Anda di halaman 1dari 26

1.

Energi
Pengertian Energi
Pada tahun 1900 Max Plank mengemukakan suatu ide yang bersifat
revolusioner bahwa energi suatu osilator bersifat diskontinyu dan pada osilator
tersebut terjadi perubahan energi. Perubahan tersebut sebagai akibat dari adanya dua
tingkat energi yang berbeda dari sistem tersebut.

Energi merupakan akibat dari hasil interaksi antar partikel dalam materi.

1.2. Energi Entalpi (H)


Keadaan standar suatu zat adalah fase dimana zat tersebut berada pada suhu
25C (298,15K) dan tekanan 1 atmosfir serta zat-zat diasumsikan berada dalam fase
larutan pada konsentrasi 1 mol/L.
Fakta menunjukkan bahwa semua perubahan fisika dan kimia selalu disertai
dengan pelepasan atau penyerapan energi. Umumnya energi tersebut dalam bentuk
panas. Pelepasan atau penyerapan panas akan mengakibatkan perubahan kandungan
panas senyawa yang terlibat dalam proses tersebut. Kandungan panas tersebut
dinamakan entalpi yang diberi simbol H, perubahan kandungan panas disebut
perubahan entalpi yang diberi simbol H.
H = (H produk) - (H reaktan) (1.1)
Jika produk dan reaktan berada dalam keadaan standar maka perubahan entalpi
standar dinyatakan dengan H, yakni perubahan entalpi standar dari proses.
Misalnya pembentukan H2O dari H2 dan O2 pada keadaan standar (STP).
H2 (g) + ½ O2 (g) = H2O (g) H = -285,7 kJ/mol.

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 1


Untuk maksud termokimia, kandungan panas dari semua unsur dalam keadaan
standar dapat diasumsikan sama dengan nol.
Pada persamaan di atas, H bernilai negatif artinya kandungan panas H2O(g) lebih
rendah dari kandungan panas H2 (g) dan O2 (g) . Hal ini berati bahwa dalam proses
tersebut terjadi pelepasan panas. Secara umum dapat dinyatakan :
Jika H < 0, maka kandungan panas produk lebih kecil dari kandungan panas
reaktan (H produk < H reaktan). Hal ini berarti bahwa dalam proses tersebut terjadi
pelepasan panas. Suatu reaksi kimia yang melibatkan pelepasan panas disebut reaksi
eksotermis. Sebaliknya, jika H > 0, maka kandungan panas produk lebih besar dari
kandungan panas reaktan (H produk > H reaktan). Hal ini berati bahwa dalam proses
tersebut terjadi penyerapan panas. Reaksi kimia yang melibatkan penyerapan panas
disebut reaksi endotermis.
Perubahan entalpi standar untuk semua reaksi dapat ditentukan jika panas
pembentukan standar (Hf) dari setiap reaktan dan produk diketahui. Nilai Hf
suatu zat merupakan nilai H untuk proses dimana zat itu terbentuk dari unsur-
unsurnya dalam keadaan standar. Contoh : H2 (g) + ½ O2 (g) = H2O (g) H = -285,7
kJ/mol. Nilai H tersebut pada hakekatnya merupakan Hf untuk air. Jadi harga
H untuk reaksi tersebut dapat dihitung dari nilai Hf dengan alasan bahwa
persamaan-persamaan reaksi untuk Hf akan selalu dijumlahkan pada persamaan
yang dikehendaki dan mengandung unsur-unsurnya kecuali untuk spesies-spesies
yang muncul dalam persamaan akhir, sedangkan spesies-spesies yang lain akan
tereliminir. Misalnya pada persamaan reaksi berikut :
LiAlH4(s) + 4H2O(l) = LiOH(s) + Al(OH)3(s) + 4H2(g)
Reaksi ini dapat diperoleh melalui tahapan-tahapan berikut :
LiAlH4(s) = Li(s) + Al(s) + 2H2(g) - Hf = 117,2 kJ/mol
4H2O(l) = 4H2(g) + 2O2(g) - 4Hf = 1142,8 kJ/mol
Li(s) + 1/2O2(g) + 1/2H2(g) = LiOH(s) Hf = - 487,0 kJ/mol
Al(s) + 3/2O2(g) + 3/2H2(g) = Al(OH)3(s) Hf = -1272,8 kJ/mol

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 2


LiAlH4(s) + 4H2O(l) = LiOH(s) + Al(OH)3(s) + 4H2(g) H = - 499,8 kJ/mol
Dari tahapan-tahapan reaksi di atas dapat dilihat bahwa nilai H reaksi
LiAlH4(s) + 4H2O(l) = LiOH(s) + Al(OH)3(s) + 4H2(g) merupakan jumlah total dari Hf
produk dikurangi Hf reaktan atau H = ( Hf produk) - ( Hf reaktan).
Hal yang identik juga dapat diterapkan pada perubahan energi bebas, G yang akan
diuraikan secara singkat pada pembahasan selanjutnya.
Disamping pembentukan senyawa dari unsur-unsurnya, ada beberapa proses
fisika dan kimia yang memerlukan nilai-nilai H atau H. Diantaranya terdapat
proses pelelehan (peleburan), dan penguapan atau sublimasi. Perubahan-perubahan
entalpi seperti ini disebut perubahan entalpi spesifik.

1.2.1. Entalpi Ionisasi.


Salah satu entalpi yang akan dibahas dalam sub bab ini adalah entalpi ionisasi.
Entalpi tersebut pada hakekatnya identik dengan potensial ionisasi. Sehingga entalpi
ionisasi dapat didefinisikan sebagai entalpi suatu zat yang setara dengan energi yang
diperlukan untuk mengionisasi atom unsur tersebut dalam keadaan gas. Entalpi
ionisasi lazim disajikan dalam satuan kJ/mol, sedangkan potensial ionisasi disajikan
dalam satuan elektron volt (eV). Sebagai contoh sederhana adalah ionisasi atom
natrium menjadi ion natrium, Na(g) = Na+(g) + e-(g) H = 502 kJ/mol. Contoh yang
lebih jelas untuk menunjukkan kesetaraan antara entalpi ionisasi dengan potensial
ionisasi adalah ionisasi atom unsur yang dapat mengalami lebih dari satu tahap
ionisasi seperti ionisasi atom Aluminium.
Al(g) = Al+(g) + e-(g) H = 577,5 kJ/mol
Al+(g) = Al2+(g) + e-(g) H = 1817 kJ/mol
Al2+(g ) = Al3+(g) + e-(g) H = 2745 kJ/mol

Al(g) = Al3+(g) + 3e-(g) H = 5140 kJ/mol

Fenomena perubahan nilai entalpi atom aluminium tersebut identik dengan perubahan
nilai potensial ionisasinya. Kecenderungan perubahan nilai entalpi ionisasi tersebut
dapat dijelaskan dengan pendekatan hukum Coulomb.

