Gosong sungai
Gambar 4.4 Bentuk lahan fluvial Meandering Channel dengan azimuth foto N 090 E
4.1.2. Proses Permukaan
Daerah telitian pada umumnya dikontrol oleh proses permukaan berupa aktifitas
denudasional, fluvial serta struktural. Dimana produk dari aktifitas ini adalah pelapukan
dan adanya erosi atau yang disebut dengan proses denudasional (Hugget, 2017).
Keterdapatan bukti longsoran yang menunjukkan adanya pergerakan tanah merupakan
wujud dari proses denudasional (Gambar 4.5).
Gambar 4.5 Proses hasil aktivitas denudasional berupa kenampakan longsor di daerah
penelitian A) Kenampakan Longsor di Sungai Alas Kiri dengan azimuth foto N 215° E,
B) Kenampakan Longsor di Sungai Napalan dengan azimuth foto N 086° E
Selain itu, proses permukaan lain yang ikut mengontrol yaitu fluvial. Pada
lokasi penelitian, ditinjau dari aspek kuantitas air maka dibedakan menjadi sungai
tahunan dan musiman. Berdasarkan hal tersebut, Air Alas merupakan sungai utama dan
bertindak sebagai sungai tahunan. Sungai tersebut membentuk dua cabang yaitu Air
Alas Tengah dan Kiri. Selain itu, terdapat pula Air Napalan, Empangan, Tunggang
Biawak, Air Dwilan, Air Meroh, Gunung, Pering, Air Melancar, Air Rabang dan Air
Lanlai. Sedangkan sungai musiman meliputi Air Abu, Air Anak Basah serta Air Simpur
Besar.
Air Alas terletak dibagian sebelah kanan dan kiri serta tengah bawah lokasi
penelitian. Air Alas merupakan tipe sungai yang memiliki lembah dengan bentuk
hampir menyerupai huruf U. Aliran sungai berkelok tajam, sedikit meandering serta
menghasilkan gosong sungai (Gambar 4.6). Dari segi arusnya, Air Alas cenderung
memiliki intensitas yang tenang, namun pada bagian kelokan cenderung deras dan
dalam.
Gambar 4.6 Air Alas pada LP 62 memperlihatkan lembah berbentuk U dan gosong
sungai
Air Pering terletak di bagian tengah lokasi penelitian. Aliran ini mengalir dari
Utara menuju ke Timur dan bermuara di Air Alas Kiri. Memiliki lembah berbentuk V
dengan tebing curam (Gambar 4.7). Umumnya, aliran berarus deras serta relatif dangkal
berkisar 40 – 90 cm dan lebar ± 2,5 m. Sungai berkelok di bagian atas, kemudian
cenderung lurus di bagian bawahnya.
Gambar 4.7 Air Pering memperlihatkan bentuk lembah berbentuk v dengan tebing
curam dengan azimuth foto N 060 E
Menurut Twidale (2004), lokasi penelitian termasuk ke dalam pola dendritik dan
trellis. Pola aliran dendritik menempati hampir 84 % keseluruhan dari cakupan lokasi
penelitian dan terletak di bagian utara-selatan, terutama pada Air Alas Tengah dan Kiri.
Sungai bercabang yang tidak teratur dengan orientasi dominan selatan sampai barat
daya yang tersusun oleh batuan dengan tingkat resistensi yang sama. Selain itu, pola ini
dikontrol oleh litologi yang heterogen dan berkembang pada batuan yang resistensinya
seragam tepatnya pada batuan sedimen dengan lereng relatif landai. Sedangkan pola
aliran trellis menempat 16 % dari luasan lokasi penelitian dan berada di bagian timur
laut yaitu Air Napalan dan Empangan. Pola ini dicirikan oleh sungai yang mengikuti
pola dari struktur lipatan maupun sesar. Selain itu, orientasi sungai berarah barat laut-
tenggara dan bermuara di Air Alas Tengah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.8.
