PENDAHULUAN
Reaksi anafilaksis merupakan reaksi alergi akut yang bersifat sistemik dan termasuk
reaksi hipersensitifitas tipe 1 pada manusia dan bersifat fatal dan menimbulkan reaksi pada
multiorgan yang di sebabkan oleh dilepasnya mediator - mediator inflamasi dari mast cell
dan basofil. 1
Prevalensi anafilaksis dari populasi umum di dunia adalah 4 dari 100.000 jiwa. Lebih
dari 30% orang yang mengalami reaksi anafilaksis, mengalami serangan ulangan. Pemicu
tersering reaksi anafilaksis adalah makanan. Kelompok tersering yang terkena anafilaksis
adalah kelompok usia muda 0-19 tahun.
Anafilaksis berkontribusi terhadap 500-1000 kematian per tahun di Amerika Serikat.Di benua
Australia, anafilaksis paling sering dipicu oleh gigitan serangga. Dalam penelitian terhadap
2458 kematian anafilaksis dari tahun 1999 sampai 2010, obat-obatan (58,8%) merupakan
pemicu yang paling umum diikuti oleh induser lain yang tidak spesifik (19,3%), racun
serangga (15,2%) dan makanan (6,7%).
Beberapa penelitian melaporkan bahwa perempuan lebih sering terkena anafilaksis. Episode
anafilaksis terhadap pelemas otot IV, aspirin, dan lateks lebih sering terjadi pada wanita,
sedangkan anafilaksis gigitan serangga lebih sering terjadi pada pria. Perbedaan jenis kelamin
ini kemungkinan merupakan efek dari frekuensi paparan.2,3
Insidens syok anafilaksis di Indonesia diketahui 40–60% adalah akibat gigitan
serangga, 20–40% akibat zat kontras radiografi, dan 10–20% akibat pemberian obat penisilin.
Laki-laki lebih rentan terkena. Anafilaksis lebih sering terjadi pada wanita dewasa (60%)
pada usia kurang dari 39 tahun. Pada anak-anak usia dibawah 15 tahun, reaksi anafilaksis
lebih sering terjadi pada laki-laki. Rute pejanan parenteral biasanya menimbulkan reaksi yang
lebih berat.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Syok anafilaksis adalah suatu respon hipersensitifitas yang diperantarai oleh
immunoglobulin E sebagai reaksi hipersensitifitas tipe 1 yang ditandai dengan curah jantung
dan tekanan darah yang menurun hebat. Hal ini di sebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen
antibodi yang timbul segera setelah antigen yang sensitif masuk ke dalam sirkulasi darah.
Syok anafilaksis merupakan masnifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok
distributif ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada
pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya
kematian. 5
III. Patofisiologi
Respon imun adaptif merupakan pertahanan tubuh spesifik terhadap bakteri, virus,
parasit dan jamur. Secara khusus sistem imun mampu memberikan respon cepat terhadap
antigen atau toxin yang sama atau serupa. Namun beberapa respon imun memberikan reaksi
yang berlebihan dan tidak sesuai yang disebut reaksi hipersensitivitas. Coomb dan Gell
(1963) mengelompokkan reaksi hipersensitivitas menjadi 4 tipe.
Pada hipersensitivitas tipe I, sel mast mengikat IgE menggunakan Fc reseptor. IgE
akan berikatan dengan antigen dengan membentuk cross-linked, sehingga akan terjadi
degranulasi dari sel mast dan mediator mediator inflamasi akan terlepas dan menyebabkan
terjadinya reaksi alergi. Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase yaitu sensitasi dan aktivasi.
Fase sensitasi adalah wakti yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai berikatan
dengan antigen spesifik di permukaan sel mast atau basofil. Sedangkan aktivasi merupakan
waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya
gejala.7
Antigen dapat masuk kedalam tubuh melalui inhalasi, ingesti dan injeksi. Variabilitas
dari reaksi imun yang akan terjadi nantinya tergantung dari darimana masuknya antigen,
dosis, lamanya paparan terhadap antigen dan faktor genetik dari host nya sendiri. Sel T
Helper nantinya dapat melepaskan berbaigai sitokin inflamasi contohnya IL-4, IL-5, dan IL-
13 dimana memungkinkan terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Jika terdapat paparan
antigen, Makrofag segera mempresentasikan antigen kepada Limfosit T, dimana ia akan
mensekresikan sitokin (IL-4) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel
Plasma. Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada
reseptor permukaan sel Mast dan basofil. IL-5 akan mengaktivasi eosinofil dan merekrutnya
ke dalam reaksi tersebut. IL-13 berperan dalam stimulasi sel epitel untuk memproduksi
mukus. Th2 juga akan teraktivasi dan berada di daerah reaksi alergi akibat adanya respon dari
kemokin bersama dengan eosinofil.7
Sel Mast merupakan derivat dari precusor nya di sumsum tulang. Terdistribusi di
jaringan dan biasanya banyak di sekitar pembuluh darah dan saraf di daerah subepitel. Sel
Mast mengekspresikan Fc reseptor (FcεRI) untuk berikatan dengan IgE. Walaupun
konsentrasi IgE dalam darah sangat rendah (range 1 sampai 100 µg/mL), afinitas dari FcεRI
ini sangat kuat sehingga Fc reseptor akan selalu terikat oleh IgE. Ikatan ini akan tersensitasi
jika antigen terikat dengan antibodi. Basofil tersirkulasi di dalam darah juga berbarengan
dengan sel Mast, ia juga mengekspresikan FcεRI, namun fungsinya dalam hipersensitifitas
bukan yang utama. Sel ketiga yang mengekspresikan FcεRI yaitu Eosinofil, dimana ia akan
bereaksi dalam perannya dalam pertahanan terhadap infeksi helminth (cacing).7
Mastosit (sel Mast) dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke
dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu terjadinya
reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin
dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed
mediators.7
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel
yang akan menghasilkan leukotrien dan prostaglandin yang terjadi beberapa waktu setelah
degranulasi. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks sebagai efek
mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ
tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler
yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.
