaan
melaksanakan pemerintahan, dan kekuasaan kehakiman, dan
masing-masing kekuasaan itu dipegang oleh badan yang berdiri
sendiri, ini akan menghilangkan kemungkinan timbulnya tindakan
yang sewenang-wenang dari seorang penguasa, atau tegasnya
tidak memberikan kemungkinan dilaksanakannya sistem
pemerintahan absolutisme.”96

Pembagian kekuasaan-kekuasaan itu kedalam tiga pusat


kekuasaan oleh Immanuel Kant kemudian diberi nama Trias
Politika (Tri = tiga; As = poros (pusat); Politika = kekuasaan) atau

95
Mohammad Hatta, op.cit., hal. 14-15.
96
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 2004, hal. 117.

59
tiga Pusat/Poros Kekuasaan Negara.97 Ajaran Trias politica ini
sesungguhnya merupakan penyempurnaan dari ajaran John
Locke. Menurut John Locke, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu
meliputi:98
1. Fungsi Legislatif;
2. Fungsi Eksekutif; dan
3. Fungsi Federatif.

Dalam kuliah Ilmu Negara pada Fakultas Hukum dan


Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia tahun ajaran
1961-1962, Padmo Wahjono membandingkan keduanya sebagai
berikut:
“Fungsi pengadilan dalam ajaran John Locke dimasukkan dalam
bidang Exekutif, sebab Pengadilan itu adalah melaksanakan
hukum. Jadi dalam hal adanya perselisihan, maka itu menjadi
wewenang daripada fungsi Exekutif! Tapi Montesquieu
mengeluarkannya dari Exekutif karena Montesquieu melihat
kedalam di Perancis dengan adanya penggabungan itu timbul
kesewenang-wenangan. Oleh karena itu harus dipisahkan agar
supaya jangan timbul ketidakadilan.!
Disini terletak perbedaan peninjauan fungsi Yudikatif antara
Montesquieu dengan John Locke.
John Locke melihat secara prinsipel yaitu sebagai pelaksanaan
hukum. Dilihat hasilnya untuk keadilan, maka fungsi judikatif itu
dikeluarkan dari bidang Exekutif oleh Montesquieu. Dan ajaran
Montesquieu lebih populer daripada John Locke. Hanya
kemudian, dimanakah disalurkan wewenang Diplomasi dalam
Trias Montesquieu? Dan ini oleh Montesquieu dimasukkan dalam
fungsi legislatif, oleh karena hubungan Diplomasi menciptakan

97
Mohammad Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan
Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta, 2001, hal. 74.
98
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II,
Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hal. 13.

60
ketentuan-ketentuan yang berlaku buat negara itu dengan negara
lain.! Jadi dimasukkan dalam bidang Legislatif karena membuat
peraturan-peraturan.”99

Sejalan dengan perkembangan konsep pemisahan kekuasaan


dalam negara hukum, dikenal pula konsep checks and balances di
dalamnya. Butterworths Concise Australian Legal Dictionary
mendefinisikan Checks and Balances menjadi “A system of rules
diversifying the membership of, and mutually countervailing
controls interconnecting the executive, legislative, judicial
branches of government, designed to prevent concentration of
power within any one branch at the expense of the others.”100
Sedangkan Black’s Law Dictionary mengartikannya sebagai
“arrangement of governmental powers whereby powers of one
governmental branch check or balance those of other brances.”
Berdasarkan pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa checks and
balances merupakan suatu prinsip saling mengimbangi dan
mengawasi antar cabang kekuasaan satu dengan yang lain. Tujuan
dari konsepsi ini adalah untuk menghindari adanya konsentrasi
kekuasaan pada satu cabang kekuasaan tertentu.101 Gagasan ini
lahir sebagai hasil dari ajaran klasik tentang pemisahan
kekuasaan, dan pertama kali diadopsi kedalam konstitusi Amerika
Serikat (US Constitution 1789). Berdasarkan ide ini, suatu negara
dikatakan memiliki sistem checks n balances yang efektif jika
tidak ada satupun cabang pemerintahan yang memiliki kekuasaan
dominan, serta dapat dipengaruhi oleh cabang lainnya (A

99
Teuku Amir Hamzah, Ilmu Negara: Kuliah-Kuliah Padmo Wahjono,
Jakarta: Indo Hill Co., 2003, hal. 164-165.
100
http://masnurmarzuki.blogspot.com/2011/12/pemisahan-kekuasaan-
dan-prinsip-checks.html diakses pada Rabu, 12 Juni 2013
101
http://gunawantauda.wordpress.com/2010/03/14/pembatasan-
kekuasaan/ diakses pada Rabu, 12 Juni 2013

61
government is said to have an effective system of checks and
balances if no one branch of government holds total power, and
can be overridden by another).102
Secara tersirat dapat ditangkap bahwa esensi pokok dari
prinsip checks and balances ini adalah menjamin adanya
kebebasan dari masing-masing cabang kekuasaan negara
sekaligus menghindari terjadinya interaksi atau campur tangan
dari kekuasaan yang satu terhadap kekuasaan lainnya. Dengan
kata lain, inti gagasan demokrasi konstitusional adalah
menciptakan keseimbangan dalam interaksi sosial politik. Namun,
upaya menciptakan keseimbangan tersebut tidak dilakukan
dengan melemahkan fungsi, mengurangi independensi, atau atau
mengkooptasi kewenangan lembaga lain yang justru akan
mengganggu kinerja lembaga yang bersangkutan. Dengan
demikian, checks and balances sesungguhnya bukanlah tujuan
dari penyelenggaraan entitas politik bernama negara.Konsep ini
lebih merupakan elemen pemerintahan demokratis untuk
mewujudkan cita-cita besar membangun sosok pemerintahan yang
demokratis, bersih dan kuat melalui penyempurnaan tata
hubungan kerja yang sejajar dan harmonis diantara pilar-pilar
kekuasaan dalam negara.103 Konsep inilah yang mengilhami MPR
dalam melakukan perubahan UUD 1945 untuk tidak meletakkan
kekuasaan pemerintah yang hendak dibangun pada satu badan,
hingga terjadilah checks and balances dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Mekanisme saling mengawasi dan
mengimbangi diperlukan untuk memastikan bahwa tidak ada
ruang bagi absolutisme di Indonesia.

102
http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/11/menyimak-kembali-
checks-and-balances.html diakses pada Rabu, 12 Juni 2013
103
Ibid.

62
Analisis
1. Pemakzulan di Indonesia
Semenjak proklamasi kemerdekaan, Indonesia telah
mencatat bahwa telah sebanyak dua kali MPR memberhentikan
Presiden ditengah masa jabatannya. Pertama adalah pada saat
pemberhentian Presiden Soekarno yang dianggap bersalah karena
ketidakmampuannya memberikan pertanggungjawabannya atas
peristiwa Gerakan Tiga Puluh September (G30S)104 serta
kemerosotan ekonomi dan kemerosotan akhlak rakyat. Kedua
adalah pada saat pemberhentian Presiden Abdurahman Wahid
yang dianggap bersalah karena ketidakmampuan (keengganan)
Presiden memberikan pertanggungjawaban di hadapan Sidang
Istimewa MPR, kesalahan Presiden yang dengan sengaja
mengeluarkan maklumat pembubaran MPR serta tidak
menjalankan ketetapan-ketetapan MPR dan undang-undang yang
berlaku di Indonesia.105
Dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia sebelum
perubahan UUD 1945, MPR dapat memberhentikan Presiden
sebelum habis masa jabatannya. Hal ini tertuang dalam Pasal 4
Tap MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan
Tata Kerja Lembaga Tertinggi dengan/atau antar Lembaga-
lembaga Tinggi Negara yang menjelaskan alasan pemberhentian
tersebut sebagai berikut:

104
Tulisan ini tidak lagi menggunakan istilah rezim orde baru yaitu
G30S/PKI melainkan Gerakan 30 September saja. Ada beberapa versi tentang
peristiwa itu dan PKI hanya salah satu versi. Oleh sebab itu lebih objektif
dengan menyebut Gerakan 30 September tanpa embel-embel apapun. [Asvi
Warman Adam, Pelurusan Sejarah Indonesia, Yogyakarta: Ombak, 2007, hal
176.]
105
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana
Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, Jakarta: Konstitusi Press, 2005,
hal. 81

63
a. Atas permintaan sendiri;
b. Berhalangan tetap; dan
c. Sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara.

Tap MPR No. III Tahun 1978 mengatur prosedur


pemakzulan sebelum perubahan konstitusi. 106 Prosedur ini
mensyaratkan dikeluarkannya dua kali surat peringatan secara
berturut-turut. Memorandum pertama memperingatkan Presiden
tentang pelanggaran-pelanggaran yang dituduhkan kepadanya.
Jika setelah tiga bulan kemudian Presiden tidak menanggapi surat
peringatan itu secara memuaskan, memorandum kedua
dilayangkan. Dan jika satu bulan kemudian tanggapan Presiden
masih juga tidak memuaskan, MPR akan menggelar sebuah
Sidang Istimewa untuk membahas kedua memorandum itu berikut
tanggapan dari Presiden. Sidang ini kemudian akan memutuskan
apakah Presiden akan diberhentikan atau tidak. Menurut Denny
Indrayana prosedur pemakzulan Indonesia ini problematik,
apalagi kalau dibandingkan dengan prosedur serupa milik
Amerika Serikat.107 Hal inilah yang turut menjadikan alasan untuk
mengakomodir mekanisme pemakzulan yang lebih adil dalam
perubahan ketiga UUD 1945.
Munculnya mekanisme pemakzulan secara limitatif dalam
perubahan UUD 1945 sesungguhnya sebagai konsekuensi logis
dari adanya penegasan sistem presidensil dalam perubahan UUD
1945. Dalam Buku Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa:

106
Ibid, pasal. 7.
107
Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan
Pembongkaran, Bandung: Mizan, 2007, hal. 245-246.

64
“Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh
rakyat, menjadikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih
mempunyai legitimasi yang lebih kuat. Jadi, adanya ketentuan
tersebut berarti memperkuat sistem pemerintahan presidensial
yang kita anut dengan salah satu cirinya adalah adanya periode
masa jabatan yang pasti (fixed term) dari Presiden dan Wakil
Presiden, dalam hal ini masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden
Indonesia lima tahun. Dengan demikian Presiden dan Wakil
Presiden terpilih tidak dapat dijatuhkan dalam masa jabatannya
kecuali melanggar hukum berdasar hal-hal yang tercantum dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
melalui suatu prosedur konstitusional yang populer disebut
impeachment.”108

Sekalipun Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat


dijatuhkan dalam masa jabatannya, namun karena alasan-alasan
tertentu dalam rangka pertanggungjawaban dengan mekanisme
yang diatur secara konstitusional Presiden dan/atau Wakil
Presiden masih memungkinkan untuk diberhentikan, sebagaimana
pendapat Mohammad Laica Marzuki berikut:
“Hal dimaksud merupakan pengecualian yang diberikan
konstitusi bagi pemberhentian presiden dan wakil presiden hasil
pemilihan langsung, yang sesungguhnya -dalam keadaan biasa
(normal procedure)- tidak dapat diberhentikan selama masa
jabatan. Pengecualian yang diberikan konstitusi terhadap MPR
tidak dapat dipahami seketika selaku wewenang MPR”109

Dalam hal ini Mohammad Mahfud MD berpendapat dengan


membandingkan proses pemakzulan pada saat pra dan pasca
perubahan UUD 1945 sebagai berikut:

108
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, op.cit., hal. 56.
109
Mohammad Laica Marzuki, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum,
Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006,
hal. 40.

65
“Pada masa lalu pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya
hanya didasarkan pada pertimbangan politik yang diatur dalam
Tap MPR Nomor III/MPR/1978 dengan alasan melanggar haluan
negara yang penafsirannya sangat luas. Namun pada saat ini
Presiden hanya dapat dijatuhkan (melalui impeachment) dengan
alasan-alasan tertentu yang harus dibuktikan lebih dulu secara
hukum (melalui forum previlegiatum). Di sini, memenangkan
suara dalam demokrasi dipadukan (bahkan diuji) dengan substansi
dan prosedur hukum berdasar nomokrasi”110

Kendatipun mekanisme pemakzulan telah diatur secara


limitatif dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, namun masih terdapat beberapa persoalan yang
belum sepenuhnya dapat terjawab dengan sepenuhnya dalam
konstitusi hasil perubahan tersebut. Menurut hemat penulis,
masalah yang paling mendasar adalah mengenai tidak
mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi atas pendapat DPR
setelah diteruskan DPR kepada MPR. Artinya sejauh apa
pengaruh putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terhadap
kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut hanya dijadikan sebagai bahan pertimbangan
dalam rapat paripurna MPR.111 Akan memungkinkan ketika
Mahkamah Konstitusi membenarkan pendapat DPR atas alasan
pemakzulan, namun dalam rapat paripurna MPR majelis justru
tidak memutuskan untuk memberhentikan Presiden dan/atau

110
Mohammad Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara...., op.cit.,
hal. xvi.
111
Bahkan menurut Ali Murtopo dalam mekanisme ini terdapat
kerancuan karena efektifitas putusan Mahkamah Konstitusi tertunda sebab
DPR harus meneruskan proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden kepada MPR. [Ali Murtopo, “Peranan Mahkamah Konstitusi dalam
Bidang Impeachment Presiden di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3
Nomor 1 (Februari, 2006), hal. 69.]

66
Wakil Presiden dengan alasan-alasan yang bersifat politis.
Dengan kondisi ini, mekanisme checks and balances dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia juga tidak terjadi sebagaimana
gagasan dasar dalam hasil perubahan UUD 1945.
Penulis menilai hal ini juga tidak sejalan dengan semangat
pengawasan yang dilakukan oleh DPR kepada Presiden dan/atau
Wakil Presiden. Karena pasca perubahan UUD 1945 ada
perumusan secara limitatif terhadap alasan pemakzulan Presiden
dan/atau Wakil Presiden menjadi alasan hukum saja, maka bentuk
pengawasan yang dilakukan oleh DPR yang berujung pada
pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah masuk
dalam pengawasan hukum.112 Oleh sebab itu dalam hal ini bentuk
pertanggungjawaban yang dilakukan oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden adalah pertanggungjawaban hukum tata negara.
Sementara itu pengawasan yang dilakukan DPR terhadap
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam hal kebijakan yang telah
diambil oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat
dijadikan sebagai landasan pemakzulan karena masuk dalam
pengawasan politik yang sanksinya ada pada pemilihan umum
selanjutnya. Karena semakin sering DPR menggunakan haknya113
dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan, maka dapat

112
Pasal 7B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 menegaskan “Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun
telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan
Rakyat.”
113
Pasal 20A Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 menegaskan “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak
yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan
Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat.”