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 3


Disamping atom, molekul-molekul juga memiliki entalpi ionisasi, sebagai
contoh : NO(g) = NO+(g) + e-(g) H = 890,7 kJ/mol. Berdasarkan beberapa contoh
yang telah disajikan di atas terlihat bahwa nilai entalpi pengion atom atau molekul
selalu bernilai positif karena untuk melepaskan elektron dari atom atau molekul
memerlukan energi.
1.2.2. Entalpi Penangkapan Elektron.
Entalpi penangkapan elektron identik dengan afinitas elektron atom. Perhatikan
beberapa contoh proses berikut ini :
Cl(g) + e-(g) = Cl-(g) H = -349 kJ/mol
O(g) + e-(g) = O-(g) H = -142 kJ/mol
O-(g) + e-(g) = O2-(g) H = 844 kJ/mol
Entalpi penangkapan elektron atom Cl bernilai negatif artinya pada proses tersebut
terjadi pelepasan energi. Demikian pula pembentukan ion O-, tetapi pada
pembentukan O2- H bernilai positif yang berarti bahwa dalam proses tersebut
terjadi penyerapan energi. Hal ini dapat dipahami karena ion O - telah bermuatan
negatif sehingga ion tersebut cenderung tolak menolak dengan elektron yang
ditangkap.

1.3. Energi Internal (U).

Energi internal pada hakekatnya merupakan energi total yang dimiliki oleh
suatu materi, yaitu berupa energi inti, energi elektronik, energi vibrasi, energi rotasi
dan energi translasi.
U = Uinti + Uelektronik + Uvibrasi + Urotasi + Utranslasi (1.2)
Energi inti adalah energi yang mengikat proton dan elektron dalam inti, dan memiliki
kisaran yang sangat besar dalam MeV (1 eV = 23,06 kkal/mol). Energi elektronik
adalah energi yang mengikat elektron dan memiliki kisaran yang cukup besar yaitu
ratusan kkal/mol. Energi vibrasi adalah energi yang timbul akibat vibrasi molekul dan
memiliki kisaran yang tidak terlalu besar yaitu dalam puluhan kal/mol. Energi rotasi
adalah energi yang timbul karena rotasi molekul dan memiliki kisaran yang kecil

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 4


yaitu dalam skala beberapa kalori. Energi translasi adalah energi yang timbul akibat
translasi molekul dan memiliki kisaran yang sangat kecil yaitu hanya beberapa kalori.
Dalam kebanyakan reaksi kimia, unsur yang terlibat dalam reaksi kimia mengalami
hanya mengalami perubahan konfigurasi elektronik. Dengan demikian, Energi yang
mengalami perubahan pada saat terjadi reaksi hanya sampai pada energi elektronik,
sedangkan energi inti tidak mengalami perubahan.
Menurut hukum termodinamika pertama (Hukum kekekalan energi) bahwa
Jika suatu sistem diberikan energi sebesar dQ maka sebagaian energi tersebut akan
digunakan untuk meningkatkan energi internal sebesar Uo + dU dan sebagian yang
lain akan digunakan oleh sistem tersebut untuk melakukan kerja sebesar dW.

Uo + dU
Sistem
dQ
Uo
dW

1.4. Energi Ikatan


Energi ikatan merupakan rata-rata energi disosiasi atau dapat dikatakan pula
sebagai energi atomisasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada contoh berikut.
HF(g) = H(g) + F(g) H = 566 kJ/mol
Energi tersebut merupakan energi yang diperlukan untuk memecahkan ikatan H-F.
Energi inilah yang disebut sebagai energi ikatan H-F. Kebalikan dari reaksi tersebut
adalah reaksi pembentukan ikatan H-F dimana pada proses tersebut terjadi pelepasan
energi yang besarnya setara dengan energi yang diperlukan untuk memecahkan ikatan
H-F tetapi Hnya bernilai negatif (H = -566 kJ/mol). Jadi secara umum dapat
dinyatakan bahwa jika dalam suatu proses terjadi pemutusan ikatan maka dalam
proses tersebut terjadi reaksi endotermis. Sebaliknya jika dalam suatu proses terjadi
pembentukan ikatan maka dalam proses tersebut terjadi reaksi eksotermis.

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 5


Beberapa contoh lain dapat dilihat pada persamaan reaksi berikut:
H2O(g) = H(g) + OH(g) H = 497 kJ/mol (1.3)
OH(g) = H(g) + O(g) H = 421 kJ/mol (1.4)

H2O(g) = 2H(g) + O(g) H = 918 kJ/mol (1.5)


Persamaan reaksi (1.5) merupakan penjumlahan dari reaksi (1.3) dan (1.4).
Rata–rata energi ikatan O-H dapat dihitung dari rata-rata H pada persamaan reaksi
(1.3) dan (1.4).
Rata-rata energi ikatan O-H = (H(1) + H(2))/2
= (497 + 421)/2 = 459 kJ/mol
Nilai rata-rata energi ikatan, tidak dapat digunakan untuk menduga entalpi
sesungguhnya pada proses pemecahan ikatan maupun pembentukan ikatan. Tetapi
dengan mengetahui nilai rata-rata energi ikatan, kita dapat mengestimasi H suatu
reaksi yang lain. Sebagai contoh dapat dilihat pada persamaan reaksi berikut :
NH3(g) = N(g) + 3H(g) H = 1172 kJ/mol
Dari persamaan reaksi tersebut, kita dapat menghitung energi ikatan N-H, E N-H yaitu :
H = ( energi ikatan pemutusan) - (energi ikatan pembentukan). (1.6)
1172 = (3EN-H ) – 0
EN-H =1172/3 = 390,7 kJ/mol, energi ikatan tersebut dapat digunakan untuk
mengestimasi energi ikatan N-N pada senyawa lain seperti hidrasin, N2H4.
N2H4(g) = 2N(g) + 4H(g) H = 1724 kJ/mol
H = ( energi ikatan pemutusan) - (energi ikatan pembentukan)
1724 = EN-N + 4EN-H
1724 = EN-N + 4 (390,7)
EN-N = 161,2 kJ/mol
Nilai-nilai tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan H reaksi dari
pemecahan ikatan triasin, N3H5.
N3H5(g) = 3N(g) + 5H(g) H = ?