Gambar 4.8 Pola pengaliran lokasi penelitian menunjukkan pola dendritik dan pola
trellis berdasarkan klasifikasi Twidale (2004)
Pola aliran tersebut dapat dijelaskan melalui diagram kipas yang menunjukkan
persebaran sungai (Twidale, 2004). Pola-pola sungai yang terbentuk pada pola
pengaliran trellis memiliki arah umum N 200°E - N 220°E dan pada pola pengaliran
dendritik berarah umum N 0°E - N 10°E seperti yang ditunjuk pada Gambar 4.9. Hal ini
menunjukkan sungai-sungai yang berkembang pada daerah telitian dengan pola
pengaliran trellis memiliki hulu sungai yang berarah Timurlaut dan sungai yang
berkembang pada pola pengaliran dendritik memiliki hulu sungai berarah Timur.
Gambar 4.9 Diagram rose pola pengaliran trellis (A) dan pola pengaliran dendritik (B)
Berdasarkan proses-proses permukaan ini, pengklasifikasian bentuklahan dapat
ditinjau dengan memperhatikan data permukaan berupa elevasi dan kemiringan lereng.
Dimana analisis geomorfologi secara deskriptif meliputi perbukitan dan perbukitan
rendah serta dataran yang didasarkan pada topografi elevasi dengan klasifikasi
Widyatmanti et al., (2016). Hasil dari penggambaran melalui data Digital Elevation
Model Nasional (DEMNas) yang diperlihatkan melalui peta elevasi 3D (gambar 4.10).
Berikut Tabel 4.1 menunjukkan kelas relief berdasarkan elevasi menurut Widyatmanti
et al., (2016).
Tabel 4.1 Kelas relief pada daerah penelitian (Widyatmanti et al, 2016) (ditandai
dengan zona hijau)
No Elevasi (m) Kelas Relief
1 <50 Dataran Rendah (Low Lands)
2 50 – 200 Perbukitan Rendah (Low Hills)
3 200 – 500 Perbukitan (Hills)
4 500 – 1000 Perbukitan Tinggi (High Hills)
5 >1000 Pegunungan (Mountains)
Gambar 4.10 Peta elevasi 3D morfologi daerah penelitian yang menunjukkan perbedaan
elevasi setiap 50 meter dengan skala 1:50.000
4.2. Stratigrafi
Pembagian stratigrafi lokasi penelitian menggunakan data persebaran batuan
dari daerah yang telah diobservasi. Terdapat 104 titik lokasi pengamatan yang dihimpun
dalam tabulasi data lapangan (Lampiran A). Data tersebut terdiri dari data litologi dan
struktur geologi. Kemudian data tersebut dibentuk menjadi peta lintasan yang
merupakan dasar dalam penarikan geologi dari daerah penelitian (Lampiran B).
Prinsip dalam penentuan batas stratigrafi daerah telitian didasarkan pada
kesamaan antar jenis batuan yang ditemukan. Sedangkan dalam penentuan umur batuan
dan lingkungan pengendapan daerah telitian, menggunakan analisis fosil serta
dibandingkan dengan kondisi regional. Berdasarkan hasil interpretasi yang dilakukan,
dapat diketahui bahwa daerah telitian terdiri atas dua formasi dari tua ke muda, yaitu
Formasi Seblat (Toms) dan Formasi Lemau (Tml). Berdasarkan hasil interpretasi dan
observasi lapangan berikut didapatkan kolom stratigrafi daerah penelitian (Gambar
4.12).
4.2.1 Formasi Seblat
Formasi Seblat merupakan formasi tertua di lokasi penelitian, dalam peta
geologi disimbolkan dengan warna kuning (Toms). Formasi ini menempati 21 % daerah
telitian dan terletak di Timur hingga timur laut. Umumnya singkapan batuan banyak
dijumpai di Air Alas tengah, Empangan, Napalan, Pering dan Kurr. Formasi ini
dicirikan dengan batulempung, perselingan antara batulempung, batulanau dan
batupasir.
Batulempung, secara megaskopis ditunjukkan dengan warna keabuan gelap
sebagian coklat, struktur berlapis – masif serta terkekarkan, keras, derajat pemilahan
baik, grain supported fabric, sedikit karbonat dan tersingkap baik di Air Alas Tengah
pada LP (gambar 4.13). Pada beberapa tempat ditemui adanya struktur menyerpih pada
permukaan batulempung.