67
disimpulkan oleh rakyat bahwa kebijakan-kebijakan yang telah
diambil oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden bukanlah
merupakan kebijakan yang berpihak bagi rakyat, atau setidaknya
menurut DPR. Sehingga dalam pemilihan umum selanjutnya
rakyat dapat menilai bahwa mereka atau partai politik yang
mengusung mereka tidak layak untuk dipilih kembali apabila
kembali mencalonkan sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dalam konteks pelaksanaan fungsi pengawasan yang
dilakukan oleh DPR terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden,
sejatinya apabila fungsi itu telah dijalankan yang didukung oleh
putusan Mahkamah Konstitusi114, maka semestinya putusan
Mahkamah tersebut turut mengikat MPR sebagai tindak lanjut
dari proses pengawasan tersebut. Perumusan dalam Pasal 7B Ayat
(6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945115 yang tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai
putusan Mahkamah Konstitusi yang mengikat MPR justru
membuat fungsi pengawasan yang telah dilakukan oleh DPR
menjadi serba tidak pasti. Karena pasal tersebut bukannya
menguatkan fungsi pengawasan yang telah dilakukan DPR,
melainkan justru membuat fungsi pengawasan tersebut menjadi
terombang-ambing dengan keputusan sidang MPR yang sarat
kepentingan karena tidak terikat kepada putusan Mahkamah
Konstitusi. Mahkamah Konstitusi pun turut membuat kondisi ini

114
Putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud adalah yang membenarkan
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah terbukti melakukan pelanggaran
hukum berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
115
Pasal 7B Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 menegaskan “Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib
menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat
tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat
menerima usul tersebut.”

68
menjadi semakin larut dalam ketidakpastian. Melalui Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 dirumuskan dalam
Pasal 19 Ayat (5) bahwa “Putusan Mahkamah bersifat final secara
yuridis dan mengikat bagi DPR selaku pihak yang mengajukan
permohonan.”. Perumusan pasal ini dapatlah dimaklumi, sebab
sebagaimana visi Mahkamah Konstitusi, peraturan yang
dibuatnya pun haruslah dibuat dalam rangka menegakkan
konstitusi.116
Menjadi ironis dan kedepannya hal ini akan menjadi
preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia karena
senyatanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan
putusan yang terbingkai dengan norma hukum yang terukur
kebenarannya. Ironisnya terletak pada kewenangan Mahkamah
Konstitusi sebagai satu-satunya penjaga dan penafsir UUD dan
diberi wewenang untuk memutuskan pernyatan DPR tentang
pelanggaran hukum Presiden, tetapi keputusan terakhir yang
memberi sanksi pemberhentian atau sanksi lainnya terhadap
Presiden berada pada MPR.117

2. Mekanisme Checks and Balances dalam Proses


Pemakzulan di Indonesia
Turut sertanya Mahkamah Konstitusi dalam proses
pemakzulan merupakan langkah tepat agar dalam proses
pembuktian bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum sebagaimana dimaksud Undang-

116
Visi Mahkamah Konstitusi RI adalah “Tegaknya konstitusi dalam
rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.”
117
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum
Demokrasi, Bandung: Yrama Widya, 2007, hal. 176-177.

69
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bisa
terlepas dari biasnya kepentingan partai politik yang bertarung
dalam proses ini. Pelibatan Mahkamah Konstitusi juga sebagai
konsekuensi logis karena dasar-dasar pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden tersebut merupakan alasan hukum,
sehingga yang bisa membuktikannya hanya lembaga yang masuk
dalam ranah kekuasaan kehakiman. Selain itu bila proses tersebut
diserahkan hanya kepada DPR dan MPR saja sebagaimana
pengalaman di masa lalu, maka proses pembuktian tersebut akan
tidak memiliki batasan yang jelas dan mudah dibajak oleh
kepentingan sesaat para politisi yang bermain kekuasaan,
sehingga untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya
ketidakadilan yang timbul karena proses pemakzulan Putusan
Mahkamah Konstitusi menjadi suatu keniscayaan.
Dalam Putusan ini akan nampak terbukti atau tidaknya
pelanggaran yang telah dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden, namun hal ini tidak ditujukan pada pertanggungjawaban
pidana melainkan untuk pertanggungjawaban hukum tata negara
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dengan konstruksi ini, maka
Putusan Mahkamah Konstitusi berkedudukan sebagai landasan
berhentinya Presiden dan/atau Wakil Presiden ditengah masa
jabatan. Putusan ini menjadi jembatan bagi eksekusi pemakzulan
Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dilakukan oleh MPR.
Mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden, menurut penulis secara
filosofis Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan suatu
jabatan yang harus diemban oleh orang yang baik mulai dari awal
pencalonannya hingga pada saat menjabat. Kategori baik ini

70
dirumuskan dalam persyaratan calon Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian ketika
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah menjabat, maka kategori
baik berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 adalah tidak melakukan hal-hal yang
dilarang sebagai dasar pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dirumuskan dalam pasal 7A Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga
menjadi tidak layak seseorang mencalonkan dan menjabat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila tidak memenuhi kriteria
orang yang baik tersebut.
Untuk itulah ketika seseorang telah menjabat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden kemudian ada dugaan bahwa ia
tidak memenuhi kriteria tersebut, maka hal itu haruslah
dibuktikan, baru kemudian Presiden dan/atau Wakil Presiden
tersebut dapat diberhentikan dari masa jabatannya. Pembuktian
tersebut bukanlah dengan maksud untuk mempertanggung-
jawabkan tindak pidana sebagaimana yang telah dilakukan oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden, namun lebih karena
pertanggungjawaban hukum tata negara Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Karena menurut hukum tata negara Presiden dan/atau
Wakil Presiden haruslah orang baik sebagaimana telah
dirumuskan oleh MPR yang tercermin dari Pasal 6 dan Pasal 7A
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Karena kedua pasal tersebut terdapat dalam Undang-Undang
Dasar yang merupakan hukum tata negara118, maka dengan

118
Menurut Mahfud MD, hukum tata negara adalah bukan apa yang ada
di dalam teori atau yang berlaku di negara lain, betapapun itu dianggap sudah
sangat mapan. Hukum tata negara adalah apa yang digagas dan kemudian

71
demikian konsep pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 7A
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
adalah pertanggungjawaban hukum tata negara dan bukan
merupakan pertanggungjawaban pidana, apalagi pertanggung-
jawaban politik.
Kemudian timbul persoalan secara filosofis, Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut di satu sisi bila turut mengikat bagi
MPR, artinya merupakan kemenangan bagi kedaulatan hukum
sebab dengan itu menjadi optimal fungsi pengawasan yang telah
dilakukan oleh DPR sebagai pertanda adanya mekanisme checks
and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pendek
kata, tiada kekuasaan yang tidak terbatas. Namun di sisi lain MPR
yang merupakan gabungan dari anggota DPR dan DPD yang
notabene dipilih oleh rakyat merupakan gambaran dari
kemenangan kedaulatan rakyat bila putusan Mahkamah Konstitusi
hanya diposisikan hanya sebatas jembatan bagi proses
pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Untuk menjawab
problematika ini, selanjutnya akan diulas (juga) secara filosofis
mengenai pertarungan antara paham kedaulatan hukum dengan
paham kedaulatan rakyat yang terjadi sesuai dengan
perkembangan ketatanegaraan Indonesia.
Dalam negara hukum yang demokratis, kekuasaan haruslah
dibatasi. Bentuk pembatasan itu adalah dengan tidak meletakan

ditulis di dalam konstitusi oleh bangsa suatu negara, jadi hukum tata negara
adalah apa yang diperdebatkan dan ditulis sebagai pilihan politik di dalam
konstitusi. Lebih lanjut dengan meminjam ungkapan KC Wheare, Mahfud
mengatakan bahwa konstitusi adalah resultante atau kesepakatan yang dibuat
oleh bangsa yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan tempat dan waktu
serta situasi. [Mohammad Mahfud MD, Komisi Yudisial Dalam Mosaik
Ketatanegaraan Kita, dalam Saiful Rachman, et al, (editor), Bunga Rampai
Komisi Yudisial Dan Reformasi Peradilan, Jakarta: Komisi Yudisial Republik
Indonesia, 2007, hal. 10.]

72
kekuasaan pada satu tangan atau satu lembaga negara. Sehingga
antara lembaga negara tersebut memiliki kekuasaan yang sama
kuat dan dapat saling mengawasi dan mengimbangi satu sama lain
antar lembaga negara. Dalam konteks pemakzulan, sesungguhnya
hal ini merupakan bentuk dari pengawasan antara lembaga
legislatif terhadap eksekutif. Masuknya lembaga yudikatif dalam
proses pengawasan ini disebabkan karena yang menjadi alasan
dalam pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah
merupakan alasan hukum. Sehingga dalam mekanisme
pemakzulan dapat ditemukan prinsip-prinsip negara hukum yang
demokratis, karena terdapat fungsi saling mengawasi dan
mengimbangi antara lembaga legislatif dan yudikatif terhadap
lembaga eksekutif. Prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis
tersebut akan dengan jelas tergambar ketika pemakzulan sebagai
fungsi pengawasan DPR terhadap Presiden dapat berjalan dengan
optimal tanpa dikaburkan dengan hasil sidang MPR yang
dimungkinkan beda simpulan dari serangkaian proses
sebelumnya.
Namun bagi penganut paham demokrasi mau tidak mau
suara rakyat harus benar-benar diperhatikan, artinya dalam
penyelenggaraan negara harus berdasarkan kehendak rakyat. Vox
Populi Vox Dei119 kata pepatah politik kuno, pepatah yang
menunjukkan betapa tingginya rakyat dalam konteks negara,
terutama negara yang menganut paham demokrasi. Sekalipun
ungkapan itu tidak dimaksudkan untuk membandingkan
kekuasaan Tuhan yang sakral dengan kekuasaan politik yang
sekuler, namun itu bermakna bahwa bagaimanapun tanpa

119
Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan). Dalam
konteks ini pepatah tersebut sesuai dengan prinsip Salus Populi Suprema Lex
(Suara Rakyat Adalah Hukum Tertinggi).

73
kehadiran rakyat, tanpa keterlibatannya, suatu negara demokratis
tidak akan pernah ada. Hal ini adalah sejalan dengan paham
kedaulatan rakyat.
Akan tetapi menurut Mohammad Mahfud MD dalam kuliah
umum bertema “Peranan Mahkamah Konstitusi dalam
Pembangunan Hukum dan Demokrasi”, demokrasi adalah konsep
yang biasanya setiap keputusannya berdasarkan menang-kalah,
berdasarkan suara terbanyak, meskipun mungkin belum tentu
benar hasil yang disepakatinya. Hal ini justru berbahaya, untuk itu
demokrasi harus tetap dipertahankan tanpa menggesernya dari
konsep asli dengan cara membangunnya bersama-sama dengan
nomokrasi (negara berdasar hukum). Demokrasi dan nomokrasi
dibangun secara interdependen. “Politik tanpa hukum itu dzalim.
Sebaliknya, hukum tanpa dikawal kekuasaan politik akan
lumpuh.”120 Pendapat Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut sesuai
dengan maksud Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang menegaskan bahwa
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.”
Bila diteliti sesungguhnya terdapat hubungan yang erat
antara kedaulatan rakyat dengan kedaulatan hukum. Menurut
Krabbe hukum itu berdaulat karena ia bersumber kepada
kesadaran-kesadaran hukum dari rakyat, sehingga kedaulatan
hukum merupakan kelanjutan dari kedaulatan rakyat.121
Kesadaran-kesadaran hukum dari rakyat tersebut bila dikaitkan
dengan paham kedaulatan rakyat Rousseau adalah merupakan

120
Wiwik Budi Wasito, “Demokrasi dan Nomokrasi dibangun secara
Intrerdependen”, Majalah Konstitusi, No. 34 (November, 2009), hal. 62.
121
Moh. Koesnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2000, hal. 135.

74
kehendak umum (volonte generale). Sebagaimana perkataan
Rousseau mengenai kedaulatan rakyat, bahwa kehendak umum
merupakan pimpinan tertinggi atau kekuasaan tertinggi
(kedaulatan). Berikut rumusannya:
“Masing-masing dari kita menyerahkan diri dan seluruh
kekuasaan untuk kepentingan bersama, di bawah pimpinan
tertinggi yaitu kehendak umum, dan di dalam korps kita
menerima setiap anggota sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
keseluruhan. .... Pribadi sosial yang dibentuk sedemikian itu oleh
penyatuan semua pribadi, dahulu disebut Negara kota, sedangkan
sekarang disebut Republik atau korps politik. Sebagai korps yang
pasif disebut Negara oleh anggotanya, sebagai korps yang aktif
disebut Souverain, dan disebut kekuasaan apabila dibandingkan
dengan korps-korps yang sejenis.”122

Secara filosofis, kehendak umum sejatinya adalah gagasan


bahwa kekuasaan tidak dapat dijalankan oleh kehendak pribadi.
Dengan kata lain kekuasaan harus dibatasi, sehingga manifestasi
dari kehendak umum adalah hukum. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Kant bahwa individu hanya menaati hukum yang diamini
secara rasional dan kolektif. Hukum mendapatkan kekuatannya
apabila dikehendaki sebagai aturan umum. 123 Dari rangkaian
logika diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum baru akan
menjadi kedaulatan tertinggi bila hukum itu sudah sesuai dengan
kehendak umum sebagai manifestasi kedaulatan rakyat.
Bila dihubungkan dengan konstruksi ini, maka kaitan antara
putusan Mahkamah Konstitusi dalam mekanisme pemakzulan

122
Jean Jacques Rousseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-Prinsip
Hukum Politik, terjemahan Ida Sundari Husen dan Rahayu Hidayat, Jakarta:
Dian Rakyat, 1989, hal. 16.
123
Donny Gahral Adian, Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan
Liberalisme, Depok: Penerbit Koekoesan, 2010, hal. 97.