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 6


H = ( energi ikatan pemutusan) - (energi ikatan pembentukan)
H = 2EN-N + 5EN-H
H = 2(161,2) + 5 (390,7) = 2275,9 kJ/mol
Jadi energi ikatan dapat digunakan untuk mengestimasi H pemutusan ikatan
suatu senyawa. Disamping itu energi ikatan dapat pula digunakan untuk meramalkan
stabilitas senyawa dimana makin tinggi energi ikatan maka semakin stabil senyawa
tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat membuat suatu tabel energi ikatan yang
dapat digunakan untuk menghitung secara cermat entalpi pembentukan molekul dari
atom-atom gas penyusunnya untuk berbagai kasus reaksi.

2. Hubungan antara Energi Entalpi, Energi Internal dan


Energi Ikatan
Kekuatan ikatan suatu molekul ditentukan oleh energi ikatannya. Energi ikatan
timbul akibat adanya energi elektronik, karena pada prinsipnya dalam reaksi kimia
yang mengalami perubahan adalah konfigurasi elektronik atom unsur yang berikatan.
Perubahan konfigurasi elektron suatu atom akan mengakibatkan perubahan energi
internal sistem tersebut. Energi internal dalam suatu sistem timbul akibat adanya
interaksi internal pada sistem. Hal ini dapat kita dilihat dari hubungan antara
entalpi(H) dan energi internal (U), dimana entalpi merupakan penjelmaan energi
ikatan.
H = U + PV (1.7)
Dalam skala mikroskopis dapat diasumsikan bahwa reaksi kimia dapat
berlangsung dari reaktan menjadi gas atomik lalu berubah menjadi produk dalam fasa
gas. Sebagai contoh jika atom-atom A direaksikan dengan atom-atom B maka akan
membentuk produk AB.
A + B A-B

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 7


Syarat agar atom-atom A dan B berubah menjadi produk AB adalah : (i) energi
ikatan A-B harus lebih besar dari energi ikatan A-A dan energi ikatan B-B, (ii)
stabilitas A-B harus lebih besar dari stabilitas A-A dan B-B. Umumnya makin besar
energi ikatan suatu zat makin tinggi stabilitasnya. Apabila kita tinjau proses
penggabungan antar atom reaktan maka reaksi di atas dapat digolongkan sebagai
reaksi asosiasi. Pada reaksi tersebut umumnya terjadi pelepasan energi (H bernilai
negatif). Oleh karena dalam proses penggabungan antar atom tersebut terjadi
pelepasan energi maka reaksi tersebut dapat pula disebut sebagai reaksi eksotermis.
Profile energinya seperti yang tampak pada Gambar 1.1.

Energi Energi

A+B A+B

A-B
A-B

Koordinat reaksi Koordinat reaksi

Gambar 1.1 Gambar1.2

Kebalikan dari proses tersebut adalah pemutusan ikatan molekul A-B menjadi atom-
atom penyusunnya. Reaksi seperti ini lazim disebut sebagai reaksi disosiasi. Oleh
karena pemutusan ikatan memerlukan energi maka reaksi tersebut juga dapat disebut
sebagai reaksi endotermis. Profile energinya seperti yang tampak pada Gambar 1.2.

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 8


Umumnya senyawa-senyawa stabil memiliki tingkat energi yang lebih rendah
dibanding dengan senyawa-senyawa yang kurang stabil. Reaksi kimia cenderung
berlangsung spontan ke arah tingkat energi yang lebih rendah.

3. Spontanitas Reaksi Kimia

3.1. Energi Bebas Gibbs (G) sebagai Petunjuk Arah Reaksi


Pada hakekatnya reaksi kimia merupakan perubahan reaktan menjadi produk.
Perubahan tersebut dapat terjadi jika atom-atom pada reaktan saling bertumbukan
satu dengan yang lain dan menata diri sedemikian rupa hingga atom-atom tersebut
berubah menjadi produk. Tumbukan antar atom dapat terjadi jika : (i) energi
tumbukan antar atom cukup untuk merubah atom pada reaktan menjadi produk, (ii)
atom-atom pada reaktan harus tertata sedemikian rupa sehingga atom tersebut
berubah menjadi produk. Dengan demikian maka dapat dinyatakan bahwa reaksi
kimia tidak lain hanyalah merupakan pemisahan, penggabungan dan pengaturan
kembali atom-atom . Hal ini sejalan dengan postulat yang dikemukakan oleh Dalton
bahwa pada saat terjadi reaksi, atom-atom yang terlibat dalam reaksi massanya tetap
dan juga sejalan dengan postulat yang dikemukakan oleh Proust bahwa perbandingan
atom-atom yang terlibat dalam reaksi kimia adalah selalu tetap.
Walaupun kedua syarat ini telah dimiliki oleh atom-atom yang terlibat dalam
reaksi kimia, masih ada kemungkinan atom-atom tersebut tidak mengalami reaksi.
Oleh karena itu dua syarat di atas masih memerlukan tinjauan dan pendekatan dari
sudut pandang yang lain. Jika kita asumsikan bahwa semua atom yang terlibat dalam
reaksi kimia, mula-mula membentuk atom-atom dalam fasa gas. Pertanyaan yang
muncul kemudian adalah apakah atom-atom dalam fasa gas tersebut cenderung
berada dalam bentuk reaktan atau dalam bentuk pruduk atau stabil dalam bentuk
produk ataukah stabil dalam bentuk reaktan. Jika atom-atom tersebut cenderung
membentuk produk, maka pada keadaan tersebut terjadi perubahan sistem dari sistem
yang kurang teratur menjadi sistem yangcenderung lebih teratur. Ada 2 faktor yang
menentukan kecenderungan pemisahan atom-atom reaktan dan penggabungan atom-

