Anda di halaman 1dari 23

BAB IV

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi daerah penelitian merupakan hasil interpretasi dan analisis dari


kumpulan data-data lapangan yang telah diambil, dikelola, dianalisa di laboratorium
maupun studio serta dikompilasi dengan studi pustaka regional daerah penelitian. Hal
tersebut terdiri dari aspek-aspek geologi yang diuraikan menjadi aspek geomorfologi,
stratigrafi dan struktur geologi. Geomorfologi menggambarkan bentukan lahan pada
daerah penelitian. Stratigrafi berhubungan dengan urutan batuan dari segi
lithostratigrafi, umur dan lingkungan pengendapan. Struktur geologi menjelaskan
deformasi yang berkembang pada daerah penelitian. Ketiga aspek tersebut akan
membantu dalam menyusun dan merekonstruksi sejarah geologi pada daerah penelitian.
4.1. Geomorfologi
Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuk alam dan proses-proses
yang mempengaruhinya. Analisis geomorfologi meliputi pengamatan bentuk
kemiringan lereng, jenis litologi, pola pengaliran sungai serta proses geomorfik yang
didukung dengan pengamatan citra satelit. Citra penginderaan jauh merupakan metode
yang efektif untuk menampilkan rona relief dengan resolusi tinggi, contohnya DEM.
Analisis geomorfologi ini membagi geomorfologi pada level bentuk muka bumi melalui
interpretasi Digital Elevation Model (DEM) dengan menggunakan data Digital
Elevation Model Nasional (DEMNas) dan data pemetaan geologi. Interpretasi DEM
akan mewakili geometri bentuk atau relief permukaan bumi. Selain itu, korelasi antara
analisa geomorfik dengan pengamatan kondisi di lapangan juga sangat diperlukan.
Penentuan satuan morfologi merujuk pada Widyatmanti et al. (2016) dan
Hugget (2017). Menurut Hugget (2017) morfogenesa adalah proses geomorfik yang
dapat menyebabkan morfologi dapat terbentuk baik oleh pengaruh erosi, denudasional
maupun struktural. Selain itu, penentuan kelas relief berdasarkan elevasi (Widyatmanti
et al., 2016) juga menjadi acuan dalam penentuan satuan morfologi.

4.1.2. Proses Geomorfik


Penentuan satuan geomorfik atau bentuklahan dengan mengkorelasikan
beberapa parameter, yaitu analisa morfologi (Widyatmanti dkk., 2016) dan Hugget
(2017) serta Whaeton et al (2014), kemiringan lereng (Widyatmanti dkk., 2016), dan
pola aliran sungai (Twidale, 2004). Kamudian dilakukan pengkorelasian parameter-
parameter tersebut dengan analisis data lapangan untuk menentukan satuan bentuk
lahan. Berdasarkan hasil pengkorelasian sehingga di dapat 4 satuan bentuklahan, yaitu
Perbukitan Rendah Denudasional (PRD), Perbukitan (P) dan Perbukitan Struktural (PS)
dan Meandering Channel (MC) (Lampiran C).
4.1.2.1 Perbukitan Rendah Denudasional
Perbukitan rendah denudasional merupakan salah satu satuan bentuk lahan
yang terletak sepanjang Sungai Pemerian yang mengalir dari Baratlaut ke Tenggara.
Titik tertinggi dari geomorfik ini ada 200 mdpl. Bentuk lahan ini memiliki kelerengan
dengan satuan sangat landai (Gambar 4.1). Berdasarkan aspek fisik memiliki pola aliran
berupa dendritik dengan kontrol litologi berupa batupasir, batulempung dan breksi yang
memiliki resistensi lemah-sedang. Dijumpai juga aktifitas longsoran yang
mengindikasikan terjadinya proses denudasional pada daerah sekitar erosi yang
digambarkan juga melalui kemiringan lereng dan aliran sungainya.

Gambar 4.1 Kenampakan bentuklahan perbukitan rendah denudasional dengan azimuth


foto N 050° E
4.1.2.2 Perbukitan
Perbukitan merupakan salah satu bentuk lahan yang tersebar di lokasi penelitian.
Titik tertinggi dari geomorfik ini ada 500 mdpl dan 200 mdpl titik terendah. Bentuk
lahan ini memiliki kelerengan dengan satuan lereng datar hingga agak curam dan
berdasarkan aspek fisik memiliki pola aliran dendritik dengan kontrol litologi berupa
batupasir dan batulempung. Dimana memiliki resistensi lemah hingga kuat (Gambar
4.2).

