Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH FARMAKOTERAPI

EPILEPSI

Disusun Oleh :
Kelompok 1 – FA1
Gina Novita 191FF04030
Yolanda Putri Aloenida 191FF04031
Hanifah Nur Fauziyah W 191FF04032
Hasna Nur Shifa 191FF04033
Hendi Rohendi 191FF04034
Hurryatul Fikri 191FF04035
James Gabani E 191FF04038

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG
2020
DAFTAR ISI

Daftar isi 2
BAB I PENDAHULUAN 3
1.1. Latar Belakang 3
1.2. Rumusan Masalah 3
1.3. Tujuan 4
BAB II PEMBAHASAN 5
2.1. Definisi 5
2.2. Epidemiologi 5
2.3. Patofisiologi 6
2.4. Etiologi 7
2.5. Gejala 7
2.6. Faktor Resiko 8
2.7. Diagnosis 8
2.8. Terapi Non-Farmakologi 10
2.9. Terapi Farmakologi 10
2.10. Guideline Terapi 16
2.11. Evaluasi Outcome 16
2.12. Studi Kasus 17
BAB III PENUTUP 20
3.1. Kesimpulan 20
Daftar Pustaka 21

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Pada dasarnya
epilepsi merupakan suatu penyakit Susunan Saraf Pusat (SSP) yang timbul akibat
adanya ketidakseimbangan polarisasi listrik di otak. Ketidakseimbangan polarisasi
listrik tersebut terjadi akibat adanya focus-sokus iritatif pada neuron sehingga
menimbulkan letupan muatan listrik spontan yang berlebihan dari sebagian atau
seluruh daerah yang ada di dalam otak. Epilepsi sering dihubungkan dengan
disabilitas fisik, disabilitas mental dan konsekuensi psikososial yang berat bagi
penyandangnya.
Penyandang epilepsi pada masa anak dan remaja dihadapkan pada masalah
keterbataasan interaksi sosial dan kesulitan dalam mengikuti pendidikan formal.
Mereka memiliki resiko lebih besar terhadap terjadinya kecelakaan dan kematian
yang berhubungan dengan epilepsi.

3
Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan
medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting ini adalah
bagaimana meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi
penderita dan keluarga mampu merubah stigma masyarakat terhadap penderita
epilepsi.

1.2. RUMUSAN MASALAH


1. Apa yang dimaksud dengan epilepsi?
2. Bagaimana epdemiologi pada epilepsi?
3. Bagaimana patofisiologi epilepsi?
4. Bagaimana etilogi epilepsi?
5. Apa saja gejala epilepsi?
6. Apa saja faktor resiko terjadinya epilepsi?
7. Bagaimana diagnosis pada epilepsi?
8. Bagaimana terapi non-farmakologi pada epilepsi?
9. Bagaimana terapi farmakologi pada epilepsi?
10. Bagaimana Guideline terapi pada epilepsi?
11. Bagaimana evaluasi outcome pada pengobatan epilepsi?
12. Bagaimana contoh kasus pada penyakit eplilepsi?

1.3. TUJUAN
1. Mahasiswa mengetahui dan mengetahui definisi epilepsi
2. Mahasiswa mengetahui dan memahami epidemiologi epilepsi
3. Mahasiswa mengetahui dan memahami patofisiologi epilepsi
4. Mahasiswa mengetahui dan memahami etiologi epilepsi
5. Mahasiswa mengetahui dan memahami gejala epilepsi
6. Mahasiswa mengetahui dan memahami faktor resiko epilepsi
7. Mahasiswa mengetahui dan memahami diagnosis epilepsi
8. Mahasiswa mengetahui dan memahami terapi non-farmakologi

4
9. Mahasiswa mengetahui dan memahami terapi farmakologi pada epilepsi
10. Mahasiswa mengetahui dan memahami Guideline terapi pada epilepsi
11. Mahasiswa mengetahui dan memahami evaluasi outcome pengobatan epilepsi
12. Mahasiswa menganalisis suatu kasus mengenai epilepsi