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 9


atom produk yaitu : (i) kekuatan ikatan (entalpi) dan (ii) Derajat ketidateraturan
(entropi).
Umumnya reaksi kimia cenderung berlangsung spontan ke arah ikatan yang
lebih kuat dan ke arah tingkat keteraturan yang lebih tinggi. Kedua faktor inilah yang
mempengaruhi perubahan kimia yang dapat ditentukan melalui fungsi termodinamika
yang disebut sebagai energi bebas Gibbss (G). Energi bebas Gibbs didefinisikan
sebagai perbedaan antara energi entalpi (H) dengan energi yang tidak digunakan
untuk kerja berupa entropi (S) pada temperatur absolut (T).
G = H - TS (1.8)
Entropi dihitung sebagai perubahan energi perderajat dengan satuan kal/K.mol
atau J/K.mol . Perubahan energi bebas Gibbs dapat dinyatakan dengan persamaan
(1.9).
G = H - TS (1.9)
Perubahan energi bebas Gibbs (G) merupakan salah satu besaran
termodinamika yang dapat digunakan untuk meramalkan arah reaksi kimia. Secara
termodinamika reaksi kimia cendeung berlangsung spontan kearah penurunan energi
bebas Gibbs (G < 0). Hal ini akan terjadi jika :
1. Energi ikat total produk lebih besar dari energi ikat total reaktan (H < 0),
dan tingkat ketidakteraturan produk lebih tinggi daripada tingkat
ketidakteraturan reaktan (S > 0). Sebagai contoh, pembentukan gas karbon
monoksida dari unsur karbon dan gas oksigen.
1/2O2(g) + C(s) = CO(g) Go = -137,2 kJ/mol
Ho = -110,5 kJ/mol
TSo = + 26,7 kJ/mol
2. Energi ikat total produk lebih besar daripada energi ikat total reaktan
(H < 0), dan tingkat ketidakteraturan produk lebih rendah daripada tingkat
ketidakteraturan reaktan (S < 0), tetapi S tidak boleh terlalu kecil untuk

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 10


membuat TS melampaui H. Sebagai contoh, sintesis amonia dalam
industri. N2(g) + 3H2(g) = 2NH3(g) Go = -167, kJ/mol
Ho = - 46,2 kJ/mol
TSo = - 29,5 kJ/mol
Besaran entropi yang negatif menunjukkan keteraturan produk yang lebih
besar daripada reaktan. Dalam hal ini, produk hanya mengandung 2 mol
molekul bebas dibanding reaktan yang mengandung 4 mol molekul bebas.
3. Energi ikat total produk lebih kecil dari energi ikat total reaktan (H > 0),
dan tingkat ketidakteraturan produk lebih tinggi daripada tingkat
ketidakteraturan reaktan (S > 0), dan TS > 0. Contoh dari kasus tersebut
adalah senyawa yang dilarutkan secara endotermis menghasilkan larutan
jenuh yang konsentrasinya lebih dari 1 M misalnya natrium klorida.
NaCl(s) = Na+(aq) + Cl-(aq) Go = - 2,7 kJ/mol
Ho = + 1,9 kJ/mol
TSo = + 4,6 kJ/mol
Perlu dipahami bahwa besaran Go hanya menyatakan kecenderungan arah
reaksi. Arah reaksi sangat erat kaitannya dengan kesetimbangan kimia. Karena itu
Go tidak menyatakan hasil yang sesungguhnya dalam suatu reaksi kimia.Untuk
memahami hasil yang sesungguhnya dalam suatu reaksi kimia dipelajari lebih lanjut
dalam kinetika kimia.

Kesetimbangan Reaksi Kimia


Letak kesetimbangan untuk setiap reaksi kimia, aA + bB + cC + ….. = dD
+ eE + fF + …..,pada suhu dan tekanan tertentu dinyatakan dengan kontanta
kesetimbangan, K yang didefinisikan sebagai berikut :

[D]d [E]e
K
[A]a [B]b

(1.10)

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 11


Pembahasan tentang kesetimbangan dalam bagian ini akan diambil salah satu
contoh spesifik reaksi reversible yaitu pembentukan amonia dari hidrogen dan
nitrogen
3H2(g) + N2(g)  2NH3(g) (1.11)
2NH3(g)  3H2(g) + N2(g) (1.12)
Jika hidrogen dan nitrogen dicampur dalam suatu wadah pada suhu kamar,
dengan perbandingan volume 3 : 1, maka reaksi tidak akan berlangsung spontan
kekanan untuk membentuk amonia. Akan tetapi jika suhu diturunkan dan tekanan
dinaikkan maka reaksi tersebut akan berlangsung spontan kekanan. Hal yang serupa,
untuk reaksi yang kekiri yaitu peruraian amonia menjadi hidrogen dan nitrogen. Pada
suhu kamar, amonia tidak akan spontan terurai menjadi hidrogen dan nitrogen kecuali
jika suhu dinaikkan dan tekanan diturunkan.
Jika hidrogen dan nitrogen dimasukkan dalam wadah tertutup, maka reaksi
(1.12) tidak akan berlangsung karena tidak ada amonia. Namun dengan
berlangsungnya reaksi (1.11) yakni terbentuknya produk berupa amonia, reaksi (1.12)
mula-mula berjalan lambat karena amonia yang terbentuk pada produk masih relatif
sedikit dan semakin lama laju reaksinya semakin cepat karena jumlah amonia yang
terbentuk semakin banyak. Sebaliknya reaksi (1.11) mula-mula berjalan cepat tetapi
semakin lama laju reaksinya semakin lambat karena jumlah hidrogen dan nitrogen
semakin berkurang. Jadi berkurangnya jumlah hidrogen dan nitrogen akan seiring
dengan bertambahnya jumlah amonia sehingga pada suatu saat akan tercapai keadaan
dimana laju reaksi kekiri sama dengan laju reaksi kekanan. Keadaan ini disebut
sebagai kesetimbangan reaksi kimia, sehingga kedua persamaan reaksi di atas dapat
dituliskan menjadi satu bentuk persamaan reaksi kesetimbangan sebagai berikut:
3H2(g) + N2(g) = 2NH3(g)