Gambar 4.2 Kenampakan bentuklahan perbukitan dengan azimuth foto N 065° E


4.1.2.3 Perbukitan Struktural
Perbukitan struktural merupakan bentuk lahan di lokasi penelitian yang memiliki
titik tertinggi dari geomorfik ini ada 200 mdpl dan 50 mdpl titik terendah. Bentuk lahan
ini dicirikan dengan fenomena kehadiran struktur geologi berupa sesar maupun lipatan.
Selain itu, bentuk lahan ini memiliki pola aliran trellis yang mengikuti pola dari struktur
lipatan maupun sesar (Gambar 4.3).

Gambar 4.3 Kenampakan bentuklahan perbukitan struktural dengan azimuth foto N


330° E
4.1.2.4 Meandering Channel
Meandering channel merupakan bentuk lahan fluvial dimana diwujudkan dari
bentukan sungainya. Dimana pada lokasi penelitian tercermin dari bentukan sungai
stadia dewasa berupa sungai meander yang dijumpai di Air Alas. Sungai ini umumnya
memiliki lembah yang cenderung u dan dijumpai banyaknya gosong sungai (Gambar
4.4).

Gosong sungai

Gambar 4.4 Bentuk lahan fluvial Meandering Channel dengan azimuth foto N 090 E
4.1.2. Proses Permukaan
Daerah telitian pada umumnya dikontrol oleh proses permukaan berupa aktifitas
denudasional, fluvial serta struktural. Dimana produk dari aktifitas ini adalah pelapukan
dan adanya erosi atau yang disebut dengan proses denudasional (Hugget, 2017).
Keterdapatan bukti longsoran yang menunjukkan adanya pergerakan tanah merupakan
wujud dari proses denudasional (Gambar 4.5).

Gambar 4.5 Proses hasil aktivitas denudasional berupa kenampakan longsor di daerah
penelitian A) Kenampakan Longsor di Sungai Alas Kiri dengan azimuth foto N 215° E,
B) Kenampakan Longsor di Sungai Napalan dengan azimuth foto N 086° E

Selain itu, proses permukaan lain yang ikut mengontrol yaitu fluvial. Pada
lokasi penelitian, ditinjau dari aspek kuantitas air maka dibedakan menjadi sungai
tahunan dan musiman. Berdasarkan hal tersebut, Air Alas merupakan sungai utama dan
bertindak sebagai sungai tahunan. Sungai tersebut membentuk dua cabang yaitu Air
Alas Tengah dan Kiri. Selain itu, terdapat pula Air Napalan, Empangan, Tunggang
Biawak, Air Dwilan, Air Meroh, Gunung, Pering, Air Melancar, Air Rabang dan Air
Lanlai. Sedangkan sungai musiman meliputi Air Abu, Air Anak Basah serta Air Simpur
Besar.
Air Alas terletak dibagian sebelah kanan dan kiri serta tengah bawah lokasi
penelitian. Air Alas merupakan tipe sungai yang memiliki lembah dengan bentuk
hampir menyerupai huruf U. Aliran sungai berkelok tajam, sedikit meandering serta
menghasilkan gosong sungai (Gambar 4.6). Dari segi arusnya, Air Alas cenderung
memiliki intensitas yang tenang, namun pada bagian kelokan cenderung deras dan
dalam.

Gambar 4.6 Air Alas pada LP 62 memperlihatkan lembah berbentuk U dan gosong
sungai
Air Pering terletak di bagian tengah lokasi penelitian. Aliran ini mengalir dari
Utara menuju ke Timur dan bermuara di Air Alas Kiri. Memiliki lembah berbentuk V
dengan tebing curam (Gambar 4.7). Umumnya, aliran berarus deras serta relatif dangkal
berkisar 40 – 90 cm dan lebar ± 2,5 m. Sungai berkelok di bagian atas, kemudian
cenderung lurus di bagian bawahnya.