75
dengan prinsip supremasi hukum adalah bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut baru akan memiliki kekuasaan
tertinggi bila sudah sejalan dengan kehendak umum rakyat.
Persoalannya adalah kehendak umum rakyat tersebut tidak lagi
dapat digambarkan dalam keputusan MPR. Sebab MPR tidak lagi
seperti dahulu sebelum perubahan UUD 1945 yang merupakan
penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia (vertretungsorgan des
willens des staatsvolkes) dan pelaksanaan kedaulatan rakyat pasca
perubahan UUD 1945 adalah didistribusikan secara langsung
kepada tiap lembaga tinggi negara sebagaimana dimaksud
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Polemik selanjutnya timbul ketika kenyataan sosiologis berbicara
bahwa MPR kini tidak lagi merepresentasikan rakyat yang telah
memilihnya, tarik ulur dalam pengambilan keputusan selama ini
hanya berdasarkan kepentingan partai politik yang ada di
belakang mereka. Terlebih yang menjadi alasan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah alasan hukum, tentunya
putusan Mahkamah Konstitusi merupakan parameter yang jelas
dan menjadi realistis bila turut mengikat MPR sebagai pertanda
kuatnya mekanisme checks and balances antar lembaga negara.

Penutup
Berdasarkan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa Mekanisme pemakzulan
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 relatif belum sejalan
dengan prinsip supremasi hukum dan mekanisme hukum tata
negara dalam proses ini turut dicampuri oleh mekanisme politik.
Sehingga mekanisme checks and balances dalam proses ini belum
terjadi. Belum sejalannya mekanisme pemakzulan dengan prinsip
supremasi hukum disebabkan karena hakikat pemakzulan sebagai

76
pelaksanaan fungsi pengawasan sebagai pertanda adanya
mekanisme checks and balances menjadi sumir akibat putusan
Mahkamah Konstitusi yang dijadikan jembatan dalam mekanisme
tersebut tidak secara eksplisit ditentukan turut mengikat bagi
MPR dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Pengawasan tersebut adalah pengawasan terhadap
pelanggaran hukum tata negara yang dilakukan oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh
sebab itu pertanggungjawaban yang dilakukan oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden atas proses ini masuk dalam kategori
pertanggungjawaban hukum tata negara.
Sekalipun mekanisme checks and balances tersebut belum
terjadi dengan sempurna karena MPR dimungkinkan memberikan
putusan yang berbeda dari putusan Mahkamah Konstitusi, akan
tetapi mekanisme yang ada tetaplah merupakan mekanisme
hukum tata negara. Sebab pemakzulan terjadi dalam rangka
pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap eksekutif sebagai bagian
dari mekanisme checks and balances yang merupakan sendi dari
prinsip supremasi hukum. Hanya saja karena MPR dimungkinkan
memberikan putusan yang berbeda, maka mekanisme hukum tata
negara dalam proses pemakzulan juga dicampuri oleh mekanisme
politik. Hal ini menjadi persoalan ketika pemakzulan yang
merupakan manifestasi dari pengawasan hukum tata negara
dimaksudkan dalam rangka pertanggungjawaban hukum tata
negara. Sehingga untuk mekanisme politik seharusnya cukup
diletakkan dalam menjalankan fungsi pengawasan politik
(pengawasan atas kebijakan) dalam rangka pertanggungjawaban
politik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sekalipun mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau Wakil
Presiden di Indonesia pasca perubahan UUD 1945 masih

77
memiliki kekurangan bila disandingkan dengan prinsip checks
and balances dalam konsep negara hukum. Namun secara garis
besar setidaknya proses tersebut menjadi koreksi atas proses
sebelumnya ketika belum diadakan perubahan UUD 1945.
Pembenahan sistem lebih lanjut tidak dapat dilakukan dengan
melakukan perubahan Undang-Undang Makhamah Konstitusi,
Tata Tertib DPR, Peraturan Mahkamah Konstitusi maupun
peraturan-peraturan terkait lainnya, melainkan dengan melakukan
perubahan UUD 1945 kembali dengan menyempurnakan proses
pemakzulan di Indonesia. Penyempurnaan tersebut tentu haruslah
menempatkan pelaksanaan-pelaksanaan fungsi DPR, Putusan
Mahkamah Konsitusi serta Putusan MPR sebagai satu kesatuan
yang linear dan utuh apabila kemudian MPR tetap
mempertahankan gagasan checks and balances dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia.

78
DAFTAR PUSTAKA

Adam, Asvi Warman. Pelurusan Sejarah Indonesia. Yogyakarta:


Ombak, 2007.
Adian, Donny Gahral. Demokrasi Substansial: Risalah
Kebangkrutan Liberalisme. Depok: Penerbit Koekoesan,
2010.
Asshiddiqie, Jimly. Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam
Perspektif Perubahan UUD 1945, (Makalah untuk Seminar
Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil
Perubahan, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia),
Jakarta, 2006.
-------, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta:
Konstitusi Press, 2006.
-------, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007.
Asshiddiqie, Jimly, et al. Gagasan Perubahan UUD 1945 dan
Pemilihan Presiden secara Langsung. Jakarta: Sekretaris
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Atmoredjo, Sudjito bin. Negara Hukum dalam Perspektif
Pancasila (Makalah untuk Kongres Pancasila, Kerjasama
Mahkamah Konstitusi RI dan Universitas Gadjah Mada),
Yogyakarta, 2009.
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum:
Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Dicey, AV. Pengantar Studi Hukum Konstitusi (Introduction to
the Study of the Constitution), diterjemahkan oleh Nurhadi.
Bandung: Nusamedia, 2007.

79
Fadjar, Abdul Mukthie. Tipe Negara Hukum. Malang:
Bayumedia, 2005
Firdaus. Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum
Demokrasi. Bandung: Yrama Widya, 2007.
Hamzah, Teuku Amir. Ilmu Negara: Kuliah-Kuliah Padmo
Wahjono, SH. Jakarta: Indo Hill Co., 2003.
Hatta, Mohammad. Kedaulatan Rakyat. Surabaya: Usaha
Nasional, 1980.
Http://gunawantauda.wordpress.com/2010/03/14/pembatasan-
kekuasaan/ diakses pada Rabu, 12 Juni 2013
Http://masnurmarzuki.blogspot.com/2011/12/pemisahan-
kekuasaan-dan-prinsip-checks.html diakses pada Rabu, 12
Juni 2013
Http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/11/menyimak-
kembali-checks-and-balances.html diakses pada Rabu, 12
Juni 2013
Indrayana, Denny. Perubahan UUD 1945: Antara Mitos dan
Pembongkaran. Bandung: Mizan, 2007.
Koesnardi, Moh. dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara. Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2000.
Koesnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983.
Kurde, Nukthoh Arfawie. Telaah Kritis Teori Negara Hukum.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Madjid, Nurcholish. Menata Kembali Kehidupan Bermasyarakat
dan Bernegara. Jurnal Dialog Peradaban, Volume 2 Nomor
1. Juli-Desember 2009.
Mahfud MD, Mohammad. Dasar & Struktur Ketatanegaraan
Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.

80
-------, Komisi Yudisial Dalam Mosaik Ketatanegaraan Kita,
dalam Saiful Rachman, et al, (editor), Bunga Rampai Komisi
Yudisial Dan Reformasi Peradilan. Jakarta: Komisi Yudisial
Republik Indonesia, 2007.
-------, Perdebatan Hukum Tata Negara: Pasca Perubahan
Konstitusi. Jakarta: LP3ES, 2007.
-------, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum
Nasional, (Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan
Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Perubahan. Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM
Republik Indonesia), Jakarta, 2006.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan
Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal,
dan Ayat. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008.
Marzuki, Mohammad Laica. Berjalan-Jalan di Ranah Hukum.
Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, 2006.
Mertosuwignyo, Sri Soemantri. Kapabilitas Dewan Perwakilan
Rakyat Dalam Menjalankan Mekanisme “Check And
Balances” Dalam Hubungan Antara Eksekutif Dan
Legislatif, (Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan
Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Perubahan. Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM
Republik Indonesia), Jakarta, 2006.
Murtopo, Ali. Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Bidang
Impeachment Presiden di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum,
Volume 3 Nomor 1. Februari 2006.
Permadi, Iwan. Impeachment MK terhadap Presiden dan
Kekuasaan Mayoritas di MPR. Jurnal Konstitusi, Volume 4
Nomor 3. September 2007.

81
Rahardjo, Satjipto. 58 Tahun Negara Hukum Indonesia, Negara
Hukum, Proyek yang Belum Selesai. Kompas, 11 Agustus
2003.
Rousseau, Jean Jacques. Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-
Prinsip Hukum Politik (Du Contrat Social), diterjemahkan
oleh Ida Sundari Husen dan Rahayu Hidayat. Jakarta: Dian
Rakyat, 1989.
Soehino, Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 2004.
Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan
UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,
Buku VI: Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Sekretaris
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2008
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Dasar 1945
Wasito, Wiwik Budi. Demokrasi dan Nomokrasi dibangun secara
Intrerdependen, Majalah Konstitusi, No. 34. November
2009.
Wiyanto, Andy. Pertanggungjawaban Presiden dan Mahkamah
Konstitusi. Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 3. Juni 2010.
Zoelva, Hamdan. Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana
Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945. Jakarta:
Konstitusi Press, 2005.

82
KEKUASAAN MEMBENTUK UNDANG-UNDANG
DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIL
SETELAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR
1945124

Abstrak
Perubahan UUD 1945 membawa pergeseran paradigma hubungan antar
lembaga negara di Indonesia. Termasuk pembagian kekuasaan dalam
membentuk undang-undang setelah perubahan UUD 1945 juga
mengalami perubahan secara signifikan. Namun pergeseran kekuasaan
tersebut, bukan berarti tanpa kelemahan konseptual. Pendulum
kekuasaan yang tadinya dominan eksekutif, kini menjadi dominan DPR.
Gagasan untuk membatasi kekuasaan tersebut, ternyata belum mampu
diaplikasikan dalam sebuah norma. Selain karena Presiden masih secara
aktif memiliki kekuasaan dalam membentuk undang-undang, kekuasaan
membentuk undang-undang yang dimiliki DPD juga minimalis. Secara
konseptual dalam sistem pemerintahan presidensil, kekuasaan
membentuk undang-undang haruslah ditempatkan sebagai kekuasaan
yang dimiliki legislatif. Sehingga terdapat pembagian kekuasaan yang
seimbang dalam lembaga legislatif, yaitu DPR dan DPD. Sedangkan
kedudukan Presiden dalam kekuasaan membentuk undang-undang
haruslah ditempatkan sebagai pengejawantahan atas prinsip checks and
balances. Oleh karena itu, pembagian kekuasaan untuk membentuk
undang-undang masih harus diperlukan penyempurnaan. Tulisan ini
berusaha untuk menjawab tantangan tesebut dan berupaya untuk
bagaimana menggagas format yang lebih baik lagi kedepannya.

Kata Kunci: pembagian kekuasaan, checks and balances, presidensil

124
Publikasi pada Jurnal Negara Hukum – Volume 6 Nomor 2,
November 2015

83
Abstract
The amendment of 1945 Constitution of the Republic Indonesia
brought a paradigm shift relationship between state institutions in
Indonesia. It includes the division of power in forming of laws by the
constitution after its changing significantly. However, the power
shifting itself is without conceptual weakness. Those empower people
tends to be dominant executive at first then now become the dominant in
House of Representatives (DPR). The idea to limit the power actually
has not been able to be applied in a norm. In addition, the President
still has the power actively in forming the laws, the Regional
Representative Council (DPD)’s power to make its laws is still weak. It
conceptually in the presidential govermental system that the power to
make laws should be placed as legislative’s power. So, there will be a
balance power distribution of the legislative institution both House of
Representatives (DPR) and Regional Representative Council (DPD).
Therefore, the position of the President’s power to make the laws
should be placed as the implementation on checks and balances system.
Hence, the division of power to form the laws is still perfection needed.
This paper tries to answer those challenge and seeks to find the answer
on how to initiate a better format in the future.

Keywords: division of power, checks and balances, presidential

Pendahuluan
1. Latar Belakang
Kekuasaan dalam membentuk undang-undang sebelum
perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) tidak hanya
berkenaan dengan ketentuan Pasal 5 Ayat (1)125 dan Penjelasan

125
Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 merumuskan bahwa “Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.”

84
UUD 1945126 saja. Sebab kekuasaan membentuk undang-undang
berimplikasi tidak hanya pada undang-undang itu sendiri, namun
juga erat hubungannya dengan segi lain dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Nilai pentingnya kekuasaaan
membentuk undang-undang, karena kekuasaan ini juga
melingkupi kekuasaan menetapkan APBN, sebagai fungsi
anggaran yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Seperti diatur dalam Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945, bahwa APBN
ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang, dan apabila DPR
tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka
pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu. Ketentuan ini
dalam Penjelasan UUD 1945 ditegaskan kembali. Penjelasan juga
menggambarkan bahwa Indonesia bukanlah negara fasis,
melainkan negara demokrasi yang berdasarkan kedaulatan rakyat.
Hal itu dapat terlihat dengan jelas dalam Penjelasan UUD 1945
sebagai berikut:
“Cara menetapkan anggaran dan belanja adalah suatu ukuran bagi
sifat pemerintah negara.
Dalam negara yang berdasar facisme, anggaran itu ditetapkan
semata-mata oleh pemerintah.
Tetapi dalam negara demokrasi atau dalam negara yang
berdasarkan kedaulatan rakyat, seperti Republik Indonesia,
anggaran pendapatan dan belanja itu ditetapkan dengan undang-
undang. Artinya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Nilai pentingnya kekuasaan membentuk undang-undang


juga tampak dari hal-hal yang harus diatur undang-undang atas

126
Penjelasan Pasal 5 Ayat (1) menunjukkan bahwa “Kecuali “executive
power”, Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat
menjalankan “legislative power” dalam negara.”