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI
Epilepsi adalah kejang berulang tanpa pencetus (provokasi) ≥ 2 dengan
interval > 24 jam antara kejang pertama dan berikutnya. Manifestasi klinis epilepsi
dapat berupa gangguan kesadaran, motorik, sensoris, autonom atau psikis. Kejang
atau bangkitan epileptik adalah manifestasi klinis disebabkan oleh lepasnya muatan
listrik secara sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak yang bersifat
transien. Aktivitas berlebihan tersebut dapat menyebabkan disorganisasi paroksismal
pada satu atau beberapa fungsi otak yang dapat bermanifestasi eksitasi positif, negatif
atau gabungan keduanya. Manifestasi bangkitan ditentukan oleh lokasi dimana
bangkitan dimulai, kecepatan dan luasnya penyebaran. Bangkitan epileptik umumnya
muncul secara tiba-tiba dan menyebar dengan cepat dalam waktu beberapa detik atau
menit dan sebagian besar berlangsung.

5
2.2. EPIDEMIOLOGI
Insiden epilepsi tertinggi pada golongan usia dini, menurun pada usia dewasa
muda, dan meningkat pada usia lanjut. Sebanyak 25% dari seluruh kasus epilepsi
terjadi pada anak umur kurang lima tahun. Sebuah penelitian melaporkan bahwa
insiden epilepsi pada umur 0-14 tahun sebesar 82,2 kasus/100.000 populasi/tahun.
World Health Organization memperkirakan prevalens epilepsi pada anak di dunia 4-6
per 1000 anak umur 8-11 tahun. Insiden pada tahun pertama kehidupan sekitar 120
pada 100.000. Prevalens epilepsi di negara maju 4- 9/1000 populasi, dengan insiden
25-50/100.000 populasi/tahun, sedangkan di negara berkembang prevalensi 14-
57/1000 populasi, insiden 30-115/100.000 populasi/tahun (Shakirullah, 2014).
Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan
peningkatan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50%
terjadi pada anak-anak (Harsono, 2006). Insiden epilepsi pada anak di Departemen
Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Sanglah Denpasar, Bali selama kurun waktu
2007-2010 didapatkan 5,3%, terutama terjadi pada anak laki-laki (56,9%) dengan
jumlah kasus 276 pasien (Suwarba, 2011).
Telaah sistematis pada 19 negara berkembang, termasuk Thailand, India dan
Cina, jumlah penyandang epilepsi yang sebenarnya diduga jauh lebih besar
dibandingkan jumlah yang terdiagnosis dan mendapat tatalaksana. Penderita epilepsi
memiliki angka kematian dua sampai tiga kali lebih besar dibandingkan populasi
umum. Penyebab kematian dini pada epilepsi antara lain status epileptikus (37,7%),
tenggelam, luka bakar, atau trauma kepala akibat kejang yang terjadi pada keadaan
berbahaya (11,4%) dan kematian mendadak yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya
(sudden unexplained death in epilepsi; 6,6%). Penyakit yang mendasari epilepsi,
misalnya tumor susunan saraf pusat (SSP) atau kelainan neurometabolik juga dapat
merupakan faktor penyebab kematian dini pada anak dengan epilepsi.

2.3. PATOFISIOLOGI

6
 Inisiasi kejang kemungkinan disebabkan oleh ketidakseimbangan antara
rangsang (misalnya, glutamat, kalsium, natrium, zat P, dan neurokinin B) dan
penghambatan (asam γ-aminobutyric [GABA], adenosin, kalium,
neuropeptida Y, peptida opioid, dan galanin) transmisi saraf.
 Pemeliharaan kejang sebagian besar disebabkan oleh glutamat yang bekerja
pada post synaptic N-methyld-aspartate (NMDA) dan α-amino-3-hydroxy-5-
methylisoxazole-4-propionate (AMPA) / reseptor kainate. Depolarisasi yang
berkelanjutan dapat menyebabkan kematian neuron.
 Reseptor GABAA mungkin menjadi kurang responsif terhadap antagonis
GABA dan GABA endogen.
 Selama fase I GCSE, setiap kejang menghasilkan peningkatan yang nyata
dalam konsentrasi epinefrin plasma, norepinefrin, dan steroid yang dapat
menyebabkan hipertensi, takikardia, dan aritmia jantung. Kontraksi otot dan
hipoksia dapat menyebabkan asidosis, hipotensi, syok, rhabdomiolisis, dan
hiperkalemia sekunder, dan nekrosis tubular akut dapat terjadi.
 Pada fase II, mulai 30 menit setelah kejang, pasien mulai mengalami
dekompensasi dan mungkin menjadi hipotensi dengan aliran darah otak yang
terganggu. Glukosa serum mungkin normal atau menurun, dan hipertermia,
penurunan pernapasan, hipoksia, dan kegagalan ventilasi dapat terjadi.
 Pada kejang yang berkepanjangan, aktivitas motorik bisa berhenti, tetapi
kejang listrik mungkin menetap.