3.3. Hubungan Antara G dan K


Salah satu besaran termodinamika yang memberikan gambaran
kecenderungan arah reaksi adalah energi bebas Gibbs (G). Tinjauan tentang arah

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 12


reaksi akan dipelajari melalui reaksi kesetimbangan kimia. Jika zat A bereaksi dengan
zat B lalu berkesetimbangan membentuk C dan D dengan reaksi kesetimbangan
sebagai berikut :
A + B = C + D
maka akan diperoleh persamaan kesetimbangan sebagai berikut :
K = [C]  [D]  /[A]  [B]  (1.13)
dimana konsentrasi masing-masing zat tersebut menyatakan aktivitas
termodinamikanya. Aktivitas untuk reaksi-reaksi dalam larutan, umumnya dinyatakan
dengan konsentrasi (mol/L) dengan syarat larutan tersebut tidak terlalu pekat. Untuk
reaksi-reaksi dalam fasa gas, aktivitasnya dinyatakan dengan tekanan (atm). Untuk
cairan murni atau fasa padat, aktivitasnya sama dengan satu.
Secara eksperimen nilai G relatif sukar ditentukan. Tetapi dengan
menggunakan hubungan persamaan-persamaan fundamental termodinamika , besaran
tersebut dapat ditentukan. Dengan menggunakan hubungan antara kontanta
kesetimbangan dengan perubahan enrgi bebas Gibbs melalui persamaan
G = - RT ln K (1.14)
maka secara tidak langsung dapat ditentukan nilai G baik secara kualitatif maupun
secara kuantitatif. Apabila kita melihat hubungan antara K dan G seperti pada
persamaan (1.14), maka secara kualitatif dapat dinyatakan bahwa jika K besar maka
G akan semakin negatif yang berarti bahwa reaksi cenderung berlangsung spontan
ke kanan (kearah produk). Secara kuantitatif G dapat ditentukan pula melalui
persamaan (1.14), dimana nilai K dari persamaan (1.14) dapat ditentukan melalui
persamaan (1.13).

3. 4. Hubungan Kesetimbangan Reaksi dengan Suhu


Nilai konstanta kesetimbangan bergantung pada suhu. Kebergantungan tersebut
dapat ditentukan melalui persamaan-persamaan fundamental termodinamika dengan
cara mengukur besaran H baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
G = H - TS (1.15)

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 13


Dari persamaan (5) dan (6) :
-RT ln K = H - TS
ln K = -H/RT + S/R (1.16)

4. Prinsip Entropi
1. Keadaan gas lebih bolehjadi daripada keadaan cair dan keadaan cair lebih bolehjadi
daripada keadaan padat.
Atom-atom dalam molekul gas lebih independen satu sama lain daripada cair
atau padatan sehingga entropi gas lebih besar daripada entropi cair dan entropi cair
lebih besar daripada entropi padatan. Proses pelelehan dan penguapan melibatkan
suatu peningkatan entropi. Apabila dibandingkan antara entropi pelelehan dan entropi
penguapan maka perubahan entropi penguapan(sublimasi) relative lebih tinggi
daripada entropi pelelehan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkat
ketidakteraturan antara cair dan gas yang relatif tinggi. Disamping itu, interaksi utama
antar molekuler cairan normal melibatkan gaya Van der Waals. Entropi cair akan
lebih besar jika interaksi antar kutub lebih kuat atau terjadi jembatan protonik dalam
cairan. Beberapa nilai entropi zat dalam berbagai fasa pada suhu 25 oC disajikan
dalam Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Nilai entropi zat dalam berbagai fasa pada suhu 25 oC (kal/der.mol)
Zat Padat Cair Gas
Na 12,3 13,83 36,71
P 9,82 10,28, 38,98
Si 4,43 11,21 40,12
Pb 15,50 17,14 41,89
H 2O - 16,72 45,11
CH3OH - 30,30 56,80
SiO2 10,00 11,35 54,62
Li2O 8,98 9,86 56,03
BeO 3,38 10,50 47,21
TiO2 12,01 15,43 56,44
PbO 15,59 20,55 57,35
BCl3 45,30 - 85,30
NaCl 17,33 30,22 54,88
HgBr2 40,71 46,80 76,51

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 14


2. Gas-gas monoatomik lebihboleh jadi d aripada gas poliatomik oleh karena itu gas-
gas monoatomik cenderung memiliki entropi yang lebih tinggi daripada gas-gas
poliatomik.
Gas-gas monoatomik memiliki derajat Fketidakteraturan yang lebih tinggi
daripada gas-gas poliatomik. Pembentukan molekul poliatomik dengan struktur yang
pasti dan tertentu akan meningkatkan keteraturan molekul poliatomik sehingga akan
menurunkan entropi molekul poliatomik. beberapa nilai entropi gas monoatomik dan
poliatomik disajikan dalam Tabel 1.2.
Tabel 1.2 Beberapa nilai entropi gas monoatomik dan poliatomik (kal/der.mol)
Gas monoatomik Entropi Gas poliatomik Entropi
H 27,4 H2 15,6
N 36,6 N2 22,9
O 38,5 O2 25,5
F 37,9 F2 24,4
Si 40,1 Si2 17,5
P 39,0 P2 26,1
S 40,1 S2 27,3
Cl 39,5 Cl2 26,6

3. Padatan amorf lebih bolehjadi daripada padatan kristal sederhana dan padatan
kristal sedrhana lebih boleh jadi daripada padatan kristal kompleks.
4. Senyawa molekuler adisi atau senyawa kompleks koordinasi kurang boleh jadi
daripada komponen-komponen penyusunnya. Contoh [K2SO4.Al2(SO4)3]
komponen-komponen penysunnya adalah K2SO4SO dan Al2(SO4)3.
5. Senyawa-senyawa yang tersusun dari unsur-unsur dengan berat atom yang lebih
tinggi cenderung memiliki entropi yang lebih tinggi. Beberapa contoh disajikan
dalam Tabel 1.3
6. Pada temperatur biasa pengaruh entropi pada arah reaksi umumnya relatif kecil
kecuali jika selisih energi ikat total produk dan reaktan relatif kecil.
7. Semua reaksi kimia yang melibatkan kenaikan entropi akan berlangsung secara
spontan pada temperatur yang cukup tinggi.