85
perintah UUD 1945. Adapun hal-hal tersebut, dalam penelusuran
Penulis terkait dengan:
a. Susunan keanggotaan MPR;
b. Syarat-syarat dan akibat dari keadaan bahaya;
c. Susunan Dewan Pertimbangan Agung (DPA);
d. Pembagian daerah Indonesia dengan bentuk susunan
pemerintahannya;
e. Susunan DPR;
f. APBN;
g. Pajak;
h. Macam dan harga mata uang;
i. Hal keuangan negara;
j. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
k. Kekuasaan kehakiman;
l. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman;
m. Syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai
hakim;
n. Warga Negara Indonesia (WNI);
o. Syarat-syarat mengenai kewarganegaraan;
p. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan;
q. Syarat-syarat pembelaan negara; dan
r. Sistem pengajaran nasional.

Dalam hemat Penulis, kedelapanbelas hal yang harus diatur


undang-undang atas perintah UUD 1945 itu dapat diklasifikasikan
menjadi empat kelompok besar. Kelompok pertama adalah
undang-undang yang harus mengatur hal-hal seputar lembaga
negara seperti (1) susunan keanggotaan MPR, (2) susunan DPA,
(3) susunan DPR, (4) BPK, (5) kekuasaan kehakiman, (6) susunan
dan kekuasaan badan-badan kehakiman, dan (7) syarat-syarat

86
untuk menjadi dan diberhentikan sebagai hakim. Sedangkan
kelompok kedua adalah undang-undang yang harus mengatur hal-
hal seputar kekuasaan pemerintahan negara seperti (1) syarat-
syarat dan akibat dari keadaan bahaya, (2) APBN, (3) macam dan
harga mata uang, (4) hal keuangan negara, dan (5) sistem
pengajaran nasional. Selanjutnya kelompok ketiga yaitu undang-
undang yang harus mengatur hal-hal seputar hubungan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah seperti pembagian
daerah Indonesia dengan bentuk susunan pemerintahannya. Dan
terakhir kelompok keempat yaitu undang-undang yang harus
mengatur hal-hal seputar hubungan antara negara dengan warga
negara seperti (1) pajak, (2) WNI, (3) syarat-syarat mengenai
kewarganegaraan, (4) kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan (5) syarat-
syarat pembelaan negara. Untuk memudahkan pemahaman, uraian
tersebut akan dijabarkan dalam tabel berikut:
Tabel 1
Klasifikasi Isi Undang-Undang atas Perintah UUD 1945127
Mengatur Kekuasaan
Mengatur Lembaga Negara
Pemerintahan Negara
a. Susunan keanggotaan MPR a. Syarat-syarat dan akibat dari
b. Susunan DPA keadaan bahaya
c. Susunan DPR b. APBN
d. BPK c. Macam dan harga mata uang
e. Kekuasaan kehakiman d. Hal keuangan negara
f. Susunan dan kekuasaan e. Sistem pengajaran nasional
badan-badan kehakiman
g. Syarat untuk menjadi dan
diberhentikan sebagai hakim

127
Diolah oleh Penulis berdasarkan ketentuan dalam Batang Tubuh
UUD 1945.

87
Mengatur Hubungan antara
Mengatur Hubungan antara
Pemerintah Pusat dengan
Negara dengan Warga Negara
Pemerintah Daerah
a. Pembagian daerah Indonesia a. Pajak
dengan bentuk susunan b. WNI
pemerintahannya c. Syarat-syarat mengenai
kewarganegaraan
d. Kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan
tulisan
e. Syarat-syarat pembelaan
negara

Kekuasaan membentuk undang-undang bahkan juga


memiliki nilai penting dalam hal pembatasan kekuasaan. Karena
secara teoritis128 kekuasaan haruslah didasarkan menurut aturan,
disini undang-undang dapat diletakkan sebagai sebuah aturan atau
hukum. Sehingga pembagian kekuasaan dalam membentuk
undang-undang, begitu menentukan dalam memberi bentuk
checks and balances disamping bentuk yang diberikan undang-
undang dasar. Hal ini karena undang-undang juga berfungsi
sebagai pembatas kekuasaan pemerintahan. Sebagaimana
pemikiran yang diutarakan Jeremy Bentham bahwa dalam
menjalankan kekuasaan, hukum mencakup perkara-perkara yang
didalamnya membolehkan pelaksanaan kekuasaan tersebut.

128
Menurut Jeremy Bentham, salah satu cara untuk mencegah
penyalahgunaan wewenang adalah dengan “Menjalankan kekuasaan menurut
aturan dan formalitas” [Jeremy Bentham, Teori Perundang-Undangan (The
Theory of Legislation), diterjemahkan oleh Nurhadi, Bandung: Penerbit Nuansa
Cendekia dan Nusa Media, 2013, hal. 509.]

88
Dengan demikian hukum mengendalikan kekuasaan-kekuasaan
yang telah didelegasikan dan membatasi pelaksanaannya.129
Dengan demikian jelas terlihat bahwa kekuasaan untuk
membentuk undang-undang, secara substantif memiliki nilai yang
sangat strategis.130 Oleh karena itu secara prosedural, kekuasaan
itu haruslah diposisikan dengan tepat. Terdapat dua hal yang perlu
untuk dibahas terlebih dahulu terkait dengan prosedur membentuk
undang-undang, yang kekuasaannya diatur dalam ketentuan Pasal
5 Ayat (1) dan Penjelasan UUD 1945. Pertama berhubungan
dengan makna dari kekuasaan pembentukan undang-undang yang
berada pada Presiden, seperti yang dikatakan Pasal 5 Ayat (1).
Sedangkan kedua menyangkut makna dari kata bersama-sama
antara Presiden dan DPR dalam melaksanakan kekuasaan
legislatif, seperti yang ditegaskan Penjelasan UUD 1945.
Menurut Sri Soemantri, dari ketentuan Pasal 5 Ayat (1)
UUD 1945 yang menyatakan Presiden memegang kekuasaan
membentuk undang-undang dapat ditafsirkan bahwa inisiatif

129
Ibid.
130
Kekuasaan membentuk undang-undang secara substantif ini oleh A.
Hamid S. Attamimi disebut sebagai materi muatan undang-undang. Lebih
lanjut dikatakan bahwa terdapat sembilan butir materi muatan undang-undang,
yaitu: (1) yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD 1945 dan Tap MPR; (2)
yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945; (3) yang mengatur Hak Asasi
Manusia (HAM); (4) yang mengatur hak dan kewajiban warga negara; (5) yang
mengatur pembagian kekuasaan negara; (6) yang mengatur organisasi pokok
Lembaga Tertinggi Negara/ Tinggi Negara; (7) yang mengatur pembagian
wilayah atau daerah negara; (8) yang mengatur siapa warga negara dan cara
memperoleh/ kehilangan kewarganegaraan; dan (9) yang dinyatakan oleh suatu
undang-undang untuk diatur dengan undang-undang. [Maria Farida Indrati
Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar Pembentukannya,
Yogyakarta: Kanisius, 1998, hal. 130.]

89
merancang undang-undang berasal dari Presiden.131 Pendapat
yang sama juga dikemukakan oleh M. Solly Lubis, menurutnya
selain memperlihatkan inisiatif untuk merancang undang-undang,
substansi Pasal 5 ayat (1) juga menggambarkan kedudukan
Presiden dan DPR dalam pembentukan undang-undang.
Kedudukan DPR, tidaklah di atas Presiden atau di bawah
Presiden, tetapi sejajar untuk bekerja sama dalam pembentukan
undang-undang.132 Perihal kekuasaan pembentukan undang-
undang tersebut Jimly Asshiddiqie merasionalisasikan bahwa:
“ .... pemerintahlah yang sesungguhnya paling banyak mengetahui
mengenai kebutuhan untuk membuat suatu peraturan perundang-
undangan, karena birokrasi pemerintah paling banyak menguasai
informasi dan expertise yang diperlukan untuk itu. .... Karena itu,
dalam kaitannya dengan pengaturan soal ini menurut UUD 1945,
sebenarnya, ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang lama dapat dikatakan
sudah tepat, tinggal lagi meningkatkan fungsi kontrol DPR
terhadap pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.”133

Menyangkut persoalan kedua, yakni makna bersama-sama


dalam menjalankan kekuasaan legislatif, sebagaimana dikatakan
oleh Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih bahwa:
“Kerjasama antara Dewan dengan pemerintah hanya berlaku
dalam bidang legislatif saja. Kerja sama itu membuat produk
legislatifnya bisa dilaksanakan karena kekurangan-kekurangan
yang terdapat pada Dewan dapat diisi oleh pihak pemerintah
dengan keahliannya atau dengan pengalamannya yang bersifat
rutin. Sebaliknya dengan adanya partnership itu pemerintah tidak

131
Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negera Menurut UUD
1945, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 63.
132
M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-Undangan,
Bandung: Mandar Maju, 1989, hal. 11.
133
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran
Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press, 2004, hal. 188.

90
bisa membuat peraturan dengan sewenang-wenang karena Dewan
akan membatasinya dengan mengemukakan kepentingan rakyat.
Kerja sama itu mengandung maksud yang praktis, akan tetapi ia
hanya terbatas pada pembuatan Undang-undang saja. Dalam
pelaksanaan Undang-undang selanjutnya pihak Dewan
Perwakilan Rakyat mengambil posisi sebagai pengawas terhadap
pemerintah. Dalam hal ini sewajarnya kerja sama sudah tidak
berlaku lagi berhubung kerja sama itu akan melemahkan Dewan
sebagai pengawas.”134

Selain itu, juga dijelaskan oleh Maria Farida Indrati


Soeprapto yang mengutip pendapat Attamimi sebagai berikut:
“ …. bahwa perkataan bersama-sama dalam bahasa Indonesia
berarti berbarengan dengan atau serentak, sehingga dengan
demikian berarti bahwa Presiden dalam menjalankan legislative
power, yakni dalam hal pembentukan Undang-undang,
Presidenlah yang melaksanakan kekuasaan pembentukannya,
sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat melaksanakan (pemberian)
persetujuannya dengan berbarengan, serentak bersama-sama.
Dengan demikian, menjadi jelas kewenangan pembentukan
Undang-undang tetap pada Presiden; dan kewenangan pemberian
persetujuan tetap pada Dewan Perwakilan Rakyat. Agar Undang-
undang itu dapat terbentuk, kedua wewenang tersebut
dilaksanakan bersama-sama, berbarengan, serentak.”135

Pendapat Attamimi tersebut sudah tepat bila dihubungkan


dengan ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan
bahwa “Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.” Kemudian dalam ayat (2) disebutkan
bahwa Jika “Sesuatu rancangan undang-undang tidak mendapat

134
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian
Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Gramedia,
1980, hal. 75.
135
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, hal. 64-
65.

91
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak
boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan
Rakyat masa itu.”
Bila diperhatikan dari substansi Pasal tersebut, terlihat
bahwa persetujuan DPR sangat penting agar rancangan undang-
undang dapat menjadi undang-undang. Begitu pula dalam Pasal
berikutnya, di samping memberikan hak kepada Anggota DPR
untuk mengajukan rancangan undang-undang, juga mengatur
tentang hak tolak Presiden sebagaimana yang ditegaskan Pasal 21
ayat (2) yang mengatakan “Jika rancangan itu, meskipun disetujui
oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden,
maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam
persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.”
Ketentuan Pasal 20 ayat (2) dan 21 ayat (2) sepintas
memperlihatkan adanya checks and balances antara DPR dan
Presiden. Kedua lembaga ini, sama-sama dapat menolak
memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang. DPR
dapat menolak rancangan undang-undang dari Presiden dan
Presiden pun dapat menolak rancangan undang-undang yang
diajukan DPR. Namun menurut Dahlan Thaib tidak ada
perimbangan kekuasaan antara Presiden dengan DPR. Dari segi
praktik dalam pengajuan rancangan undang-undang, ada gejala
Presiden dalam kedudukannya sebagai legislative partner lebih
menonjol. Dominasi Presiden dibandingkan DPR, disebabkan
alasan-alasan sebagai berikut:136
a. DPR memerlukan waktu yang lama untuk mengajukan
rancangan undang-undang kepada Presiden;

136
Dahlan Thaib, DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,
Yogyakarta: Liberty, 1994, hal. 46-47.

92
b. DPR mewakili berbagai kepentingan, sehingga lebih
heterogen daripada Pemerintah;
c. Pemerintah lebih ahli dan berpengalaman dibandingkan
DPR;
d. Khusus terhadap rancangan APBN, DPR berada dalam
posisi lemah. Di samping sempitnya waktu dalam
pembahasan, juga disangsikan keahlian Anggota DPR dalam
memberikan tanggapan terhadap rancangan APBN itu; dan
e. Kedudukan Pemerintah yang tidak tergantung kepada
vertrounwensyvotum (kepercayaan) dari DPR.

Dominasi Presiden juga dicatat oleh Ismail Suny yang


mengatatkan bahwa dalam masa demokrasi Pancasila DPR
perannya kurang memadai. Karena ternyata sejak tahun 1971
hingga 1998, DPR tidak lebih dari hanya menyetujui dan tidak
mengajukan usul inisiatif karena dominannya Presiden.137
Menurut Yusril Ihza Mahendra, alasan mengapa DPR sukar untuk
mengajukan usul inisiatif, konon disebabkan karena keberadaan
Peraturan Tata Tertib DPR yang mengharuskan inisiatif itu datang
dari 20 pengusul yang tidak berasal dari satu fraksi.138
Kekuasaan Presiden yang terlalu besar tersebut, merupakan
salah satu bukti atas lemahnya UUD 1945 sebelum perubahan.
Sebagaimana dikatakan oleh Valina Singka Subekti, bahwa UUD
1945 merupakan salah satu konstitusi yang paling singkat dan
sederhana di dunia. Dengan konstitusi yang singkat dan sederhana

137
Nomensen Sinamo, Hukum Tata Negara: Suatu Kajian Kritis tentang
Kelembagaan Negara, Jakarta: Jala Permata Aksara, 2010, hal. 52.
138
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi
Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Jakarta:
Gema Insani Press, 1996, hal. 142.