Gambar 4.7 Air Pering memperlihatkan bentuk lembah berbentuk v dengan tebing
curam dengan azimuth foto N 060 E
Menurut Twidale (2004), lokasi penelitian termasuk ke dalam pola dendritik dan
trellis. Pola aliran dendritik menempati hampir 84 % keseluruhan dari cakupan lokasi
penelitian dan terletak di bagian utara-selatan, terutama pada Air Alas Tengah dan Kiri.
Sungai bercabang yang tidak teratur dengan orientasi dominan selatan sampai barat
daya yang tersusun oleh batuan dengan tingkat resistensi yang sama. Selain itu, pola ini
dikontrol oleh litologi yang heterogen dan berkembang pada batuan yang resistensinya
seragam tepatnya pada batuan sedimen dengan lereng relatif landai. Sedangkan pola
aliran trellis menempat 16 % dari luasan lokasi penelitian dan berada di bagian timur
laut yaitu Air Napalan dan Empangan. Pola ini dicirikan oleh sungai yang mengikuti
pola dari struktur lipatan maupun sesar. Selain itu, orientasi sungai berarah barat laut-
tenggara dan bermuara di Air Alas Tengah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.8.

Gambar 4.8 Pola pengaliran lokasi penelitian menunjukkan pola dendritik dan pola
trellis berdasarkan klasifikasi Twidale (2004)
Pola aliran tersebut dapat dijelaskan melalui diagram kipas yang menunjukkan
persebaran sungai (Twidale, 2004). Pola-pola sungai yang terbentuk pada pola
pengaliran trellis memiliki arah umum N 200°E - N 220°E dan pada pola pengaliran
dendritik berarah umum N 0°E - N 10°E seperti yang ditunjuk pada Gambar 4.9. Hal ini
menunjukkan sungai-sungai yang berkembang pada daerah telitian dengan pola
pengaliran trellis memiliki hulu sungai yang berarah Timurlaut dan sungai yang
berkembang pada pola pengaliran dendritik memiliki hulu sungai berarah Timur.

Gambar 4.9 Diagram rose pola pengaliran trellis (A) dan pola pengaliran dendritik (B)
Berdasarkan proses-proses permukaan ini, pengklasifikasian bentuklahan dapat
ditinjau dengan memperhatikan data permukaan berupa elevasi dan kemiringan lereng.
Dimana analisis geomorfologi secara deskriptif meliputi perbukitan dan perbukitan
rendah serta dataran yang didasarkan pada topografi elevasi dengan klasifikasi
Widyatmanti et al., (2016). Hasil dari penggambaran melalui data Digital Elevation
Model Nasional (DEMNas) yang diperlihatkan melalui peta elevasi 3D (gambar 4.10).
Berikut Tabel 4.1 menunjukkan kelas relief berdasarkan elevasi menurut Widyatmanti
et al., (2016).

Tabel 4.1 Kelas relief pada daerah penelitian (Widyatmanti et al, 2016) (ditandai
dengan zona hijau)
No Elevasi (m) Kelas Relief
1 <50 Dataran Rendah (Low Lands)
2 50 – 200 Perbukitan Rendah (Low Hills)
3 200 – 500 Perbukitan (Hills)
4 500 – 1000 Perbukitan Tinggi (High Hills)
5 >1000 Pegunungan (Mountains)
Gambar 4.10 Peta elevasi 3D morfologi daerah penelitian yang menunjukkan perbedaan
elevasi setiap 50 meter dengan skala 1:50.000

Selain itu, dalam mengidentifikasi geomorfologi juga dilakukan berdasarkan


tingkat kecuraman atau kerapatan kontur yang terinterpretasi dengan melakukan
identifikasi kemiringan lereng menggunakan klasifikasi Widyatmanti dkk.,(2016). Pada
peta kemiringan lereng daerah penelitian terdapat empat kemiringan lereng yaitu
dataran, lereng landai, cukup curam, dan curam (Gambar 4.11).

Gambar 4.11 Peta Kemiringan lereng daerah penelitian


Lereng datar (0-2%) pada peta menempati kurang lebih 10% dari daerah
penelitian dengan proses denudasional, sehingga beberapa lokasi penelitian
teridentifikasi longsor akibat gerakan tanah yang terjadi. Kemiringan lereng landai (3–
7%) pada peta menempati kurang lebih 25% dari daerah penelitian. Kemiringan lereng
miring (8-13%) pada peta tersebar secara merata menempati kurang lebih 35% dari
daerah penelitian. Sedangkan kemiringan lereng cukup curam tersebar merata (14–20%)
pada peta menempati kurang lebih 20% dari daerah penelitian. Dan kemiringan lereng
curam tersebar merata (21-55%) pada peta menempati kurang lebih 10% dari daerah
penelitian.