2.4. ETIOLOGI
Menurut ILAE, etiologi epilepsi dibagi dalam 3 kategori, yaitu :
1. Idiopatik tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis.
Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan
dengan usia.
2. Kriptogenik dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui.

7
3. Simptomatik bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi struktural
pada otak, misalnya cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat),
metabolik, kelainan neurodegeneratif.

2.5. GEJALA
1. Kejang parsial dimulai di satu belahan otak. Kejang parsial bermanifestasi
sebagai perubahan fungsi motorik, gejala sensorik atau somatosensorik,
atau automatisme. Kemungkinan memiliki kehilangan memori atau
penyimpangan perilaku.
2. Kejang GTC adalah kejang utama dan selalu dikaitkan dengan kehilangan
kesadaran. Gejala motorik bersifat bilateral. Kejang GTC dapat didahului
oleh gejala pertanda (yaitu, aura). Kejang tonik-klonik yang didahului oleh
aura kemungkinan merupakan kejang parsial yang digeneralisasikan secara
sekunder. Kejang tonik-klonik mulai dengan kontraksi otot pendek diikuti
oleh periode kekakuan dan gerakan klonik. Pasien mungkin kehilangan
kontrol sfingter, menggigit lidah, atau menjadi sianotik, tidur nyenyak.
3. Ketiadaan kejang secara general umumnya terjadi pada anak kecil atau
remaja menunjukkan serangan mendadak gangguan aktivitas yang sedang
berlangsung, tatapan kosong, rotasi mata ke atas. Hanya ada periode
perubahan kesadaran yang sangat singkat (detik) dua hingga empat siklus
per detik pola EEG lonjakan dan gelombang lambat (Dipiro, 2015).

2.5. FAKTOR RESIKO


Faktor resiko epilepsi antara lain asfiksia neonatorium, riwayat demam tinggi,
riwayat ibu yang memiliki faktor resiko tinggi (wanita dengan latar belakang susah
melahirkan atau pengguna obat-obatan, hipertensi), pasca trauma kelahiran, riwayat
ibu yang menggunakan obat anti konvulsan selama kehamilan, riwayat intoksikasi
obat-obatan maupun alkohol, adanya riwayat penyakit pada masa anak-anak (campak,

8
mumps), riwayat gangguan metabolisme nutrisi dan gizi, riwayat keturunan epilepsi
(Kristanto, 2017).

2.6. DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan
hasil pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan
melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat
ditegakkan.
1. Diagnosa awal
Buat penilaian kemampuan bahasa; kemampuan kognitif; kelainan motorik,
sensorik, dan refleks; respons pupil; cedera; asimetri; dan postur.
2. Tes laboratorium awal: hitung darah lengkap (CBC) dengan diferensial; profil
kimia serum (misalnya elektrolit, kalsium, magnesium, glukosa, kreatinin serum,
alanin) aminotransferase [ALT], dan aspartate aminotransferase [AST]); obat
urin / alcohol layar; albumin, fungsi hati; fungsi ginjal; kultur darah; gas darah
arteri (ABGs); dan konsentrasi obat serum jika penggunaan antikonvulsan
sebelumnya dicurigai atau dikenal.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering
dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk
menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan pada EEG,
kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural
di otak. Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG
dikatakan abnormal bila :
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di
kedua hemisfer otak

9
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk,
dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal Pemeriksaan
EEG bertujuan untuk membantu menentukan prognosis dan penentuan
perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE).
b. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis
bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua
pemeriksaan yang sering digunakan Computer Tomography Scan (CT
Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan
dengan CT Scan maka MRI lebih sensitif 22 dan secara anatomik akan
tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hippocampus
kiri dan kanan.