93
itu harus diatur lima unsur, yaitu kekuasaan Negara, hak rakyat,
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.139 Menurut Ni’matul
Huda, kelemahan UUD 1945 dapat diketahui antara lain, (1) UUD
1945 memberikan kekuasaan eksekutif terlalu besar tanpa disertai
oleh prinsip checks and balances yang memadai, (2) rumusan
ketentuan UUD 1945 banyak yang menimbulkan multitafsir,140
(3) unsur-unsur konstitusionalisme tidak dielaborasi secara
memadai dalam UUD 1945, (4) UUD 1945 terlalu menekankan
pada semangat penyelenggara Negara, (5) UUD 1945 memberi
atribusi kewenangan yang terlampau besar kepada Presiden untuk
mengatur berbagai hal yang penting dengan undang-undang, (6)
banyak materi muatan UUD 1945 yang penting tetapi justru diatur
dalam Penjelasan, dan (7) status dan materi Penjelasan UUD 1945
yang tidak diatur dalam pasal-pasal UUD 1945.141 Oleh karena
kelemahan itu, mekanisme pembatasan kekuasaan dalam negara
hukum menjadi tumpul. Hingga kemudian upaya untuk
melakukan perubahan UUD 1945 berhasil diwujudkan pasca
reformasi tahun 1998.142

139
Valina Singka Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan
Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2008, hal. 1.
140
Hal ini menguntungkan penguasa, menurut Moh. Mahfud MD tafsir
yang harus diterima adalah tafsir yang dikeluarkan Presiden, sebagai
konsekuensi dari kuatnya Presiden sebagai sentral kekuasaan (executive heavy).
[Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2003, hal. 149.]
141
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2006, hal. 142-143.
142
A.M. Fatwa yang terlibat langsung dalam proses perubahan UUD
1945 menangkap salah satu latar belakangnya adalah “karena konstitusi ini
kurang memenuhi aspirasi demokrasi, termasuk dalam meningkatkan
kemampuan untuk mewadahi pluralisme dan mengelola konflik yang timbul
karenanya. Lemahnya checks and balances antarlembaga negara, antarpusat-

94
Setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), kekuasaan
negara didistribusikan langsung pada tiap-tiap lembaga negara
dengan harapan akan menciptakan mekanisme checks and
balances yang lebih sempurna dari pada ketentuan UUD 1945.143
Konsekuensi logis dari perubahan UUD 1945 dengan tidak
adanya lagi lembaga tertinggi negara adalah bahwa setiap
lembaga tinggi negara memiliki kedudukan yang sama tinggi
dengan kewenangannya masing-masing. Dengan kewenangannya
itu terjadi mekanisme check and balances pada tiap-tiap lembaga
negara. Mekanisme check and balances dimaksudkan agar dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia terjadi pembatasan kekuasaan
pada setiap lembaga negara, semua berjalan berdasar fungsinya
masing-masing yang saling mengimbangi dan mengawasi.
Fakta penting yang amat menentukan dalam sistem
pemerintahan yang diadopsi Indonesia setelah perubahan UUD
1945, adalah adanya salah satu kesepakatan dasar MPR untuk
mempertegas sistem pemerintahan presidensil. Kesepakatan dasar
ini bertujuan untuk memperkukuh sistem pemerintahan yang
stabil dan demokratis.144 Dalam kekuasaan membentuk undang-

daerah, ataupun antara negara dan masyarakat mengakibatkan mudahnya


muncul kekuasaan yang sentralistik, yang melahirkan ketidakadilan.” [A.M.
Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2009, hal. 1-2.]
143
Sebelum perubahan UUD 1945, MPR membagikan fungsi-fungsi
tertentu sebagai tugas dan wewenang lembaga-lembaga tinggi Negara yang ada
di bawahnya. [A.M. Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945,
hal. 10.]
144
Tim Kerja Sosialisasi MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR RI, 2012, hal. 19.

95
undang, juga dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang
dianutnya. Untuk itulah, pembagian kekuasaan dalam membentuk
undang-undang setelah perubahan UUD 1945 akan diuraikan
dalam tulisan ini.

2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan
sebelumnya, masalah yang akan diuraikan dalam tulisan ini
adalah bagaimana hubungan antara lembaga eksekutif dengan
lembaga legislatif dalam pembentukan undang-undang setelah
perubahan UUD 1945 di Indonesia?

3. Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif dalam pembentukan
undang-undang setelah perubahan UUD 1945 di Indonesia.
Pembagian kekusasaan tersebut penting untuk diketahui guna
menggagas format kelembagaan negara yang lebih baik di masa
mendatang.

Teori atau Kerangka Pemikiran


Menurut Sulardi, sistem pemerintahan dapat diartikan
sebagai suatu struktur yang terdiri dari fungsi legislatif, eksekutif
dan yudikatif yang saling berhubungan, bekerjasama dan
mempengaruhi satu sama lain. Dengan demikian, sistem
pemerintahan adalah cara kerja lembaga-lembaga negara dan
hubungannya satu sama lainnya.145 Sedangkan Ni’matul Huda
melihat sistem pemerintahan berdasarkan sifat hubungan antara

145
Sulardi, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, Malang:
Setara Press, 2012, hal. 45-46.

96
organ-organ yang diserahi kekuasaan yang ada di dalam negara,
khususnya berdasarkan sifat hubungan badan legislatif dengan
badan eksekutif.146
Selain itu, Syaiful Bakhri juga menuliskan bahwa sistem
pemerintahan itu “berdasarkan atas sifat hubungan antara badan
legislatif dengan badan eksekutif.”147 Namun lain halnya dengan
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih yang menggunakan istilah
bentuk pemerintahan untuk menjelaskan sistem pemerintahan.
Kedua pemikir tersebut mendefinisikannya sebagai “suatu sistem
yang berlaku dalam mengatur alat-alat perlengkapan negara dan
bagaimana hubungan antara alat-alat perlengkapan negara itu.”148
Dari berbagai definisi tersebut, Penulis menangkap bahwa
unsur hubungan antar lembaga negara merupakan kata kunci
dalam pendefinisian sistem pemerintahan. Sehingga uraian
tentang sistem pemerintahan amat berguna untuk mengetahui
hakikat hubungan antar lembaga negara, khususnya antara
legislatif dengan eksekutif. Dalam mengklasifikasikan sistem
pemerintahan, para ahli mempergunakan dasar ukuran yang
berbeda satu sama lain. Sehingga mungkin untuk suatu sistem
pemerintahan dengan sifat-sifatnya yang tertentu akan
dimasukkan kedalam suatu golongan, tetapi oleh ahli lainnya akan
dimasukkan kedalam golongan yang lain. 149
Misalnya C.F. Strong yang berdasarkan penilaian Saldi Isra
membagi sistem pemerintahan dalam kategori parliamentary

146
Ni’matul Huda, Ilmu Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hal. 252.
147
Syaiful Bakhri, Ilmu Negara dalam Konteks Negara Hukum Modern,
Yogyakarta: Total Media, 2010, hal. 183.
148
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2000, hal. 166.
149
Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Jakarta:
Rineka Cipta, 1990, hal. 67.

97
executive dan non-parliamentary executive atau the fixed
executive.150 Dikatakan oleh Saldi Isra pula bahwa pembagian
sistem pemerintahan menurut Giovanni Sartori lebih bervariasi
menjadi presidentialism, parliamentary system dan semi-
presidentialism. Selain itu, Arend Lijphard dengan meneliti pola-
pola demokrasi di 36 negara mengklasifikasikan sistem
pemerintahan menjadi parliamentary, presidential dan hybrid.151
Adapun Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengatakan
bahwa:
“Pada garis besarnya sistim pemerintahan yang dilakukan pada
negara-negara demokrasi menganut sistim parlementer atau sistim
Presidensiil. Tentu saja di antara kedua sistim ini masih terdapat
beberapa bentuk lainnya sebagai variasi, disebabkan situasi dan
kondisi yang berbeda yang melahirkan bentuk-bentuk semua
(quasi), karena jika dilihat dari salah satu sistim di atas, dia bukan
merupakan bentuk yang sebenarnya, misalnya quasi parlementer
atau quasi presidensiil.”152

Dalam pembahasan kerangka pemikiran selanjutnya,


pembahasan akan dibatasi secara spesifik hanya pada sistem
pemerintahan presidensil. Sedangkan untuk sistem pemerintahan
parlementer dan sistem pemerintahan campuran atau quasi tidak
akan dibahas secara spesifik dalam uraian selanjutnya.
Berdasarkan hemat Penulis, untuk pembahasan sistem

150
Dalam buku Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, kedua kategori
tersebut dibahas oleh C.F. Strong dalam Bab 11 tentang Eksekutif Parlementer
dan Bab 12 tentang Eksekutif Nonparlementer yang juga disebut eksekutif
tetap dalam pembahasannya.
151
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model
Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2010, hal. 24.
152
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia, Jakarta: Sinar Bakti, 1983, hal. 171.

98
pemerintahan parlementer cukup diuraikan sebagai pembanding,
karena justru setelah perubahan UUD 1945 terdapat kesepakatan
MPR untuk mempertegas sistem pemerintahan presidensil.
Sedangkan untuk sistem pemerintahan quasi, sangat relatif
tergantung pada kebutuhan tiap-tiap negara. Sehingga lingkupnya
sangat luas jika hendak diuraikan dalam tulisan ini. Selain itu
yang hendak ditemukan dalam penelitian ini adalah hakikat dari
sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia setelah
perubahan UUD 1945, yang menjadi ukuran untuk menilai
pembagian kekuasaan dalam membentuk undang-undang.
Sehingga parameter yang digunakan haruslah parameter yang
tegas, dalam hal ini adalah murni presidensil.
Sistem pemerintahan presidensil tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan ketatanegaraan Amerika Serikat yang merupakan
contoh ideal dalam sistem ini, karena memenuhi hampir semua
kriteria dalam sistem pemerintahan presidensil.153 Seperti
dinyatakan oleh C.F. Strong bahwa “Prinsip eksekutif
nonparlementer atau eksekutif tetap paling sempurna dicontohkan
pada kasus Amerika Serikat.”154 Bahkan menurut Margarito
Kamis, Amerika Serikat sejak tahun 1789 telah membentuk

153
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, hal. 31. Sedangkan Inggris
merupakan negara yang mengawali pembentukan dan praktik kekuasaan
parlemen. Dari Inggris organ parlemen muncul dan menyebar ke berbagai
belahan dunia. Dikatakan Saldi Isra bahwa I Made Pasek Diantha juga
mencatat bahwa dalam sejarah, Inggris adalah tempat kelahiran sistem
pemerintahan parlementer. Bahkan menurut Saldi Isra, Douglas V. Verney juga
mengatakan bahwa sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan yang
paling luas diterapkan di seluruh dunia. [Ibid, hal. 26.]
154
C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi
Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk (Modern Political Constitutions: An
Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form),
diterjemahkan oleh Derta Sri Widowatie, Bandung: Penerbit Nusa Media,
2013, hal. 358.

99
pemerintahan presidensil pertama di dunia. Karena itu dapat
disebut sebagai The Mother of Presidential System.155 Sehingga
tidak aneh jika Douglas V. Verney yang dikutip oleh Saldi Isra
menyarankan agar sebaiknya terlebih dahulu menelaah sistem
politik Amerika Serikat, jika hendak memulai kajian tentang
sistem presidensil.156
Menurut Penulis, gagasan sistem presidensil mulanya
beranjak dari rasa curiga terhadap kekuasaan penguasa dan
kebencian the framers of the constitutions Amerika Serikat
terhadap kolonialisme Inggris. Rasa skeptis dan nasionalisme
itulah yang memunculkan gagasan sistem presidensil dalam
pembahasan konstitusi Amerika Serikat, sebuah gagasan yang
revolusioner. Karena sekalipun diakui terpengaruh filsafat politik
Montesquieu dan Rousseau, namun kala itu tidak ada satupun
negara di belahan dunia yang mempraktekkannya sebagai
rujukan.157

155
Margarito Kamis, Jalan Panjang Konstitusionalisme Indonesia,
Malang: Setara Press, 2014, hal. 2. Margarito Kamis juga menyebutkan bahwa
Inggris patut menyandang predikat sebagai The Mother of The Parliamentary
Supremacy, dengan parlemen berbentuk dua kamar yang terdiri atas House of
Lord dan House of Common. [Ibid.]
156
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, hal. 31. Sebaliknya, Saldi
Isra juga mengutip Douglas V. Verney yang menyarankan bahwa analisa
tentang sistem pemerintahan parlementer sebaiknya dimulai dengan mengacu
pada berbagai lembaga dalam sisem politik Inggris. [Ibid, hal. 26.]
157
Hal ini berbeda dengan sistem parlementer. Seperti disampaikan
Soehino bahwa sistem kabinet parlementer Inggris bukanlah merupakan suatu
ciptaan yang disengaja, yang ditentukan dan diatur secara dogmatis dengan
terlebih dahulu menentukan peraturan perundang-undangannya baru kemudian
dilaksanakan. Melainkan suatu improvisasi atau suatu puncak atas
perkembangan sejarah ketatanegaraan Inggris yang bertitik tolak dari adagium
the king can do no wrong. [John Pieris, Pembatasan Konstitusional Kekuasaan
Presiden Republik Indonesia, Jakarta: Pelangi Cendekia, 2007, hal. 89.]

