Energi
Pengertian Energi
Pada tahun 1900 Max Plank mengemukakan suatu ide yang bersifat
revolusioner bahwa energi suatu osilator bersifat diskontinyu dan pada osilator
tersebut terjadi perubahan energi. Perubahan tersebut sebagai akibat dari adanya dua
tingkat energi yang berbeda dari sistem tersebut.
Energi merupakan akibat dari hasil interaksi antar partikel dalam materi.
Fenomena perubahan nilai entalpi atom aluminium tersebut identik dengan perubahan
nilai potensial ionisasinya. Kecenderungan perubahan nilai entalpi ionisasi tersebut
dapat dijelaskan dengan pendekatan hukum Coulomb.
Energi internal pada hakekatnya merupakan energi total yang dimiliki oleh
suatu materi, yaitu berupa energi inti, energi elektronik, energi vibrasi, energi rotasi
dan energi translasi.
U = Uinti + Uelektronik + Uvibrasi + Urotasi + Utranslasi (1.2)
Energi inti adalah energi yang mengikat proton dan elektron dalam inti, dan memiliki
kisaran yang sangat besar dalam MeV (1 eV = 23,06 kkal/mol). Energi elektronik
adalah energi yang mengikat elektron dan memiliki kisaran yang cukup besar yaitu
ratusan kkal/mol. Energi vibrasi adalah energi yang timbul akibat vibrasi molekul dan
memiliki kisaran yang tidak terlalu besar yaitu dalam puluhan kal/mol. Energi rotasi
adalah energi yang timbul karena rotasi molekul dan memiliki kisaran yang kecil
Uo + dU
Sistem
dQ
Uo
dW
Energi Energi
A+B A+B
A-B
A-B
Kebalikan dari proses tersebut adalah pemutusan ikatan molekul A-B menjadi atom-
atom penyusunnya. Reaksi seperti ini lazim disebut sebagai reaksi disosiasi. Oleh
karena pemutusan ikatan memerlukan energi maka reaksi tersebut juga dapat disebut
sebagai reaksi endotermis. Profile energinya seperti yang tampak pada Gambar 1.2.
[D]d [E]e
K
[A]a [B]b
(1.10)
4. Prinsip Entropi
1. Keadaan gas lebih bolehjadi daripada keadaan cair dan keadaan cair lebih bolehjadi
daripada keadaan padat.
Atom-atom dalam molekul gas lebih independen satu sama lain daripada cair
atau padatan sehingga entropi gas lebih besar daripada entropi cair dan entropi cair
lebih besar daripada entropi padatan. Proses pelelehan dan penguapan melibatkan
suatu peningkatan entropi. Apabila dibandingkan antara entropi pelelehan dan entropi
penguapan maka perubahan entropi penguapan(sublimasi) relative lebih tinggi
daripada entropi pelelehan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkat
ketidakteraturan antara cair dan gas yang relatif tinggi. Disamping itu, interaksi utama
antar molekuler cairan normal melibatkan gaya Van der Waals. Entropi cair akan
lebih besar jika interaksi antar kutub lebih kuat atau terjadi jembatan protonik dalam
cairan. Beberapa nilai entropi zat dalam berbagai fasa pada suhu 25 oC disajikan
dalam Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Nilai entropi zat dalam berbagai fasa pada suhu 25 oC (kal/der.mol)
Zat Padat Cair Gas
Na 12,3 13,83 36,71
P 9,82 10,28, 38,98
Si 4,43 11,21 40,12
Pb 15,50 17,14 41,89
H 2O - 16,72 45,11
CH3OH - 30,30 56,80
SiO2 10,00 11,35 54,62
Li2O 8,98 9,86 56,03
BeO 3,38 10,50 47,21
TiO2 12,01 15,43 56,44
PbO 15,59 20,55 57,35
BCl3 45,30 - 85,30
NaCl 17,33 30,22 54,88
HgBr2 40,71 46,80 76,51
3. Padatan amorf lebih bolehjadi daripada padatan kristal sederhana dan padatan
kristal sedrhana lebih boleh jadi daripada padatan kristal kompleks.
4. Senyawa molekuler adisi atau senyawa kompleks koordinasi kurang boleh jadi
daripada komponen-komponen penyusunnya. Contoh [K2SO4.Al2(SO4)3]
komponen-komponen penysunnya adalah K2SO4SO dan Al2(SO4)3.
5. Senyawa-senyawa yang tersusun dari unsur-unsur dengan berat atom yang lebih
tinggi cenderung memiliki entropi yang lebih tinggi. Beberapa contoh disajikan
dalam Tabel 1.3
6. Pada temperatur biasa pengaruh entropi pada arah reaksi umumnya relatif kecil
kecuali jika selisih energi ikat total produk dan reaktan relatif kecil.
7. Semua reaksi kimia yang melibatkan kenaikan entropi akan berlangsung secara
spontan pada temperatur yang cukup tinggi.
5. Kinetika Reaksi
Pada bagian ini akan diuraikan pengantar kenetika yang meliputi: laju reaksi
kimia (r) dan hukum laju reaksi, pengaruh suhu pada laju reaksi kimia serta peranan
katalis dalam reaksi kimia.
Laju reaksi bergantung pada beberapa faktor antara lain suhu, konsentrasi,
tekanan dan katalis. Pembahsan pada bagian ini akan dibatasi pada pengaruh suhu
dan peranan katalis dalam reaksi kimia.