4.2. Stratigrafi
Pembagian stratigrafi lokasi penelitian menggunakan data persebaran batuan
dari daerah yang telah diobservasi. Terdapat 104 titik lokasi pengamatan yang dihimpun
dalam tabulasi data lapangan (Lampiran A). Data tersebut terdiri dari data litologi dan
struktur geologi. Kemudian data tersebut dibentuk menjadi peta lintasan yang
merupakan dasar dalam penarikan geologi dari daerah penelitian (Lampiran B).
Prinsip dalam penentuan batas stratigrafi daerah telitian didasarkan pada
kesamaan antar jenis batuan yang ditemukan. Sedangkan dalam penentuan umur batuan
dan lingkungan pengendapan daerah telitian, menggunakan analisis fosil serta
dibandingkan dengan kondisi regional. Berdasarkan hasil interpretasi yang dilakukan,
dapat diketahui bahwa daerah telitian terdiri atas dua formasi dari tua ke muda, yaitu
Formasi Seblat (Toms) dan Formasi Lemau (Tml). Berdasarkan hasil interpretasi dan
observasi lapangan berikut didapatkan kolom stratigrafi daerah penelitian (Gambar
4.12).
4.2.1 Formasi Seblat
Formasi Seblat merupakan formasi tertua di lokasi penelitian, dalam peta
geologi disimbolkan dengan warna kuning (Toms). Formasi ini menempati 21 % daerah
telitian dan terletak di Timur hingga timur laut. Umumnya singkapan batuan banyak
dijumpai di Air Alas tengah, Empangan, Napalan, Pering dan Kurr. Formasi ini
dicirikan dengan batulempung, perselingan antara batulempung, batulanau dan
batupasir.
Batulempung, secara megaskopis ditunjukkan dengan warna keabuan gelap
sebagian coklat, struktur berlapis – masif serta terkekarkan, keras, derajat pemilahan
baik, grain supported fabric, sedikit karbonat dan tersingkap baik di Air Alas Tengah
pada LP (gambar 4.13). Pada beberapa tempat ditemui adanya struktur menyerpih pada
permukaan batulempung.

Gambar 4.13. (A) Perselingan batupasir, batulanau dan batulempung pada LP dan (B)
Struktur menyerpih pada batulempung pada LP
Batulanau, secara megaskospis berwarna lapuk coklat kehijauan dan warna segar
abu-abu, pada struktur sedimen masif, kompak, ukuran butir 1/6-<1/256 mm, sortasi
baik, kemas tertutup. Pada lokasi ini dilakukan pengambilan data profil stratigrafi
singkapan. Batuan ini tersingkap baik pada LP di Air Alas Tengah (gambar 4.14).

Gambar 4.14(A) Perselingan batupasir batulanau di sungai Empangan LP dan (B)


Batulanau Formasi Seblat
Berdasarkan hasil analisa petrografi pada satuan batulanau ini memperlihatkan
warna kecoklatan (PPL) dan coklat kehitaman (XPL), memiliki ukuran mineral (10-50
µm), derajat pemilahan baik, derajat pembundaran membundar baik, hubungan antar
mineral PL=PN. Komposisinya terdiri atas fragmen: plagioklas,kuarsa, opak; matrik:
detrital clay; semen: mineral lempung. Setelah diidentifikasi menggunakan klasifikasi
Pettijohn dkk., 1987 yang (Gambar 4.15; Lampiran K).

Gambar 4. 15 Petrografi di sayatan tipis // dan X nikol pada LP


Batupasir, memiliki ciri berwarna abu-abu kecoklatan, keras, padat, berbutir
halus - sedang, bentuk butir membundar – menyudut tanggung, terpilah sedang,
berstruktur perlapisan, sedikit karbonatan. Batuan ini tersingkap baik di LP pada
Sungai Empangan (Gambar 4.16).