100
Sebagai rujukan, para framers of constitution itu hanya
memiliki gagasan pemisahan kekuasaan Montesquieu dan
kedaulatan rakyat Rousseau, sedangkan dalam praktik hanya
terdapat pemerintahan monarki absolut dan sistem parlementer
sebagai pembanding. Pilihan atas monarki absolut jelas ditentang.
Sedangkan untuk sistem parlementer juga ditolak, sebab dianggap
merupakan representasi dari bentuk pemerintahan monarki karena
diasosiasikan dengan sistem pemerintahan Inggris. Pilihan
akhirnya jatuh pada pemisahan kekuasaan untuk menghindari
absolutisme serta pemilihan kepala negara dan kepala
pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat. Secara historis,
itulah yang Penulis yakini sebagai akar dari sistem pemerintahan
presidensil.
Secara teoritis, menurut John Pieris kekuasaan presiden
dalam sistem pemerintahan presidensil sangat besar. Karena
selain sebagai kepala negara, presiden juga sebagai kepala
pemerintahan.158 Bahkan dengan merujuk pada para penyusun
Konstitusi Amerika Serikat, C.F. Strong merumuskan bahwa
terdapat konsep independensi eksekutif dari legislatif dalam
sistem presidensil. 159 Sebagaimana dinyatakan oleh Jack Bell
seperti dikutip Saldi Isra, hal itu terjadi karena sekalipun para

158
Ibid, hal. 97.
159
C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, hal. 358. Inilah
yang menjadi perbedaan mendasar antara sistem presidensil dengan sistem
parlementer. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, dalam sistem
parlementer hubungan antara eksekutif dan badan perwakilan sangat erat. Hal
ini disebabkan karena pertanggungjawaban para menteri dilakukan kepada
parlemen. Sehingga setiap kabinet yang dibentuk harus memperoleh dukungan
kepercayaan dengan suara yang terbanyak dari parlemen. Artinya kebijakan
pemerintah atau kabinet tidak boleh menyimpang dari apa yang dikehendaki
oleh parlemen. [Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia, hal. 172.]

101
perancang Konstitusi Amerika Serikat memilih presiden dan
menolak raja, namun presiden harus memiliki kekuatan yang
memadai untuk menyelesaikan rumitnya masalah bangsa. Karena
itu Saldi Isra juga mengutip Louis W. Koening, bahwa
dirancanglah konstitusi yang memberikan kekuasaan besar kepada
presiden namun dengan tetap menutup hadirnya pemimpin sejenis
raja yang tiran.160
Ni’matul Huda mencatat pendapat Alan R. Ball yang dikutip
Sri Soemantri bahwa sistem pemerintahan presidensil dinamakan
sebagai the presidential type of government. Adapun sistem
pemerintahan presidensil menurut Shepherd L. Witman dan John
J. Wuess yang dikutip Ni’matul Huda memiliki empat ciri
yaitu:161
1. Berdasarkan atas prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan.
2. Eksekutif tidak mempunyai kekuasaan untuk membubarkan
parlemen dan juga tidak mesti berhenti sewaktu kehilangan
dukungan dari mayoritas anggota parlemen.

160
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, hal. 32.
161
Ni’matul Huda, Ilmu Negara, hal. 254-255. Sedangkan sistem
pemerintahan parlementer, dinamakan Alan R. Ball dengan sebutan the
parliamentary types of government, dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) kepala
negara hanya memiliki kekuasaan nominal. Hal ini berarti bahwa kepala negara
hanya sebagai lambang/simbol dengan tugas-tugas yang bersifat formal,
sehingga pengaruh politik terhadap kehidupan negara sangat kecil, (2)
pemegang kekuasaan eksekutif yang sebenarnya adalah perdana menteri
bersama kabinetnya yang dibentuk melalui lembaga legislatif/parlemen.
Dengan demikian, kabinet sebagai pemegang kekuasaan eksekutif riil harus
bertanggungjawab kepada badan legislatif/parlemen dan harus meletakkan
jabatannya jika parlemen tidak mendukungnya, dan (3) badan legislatif dipilih
untuk bermacam-macam periode yang saat pemilihannya ditetapkan oleh
kepala negara atas saran dari perdana menteri. [Ibid, hal. 259-260.]

102
3. Tidak ada tanggungjawab yang timbal balik antara Presiden
dan kabinetnya, karena seluruh tanggung jawab tertuju pada
Presiden (sebagai kepala pemerintahan).
4. Presiden dipilih langsung oleh para pemilih.

Dalam perkembangannya, banyak negara yang menganut


sistem presidensil dalam pemerintahannya. Patrialis Akbar
dengan mengutip Christopher N. Lawrence,162 merinci sistem ini
terdapat pada lima negara di asia (Afganistan, Siprus, Filipina,
China, Korea Selatan), satu negara di eropa (Belarus), delapan
belas negara di amerika (Argentina, Bolivia, Brazil, Chili,
Kolombia, Kosta Rika, Republik Dominika, Meksiko, Amerika
Serikat, Panama, Peru, Uruguay, Venezuela, Ekuador, El
Salvador, Guatemala, Honduras, Nikaragua), dan enam negara di
afrika (Kenya, Seychelles, Nigeria, Tanzania, Uganda,
Zambia). 163

162
Patrialis Akbar, Hubungan Lembaga Kepresidenan dengan Dewan
Perwakilan Rakyat dan Veto Presiden, Yogyakarta: Total Media, 2013, hal. 49.
163
Di asia, Harun Alrasyid mencatat bahwa pemerintahan republik yang
dipimpin oleh seorang presiden dicangkokkan Amerika Serikat di Filipina pada
1935. Peristiwa itu terjadi ketika Filipina memperoleh kemerdekaan terbatas
dalam bentuk The Commonwealth of the Philippines dari Amerika Serikat.
Sementara di eropa, masih menurut Harun Alrasyid, Perancis sejak berakhirnya
Perang Dunia II sampai sekarang juga dipimpin oleh Presiden (juga menganut
sistem presidensil). Sedangkan di amerika, negara-negara di amerika tengah
dan amerika selatan merupakan kawasan yang paling luas diantara semua
kawasan dunia yang menggunakan sistem pemerintahan presidensil. Menurut
Saldi Isra, salah satu alasannya karena secara geografis negara-negara tersebut
lebih dekat dengan Amerika Serikat. Dan di afrika, juga menurut Saldi Isra,
Presiden Liberia pada 1848 merupakan presiden afrika pertama yang mendapat
pengakuan dunia internasional (juga menganut sistem presidensil). [Saldi Isra,
Pergeseran Fungsi Legislasi, hal. 33-34.]

103
Berdasarkan perkembangan tersebut, banyak ahli
menyampaikan beberapa karakteristik dari sistem pemerintahan
presidensil. Dari beberapa pendapat ahli itu, Saldi Isra
merangkum bahwa hampir semua ahli sepakat tentang
karakteristik utama dalam sistem presidensil adalah presiden yang
memegang fungsi ganda, yaitu sebagai kepala negara sekaligus
kepala pemerintahan.164 Diluar fungsi ganda itu, karakter sistem
presidensil dapat juga dilihat dari pola hubungan antara lembaga
eksekutif dengan lembaga legislatif. Pola hubungan itu sudah bisa
dilacak dengan adanya pemilihan umum yang terpisah untuk
memilih presiden dan memilih lembaga legislatif. Sehingga
terdapat pemisahan secara jelas antara pemegang kekuasaan
eksekutif dengan pemegang kekuasaan legislatif. Akibatnya
pembentukan pemerintah tidak tergantung pada proses politik di
lembaga legislatif.165
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim juga mengatakan
bahwa dalam sistem presidensil, kedudukan eksekutif tidak
tergantung kepada badan perwakilan rakyat. Adapun dasar hukum
dari kekuasaan eksekutif dikembalikan kepada pemilihan rakyat.
Sebagai kepala eksekutif, presiden menunjuk pembantu-
pembantunya yang akan memimpin departemennya masing-
masing dan bertanggungjawab hanya kepada presiden. Oleh

164
Ibid, hal. 40.
165
Ibid, hal. 40-41. Pola hubungan antara lembaga eksekutif dengan
lembaga legislatif dalam sistem presidensil itu sangat berbeda bila
dibandingkan dengan sistem parlementer. Menurut Saldi Isra, dalam sistem
parlementer disamping terdapat pemisahan antara jabatan kepala negara dengan
kepala pemerintahan, karakter paling mendasar dalam sistem parlementer
adalah tingginya tingkat depedensi atau ketergantungan eksekutif kepada
parlemen. Apalagi eksekutif tidak dipilih langsung oleh pemilih sebagaimana
pemilihan untuk aggota parlemen. Oleh karena itu parlemen menjadi pusat
kekuasaan dalam sistem parlementer. [Ibid, hal. 30-31.]

104
karena itu, pembentukan kabinet tidak tergantung dari badan
perwakilan rakyat atau tidak memerlukan dukungan kepercayaan
dari badan perwakilan rakyat. Sehingga para menteri tidak bisa
diberhentikan oleh badan perwakilan rakyat.166 Selain itu,
Ni’matul Huda juga menerangkan bahwa dalam sistem presidensil
kedudukan Presiden dan parlemen adalah sama kuat, karena baik
presiden maupun parlemen memperoleh legitimasi masing-
masing melalui pemilihan umum yang terpisah. Kedua lembaga
tersebut tidak bisa saling menjatuhkan atau membubarkan.167
Menurut Robert L. Madex sebagaimana dikutip Saldi Isra,
konsekuensinya adalah cabang kekuasaan eksekutif dan cabang
kekuasaan legislatif tidak membutuhkan hubungan kerjasama.
Singkatnya, the president has no formal relationship with the
legislature. Dengan adanya pola hubungan yang terpisah itu,
setidaknya terdapat empat keuntungan dasar dalam sistem ini.
Pertama, kekuasaan presiden menjadi lebih legitimate karena
mendapat mandat langsung dari para pemilih. Kedua, setiap
lembaga negara terutama antara pemegang kekuasaan eksekutif
dengan pemegang kekuasaan legislatif dapat melakukan
pengawasan untuk mencegah terjadinya penumpukan dan
penyalahgunaan kekuasaan. Ketiga, dengan posisi sentral dalam
jajaran eksekutif, presiden dapat mengambil kebijakan strategis
yang amat menentukan dengan cepat. Keempat, dengan masa
jabatan yang tetap posisi presiden jauh lebih stabil jika

166
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia, hal. 176.
167
Ni’matul Huda, Ilmu Negara, hal. 265.

105
dibandingkan dengan perdana menteri dalam sistem parlementer
yang dapat diberhentikan setiap waktu.168
Namun, Penulis lebih dekat dengan keyakinan RM. A.B.
Kusuma bahwa Trias Politika ala Montesquieu yang tidak
menghendaki kerjasama antara cabang kekuasaan eksekutif
dengan cabang kekuasaan legislatif tidak bisa dilaksanakan.
Bahkan, di Amerika Serikat sendiri separation of powers telah
dimodifikasi menjadi checks and balances agar terjadi
pemerintahan yang efektif. Dengan mengutip Neustadt, RM. A.B.
Kusuma melanjutkan bahwa rumusan baru sistem pemerintahan
di Amerika Serikat adalah a government of separated institutions
sharing power, atau seperti Jones yang mengatakannya sebagai a
government of separated institutions competing of shared
power.169

168
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, hal. 41-42. Arend Lijphart
seperti dikutip Ni’matul Huda juga menilai bahwa sistem presidensil memiliki
beberapa kelebihan. Pertama, stabilitas eksekutif yang didasarkan pada masa
jabatan presiden karena kabinet tidak tergantung pada mosi legislatif, sehingga
tidak dapat dijatuhkan setiap saat. Kedua, pemilihan kepala pemerintahan oleh
rakyat dapat dipandang lebih demokratis dari pemilihan tidak langsung. Ketiga,
pemisahan kekuasaan berarti pemerintahan yang dibatasi atau perlindungan
terhadap kebebasan individu atas tirani pemerintah. Selain itu, menurutnya
sistem presidensil juga memiliki beberapa kekurangan. Pertama, dapat terjadi
konflik antara eksekutif dengan legislatif yang bisa berubah menjadi jalan
buntu dan kebuntuan pemerintahan. Kedua, masa jabatan Presiden yang pasti
menguraikan periode-periode yang dibatasi secara kaku dan tidak
berkelanjutan. Sehingga tidak memberikan kesempatan untuk melakukan
berbagai penyesuaian yang dikehendaki oleh keadaan. Ketiga, sistem ini
berjalan atas aturan pemenang menguasai semua dan cenderung membuat
demokrasi sebagai sebuah permainan dengan semua potensi konfliknya.
[Ni’matul Huda, Ilmu Negara, hal. 255-257.]
169
A.B. Kusuma, Sistem Pemerintahan “Pendiri Negara” versus Sistem
Presidensiel “Orde Reformasi”, Depok: Badan Penerbit FH UI, 2011, hal. 16.

106
Analisis
Berkenaan dengan fungsi legislasi atau membentuk undang-
undang, menurut Jimly Asshiddiqie170 terdapat tiga hal penting
yang harus diatur, yaitu (1) pengaturan yang dapat mengurangi
kebebasan dan hak warga negara, (2) pengaturan yang dapat
membebani harta kekayaan warga negara, dan (3) pengaturan
mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara negara.
Fungsi tersebut berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan
peraturan yang mengikat warga negara dengan norma-norma
hukum yang mengikat dan membatasi. Selain itu, Jimly
Asshiddiqie juga menjelaskan bahwa fungsi legislasi atau
membentuk undang-undang juga menyangkut empat kegiatan
sebagai berikut:171
1. Prakarsa pembuatan undang-undang.
2. Pembahasan rancangan undang-undang.
3. Persetujuan atau pengesahan rancangan undang-undang.
4. Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas
perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-
dokumen hukum yang mengikat lainnya.

Pada dasarnya kekuasaan untuk membentuk undang-undang


merupakan kekuasaan yang dimiliki Presiden dan DPR. Karena
baik dalam sistem presidensil maupun parlementer, kekuasaan
membentuk undang-undang menjadi kekuasaan yang dimiliki
oleh lembaga eksekutif dan lembaga legislatif/parlemen. Hal yang
membedakan antara kedua sistem tersebut adalah pada hubungan
antar keduanya dalam kekuasaan membentuk undang-undang.

170
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II,
Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hal. 32-33.
171
Ibid, hal. 34.