2.7. TERAPI NON-FARMAKOLOGI


1. Melakukan Diet ketogenik yang merupakan diet dengan kandungan tinggi
lemak dan rendah karbohidrat maupun protein sehingga memicu keadaan
ketosis. Diet ini mengandung 2-4 gram lemak untuk setiap kombinasi 1 gram
karbohidrat dan protein.Diet ketogenik biasanya digunakan sebagai terapi dari
epilepsi. Melalui diet ketogenik, lemak menjadi sumber energi dan keton
terakumulasi di dalam otak menjadi tinggi kadarnya (ketosis). Keadaan
ketosis ini dipercaya dapat menghasilkan efek antikonvulsi, yang dapat
mengurangi simptom epilepsi dengan mengurangi frekuensi dan derajat
kejang.
2. Pembedahan dan vagal nerve stimulation (VNS), yaitu implantasi dari
perangsangsaraf vagal.

10
3. Istirahat yang cukup karena kelelahan yang berlebihan dapat mencetuskan
serangan epilepsi.
4. Belajar mengendalikan stress dengan menggunakan latihan tarik nafas
panjang dan teknik relaksasi.
5. Menghindari factor pencentus terjadinya epilepsi.

2.8. TERAPI FARMAKOLOGI


Untuk optimalisasi terapi farmakologi epilepsi, dibutuhkan individualisasi
pengobatan, artinya tidak setiap orang mendapatkan obat anti-epilepsi yang sama.
Contohnya, pemberian obat untuk anak anak berbeda dengan obat untuk wanita hamil
dan orang tua, hal ini berhubungan erat dengan efek samping obat yang mungkin
tidak dapat ditoleransi oleh masing masing grup (anak, wanita,orang tua) tersebut.
Pemilihan obat utama untuk epilepsi bergantung pada tipe epilepsi yang
diderita, efek samping yang mungkin terjadi, dan pilihan pasien itu sendiri. Maka dari
itu, untuk memilih obat anti-epilepsi yang tepat, kita tidak hanya harus mengerti
mekanisme kerja obat dan spektrum kerjanya, akan tetapi kita juga harus mengetahui
aktivitas farmakokinetiknya dan efek samping yang mungkin muncul dari
penggunaan obat tersebut.
Pada umumnya, mekanisme kerja obat antiepilepsi dapat dikategorikan
sebagai berikut :
1. Mempengaruhi ion channel
Obat anti epilepsi jenis ini diduga bekerja dengan cara mempengaruhi ion
channel Ca dan Na yang memegang peranan penting dalam transmisi
sinyal sistem saraf.
2. Meningkatkan konsentrasi inhibitor neurotransmitter
Obat tipe ini umumnya mengamplifikasi kadar GABA yang dikenal
sebagai inhibitor neurotransmitter di dalan sistem saraf pusat.
3. Modulasi / mengatur pengeluaran neurotransmitter pengeksitasi

11
Obat jenis ini bekerja dengan cara mengganggu atau mengantagonis
neurotansmitter pengeksitasi seperti aspartat dan glutamat.

Obat obatan antiepilepsi yang efektif terhadap seizure GTC dan parsial
umumnya mengurangi aktivasi repetitif potensial aksi dengan cara memperlambat
proses aktivasi ion channel Na. Sementara itu obat obatan yang mereduksi ion
channel kalsium tipe T umumnya efektif terhadap Generalized Absence Seizure.
Myoklonik Seizure umumnya efektif diobati dengan obat yang mengamplifikasi
reseptor GABA.
Banyak dari obat obatan anti-epilepsi memiliki aktivitas menginduksi atau
menginhibisi enzim CYP450 di hati, maka dari itu perlu perhatian khusus jika obat
obatan antiepilepsi dibarengi dengan sesamanya atau obat lain yang juga berinteraksi
dengan enzim CYP450 ini.
Berikut uraian singkat mengenai masing masing obat anti-epilepsi :
• Carbamazepine
 MK : Belum diketahui pasti, diperkirakan menginhibisi ion channel
Natrium
 Dosis à 400mg/hari, max 2400mg/hari
 ES : Gangguan saraf sensorik (pusing, mual, pandangan terganggu,
sakit kepala,gangguan keseimbangan), Leukopenia
 Untuk terapi first line terhadap pasien yang baru didiagnosis
mengalami partial seizure dan untuk pasien primary generalized
seizure yang tidak dalam keadaan darurat