Gambar 4.16 Kenampakan Batupasir Formasi Seblat pada perselingan batupasir


batulanau pada LP
Berdasarkan hasil analisa petrografi pada satuan batupasir ini memperlihatkan
Sayatan batuan sedimen (perbesaran 4x) memperlihatkan warna kecoklatan (PPL) dan
kehitaman (XPL), memiliki ukuran mineral (20 -500 µm), derajat pemilahan buruk,
derajat pembundaran rounded-sub angular, hubungan antar mineral PL>PN.
Komposisinya terdiri atas fragmen: kuarsa, litik dan opak; matrik: pseudomatrik;
semen: mineral karbonat. Setelah diidentifikasi menggunakan klasifikasi (Gambar 4.17;
Lampiran K).

Gambar 4.17 Petrografi di sayatan tipis // dan X nikol pada LP


Secara umum, lokasi penelitian terendapkan pada lingkungan transisi-laut
dalam. Lingkungan ditunjukkan melalu hasil dari analisa fosil berupa benthos serta
didapatkan juga fosil plankton berupa
4.2.2 Formasi Lemau
Formasi Lemau secara stratigrafi regional terendapkan setelah Formasi Seblat
dan dalam peta geologi disimbolkan dengan warna hijau muda (Tml). Formasi ini
tersebar dari barat daya-Utara dan menempati 81% dari lokasi penelitian. Pada
umumnya tersingkap baik pada tebing Air Alas Kiri, Alas Tengah, Tunggang biawak,
Simpur Besar, Meroh, Pematang Dwilan, Melancar. Litologi formasi ini disusun oleh
batupasir gampingan, batulempung, batupasir, batugamping dan breksi.
Batulempung, secara megaskospis berwarna segar abu-abu kehijauan, hijau
keabuan-hitam (lapuk), struktur masif, membundar baik, derajat pemilahan sangat baik,
kemas tertutup, sedikit karbonatan, mengandung fragmen cangkang, dan detrital
moluska berukuran 4-6 mm, sebagian teroksidasi membentuk nodul yang tersingkap di
Air Pering pada LP 22 (gambar 4.18).

Gambar 4.18 Singkapan batulempung dengan nodul kecoklatan pada LP 22.


Batupasir gampingan dicirikan dengan warna fresh abu-abu terang dan lapuk
abu-abu kecokelatan, struktur laminasi-masif, berbutir pasir sangat halus, moluskaan
(gambar 4.19). Secara setempat dijumpai struktur serta struktur laminasi yang
tersingkap baik pada LP 18 (Gambar 4.20).
Gambar 4.19 Singkapan Batupasir gampingan pada LP

Gambar 4.20 (A) Struktur pada batupasir gampingan pada LP dan (B) Struktur laminasi
pada LP
Berdasarkan hasil analisa petrografi pada satuan batupasir gampingan ini
memperlihatkan warna abu-abu kecoklatan (PPL), abu-abu kehitaman (XPL), memiliki
ukuran mineral (50-500 µm), bentuk mineral rouded-sub angular, hubungan antar
mineral PL> PN, pemilahan moderately sorted, tersusun atas fragmen; litik, fosil,
monokuarsa, dan glauconite, matrik; pseudomatrik serta semen berupa karbonat. Setelah
diidentifikasi menggunakan klasifikasi Pettijohn dkk., 1987 yang (Gambar 4.21;
Lampiran K).
Gambar 4. 21 Petrografi di sayatan tipis // dan X nikol pada LP
Batupasir, memiliki warna putih kehijauan, terpilah sedang, derajat
pembundaran memundar, kemas tertutup, ukuran butir very fine sand-medium sand dan
tidak karbonatan. Singkapan batupasir tersebut ditemui pada LP (gambar 4. A). Pada
lokasi tersebut ditemukan struktur sedimen berupa coarsening upward yang
memperlihatkan ukuran butir mengkasar keatas. Di beberapa titik pengamatan, ditemui
juga struktur sedimen planar lamination dan (gambar 4. 22).