107
Dalam UUD 1945 baik sebelum maupun setelah perubahan,
kekuasaan membentuk undang-undang juga dirumuskan menjadi
kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden dan DPR. Namun, hal
yang membedakan antara kedua undang-undang dasar ini, adalah
pada lembaga mana kekuasaan itu secara dominan dimiliki.
Jika dilihat dari sistematika UUD 1945, maka baik sebelum
maupun setelah perubahan, Pasal 5 yang mengatur kekuasaan
membentuk undang-undang masuk dalam Bab III tentang
Kekuasaan Pemerintahan Negara. Bab ini jika diamati isinya,
ternyata berisikan tentang segala hal tentang kekuasaan Presiden.
Sehingga substansi Pasal 5 sesungguhnya merupakan kekuasaan
membentuk undang-undang yang dimiliki Presiden disamping
DPR. Sebaliknya, baik sebelum maupun setelah perubahan UUD
1945, kekuasaan membentuk undang-undang juga diatur dalam
Pasal 20 DPR yang masuk pada Bab VII tentang DPR. Sehingga
secara substantif Pasal 20 sebenarnya juga merupakan kekuasaan
membentuk undang-undang yang dimiliki DPR disamping
Presiden.
Hal yang membedakan antara kedua undang-undang dasar
tersebut adalah, dalam UUD 1945 setelah perubahan telah terjadi
pergeseran kekuasaan dalam membentuk undang-undang dari
ketentuan sebelumnya. Pergeseran ini terjadi karena UUD NRI
1945 menempatkan DPR sebagai pemegang kekuasaan
membentuk undang-undang. Penempatan tersebut ditegaskan
dalam Pasal 20 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menegaskan
bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Pergeseran kekuasaan pembentukan undang-undang itu juga dapat
dibaca dengan adanya perubahan radikal Pasal 5 Ayat (1) UUD
NRI Tahun 1945 yang sebelumnya dirumuskan bahwa Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan

108
persetujuan DPR; diubah menjadi Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada DPR.
Akibat dari pergeseran itu adalah bergantinya dominanasi
presiden menjadi dominasi DPR dalam kekuasaan membentuk
undang-undang. Perubahan ini penting artinya karena undang-
undang adalah produk hukum yang paling dominan untuk
menerjemahkan rumusan-rumusan normatif yang terdapat dalam
UUD NRI Tahun 1945.
Kemudian perubahan Pasal 5 ayat (1) diikuti dengan
perubahan Pasal 20 UUD 1945 menjadi (1) DPR mempunyai
kekuasaan membentuk undang-undang. (2) setiap rancangan
undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat
persetujuan bersama. (3) jika rancangan undang-undang tidak
mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu
tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. (4)
presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. (5) dalam hal
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut
tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari sejak
rancangan undang-undang itu disetujui, rancangan undang-
undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan. 172 Agar mudah dipahami, perbedaan-berbedaan ini
akan diuraikan dengan tabel berikut:

172
Sebelum dilakukan perubahan, Pasal 20 UUD 1945 berbunyi (1)
Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR, dan (2) jika sesuatu
rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan DPR, maka rancangan
tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

109
Tabel 2
Perbedaan Kekuasaan Membentuk Undang-Undang173
Menurut UUD NRI
UUD 1945
Aspek Tahun 1945
Pemegang Kekuasaan
Presiden DPR
Membentuk Undang-
[Pasal 5 Ayat (1)] [Pasal 20 Ayat (1)]
Undang
DPR DPR dan Presiden
Persetujuan atas
[Pasal 5 Ayat (1) & (bersama-sama)
Undang-Undang
Pasal 20 Ayat (1)] [Pasal 20 Ayat (2)]

Upaya purifikasi sistem pemerintahan presidensil


sebagaimana kesepakatan dasar MPR saat proses perubahan UUD
1945, justru tidak terjadi pada fungsi legislasi. Hal ini
sebagaimana tercermin dalam Pasal 20 Ayat (2) dan (3) tersebut.
Dikatakan oleh Saldi Isra, frasa dibahas bersama dan persetujuan
bersama meneguhkan bahwa “dalam fungsi legislasi tidak ada
pemisahan kekuasaan yang jelas (no clear-cut separation of
powers) antara cabang kekuasaan eksekutif dan cabang kekuasaan
legislatif.”174 Adanya ketentuan ini sedikit berbeda jika
dibandingkan dengan Amerika Serikat, sebagai contoh ideal
dalam sistem pemerintahan presidensil sebagaimana kesimpulan
Saldi Isra.175
Sebab seperti dikatakan Sri Soemantri bahwa berdasarkan
atas asas pemisahan kekuasaan, kekuasaan membentuk undang-
undang di Amerika Serikat diatur oleh Konstitusinya dalam
Article One Section One yang menegaskan bahwa “All legislative

173
Diolah oleh Penulis berdasarkan ketentuan dalam Batang Tubuh
UUD 1945 dan Pasal-Pasal UUD NRI Tahun 1945.
174
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, hal. 224.
175
Ibid, hal. 31.

110
powers herein granted shall be vested in a Congress of the United
States, which shall consist of a Senate and House of
Representatives.”176 Namun meskipun seluruh kekuasaan
legislatif ada ditangan Kongres, Presiden sebagai perumus
kebijakan publik memiliki peran (kekuasaan) legislatif. Peran
tersebut ada karena Presiden dapat melakukan veto terhadap
rancangan undang-undang yang dibuat Kongres, kecuali bila dua
per tiga dari anggota senat maupun House of Representatives
menolak veto tersebut.177 Menurut Penulis dalam hal veto
tersebut, kekuasaan legislatif tetap ada pada Kongres. Karena veto
itu tidak dilakukan dalam rangka membagi kekuasaan legislatif
kepada lembaga eksekutif, seperti dalam sistem pemerintahan
parlementer. Adanya veto hanya merupakan penjewantahan dari
prinsip pengawasan dan keseimbangan (checks and balances)
yang juga dianut Amerika Serikat selain asas pemisahan
kekuasaan.
Sebagai pembanding, adanya ketentuan Pasal 20 Ayat (2)
dan (3) justru mirip dengan sistem pemerintahan parlementer
yang meletakkan kekuasaan perundang-undangan dilakukan oleh
pemerintah bersama-sama DPR. Hal itu seperti Indonesia ketika
berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS
1950). Usul mengajukan rancangan undang-undang dapat berasal
dari pemerintah dan dapat pula berasal dari DPR. Menurut Sri
Soemantri, kekuasaan perundang-undangan yang dilakukan oleh
pemerintah dan badan legislatif juga berlaku pada negara-negara
lain yang menganut sistem pemerintahan parlementer, seperti

176
Sri Soemantri, Hukum Tata Negara Indonesia: Pemikiran dan
Pandangan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014, hal. 204.
177
Nomensen Sinamo, Perbandingan Hukum Tata Negara, Jakarta: Jala
Permata Aksara, 2010, hal. 137.

111
Inggris dan Belanda. Hal ini sesuai dengan ciri yang berlaku pada
negara-negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer,
yaitu antara lain mengandung adanya atau berlakunya asas difusi
kekuasaan (fusion of powers) antara eksekutif dengan legislatif.178
Kemiripan juga terlihat jika disandingkan dengan sistem
parlementer Inggris yang melihat kekuasaan legislatif dari proses
pembuatan undang-undang yang terdiri dari tiga tahap. Pada
tahapan yang terakhir dapat dilihat bahwa kekuasaan legislatif
dilakukan oleh parlemen dan menteri-menteri. Bahkan, lembaga
negara lain dapat pula memberikan pertanyaan kepada para
menteri tersebut dalam pembahasan sebuah rancangan undang-
undang. Hal ini menurut Penulis merupakan bukti dari adanya
penerapan asas fusion of powers dalam sistem peerintahan
parlementer. Menurut Nomensen Sinamo, ketiga tahap dalam
proses pembuatan undang-undang tersebut yaitu:179
1. The Inspiration, yaitu ide atau isi undang-undang bisa
berasal dari berbagai sumber seperti partai politik,
departemen pemerintah, kelompok kepentingan, lembaga
penelitian, asosiasi perdagangan ataupun lembaga-lembaga
lainnya.
2. Formulation, yaitu formulasi dari isi undang-undang adalah
tanggungjawab para menteri dan Civil Service.180 Para
menteri menekankan pada keseluruhan aspek dari isi
undang-undang, sedangkan Civil Service bertanggungjawab
untuk mengerjakan detilnya. Dalam tahap ini akan diadakan

178
Sri Soemantri, Hukum Tata Negara Indonesia, hal. 203.
179
Nomensen Sinamo, Perbandingan Hukum Tata Negara, hal. 121-
122.
180
Civil Service adalah bentuk yang digunakan untuk menggambarkan
kantor pemerintah yang pekerjaannya dalam hal administrasi negara. [Ibid,
hlm. 121.]

112
konsultasi apabila rancangan undang-undang ditetapkan,
dan keduanya akan berkonsultasi dengan para pakar,
kelompok kepentingan, asosiasi-asosiasi, untuk membahas
rancangan undang-undang. Belum ada pembahasan dengan
parlemen dalam tahap ini. Ketika rancangan undang-undang
sudah dibuat draftnya dan disetujui oleh menteri yang
bersangkutan, baru kemudian diajukan ke parlemen.
3. Parliamentary Scrutiny, yaitu tahapan yang banyak
memberikan kesempatan kepada parlemen dan lembaga
negara lainnya untuk mengemukakan pandangan dan
pertanyaan kepada menteri-menteri secara umum dan juga
secara rinci dari suatu rancangan undang-undang.
Puncaknya adalah Royal Assent, setelah Act (undang-undang
baru) diterapkan.

Untuk lebih jelasnya, perbandingan dalam kekuasaan


membentuk undang-undang antara Indonesia dibawah UUD NRI
Tahun 1945 dengan Amerika Serikat, Indonesia dibawah UUDS
1950 dan Inggris akan disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 3
Perbandingan Kekuasaan Membentuk Undang-Undang181
Negara Indonesia
Indonesa
(UUD NRI Amerika
(UUDS Inggris
Tahun Serikat
1950)
Aspek 1945)
Pemegang Kongres Parlemen
Pemerintah
Kekuasaan (House of dan
DPR bersama-
Membentuk Representa menteri-
sama DPR
Undang- -tives dan menteri

181
Diolah oleh Penulis dari berbagai sumber.

113
Undang Senat)
Kongres
Persetujuan DPR dan Parlemen
(House of Pemerintah
atas Presiden dan
Representat bersama-
Undang- (bersama- menteri-
ives dan sama DPR
Undang sama) menteri
Senat)

Selain itu, pada sisi lain dalam perubahan kedua UUD 1945,
juga memunculkan ketentuan baru yang justru semakin
memperkokoh posisi DPR. Ketentuan itu dirumuskan dalam Pasal
20A UUD NRI Tahun 1945, yaitu (1) DPR memiliki fungsi
legislasi, fungsi anggaran,182 dan fungsi pengawasan.183 (2) Dalam
melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal
lain UUD ini, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket dan
hak menyatakan pendapat. (3) Selain hak yang diatur dalam pasal-
pasal lain UUD ini, setiap anggota DPR mempunyai hak
mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta
hak imunitas. (4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak DPR dan hak
anggota DPR diatur dalam undang-undang.
Khusus mengenai rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,

182
Dalam fungsi anggaran, jika diletakkan sebagai fungsi yang berdiri
sendiri, oleh Jimly Asshiddiqie dikritisi karena APBN itu dituangkan dalam
baju hukum undang-undang. Sehingga penyusunan APBN identik dengan
pembentukan undang-undang tentang APBN, meskipun rancangannya selalu
harus datang dari Presiden. [Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara, hal. 35.]
183
Dalam fungsi pengawasan, secara teoritis lembaga perwakilan rakyat
diberikan kewenangan untuk melakukan kontrol dalam tiga hal, yaitu (1)
kontrol atas pemerintahan, (2) kontrol atas pengeluaran, dan (3) kontrol atas
pemungutan pajak. [Ibid, hal. 36.]

114
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah; dapat diajukan oleh DPD kepada DPR dan DPD juga
memiliki kekuasaan untuk ikut membahas rancangan undang-
undang tersebut. Kemudian setelah rancangan undang-undang itu
disahkan, DPD juga memiliki kekuasaan untuk melakukan
pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tersebut. Kekuasaan
untuk mengajukan, ikut membahas dan mengawasi dimaksud
tertuang dalam Pasal 22D Ayat (1), (2) dan (3) UUD NRI Tahun
1945. Dalam pasal 22D Ayat (2) juga disebutkan bahwa DPD
memiliki kekuasaan untuk memberikan pertimbangan kepada
DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan
belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Bila ditelisik kembali, Pasal 20A Ayat (1) UUD NRI Tahun
1945 yang menyatakan bahwa DPR memiliki fungsi legislasi,
fungsi anggaran dan pengawasan, tidak hanya berakibat pada
pelemahan fungsi legislasi Presiden tetapi memunculkan
superioritas fungsi legislasi DPR terhadap DPD. Oleh karena itu
ruang untuk dapat mengajukan dan membahas rancangan
Undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagaimana dimaksud
Pasal 22 D ayat (1) dan (2) tidak cukup untuk mengatakan bahwa
DPD mempunyai fungsi legislasi. Bagaimanapun fungsi legilasi
harus di lihat secara utuh yaitu dimulai dari proses pengajuan
sampai menyetujui sebuah rancangan Undang-undang.
Sebagaimana dikatakan Jimliy Asshiddiqie bahwa fungsi legislasi
mencakup kegiatan mengkaji, merancang, membahas dan

115
mengesahkan Undang-undang.184 Perubahan Pasal 20 Ayat (1)
dan kehadiran Pasal 20A Ayat (1) memberi garis demarkasi yang
tegas bahwa kekuasaan membuat Undang-undang seakan hanya
menjadi monopoli DPR.
Menanggapi kekuasaan minimalis DPD itu, Muchammad
Ali Safa’at menilai bahwa “Paling tidak kekuasaan DPD harus
mencerminkan kedudukannya sebagai revising chamber yang
dapat menunda proses pembahasan RUU menjadi undang-
undang.”185 Sebagai contoh, seperti diutarakan oleh Mei Susanto
bahwa “Peningkatan kualitas produk hak budged parlemen
dengan diberlakukannya sistem bikameral yang relatif seimbang
antara DPR dan DPD sehingga memungkinkan adanya double
checks juga akan semakin meningkatkan kualitas demokrasi
perwakilan.”186
Penilaian itu muncul karena seperti dikatakan Slamet
Effendy Yusuf yang dikutip oleh King Faisal Sulaiman, bahwa
secara kelembagaan DPD dibentuk untuk menjawab tantangan
agar tidak munculnya hegemoni lembaga eksekutif dengan cara
menguatkan peran lembaga legislatif. Hal ini diharapkan akan
menciptakan prinsip checks and balances seperti dalam sistem
pemerintahan presidensil. Akan tetapi inkonsistensi justru terjadi
terhadap prinsip tersebut, dimana hanya menguatkan peran DPR

184
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran
Kekuasaan dalam UUD 1945, hal. 190.
185
Muchammad Ali Safa’at, Parlemen Bikameral: Studi Perbandingan
di Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Inggris, Austria, dan Indonesia,
Malang: UB Press, 2010, hal. 127.
186
Mei Susanto, Hak Budged Parlemen di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2013, hal. 246.