Platelet activating factor berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler,
agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil.
Prostaglandin dan leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi. Vasodilatasi
pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena maldistribusi dari
volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah
jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan
tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi
pada keaadan syok yang membahayakan penderita. Hipotensi dan syok dapat terjadi sebagai
akibat dari kehilangan volume intravaskular, vasodilatasi, dan disfungsi miokard.
Peningkatan permeabilitas vaskuler dapat menyebabkan pergeseran 50 % volume vaskuler ke
ruang extravaskuler dalam 10 menit.7
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari
reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah
terpapar dengan alergen, serta reaksi lambat terjadi 2 - 24 jam setelah terpapar dengan
alergen.7
Reaksi anafilaktik tipe cepat dapat berupa reaksi sistemik dan lokal. Reaksi yang
terjadi secara alamiah ditentukan dari rute paparan antigen tersebut. Paparan antigen di
sistemik (contoh; racun lebah) atau obat-obatan (contoh; penicillin) akan berefek pada reaksi
anafilaktik sistemik. Dalam beberapa menit setelah sensitasi akan timbul gatal, urtika, eritema
kulit diikuti dengan pernafasan pendek dan cepat akibat dari bronkokonstriksi dan diperberat
dengan adanya hipersekresi mukus. Oedem laring mungkin dapat terjadi akibat obstruksi
salurn nafas atas. otot polos pada traktus gastrointestinal mengalami spasme, sehingga akan
timbul gejala mual, muntah, keram perut, dan diare. Juga akan terjadi vasodilatasi sistemik
yang menyebabkan turunnya tekanan darah (syok anafilaktik) sehingga perfusi darah ke
jaringan terganggu dan dapat menyebabkan kematian dalam hitungan menit.7
Reaksi lokal pada umumnya terjadi jika terpapapr antigen di daerah lokal, contohnya
kulit (kontak kulit), gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare) , atau paru – paru (inhalasi,
menyebabkan bronkokonstriksi), reaksi alergi dari makanan dan asma adalah contoh dari
reaksi alergi lokal. Namun, ingesti dan inhalasi allergen juga dapat memicu terjadinya reaksi
sistemik.7
IV. Diagnosis
Diagnosis Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ
atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis
maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu
kriteria.8
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga
beberapajam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-
bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah,
uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme,
stridor, wheezing , penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala
yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).8
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah
terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam),
yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintikbintik kemerahan pada seluruh
tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir lidah-uvula); Respiratory compromise
(misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia);
penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop,
inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram,
muntah).8
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang
diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak,
tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari
30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.8
V. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti hitung darah tepi untuk hitung
eosinofil, IgE spesifik dengan RAST (radioimunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked
Imunosorbent Assay).
Pemeriksaan In vivo dengan uji kulit untuk mencari penyebab atau prick test, scratch
test dan uji intrakutan atau intradermal.
VI. Penatalaksanaan
Deteksi dini terhadap reaksi anafilaktik karena pasien dapat mengalami kematian
dalam hitungan beberapa menit sampai jam setelah gejala awal. Gejala ringan seperti pruritus
dan urtikaria dapat diberikan 0,3 s/d 0,5 mL epinefrin subkutan atau intramuskular 1 : 1000
(1 mg/mL), untuk reaksi yang berat dapat di berikan berulang dengan interval 5 hingga 20
menit. Jika timbul gejala hipotensi maka berikan infus intravena normal saline dengan 2,5mL
epinefrin 1 : 10.000 dengan 5 – 10 menit interval. Berikan vasopressor jika diperlukan seperti
dopamin. Untuk mengganti cairan yang keluar dari intravaskuler membutuhkan beberapa liter
normal saline. Epinefrin bekerja pada reseptor alfa dan beta adrenerjik, menyebabkan
vasokonstriksi, relaksasi otot polos bronkial, da penurunan permeabilitas vaskular. Perlu
diperhatikan juga bahwa dalam oemberian epinefrin dapat mengakibatkan obstruksi saluran
nafas dan aritmia jantung. Sehingga pemasangan nasal kateter dengan pemberian albuterol
halotan dapat membantu. Maka dari itu wajib pasang endotrakeal tube atau trakeostomi untuk
pemberian oksigen pada pasien dengan hipoksia yang memburuk. Antihistamin
diphenhidramin 50 – 100 mg intramuskular atau intravena dan aminofilin 0,25 – 0,5 gr
intravena baik digunakan untuk urtika – angioedema dan bronkospasme. Glukokortikoid 0,5 -
1mg/kgbb tidak efektif untuk serangan akut namun baik digunakan untuk mencegah
rekurensi dari bronkospasme, urtikaria dan hipotensi.9
VII. Pencegahan
VIII. Prognosis
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip kegawatdaruratan, reaksi
anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh
kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi
setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang
lebih luas lagi. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi
anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe
alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan
asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti β-blocker dan ACE Inhibitor,
serta interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis
dengan injeksi adrenalin.
BAB III
KESIMPULAN
Disusun Oleh :
DAFTAR ISI
JUDUL …………………………..............................................................................................i
2.1 Definisi.................................................................................................................................2
2.6 Pencegahan...........................................................................................................................7
2.7 Komplikasi...........................................................................................................................8
2.8 Prognosis..............................................................................................................................8