• Ethosuximide
 MK : inhibisi Channel ion Ca tipe T
 Dosis : 500mg / hari max 2000 mg
 ES : Mual, Pusing, Muntah
 Untuk first line therapy Absence seizures

12
• Felbamate
 MK : Blokade respons eksitasi dari n-metil-D-Aspartat dan
memodulasi reseptor GABAa
 Dosis : 1200 mg / hari
 ES : anoreksia, turun berat badan, insomnia, mual, sakit kepala,
anemia aplastik, kerusakan hati
 Hanya untuk pasien yang tidak merespon obat obatan antiepilepsi
lainnya (karena ES anemia dan kerusakan hati)

• Gabapentin
 MK : inhibisi ion channel Ca dan meningkatkan konsentrasi GABA
pada otak.
 Dosis : hari 1: 300mg, hari 2 :600 mg / hari, hari 3 dst : 900mg / hari
 ES : Mual, Psuing, Lelah
 Untuk pengobatan second-line untuk pasien partial seizures yang gagal
disembuhkan dengan obat-obatan first line

• Lamotrigine
 MK : Blokade ion channel Na dan Ca
 Dosis : 25 mg jika dipakai bersama VPA ; 25-50 mg jika tidak dipakai
bersama VP
 ES : mengantuk, ataksia, diplopia, sakit kepala, ruam (terutama pada
pasien yg mengonsumsi VPA)
 Untuk terapi adjunktif dan monoterapi pada pasien yang mengalami
partial seizure

13
• Levetiracetam
 MK : tidak jelas, diduga efek obat ini adalah ikatannya dengan protein
vesikel SV2A
 Dosis : PO 2 x 500mg / hari
 ES : kantuk, gangguan kognitif, lelah (jarang)
 Sebagai terapi adjunktif pada pasien partial seizure yang telah gagal
dalam terapi pertama

• Oxcarbazepine
 MK: blokade ion channel Na, modulasi ion channel Ca
 Dosis : 300-600mg / hari
 ES : pusing, mual muntah, diare, dispepsia, kantuk
 Untuk monoterapi atau terapi adjunktiv pada pasein Partial Seizure
dewasa dan anak (min 4 thn), juga untuk first line terapi untuk pasien
generalize convulsive seizure
 Penggunaan bersamaan dengan ethynil estradiol dan levonorgestrel
(obat KB) akan mengurangi efektivitas kedua obat tersebut

• Phenobarbital
 MK : blokade high-voltage activated Channel ion Ca, interaksi dengan
reseptor GABA
 Dosis : 1-3 mg / kg / hari
 ES : depresi, lelah, kantuk
 Obat pilihan untuk Seizure neonatal dan obat cadangan jika semua
AED tidak efektif lagi.

• Phenytoin

14
 MK : diperkirakan memberikan efek antiepilepsi dengan cara
menginhibisi voltage-dependent ion channel Na
 Dosis :PO 3–5mg/kg (200–400 mg),max 500-600mg
 ES : umumnya depresi sistem saraf pusat (gangguan kognitif,
pandangan rabun, mengantuk)
 Untuk terapi first line terhadap primary generalized convulsion dan
partial seizures

• Topiramate
 MK : mempengaruhi Channel ion Na, Ca, dan reseptor GABA
 Dosis : 25-50 mg / hari
 ES : gangguan konsentrasi, ataksia, pusing, gangguan mengingat
 Untuk pengobatan pertama pada pasien Partial Seizures dan Primary
generalized epilepsi.