116
dan bukan dengan ikut pula memberi fungsi yang seimbang
terhadap DPD.187
Dengan kekuasaan legislasi DPD yang minimalis, DPD
tidak memiliki posisi tawar yang kuat dalam menentukan arah
legislasi Indonesia. Substansi keterwakilan daerah melalui DPD
adalah akomodasi kepentingan daerah yang dijamin secara
konstitusional dan dijabarkan dengan peraturan perundang-
undangan. Aspek struktural-fungsional ini cukup layak untuk
mendapat kritik, karena DPD tidak mempunyai otoritas
pembuatan peraturan perundang-undangan yang berimbang.
Beberapa anggota Dewan dan Majelis mengistilahkan realitas ini
sebagai “keterwakilan setengah hati”.188
Kekuasaan pembentukan undang-undang DPD sebaiknya
dikuatkan, agar fungsinya sebagai penyeimbang DPR dapat
dilaksanakan dengan lebih efektif. Fungsi pertimbangan yang saat
ini melekat kepada DPD, dalam hal-hal yang berkaitan dengan
daerah, sebaiknya ditingkatkan. Misalnya, dalam proses legislasi,
DPD tidak hanya terbatas memberikan pertimbangan, tetapi turut
mempunyai hak suara untuk menentukan lolos tidaknya RUU.
Sehingga, sistem parlemen Indonesia kedepan sebaiknya
mengarah pada sistem parlemen bikameral yang efektif.189
Dari hasil telaah sejumlah konstitusi (baik dengan sistem
pemerintahan presidensial dan pemerintahan parlementer, maupun
dengan sistem satu kamar dan sistem dua kamar di negara
kesatuan maupun federal) membuktikan bahwa presiden masih

187
King Faisal Sulaiman, Sistem Bikameral dalam Spektrum Lembaga
Parlemen Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, hal. 124.
188
Janedjri M. Gaffar, et al, Dewan Perwakilan Daerah, Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003, hal. 4.
189
DPD RI, Naskah Akademis Usulan Amandemen Komprehensif,
Jakarta: Sekretariat Jenderal DPD RI, tanpa tahun, hal. 6.

117
dapat mengajukan rancangan undang-undang, namun
keikusertaan presiden dalam pembahasan rancangan undang
dengan lembaga perwakilan rakyat (parlemen) tidak seperti di
Indonesia. Pada semua negara, persetujuan menjadi hak ekskulsif
lembaga perwakilan rakyat (lembaga legislatif). Bahkan di
Mauritinia, meski inisiasi dapat berasal dari pemerintah dan
parlemen, pembahasan (perdebatan) rancangan undang-undang
dilakukan oleh pemerintah (Council of Ministers), namun
pesetujuan tetap menjadi hak ekslusif parlemen. 190
Dengan norma dasar setelah perubahan tersebut, prinsip
checks and balances sebagai ekses dari adanya pembagian
kekuasaan antara Presiden dan DPR masih terlihat dalam
pembentukan undang-undang, bahkan melebihi kekuasaan
eksekutif berdasarkan teori Montesquieu. Sekalipun pendulum
kekuasaan pembentukan undang-undang telah digeser menjadi
kewenangan yang dimiliki DPR, menurut pertimbangan Saldi Isra
pendapat tersebut hanya dapat dibenarkan dari perubahan bunyi
teks yang terdapat dalam UUD 1945 hasil perubahan. Namun jika
diletakkan dalam pengertian legislation is an aggregate, not a
simple production, tidak tepat mengatakan bahwa kekuasaan
membentuk undang-undang sepenuhnya ada pada DPR atau
Presiden bukan lagi pemegang kekuasaan pembentukan undang-
undang. Karena presiden berhak mengajukan rancangan undang-
undang kepada DPR, Presiden tetap menjadi bagian dari proses
legislasi. 191 Lebih jelasnya, perubahan ini menunjukkan bahwa

190
Ibid, hal. 21.
191
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, hal. 323.

118
kedudukan Presiden dalam membentuk undang-undang tidak lagi
pada posisi yang dominan seperti pada masa lalu.192
Oleh karena itu, untuk menata fungsi legislasi political will
yang kuat dibutuhkan untuk melakukan purifikasi sistem
presidensil. Presiden tidak lagi dilibatkan dalam proses
pembahasan rancangan undang-undang. Dengan demikian,
mekanisme checks and balances dalam pembahasan rancangan
undang-undang hanya terjadi antara DPR dan DPD.

Penutup
1. Kesimpulan
Hubungan antara lembaga eksekutif dengan lembaga
legislatif dalam pembentukan undang-undang, terlihat dari
penempatan pendulum kekuasaan membentuk undang-undang
yang ada di tangan DPR, setelah perubahan UUD 1945. Hal ini
sudah tepat bila diletakkan sebagai upaya pemurnian sistem
presidensil berdasarkan kajian teoritik pembagian kekuasaan.
Namun kekuasaan Presiden dalam pembahasan dan memberi
persetujuan atas rancangan undang-undang tidak perlu ada dalam
hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif dalam
pembentukan undang-undang. Ketentuan yang menyatakan bahwa
rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama belum sejalan terhadap semangat
pembagian kekuasaan dalam sistem pemerintahan presidensil.
Oleh karena itu, pemberian hak veto Presiden dalam proses
pembentukan undang-undang harus pula diberikan guna
menunjukkan adanya mekanisme checks and balances dalam
hubungan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif.

192
Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang
Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta: Penerbit Konpress, 2012, hal. 297.

119
Sehingga mekanisme checks and balances juga perlu dikuatkan
dalam lembaga legislatif sendiri dengan meletakkan proses
pembahasan rancangan undang-undang kepada DPR dan DPD,
yang tidak terbatas hanya pada pembentukan undang-undang
tertentu. Yaitu terhadap rancangan undang-undang yang terkait
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

2. Saran
Sebagai bentuk imbangan atas kekuasaan pembahasan
rancangan undang-undang yang berada di tangan DPR dan DPD,
dalam perubahan undang-undang dasar juga perlu kiranya
dimasukkan kekuasaan Presiden untuk mengajukan suatu
rancangan undang-undang dan/atau adanya kekuasaan untuk
menolak pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-
undang (hak veto presiden).
Melalui perubahan undang-undang dasar kekuasaan untuk
membahas dan memberi persetujuan bersama suatu rancangan
undang-undang, yang semula dilakukan oleh DPR dan Presiden
perlu diubah menjadi kewenangan yang dimiliki DPR dan DPD.
Karena kekuasaan Presiden dalam membentuk undang-undang
hendak dikembalikan pada khittahnya, yaitu hanya sebatas
mengajukan rancangan undang-undang dan/atau hanya memiliki
hak veto sebagaimana dimaksud dalam konsep pembagian
kekuasaan dalam sistem presidensil. Selain itu, dengan adanya
dua majelis yang sama kuat di Indonesia memperbesar jaminan
berupa produk legislatif dapat diperiksa dua kali (double check).

120
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Buku:
Akbar, Patrialis. Hubungan Lembaga Kepresidenan dengan
Dewan Perwakilan Rakyat dan Veto Presiden. Yogyakarta:
Total Media, 2013.
Asshiddiqie, Jimly. Format Kelembagaan Negara dan
Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. Yogyakarta: FH
UII Press, 2004.
-------. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta:
Konstitusi Press, 2006.
Bakhri, Syaiful. Ilmu Negara dalam Konteks Negara Hukum
Modern. Yogyakarta: Total Media, 2010.
Bentham, Jeremy. Teori Perundang-Undangan (The Theory of
Legislation), diterjemahkan oleh Nurhadi. Bandung:
Penerbit Nuansa Cendekia dan Nusa Media, 2013.
Fatwa, A.M. Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009.
Gaffar, Janedjri M., et al. Dewan Perwakilan Daerah. Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2006.
-------. Ilmu Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Isra, Saldi. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model
Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010.

121
Joeniarto. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara. Jakarta:
Rineka Cipta, 1990.
Kamis, Margarito. Jalan Panjang Konstitusionalisme Indonesia.
Malang: Setara Press, 2014.
Kusnardi, Moh. dan Bintan R. Saragih. Ilmu Negara. Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2000.
-------. Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-
Undang Dasar 1945. Jakarta: Gramedia, 1980.
Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia. Jakarta: Sinar Bakti, 1983.
Kusuma, A.B. Sistem Pemerintahan “Pendiri Negara” versus
Sistem Presidensiel “Orde Reformasi”. Depok: Badan
Penerbit FH UI, 2011.
Lubis, M. Solly. Landasan dan Teknik Perundang-undangan.
Bandung: Mandar Maju, 1989.
Mahendra, Yusril Ihza. Dinamika Tatanegara Indonesia:
Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan
dan Sistem Kepartaian. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
MD, Moh. Mahfud. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia.
Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001.
Pieris, John. Pembatasan Konstitusional Kekuasaan Presiden
Republik Indonesia. Jakarta: Pelangi Cendekia, 2007.
RI, DPD. Naskah Akademis Usulan Amandemen Komprehensif.
Jakarta: Sekretariat Jenderal DPD RI, tanpa tahun.
RI, Tim Kerja Sosialisasi MPR. Panduan Pemasyarakatan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR RI, 2012.

122
Safa’at, Muchammad Ali. Parlemen Bikameral: Studi
Perbandingan di Amerika Serikat, Perancis, Belanda,
Inggris, Austria, dan Indonesia. Malang: UB Press, 2010.
Siahaan, Pataniari. Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang
Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta: Penerbit Konpress,
2012.
Sinamo, Nomensen. Hukum Tata Negara: Suatu Kajian Kritis
tentang Kelembagaan Negara. Jakarta: Jala Permata Aksara,
2010.
-------. Perbandingan Hukum Tata Negara. Jakarta: Jala Permata
Aksara, 2010.
Soehino. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 2004.
Soemantri, Sri. Hukum Tata Negara Indonesia: Pemikiran dan
Pandangan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.
-------.Tentang Lembaga-Lembaga Negera Menurut UUD 1945.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.
Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan:
Dasar-Dasar Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius,
1998.
Strong, C.F. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi
Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk (Modern
Political Constitutions: An Introduction to the Comparative
Study of Their History and Existing Form), diterjemahkan
oleh Derta Sri Widowatie. Bandung: Penerbit Nusa Media,
2013.
Subekti, Valina Singka. Menyusun Konstitusi Transisi:
Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses
Perubahan UUD 1945. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2008.
Sulaiman, King Faisal. Sistem Bikameral dalam Spektrum
Lembaga Parlemen Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 2013.

123
Sulardi. Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni.
Malang: Setara Press, 2012.
Susanto, Mei. Hak Budged Parlemen di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika, 2013.
Thaib, Dahlan. DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.
Yogyakarta: Liberty, 1994.

124
TENTANG PENULIS

Lahir di Jakarta, 14 Mei tiga dasawarsa silam.


Dibesarkan dalam keluarga sederhana, namun
mewah dalam dedikasi ilmu. Ayah dan terutama
Ibunda Penulis percaya, bahwa ilmu dapat
menjunjung martabat manusia. Momentum awal
Penulis sebagai pembelajar, dimulai saat tahun
terakhir di SMA 87 Jakarta. Buku kala itu mulai
jadi sahabat terbaik Penulis. Kegemaran
membaca Penulis itu, dilengkap dengan tempaan karakter dan
nalar kritis yang didapat dari Fakultas Hukum UMJ.
Melengkapinya, paradigma keilmuan Penulis dibentuk saat studi
pada Program Magister Ilmu Hukum UMJ. Karena itu Penulis
yakin bahwa untuk meninggikan martabat manusia, tidak hanya
dengan ilmu. Namun ilmu yang sesuai dengan konteks ruang dan
waktu. Ilmu yang lepas dari cengkraman kolonialisme.
Beberapa kegundahan penulis itu, sedikit terekam dalam buku
“Jejak Langkah Menciptakan Pengacara Rakyat” diterbitkan oleh
LBH Masyarakat tahun 2009 (kontributor); “Pertanggungjawaban
Presiden dan Mahkamah Konstitusi” dalam Jurnal Konstitusi Vol.
7 No. 3, Juni 2010; “Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme
Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”
dalam Jurnal Negara Hukum Vol. 4 No. 1, Juni 2013; “Validitas
Antropologis Yurisprudensi” dalam Majalah Konstitusi No. 100 –
Edisi Juni 2015; “Kekuasaan Membentuk Undang-Undang dalam
Sistem Pemerintahan Presidensil setelah Perubahan Undang-
Undang Dasar 1945” dalam Jurnal Negara Hukum Vol. 6 No. 2,
November 2015; “Menggagas E-Voting di Indonesia” dalam
Harian Tangsel Pos tanggal 4 Januari 2016; dan buku “Last But
Not Least: Catatan Akhir Seorang Kader” diterbitkan oleh DPD
IMM Banten dan Pondok Juang Press tahun 2016.
Penulis dapat dihubungi pada nomor 0852-1552-6992/0856-830-
6023 dan email: bung.andywiyanto@gmail.com

125
30 TAHUN
ANDY WIYANTO
Refleksi Pemikiran Bung Andy
tentang Negara dan Hukum

Anda mungkin juga menyukai