Gambar 4.22 (A) Singkapan batupasir Formasi Lemau dan (B) Struktur sedimen planar
lamination pada LP
Pada lokasi lain juga ditemui batupasir dengan warna abu-abu, terpilah baik,
derajat pembundaran membundar, kemas tertutup, ukuran butir fine sand, sedikit
karbonatan (gambar 4.23A). Pada titik ini juga ditemui adanya fragmen konglomerat
(gambar 4. 23B).
Gambar 4.23 (A) Singkapan batupasir Formasi Lemau dan (B) Fragmen konglomerat
pada LP
Berdasarkan hasil analisa petrografi pada satuan batupasir ini memperlihatkan
warna abu-abu kecoklatan (PPL), abu-abu kehitaman (XPL), memiliki ukuran mineral
(50-500 µm), bentuk mineral rouded-sub angular, hubungan antar mineral PL> PN,
pemilahan moderately sorted, tersusun atas fragmen; litik, fosil, monokuarsa, dan
glauconite, matrik; pseudomatrik serta semen berupa karbonat. Setelah diidentifikasi
menggunakan klasifikasi Pettijohn dkk., 1987 yang (Gambar 4.24 ; Lampiran K).

Gambar 4.24 Petrografi di sayatan tipis // dan X nikol pada LP


Batugamping, memiliki warna segar cream, warna lapuk abu-abu kehijauan,
membundar baik , derajat pemilahan sangat baik , kemas tertutup, karbonatan dan
sangat kompak. Pada Formasi Lemau terdapat beberapa titik pengamatan yang
menunjukkan keterdapatan batugamping (gambar 4.25).
Gambar 4.25 Batugamping Formasi Lemau pada LP
Pengamatan sayatan tipis petrografi litologi batugamping pada LP (gambar
4.26), dimana secara mikroskopis; putih keabuan (PPL), putih kecoklatan (XPL),
dengan pembesaran 4x, terdapat fosil berupa: Foraminifera besar, komponen dedritus
hadir merata dalam sayatan, derajat sortasi buruk, memiliki ukuran mineral ( µm)
hubungan antar butir PL=PN, komposisi mineral tersusun atas fragmen berupa: fosil ;
matriks berupa : kuarsa dan pseudospar serta opak, semen berupa : karbonat. Setelah
diindentifikasi menggunakan klasifikasi Dunham (1962) batugamping ini dikategorikan
sebagai .

Gambar 4.26 Petrografi di sayatan tipis // dan X nikol pada LP


Breksi, memiliki warna segar abu-abu kemerahan, warna lapuk coklat
kemerahan, terdiri dari fragmen berupa batuan beku (andesit); batupasir, massa dasar
berupa pasir berukuran medium (0,25-0,5 mm). Pada Formasi Lemau terdapat beberapa
titik pengamatan yang menunjukkan keterdapatan breksi (gambar 4.27).
Gambar 4.27 Breksi Formasi Lemau pada LP
Berdasarkan hasil analisa petrografi pada fragmen breksi Formasi Lemau
memperlihatkan warna abu-abu kehijauan (PPL), derajat kristalisasi, holokristalin,
granularitas prophilitik, komposisi fenokris berupa plagioklas dan orthoklas; massa
dasar berupa gelas dan mikrolit plagioklas. (gambar 4.28)