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 15


Tabel 1.3 Pengaruh massa terhadap entropi gas pada suhu 25oC (kal/der.mol)
X F Cl Br I
HX 41,51 44,65 - -
NaX 51,70 54,88 - -
MgX2 55,89 61,50 - -
PbX2 69,35 76,63 82,43 85,91
BX3 60,71 69,32 - -
ZrX4 76,95 87,37 98,78 108,42
NOX 59,27 - 65,38 67,67

5. Kinetika Reaksi
Pada bagian ini akan diuraikan pengantar kenetika yang meliputi: laju reaksi
kimia (r) dan hukum laju reaksi, pengaruh suhu pada laju reaksi kimia serta peranan
katalis dalam reaksi kimia.
Laju reaksi bergantung pada beberapa faktor antara lain suhu, konsentrasi,
tekanan dan katalis. Pembahsan pada bagian ini akan dibatasi pada pengaruh suhu
dan peranan katalis dalam reaksi kimia.

5. 1. Laju (r) dan Hukum Laju Reaksi Kimia


Laju reaksi . Laju reaksi adalah perubahan konsentrasi zat-zat dalam reaksi
kimia tiap satuan waktu. Jika suatu reaksi, A + B  C + D, maka
persamaan laju reaksinya dapat dinyatakan sebagai berikut :
r = -1/ d[A]/dt = -1/ d[B]/dt = + 1/ d[C]/dt = + 1/ d[D]/dt (1.17)

Hukum Laju. Hukum laju merupakan suatu persamaan aljabar yang


ditentukan secara eksperimen. Secara umum hukium laju dapat dinyatakan
sebagai berikut :
r = k [A]m [B]n (1.18)
dengan k = konstanta laju reaksi
m = orde reaksi A
n = orde reaksi B

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 16


m + n = orde reaksi
Dari persamaan (1.17) dan (1.18) kita dapat menentukan persamaan hukum
laju orde reaksi ke-n komponen tunggal reaksi ireversibel dapat dijabarkan dengan
metode integrasi.
- Orde reaksi ke-nol (n = 0)
A  Produk
r = -1/ d[A]/dt = k[A]n
untuk n = 0
-1/ d[A]/dt = k[A]0
-1/ d[A]/dt = k
1/ d[A] = kdt
d[A] = -kdt (1.19)
Jika persamaan (1.19) integralkan maka :
d[A] = -k dt , pada t = 0; [A] = Ao dan t = t; [A] = At
sehingga akan diperoleh :
A = -kt + Ao (1.20)
Hal yang serupa dapat dijabarkan untuk orde reaksi yang lain.

5.2. Pengaruh Suhu pada Laju Reaksi


Kecepatan reaksi kimia akan bertambah dengan naiknya suhu. Kenaikan
suhu pada suatu reaksi kimia akan meningktkatkan vibrasi molekul yang terlibat
dalam reaksi. Jika vibrasi meningkat maka frekuensi tumbukan antar molekul, juga
akan meningkat sehingga laju reaksi akan semakin besar.
Ada 2 (dua) teori yang digunakan untuk menjelaskan kebergantungan laju
reaksi pada suhu.
1. Teori Arrhenius
dlnk/dT = Ea/RT2 (1.21)
jika persamaan (1.21) diintegralkan akan diperoleh:
ln k = - Ea/RT + ln A (1.22)

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 17


dengan k = konstanta laju reaksi
Ea = energi aktivasi
A = konstanta Arrhenius
T = suhu (K)
R = konstanta gas
Pada suhu tertentu, makin tinggi energi aktivasi maka makin lambat reaksi
yang berlangsung. Dengan membuat kurva log k terhadap T nilai Ea dan
A dapat ditentukan.
2. Teori Laju Reaksi Absolut
Pada dasarnya teori ini menyatakan bahwa pada tahap penentu kecepatan
reaksi, zat-zat reaktan, A dan B bergabung secara reversibel membentuk suatu
kompleks teraktivasi, AB* yang selanjutnya terdekomposisi menjadi produk.
A + B = AB*  Produk. Konstanta kesetimbangan semu untuk kompleks
teraktivasi tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :
K* = [AB*]/[A] [B] (1.23)
Kompleks teraktivasi, AB* diasumsikan sebagai molekul biasa kecuali bahwa
salah satu vibrasinya mempunyai gaya yang relatif kecil dan bersifat
ireversibel. Frekuensi pada saat terjadinya disosiasi kompleks teraktivasi, AB *
menjadi produk akan menimbulkan energi sebesar h. Energi tersebut
diasumsikan setara dengan energi panas, kT yang dapat dijabarkan melalui
persamaan-persamaan berikut :
d [ A]
  h[ AB * ]  kT [ AB * ] (1.24)
dt
d [ A] kT
  [ AB * ]  [ AB * ]
dt h
(1.25)
Mengingat bahwa tetapan kecepatan reaksi, k dapat dinyatakan dengan :
d [ A]
  k [A] [B] (1.26)
dt

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 18


Maka dari persamaan (1.25) dan (1.26) dapat diperoleh persamaan :
kT
k [ A][ B ]  [ AB * ] atau
h
*
 kT  [ AB ] kT
k    K*
 h  [ A] [ B ] h