• Valproic acid
 MK : Potensiasi respons post-sinaptik GABA, diduga juga memiliki
efek stabilisasi membran dan mempengaruhi channel ion K
 Dosis : 15mg / kg, max 60mg/kg
 ES : gangguan GI, kenaikan berat badan, kantuk, tremor, ataksia
 First line therapy untuk generalized seizures (absence,
atonic,myoclonic), juga untuk terapi adjunktif partial seizure

• Zonisamide
 MK: inhibisi voltage dependent ion channel Na, Ca tipe T, dan
pengeluaran glutamat
 Dosis : 100 – 200 mg/hari
 ES : pusing, anoreksia, mual, sakit kepala, turunnya iritabilita

15
Untuk terapi adjunktif partial seizure, tapi juga efektif untuk beberapa jenis
primary generalized seizure

2.9. GUIDLINE TERAPI

16
2.10. EVALUASI OUTCOME
EEG memungkinkan para praktisi untuk menentukan kapan aktivitas listrik
abnormal terjadi berhenti dan dapat membantu dalam menentukan antikonvulsan
mana yang efektif. Monitor tanda-tanda vital selama infus. Nilai situs infus untuk
bukti infiltrasi sebelum dan selama pemberian fenitoin.

2.11. STUDI KASUS

17
Contoh Studi Kasus:
Anak MM, berusia 12 tahun, telah diperiksakan ke rumah sakit setelah
mengalami beberapa kali serangan kejang yang ditandai dengan kehilangan kesadaran
yang berlangsung selama beberapa detik. Pada saat itu, penderita secara mendadak
berhenti berbicara sejenak dengan pandangan kosong, kadang kadang mata berkedip
kedip dengan cepat. Penderita mendapatkan serangan demikian satu hingga tiga kali
setiap bulannya, dan hal ini sudah terjadi sejak setengah tahun yang lalu.
- Analisa Kasus :
Analisa kasus menggunakan metode SOAP ( Subyektif Obyektif Assessment
Planning) :
S : Pasien mengalamiserangan kejang yang ditandai dengan
kehilangan kesadaran selama beberapa detik, berhentiberbicara
dengan pandangan kosong kadang mata berkedip kedip dengan
cepat.
O : Kelebihan muatan neuron kortikal
A :mengalami stress
P :beri obat antiepilepsi

 Dari kasus ini, diketahui bahwa pasien mengalami gejala epilepsi jenis
tonik-klonik Dengan demikian, untuk menangani epilepsinya diberikan
obat antiepilepsi Obat antiepilepsi tersebut adalah asam valproat.
 Asam valproat merupakan golongan obat tersendiri. Khasiat
antiepilepsi dari derivat asam valerian ini diketemukan secara
kebetulan oleh Meunier tahun 1963 dan dianggap sebagai obat pilihan
pertama pada absences. Dalam kombinasi dengan obat-obat lain juga
efektif pada grand mal dan serangan psikomotor. Mekanisme kerjanya
diperkirakan berdasarkan hambatan enzim yang menguraikan GABA,
sehingga kadar neutransmiter ini di otak meningkat.

18
Resorpsinya di usus cepat, setelah 15 menit sudah tercapai kadar
plasma maksimal. Presentase pengikatan pada protein 90%, t1/2 nya ±
10 jam dan diekskresikan sebagai glukuronida, terutama melalui
kemih. Antara kadar plasma dan efek terapi tidak terdapat hubungan
langsung, berbeda dengan antiepilepsi lainnya. Ada indikasi bahwa
pentakaran 1 kali sehari sama efektifnya dengan 2 atau 3 kali sehari.
Perlu diketahui bahwa asam valproat bersifat teratogen pada hewan,
maka tidak boleh diberikan pada wanita hamil.