Gambar 4.28 Petrografi di sayatan tipis // dan X nikol pada LP


Data hasil dari penampang stratigrafi terukur pada lintasan MS 1 di LP
(Lampiran D) menunjukkan bahwa terdapat kontak antara batulanau dengan sisipan
batugamping Formasi Seblat dengan batupasir gampingan Formasi Lemau (gambar
4.29). Pada measure section tersebut memperlihatkan lingkungan pengendapan.
Gambar 4. Kontak antara batupasir gampingan dengan batulanau sisipan tipis
batugamping pada LP
Secara umum, lokasi penelitian terendapkan pada lingkungan transisi-laut
dalam. Hasil measuring section menunjukkan lingkungan pengendapan Formasi Lemau
secara umum yaitu transisi – laut dangkal. Hal ini berdasarkan pada
4.3 Struktur Geologi
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan korelasi menggunakan DEMNAS,
struktur geologi yang berkembang pada lokasi penelitian terbagi menjadi dua yaitu
lipatan dan sesar. Struktur lipatan yang berkembang disebabkan karena litologi yang
terdeformasi tergolong ductile sehingga cenderung untuk terlipat. Sedangkan kehadiran
struktur sesar terjadi akibat tekanan kompresi yang melebihi batas keelastisitasannya.
Penambahan gaya yang terjadi disebabkan adanya peningkatan pergerakan lateral
tektonik Sumatera, akibatnya menghasilkan sesar naik. Adapun, data struktur yang
ditemukan di lapangan adalah cermin sesar, offset lapisan, drag fold, dan fracture.
4.3.1 Struktur Sesar
Berdasarkan pada hasil analisa sesar yang terdapat pada daerah telitian terbagi
menjadi tiga, yaitu sesar turun, mendatar dan sesar naik. Struktur sesar ditemukan pada
Sungai Alas Tengah, Alas Kiri dan Empangan. Gejala sesar yang dijumpai pada daerah
studi berupa bidang sesar, offset, fracture dan cermin sesar. Penamaan sesar pada daerah
telitian menggunakan klasifikasi Fossen (2010) dengan menggunakan parameter
rake/pitch dan dip.
4.3.1.1 Sesar Alas Tengah
Struktur ini tersingkap di Air Alas Tengah hulu pada LP. Data lapangan yang
diperoleh pada lokasi ini yaitu kedudukan bidang sesar N 111 E/86 (strike ke selatan)
dan offset ±22 cm serta rake 62° (gambar 4.).
Gambar 4. Sesar Alas Tengah pada LP
Berdasarkan hasil rekonstruksi dengan metode stereografis (gambar 4.),
menunjukkan arah tegasan maksimum (σ1) 27°, N 034° E dan arah tegasan minimum
(σ3) 57°, N 175° E (Gambar 4.28). Adapun jenis sesar ini termasuk dalam Vertical
Oblique – Slip Fault (Fossen, 2010).
Bidang sesar N 111 E/ 86
Net slip Plunge,
Trend
Rake 59°
σ1 41°, N 048 E
σ2 13, N 306 E
σ3 46, N 202 E
Vertical Oblique – Slip Fault
(Fossen, 2010).

Gambar 4. Analisis Stereografis Sesar Alas Tengah pada LP


4.3.1.2 Sesar Kemang Manis
Sesar Kemang Manis tersingkap pada sungai Empangan, yang terletak di Desa
Kemang Manis pada LP. Indikasi sesar yang ditemukan berupa bidang sesar dengan
kedudukan N 110° E/75° , displacement 60 cm dengan rake 28° (Gambar 4.).
Gambar 4. Sesar Kemang Manis pada LP
Berdasarkan analisa stereografis didapatkan kinematika sesar dengan arah
tegasan maksimum (σ1) 21° , N 038° E dengan arah tegasan minimum (σ3) yakni 02° ,
N 307°E dan net slip N E (Gambar 4.). Berdasarkan hasil analisis didapatkan penamaan
Sesar Kemang Manis berdasarkan Fossen (2010) yakni Vertikal Strike-Slip Faults.
Bidang sesar N 353 E/75
Net slip
Rake 28°
σ1 21°, N 038 E
σ2 69°, N 213 E
σ3 02°, N 307 E
Vertical Strike-Slip Fault

Gambar 4. Analisis Stereografis Sesar Kemang Manis pada LP azimuth foto N 264 E
4.3.1.3 Sesar Alas Kiri
Sesar Alas Kiri tersingkap pada Air Alas Kiri, yang terletak di Desa Kayu Elang
pada LP. Indikasi sesar yang ditemukan berupa bidang sesar dengan kedudukan N 286°
E/75° ( 197/75) , displacement 28 cm dengan rake 28° (Gambar 4.).
Gambar 4. Sesar Alas Kiri pada LP
Berdasarkan analisa stereografis didapatkan kinematika sesar dengan arah
tegasan maksimum (σ1) 27° , N 034° E dengan arah tegasan minimum (σ3) yakni 57° ,
N 175°E dan net slip N E (Gambar 4.). Berdasarkan hasil analisis didapatkan penamaan
Sesar Kemang Manis berdasarkan Fossen (2010) yakni Vertikal DipSlip Fault.
Bidang sesar N 286° E/75°
Net slip
Rake 18 (42)
σ1 27°, N 034° E
σ2 17°, N 295° E
σ3 57°, N 175° E
Vertikal DipSlip Fault
(Fossen, 2010)