(1.27)
Pembentukan kompleks teraktivasi tersebut, juga diatur oleh ketentuan
termodinamika dimana dapat diperoleh hubungan antara konstanta kesetimbangan
dan energi bebas Gibbs.
G * RT ln K * (1.28)
sehingga, dari persamaan (1.27) dan (1.28) diperoleh persamaan :
kT G * / RT
k e (1.29)
h
Mengingat , G * H * TS * (1.30)
Maka dari persamaan (1.29) dan (1.30) diperoleh persamaan :
kT ( H * TS * ) / RT
k e
h
kT H * / RT S * / R
k e
h
kT S * / R H * / RT
k e e
h
(1.31)
Mengingat bahwa E H RT atau H E RT maka persamaan
(1.31) dapat dituliskan sebagai :
*
k ( kT / h) e S /R
e ( E RT ) / RT
*
k ( kT / h) e S /R
e E / RT e1
*
k (ekT / h) e S /R
e E / RT (1.32)
Persamaan (1.32) dapat dihubungkan dengan Persamaan Arrhenius sehingga
persamaan (1.32) dapat dituliskan menjadi :
(1.33)
Dari persamaan (1.33) dinyatakan 3 (tiga) hal penting yaitu :
1) Konstanta laju, k berbanding lurus dengan suhu
2) Konstanta laju, k berbanding lurus dengan entropi aktivasi
3) faktor Arrhenius merupakan fungsi entropi aktivasi
C O
C
ΔGo H O
H
∆G*
∆Go
CO + H2O
Koordinat reaksi
O
+C HCO+ + H2O
H
H O
H
ΔGo CO + H2O + H+
ΔGo
Koordinat reaksi
Gambar 1.4. Profile dekomposisi asam formiat dengan katalis asam.
Salah satu contoh katalis heterogen adalah hidrogenasi olefin. Jika olefin
dihidrogenasi pada suhu kamar, maka reaksi akan berjalan lambat.
RCH=CH2 + H2 RCH2CH3
Jika reaksi tersebut berlangsung pada temperatur yang tinggi, diharapkan reaksi akan
berjalan cepat. Akan tetapi untuk hidrogenasi olefin jika dikerjakan pada suhu yang
tinggi akan mengalami beberapa kendala antara lain : kesulitan mengatur suhu dan
juga akan muncul produk lain yang tidak diharapkan. Karena itu, untuk mengatasi
kendala tersebut, kedalam reaksi tersebut perlu ditambahkan suatu katalis platinum
dengan menggunakan padatan pendukung berupa alumina atau silika.
Mekanisme katalisis tersebut dapat dimodelkan sebagai berikut :
H
H
M + H2 M + RCH CH2 RCH=CH2 M
H
H
R
H CH2
CH3CH2R
M CH2
E o RT nF ln K
nFE o RT ln K (1.37)
Secara fisik, tidak ada cara yang absolut untuk memakai tanda aljabar dalam
pengukuran nilai . Untuk itu harus dibuat suatu perjanjian, seperti digambarkan
o
E
di atas, bahwa tanda-tanda tersebut adalah kebalikan satu dengan lainnya. Pada reaksi
dijadikan rujukan untuk menentukan spontanitas reaksi kimia. Makin negatif nilai
maka reaksi tersebut semakin spontan. Dari persamaan (1.39) dapat dinyatakan
o
G
bahwa jika makin negatif maka akan semakin positif . Dengan demikian
o o
G E
maka kesetimbangan reaksi cenderung bergeser kearah produk. Oleh karena itu untuk
reaksi-reaksi yang memiliki nilai yang positif akan cenderung berlangsung
o
E
o
spontan seperti reduksi Cr3+ menjadi Cr2+ oleh logam Zn, ( E3 = +0,355 V).
setengah sel. Menurut IUPAC potensial setengah sel dan potensial elektroda
dituliskan dalam bentuk reduksi dan dalam bentuk potensial setengah sel atau
potensial elektroda. Ketentuan ini akan lebih mudah dihafal dengan menandai bahwa
reaksi setengah sel dengan potensial negatif adalah kaya akan elektron. Bila dua
buah setengah sel digabungkan menghasilkan sel elektrolitik sempurna, maka secara
fisik elektroda yang mempunyai potensial standar setengah sel yang lebih negatif
akan menjadi elektroda negatif.
Dalam ketiga reaksi di atas terdapat tiga setengah reaksi
Pertama : Reaksi antara Zn dan H+(aq)
Zn(s) Zn2+(aq) ) + 2e-
o
E1 = +0,763 V
Secara aljabar, potensial sel dari ketiga reaksi di atas dapat dituliskan sebagai berikut:
o o o
2 E1 + 2 E 2 = 2 E3
o o o
2( E1 + E 2 ) = 2 E3
o o o
E1 + E 2 = E3
Jika dalam suatu reaksi redoks nilai n pada reaksi oksidasi tidak sama dengan
nilai n pada reaksi reduksi maka dalam penentuan E o reaksi, nilai n tersebut tidak
dapat diabaikan. Sebagai contoh dapat dilihat apada reaksi berikut :
Cl- + 3H2O ClO3- + 6H+ + 6e- E1 = -1,45V
o o
6 E1 = -8,70V
e- + 1/2Cl2 Cl-
o o
E1 = +1,36V 1 E 2 = +1,36V