Gambar 4.13. (A) Perselingan batupasir, batulanau dan batulempung pada LP dan (B)
Struktur menyerpih pada batulempung pada LP
Batulanau, secara megaskospis berwarna lapuk coklat kehijauan dan warna segar
abu-abu, pada struktur sedimen masif, kompak, ukuran butir 1/6-<1/256 mm, sortasi
baik, kemas tertutup. Pada lokasi ini dilakukan pengambilan data profil stratigrafi
singkapan. Batuan ini tersingkap baik pada LP di Air Alas Tengah (gambar 4.14).
Gambar 4.20 (A) Struktur pada batupasir gampingan pada LP dan (B) Struktur laminasi
pada LP
Berdasarkan hasil analisa petrografi pada satuan batupasir gampingan ini
memperlihatkan warna abu-abu kecoklatan (PPL), abu-abu kehitaman (XPL), memiliki
ukuran mineral (50-500 µm), bentuk mineral rouded-sub angular, hubungan antar
mineral PL> PN, pemilahan moderately sorted, tersusun atas fragmen; litik, fosil,
monokuarsa, dan glauconite, matrik; pseudomatrik serta semen berupa karbonat. Setelah
diidentifikasi menggunakan klasifikasi Pettijohn dkk., 1987 yang (Gambar 4.21;
Lampiran K).
Gambar 4. 21 Petrografi di sayatan tipis // dan X nikol pada LP
Batupasir, memiliki warna putih kehijauan, terpilah sedang, derajat
pembundaran memundar, kemas tertutup, ukuran butir very fine sand-medium sand dan
tidak karbonatan. Singkapan batupasir tersebut ditemui pada LP (gambar 4. A). Pada
lokasi tersebut ditemukan struktur sedimen berupa coarsening upward yang
memperlihatkan ukuran butir mengkasar keatas. Di beberapa titik pengamatan, ditemui
juga struktur sedimen planar lamination dan (gambar 4. 22).
Gambar 4.22 (A) Singkapan batupasir Formasi Lemau dan (B) Struktur sedimen planar
lamination pada LP
Pada lokasi lain juga ditemui batupasir dengan warna abu-abu, terpilah baik,
derajat pembundaran membundar, kemas tertutup, ukuran butir fine sand, sedikit
karbonatan (gambar 4.23A). Pada titik ini juga ditemui adanya fragmen konglomerat
(gambar 4. 23B).
Gambar 4.23 (A) Singkapan batupasir Formasi Lemau dan (B) Fragmen konglomerat
pada LP
Berdasarkan hasil analisa petrografi pada satuan batupasir ini memperlihatkan
warna abu-abu kecoklatan (PPL), abu-abu kehitaman (XPL), memiliki ukuran mineral
(50-500 µm), bentuk mineral rouded-sub angular, hubungan antar mineral PL> PN,
pemilahan moderately sorted, tersusun atas fragmen; litik, fosil, monokuarsa, dan
glauconite, matrik; pseudomatrik serta semen berupa karbonat. Setelah diidentifikasi
menggunakan klasifikasi Pettijohn dkk., 1987 yang (Gambar 4.24 ; Lampiran K).
Gambar 4. Analisis Stereografis Sesar Kemang Manis pada LP azimuth foto N 264 E
4.3.1.3 Sesar Alas Kiri
Sesar Alas Kiri tersingkap pada Air Alas Kiri, yang terletak di Desa Kayu Elang
pada LP. Indikasi sesar yang ditemukan berupa bidang sesar dengan kedudukan N 286°
E/75° ( 197/75) , displacement 28 cm dengan rake 28° (Gambar 4.).
Gambar 4. Sesar Alas Kiri pada LP
Berdasarkan analisa stereografis didapatkan kinematika sesar dengan arah
tegasan maksimum (σ1) 27° , N 034° E dengan arah tegasan minimum (σ3) yakni 57° ,
N 175°E dan net slip N E (Gambar 4.). Berdasarkan hasil analisis didapatkan penamaan
Sesar Kemang Manis berdasarkan Fossen (2010) yakni Vertikal DipSlip Fault.
Bidang sesar N 286° E/75°
Net slip
Rake 18 (42)
σ1 27°, N 034° E
σ2 17°, N 295° E
σ3 57°, N 175° E
Vertikal DipSlip Fault
(Fossen, 2010)