Gambar 4. Analisis Stereografis Sesar Kemang Manis pada LP


4.3.1.4 Sesar Empangan
Sesar Alas Kiri tersingkap pada sungai Empangan, yang terletak di Desa
Kemang manis pada LP. Indikasi sesar yang ditemukan berupa cermin sesar dengan
kedudukan N 226 E/82 dengan rake 48° (Gambar 4.).
Gambar 4. Sesar Empangan pada LP
Berdasarkan analisa stereografis didapatkan kinematika sesar dengan arah
tegasan maksimum (σ1) 38° , N 099° E dengan arah tegasan minimum (σ3) yakni 25° ,
N 347°E dan net slip N E (Gambar 4.). Berdasarkan hasil analisis didapatkan penamaan
Sesar Kemang Manis berdasarkan Fossen (2010) yakni Vertikal DipSlip Fault.
Bidang sesar N 226° E/82°
Net slip
Rake 48°
σ1 38°, N 099° E
σ2 41°, N 232° E
σ3 25°, N 347° E
Vertikal DipSlip Fault
(Fossen, 2010)

Gambar 4. Proyeksi Stereografis Sungai Empangan pada LP


Menurut Rickard (1972) : Normal Slip Fault

4.3.2 Struktur Lipatan


Gejala lipatan utama yang ditemui di daerah penelitian di interpretasikan
berdasarkan pola morfologi punggungan yang menunjukan kemiringan lapisan yang
berlawanan arah, kelurusan, dan persebaran data kedudukan outcrop yang menunjukan
adanya pola struktur lipatan serta melalui analisis DEM (Digital Elevation Model).
Kemudian data tersebut dikombinasikan dalam proyeksi stereografis untuk
mendapatkan kinematika dan dinamika tegasan. Sedangkan penamaan lipatan dilakukan
dengan menggunakan klasifikasi Fossen (2010).
4.3.2.1 Antiklin Napalan
Antiklin Napalan diperoleh berdasarkan hasil rekonstruksi kedudukan outcrop
yang berada didaerah Alas Tengah, Empangan, Napalan. Lokasi pengambilan data
dilakukan pada LP 50,51,49,10,11,4,3,6,7,8,9,19. Secara umum, orientasi tektonik
transport berarah NW dan SE. Berdasarkan klasifikasi Fossen (2010) lipatan ini
merupakan steply inclined horizontal fold. Berikut tabulasi data lipatan yang telah
diperoleh dari analisis stereografis (gambar 4).
Parameter
Kedudukan N 125 E/75,
sayap N 292 E/71
Hinge N 298 E/89
surface
Hinge line 22, N 298 E
Interlimb
σ1 01, N 208 E
σ3 70, N 115 E

Steeply inclined horizontal


fault (Fossen, 2010)

Gambar 4. Hasil proyeksi stereografis Antiklin Tengah


4.3.2.2 Antiklin Alas Tengah
Antiklin Alas Tengah diperoleh berdasarkan hasil rekonstruksi kedudukan
outcrop dan juga data tambahan berupa drag fold (gambar 4.). Pengamatan dilakukan
pada LP. Kemudian, data tersebut diproyeksikan secara stereografi menghasilkan sayap
lipatan umum berarah N 300˚ E/70˚ dan N 130 ˚E/21˚. Hinge line 4˚, N 301˚ E dan
hinge surface N 122˚E/65 dengan interlimb ˚. Adapun, tegasan maksimum (σ1) 25, N
032 E dan minimum (σ3) 65, N 205 E . Arah umum yang tergambarkan pada struktur
ini berdasarkan hasil gabungan identifikasi data DEMNAS dengan hasil stereografis
yaitu NW dan SE (Gambar 4.). Berdasarkan klasifikasi Fossen (2010) lipatan ini
merupakan steply inclined horizontal fold.
Gambar 4. Lipatan Alas Tengah pada LP
Parameter
Kedudukan N 300˚ E/70˚,
sayap N 130 ˚E/21˚
Hinge N 122˚E/65
surface
Hinge line 4˚, N 301˚ E
Interlimb
σ1 25, N 032 E
σ3 65, N 205 E

Steeply inclined horizontal


fault (Fossen, 2010)

Gambar 4. Proyeksi Stereografis Antiklin Alas Tengah pada LP

Anda mungkin juga menyukai