(1.27)
Pembentukan kompleks teraktivasi tersebut, juga diatur oleh ketentuan
termodinamika dimana dapat diperoleh hubungan antara konstanta kesetimbangan
dan energi bebas Gibbs.
G *   RT ln K * (1.28)
sehingga, dari persamaan (1.27) dan (1.28) diperoleh persamaan :
 kT   G * / RT
k  e (1.29)
 h 
Mengingat , G *  H *  TS * (1.30)
Maka dari persamaan (1.29) dan (1.30) diperoleh persamaan :
 kT   ( H *  TS * ) / RT
k  e
 h 
kT  H * / RT  S * / R
k e
h
kT S * / R  H * / RT
k e e
h
(1.31)
Mengingat bahwa E  H  RT atau H  E  RT maka persamaan
(1.31) dapat dituliskan sebagai :
*
k  ( kT / h) e S /R
e  ( E  RT ) / RT
*
k  ( kT / h) e S /R
e  E / RT e1
*
k  (ekT / h) e S /R
e  E / RT (1.32)
Persamaan (1.32) dapat dihubungkan dengan Persamaan Arrhenius sehingga
persamaan (1.32) dapat dituliskan menjadi :

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 19


* *
k  (ekT / h) e S /R
e  Ea / RT dengan (ekT / h) e S /R
 A ( faktor Arrhenius )

(1.33)
Dari persamaan (1.33) dinyatakan 3 (tiga) hal penting yaitu :
1) Konstanta laju, k berbanding lurus dengan suhu
2) Konstanta laju, k berbanding lurus dengan entropi aktivasi
3) faktor Arrhenius merupakan fungsi entropi aktivasi

5. 3. Peranan Katalis dalam Reaksi Kimia


Katalis adalah suatu zat yang mengakibatkan reaksi lebih cepat mencapai
kesetimbangan. Katalis tidak akan mengubah nilai tetapan kesetimbangan. menurut
terori kecepatan reaksi absolut, peranan katalis adalah menurunkan energi bebas
pengaktifan, G*. Katalis dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu : (i) katalis homogen
dan (ii) katalis heterogen. Salah satu contoh katalis homogen adalah katalisasi asam
pada dekomposisi asam formiat. Pada proses tersebut asam kuat ditambahkan pada

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 20


larutan asam fomiat sehingga terbentuk kompleks teraktivasi. Gambaran tentang
dekomposisi asam formiat tanpa katalis asam disajikan dalam Gambar 1.3, dan
dekomposisi asam formiat dengan katalis asam disajikan dalam Gambar 1.4.
O H

C O

C
ΔGo H O
H
∆G*

∆Go
CO + H2O

Koordinat reaksi

Gambar 1.3. Profile dekomposisi asam formiat tanpa katalis asam.

O
+C HCO+ + H2O
H
H O
H

ΔGo CO + H2O + H+

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 21


O
O C
+ + H
C H+ H O
H
O
H H
ΔG*

ΔGo

Koordinat reaksi
Gambar 1.4. Profile dekomposisi asam formiat dengan katalis asam.

Salah satu contoh katalis heterogen adalah hidrogenasi olefin. Jika olefin
dihidrogenasi pada suhu kamar, maka reaksi akan berjalan lambat.
RCH=CH2 + H2  RCH2CH3
Jika reaksi tersebut berlangsung pada temperatur yang tinggi, diharapkan reaksi akan
berjalan cepat. Akan tetapi untuk hidrogenasi olefin jika dikerjakan pada suhu yang
tinggi akan mengalami beberapa kendala antara lain : kesulitan mengatur suhu dan
juga akan muncul produk lain yang tidak diharapkan. Karena itu, untuk mengatasi
kendala tersebut, kedalam reaksi tersebut perlu ditambahkan suatu katalis platinum
dengan menggunakan padatan pendukung berupa alumina atau silika.
Mekanisme katalisis tersebut dapat dimodelkan sebagai berikut :
H
H
M + H2 M + RCH CH2 RCH=CH2 M
H
H

R
H CH2
CH3CH2R
M CH2

6. Potensial Sel dan Elektroda

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 22


6.1. Pengertian Potensial Sel dan Elektroda
Secara termodinamika arah dan batasan reaksi ditunjukkan oleh besaran G,
tetapi dalam prakteknya tidak mudah untuk mengukur besaran tersebut. Umumnya
G dapat ditentukan melalui reaksi redoks dengan cara menghitung perbedaan
potensial antara dua elektroda, E (dalam volt). Nilai E tersebut dapat dihubungkan
dengan G melalui persamaan-persamaan berikut :
E  E o  RT nF ln Q
(1.34)
E disebut potensial standar, n adalah jumlah electron seperti yang tertulis dalam
reaksi redoks ,F adalah konstanta Faraday, 96.500 coulomb dan Q adalah ungkapan
persamaan aljabar reaksi yang identik dengan konstanta kesetimbangan reaksi kimia.
Jika konsentarsi masing- masing zat dalam reaktan dan produk sama dengan satu
maka ln Q = ln 1 = 0. Dengan demikian maka nilai E akan sama dengan nilai E.
Contoh :
Zn(s) + 2H+(aq)  Zn2+(aq) + H2(g)
Q = aH2 . aZn2+/aZn . (aH+)2 (1.35)
Mengingat aktivitas Zn = 1 (aktivitas padatan = 1) maka persamaan diatas
menjadi :
Q = aH2 . aZn2+/(aH+)2 (1.36)
Jika reaksi redoks di atas tetap berlangsung hingga reaksi mencapai keadaan
kesetimbangan maka nilai numerik Q akan sama dengan konstanta kesetimbangan K
dan jika reaksi tersebut telah mencapai kesetimbangan maka dalam reaksi tersebut
tidak ada lagi kecenderungan perpindahan elektron dari elektroda yang satu ke
elektroda yang lain. Secara matematis pernyataan ini dapat dinyatakan bahwa Q = K
dan E = 0 sehingga persamaan (1.34) menjadi :
0  E o  RT nF ln K

E o  RT nF ln K

nFE o  RT ln K (1.37)