- Evaluasi obat terpilih :


 Contoh resep pengobatan

R/ Asam valproat 20 mg x

S.1.d.d. I

Asam valproat
Indikasi: semua jenis epilepsi
Dosis : Oral semula 3-4 dd 100-150 mg d.c. dari garam natriumnya
(tablet e.c.) untuk kemudian berangsur-angsur dalam waktu 2 minggu
dinaikkan sampai 2-3 dd 300-500 mg, maksimal 3 g sehari. Anak-anak
20-30 mg/kg/sehari. Asam bebasnya memberikan kadar plasma yang 15%
lebih tinggi (lebih kurang sama dengan persentase natrium dalam Na-
valproat), tetapi lain daripada itu tidak lebih menguntungkan.
ES : Yang sering terjadi adalah gangguan saluran cerna yang bersifat
sementara, adakalanya juga sedasi, ataksia, udema pergelangan kaki dan
rambut rontok (reversibel). Efek lainnya adalah kenaikkan berat badan,
terutama pada remaja putri.

19
- KIE :
 KIE untuk penggunaan obat antiepilepsi asam valproat sediaan tablet:
 Minumlah tablet dengan air putih, jangan susu, dan telanlah tanpa
mengunyah, memecahkan atau menggerusnya. Hal ini untuk mencegah
agar tidak merusak salut khusus untuk perlindungan terhadap iritasi
lambung.
 Asam valproat boleh diminum bersama makanan atau cemilan untuk
mengurangi gangguan pada saluran cerna.
 Obat ini harus digunakan tepat seperti yang telah ditentukan oleh
dokter untuk mencegah timbulnya kejang atau kemungkinan muncul
efek samping.
 Jika obat terlewatkan, dan jadwal minum obat adalah satu dosis per
hari, maka minumlah dosis yang terlupa sesegera mungkin. Tetapi jika
belum diminum sampai keesokan harinya, minumlah 1 dosis tersebut
sesuai jadwal semula. Dosis jangan didobel (diminum 2 dosis
sekaligus).
 Untuk penyimpanan, jauhkan dari jangkauan anak-anak, simpanlah
ditempat yang terlindung dari api atau cahaya.

BAB III
PENUTUP

20
3.1. KESIMPULAN
1. Epilepsi adalah kejang berulang tanpa pencetus (provokasi) ≥ 2
dengan interval > 24 jam antara kejang pertama dan berikutnya.
2. Epidemiologi
3. Patofisiologi
4. Etiologi epilepsi terdiri dari Idiopatik, Kriptogenik dan Simptomatik.
5. Faktor resiko epilepsi antara lain asfiksia neonatorium, riwayat demam
tinggi, riwayat ibu yang memiliki faktor resiko tinggi, dll.
6. Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis
dengan hasil pemeriksaan EEG atau radiologis.
7. Terapi non-farmakologi untuk epilepsi diantaranya melakukan diet
ketogenik, Pembedahan dan vagal nerve stimulation (VNS), istirahat
yang cukup dan menghindari faktor pencetus stress.
8. Terapi farmakologi untuk epilepsy diantaranya gabapentin, asam
valproate, phenytoin, phenobarbital, carbamazepine, Ethosuximide,
Felbamate, Lamotrigine, Levetiracetam.
9. Guideline terapi pada epilepsy mengikuti algoritma terapi untuk
pengobatan epilepsy.\
10. Evaluasi outcome pengobatan epilepsy yaitu EEG, Monitor tanda-
tanda vital dan Nilai situs infus.
11. Studi kasus yang diberikan pasien mengalami epilepsi dan diberikan
pengobatan dengan asam valproate.

DAFTAR PUSTAKA

21
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education
Companies, Inggris.
Harsono. Epilepsi. (Edisi Kedua). Yogyakarta, Indonesia: Gadjah Mada University
Press; 2007.
International League Against Epilepsy and International Bureau for Epilepsy.
Definition: Epilepstic Seizures And Epilepsy. (2005). Geneva. International
League Against Epilepsy and International Bureau for Epilepsy
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES RI). EPILEPSI. Diakses
pada tanggal 4 April 2020 dari yankes.kemkes.go.id.
Kristanto, Andre. (2017). Epilepsi Bangkitan Umum Tonik-Klonik di UGD RSUP
Sanglah Depansar Bali. Intisari Sains Medis. Vol 8 69-73
Suwarba, I. G. 2011. Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi pada Anak. Sari
Pediatri. Vol. 13 No. 2(123-128).

22

Anda mungkin juga menyukai