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 23


Mengingat : G o   RT ln K maka (1.38)
dari persamaan (1.37) dan (1.38) akan diperoleh
G o   nFE o (1.39)
Nilai G o reaksi dari serangkaian reaksi kimia dapat diperoleh melalui
penjumlahan aljabar serangkaian reaksi. Berdasarkan persamaan (1.39) maka nilai
E o reaksi juga dapat diperoleh dengan cara yang identik dengan nilai G o reaksi.
Namun perlu diingat bahwa dalam penjumlahan aljabar serangkaian reaksi dalam
penentuan nilai E o reaksi, ada faktor n dan F. Jika dalam suatu reaksi redoks nilai
n pada reaksi oksidasi sama dengan nilai n pada reaksi reduksi maka dalam penentuan
E o reaksi, nilai n tersebut dapat diabaikan . Mengingat F adalah suatu konstanta
maka faktor tersebut juga dapat diabaikan. Sebagai contoh dapat dilihat pada reaksi
berikut :
Zn(s) + 2H+(aq)  Zn2+(aq) + H2(g)
o
(n = 2) nF E1 = +0,763 V

2Cr3+(aq) + H2(g)  2Cr2+(aq) + 2H+(aq)


o
(n = 2) nF E 2 = -0,408 V

Zn(s) + 2Cr3+(aq)  Zn2+(aq) + 2Cr2+(aq)


o
(n = 2) nF E3 = +0,355 V
Reaksi ketiga diperoleh dari penjumlahan aljabar reaksi pertama dan kedua,
sehingga diperoleh persamaan :
o o o
nF E1 + nF E 2 = nF E3 (1.40)
Pada reaksi di atas, nilai n = 2 sehingga diperoleh :
o o o
2F E1 + 2F E 2 = 2F E3
o o o
2F( E1 + E 2 ) = 2F E3
o o o
E1 + E 2 = E3 (1.41)

6.2 Tanda nilai


o
E

Secara fisik, tidak ada cara yang absolut untuk memakai tanda aljabar dalam
pengukuran nilai . Untuk itu harus dibuat suatu perjanjian, seperti digambarkan
o
E

di atas, bahwa tanda-tanda tersebut adalah kebalikan satu dengan lainnya. Pada reaksi

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 24


kimia berimbang yang sebenarnya, perjanjian tanda untuk nilai ditentukan
o
E

dengan persamaan (1.39). Nilai merupakan besaran termodinamika yang dapat


o
G

dijadikan rujukan untuk menentukan spontanitas reaksi kimia. Makin negatif nilai
maka reaksi tersebut semakin spontan. Dari persamaan (1.39) dapat dinyatakan
o
G

bahwa jika makin negatif maka akan semakin positif . Dengan demikian
o o
G E

maka kesetimbangan reaksi cenderung bergeser kearah produk. Oleh karena itu untuk
reaksi-reaksi yang memiliki nilai yang positif akan cenderung berlangsung
o
E

o
spontan seperti reduksi Cr3+ menjadi Cr2+ oleh logam Zn, ( E3 = +0,355 V).

6.3. Setengah Sel dan Potensial Setengah Sel (Elektroda)

Setiap reaksi kesetimbangan dalam reaksi redoks, dapat dituliskan secara


terpisah dalam dua ˝ setengah reaksi˝ . Sehubungan dengan itu, setiap sel
elektrokimia dapat dipisahkan menjadi dua setengah sel hipotesis. Potensial sel
sesungguhnya, dapat diasumsikan sebagai jumlah aljabar dari dua potensial
o
E

setengah sel. Menurut IUPAC potensial setengah sel dan potensial elektroda
dituliskan dalam bentuk reduksi dan dalam bentuk potensial setengah sel atau
potensial elektroda. Ketentuan ini akan lebih mudah dihafal dengan menandai bahwa
reaksi setengah sel dengan potensial negatif adalah kaya akan elektron. Bila dua
buah setengah sel digabungkan menghasilkan sel elektrolitik sempurna, maka secara
fisik elektroda yang mempunyai potensial standar setengah sel yang lebih negatif
akan menjadi elektroda negatif.
Dalam ketiga reaksi di atas terdapat tiga setengah reaksi
Pertama : Reaksi antara Zn dan H+(aq)
Zn(s)  Zn2+(aq) ) + 2e-
o
E1 = +0,763 V

2H+(aq) + 2e-  H2(g)


o
E 2 = 0,000 V

Zn(s) + 2H+(aq)  Zn2+(aq) + H2(g)


o
E1 = +0,763 V
Kedua : Reaksi antara Cr2+(aq) dan H+(aq)

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 25


Cr3+(aq) + e-  Cr2+(aq) (x2)
H2(g)  2H+(aq) + 2e- (x1)
2Cr3+(aq) + 2e-  2Cr2+(aq)
o
E1 = -0,408 V

H2(g)  2H+(aq) + 2e-


o
E 2 = 0,000 V

2Cr3+(aq) + H2(g)  2Cr2+(aq) + 2H+(aq) E 2 = -0,408 V


o

Ketiga : Reaksi antara Cr3+(aq) oleh Zn(s)


Zn(s)  Zn2+(aq) ) + 2e-
o
E1 = +0,763 V

2Cr3+(aq) + 2e-  2Cr2+(aq)


o
E 2 = -0,408 V

Zn(s) + 2Cr3+(aq)  Zn2+(aq) + 2Cr2+(aq)


o
E3 = +0,355 V

Secara aljabar, potensial sel dari ketiga reaksi di atas dapat dituliskan sebagai berikut:
o o o
2 E1 + 2 E 2 = 2 E3
o o o
2( E1 + E 2 ) = 2 E3
o o o
E1 + E 2 = E3
Jika dalam suatu reaksi redoks nilai n pada reaksi oksidasi tidak sama dengan
nilai n pada reaksi reduksi maka dalam penentuan E o reaksi, nilai n tersebut tidak
dapat diabaikan. Sebagai contoh dapat dilihat apada reaksi berikut :
Cl- + 3H2O  ClO3- + 6H+ + 6e- E1 = -1,45V
o o
6 E1 = -8,70V

e- + 1/2Cl2  Cl-
o o
E1 = +1,36V 1 E 2 = +1,36V

1/2Cl2 + 3H2O  ClO3- + 6H+ + 5e-


o
5 E 3 = -7,34V
o o o o o o
Hubungan yang benar adalah : 6 E1 + 1E 2 = 5 E 3 jadi E1 + E 2 ≠ E3
.

Dasar-dasar Reaksi Anorganik 26

Anda mungkin juga menyukai