Anda di halaman 1dari 4

ASET TIDAK TETAP/TIDAK BERWUJUD

1. Perbedaan aset tidak tetap (aset tidak berwujud) dalam GAAP dan IFRS

Dalam standar akuntansi yang mengacu ke Amerika (US GAAP), akuntansi untuk aset tetap relatif tidak
menimbulkan banyak masalah, karena standar akuntansi aset tetap berdasar US GAAP menggunakan
basis nilai historis. Sedangkan IFRS tidak menggunakan basis nilai historis, mengingat basis nilai historis
berimplikasi pada penyajian laporan keuangan yang dipandang kurang relevan dengan kebutuhan nyata
pengguna informasi karena tidak mampu menggambarkan nilai riil aset tetap yang disajikan di dalam
laporan keuangan. Dengan demikian, jika pada akhirnya wacana standar akuntansi yang tidak
dimasukkan ke dalam US GAAP sekarang justru dimasukkan ke dalam IFRS, maka pengguna standar
harus terampil di dalam menerapkannya sehingga tujuan ideal dari IFRS benar-benar bisa dicapai.

Kemudian, untuk aset tidak berwujud, baik dibawah IFRS yang terdapat dalam IAS 38 maupun US GAAP,
aktiva tak berwujud seperti paten, merek dagang, dan daftar pelanggan yang diperoleh dalam
penggabungan usaha harus diakui sebagai aset terpisah dari goodwill sebesar nilai wajarnya.
perusahaan yang mengakuisisi harus mengakui aset tidak berwujud sebagai aset bahkan jika mereka
tidak diakui sebagai aset oleh pihak yang diakuisisi (acquiree), asalkan nilai wajarnya dapat diukur secara
andal. jika nilai wajar tidak dapat diukur dengan andal, aset tidak berwujud tidak diakui sebagai aset
yang terpisah tetapi termasuk dalam goodwill.

Perbedaan besar antara IFRS dan US GAAP terletak dalam Aset Tidak Tetap/Tidak Berwujud, antara lain:

• Perlakuan aset tidak berwujud yang dihasilkan secara internal. Untuk menentukan apakah suatu aset
tidak berwujud yang dihasilkan secara internal harus diakui sebagai aset, IAS 38 mensyaratkan
pengeluaran sehingga menimbulkan aktiva tak berwujud potensial untuk diklasifikasikan sebagai beban
penelitian atau pengembangan. Jika keduanya tidak dapat dibedakan, semua pengeluaran harus
diklasifikasikan sebagai pengeluaran penelitian. pengeluaran penelitian harus dibebankan pada saat
terjadinya.

• Pengakuan biaya pengembangan secara umum sebagai aset merupakan perbedaan besar dari US
GAAP, yang memungkinkan pengakuan tersebut hanya yang berkaitan dengan biaya perangkat lunak
komputer. Goodwill yang dihasilkan secara internal tidak dapat dikapitalisasi berdasarkan IFRS atau US
GAAP.

• Pengujian Penurunan Nilai Aset Tidak Tetap (Impairment of Goodwill)

Dalam IAS 36, jumlah terpulihkan (recoverable amount) dari goodwill harus ditentukan setiap tahun
terlepas dari apakah indikator penurunan nilai disajikan. Dalam IFRS, jumlah terpulihkan (recoverable
amount) telah ditetapkan untuk unit penghasil kas atau cash generating unit (misalnya, sebuah bisnis
yang diperoleh) dimana goodwill menjadi milik dengan terlebih dahulu menerapkan tes bottom-up.
dalam tes ini, goodwill dialokasikan ke unit penghasil kas individual dalam peninjauan, jika mungkin, dan
penurunan nilai dari unit penghasil kas kemudian ditentukan dengan membandingkan (1) nilai tercatat
ditambah goodwill yang dialokasikan dan (2) jumlah yang dapat dipulihkan. Jika goodwill tidak dapat
dialokasikan dengan dasar yang memadai dan konsisten untuk unit penghasil kas dalam peninjauan,
maka kedua tes, bottom-up dan top-down, harus diterapkan. Pada tes top-down, goodwill dialokasikan
kepada kelompok terkecil penghasil unit kas dimana dapat dialokasikan secara wajar dan konsisten, dan
penurunan nilai dari kelompok penghasil unit kas ini kemudian ditentukan dengan membandingkan (1)
nilai tercatat dari kelompok ditambah goodwill yang dialokasikan dan (2) jumlah yang dapat dipulihkan.
Sementara dalam US GAAP, hanya membutuhkan tes bottom-up dan hanya untuk itu goodwill yang
terkait dengan aset yang ditelaah untuk penurunan nilai.

2. Lantas, negara apa saja yang mengadopsi full IFRS untuk perusahaannya?

Indonesia sebagai salah satu negara G20 memiliki status full IFRS yang cukup rendah disamakan dengan
India dan China yang tidak mengijinkan Full IFRS sebagai opsi. Sementara anggota G20 yang lain
mayoritas mengadopsi penuh IFRS baik untuk perusahaan terdaftar di bursa maupun yang tidak. Dua
negara besar G20 yakni Jepang dan USA, mengijinkan perusahaan yang memenuhi syarat untuk memilih
IFRS.

Namun, perlu dipertimbangkan lagi apakah penggunaan IFRS ini akan menguntungkan laporan
keuangannya, atau justru akan merugikannya. Ternyata, memang di beberapa negara yang
perusahaannya sudah menerapkan full IFRS, justru merasa tidak cocok menerapkan IFRS dikarenakan
beberapa alasan. Diantaranya negara tersebut yaitu:

1. Jepang

Jepang menyediakan opsi full IFRS pada tahun 2010, tetapi hal itu disambut dingin oleh emiten. Hanya
satu perusahaan Jepang yang mengadopsi full IFRS di tahun 2010, lalu hanya bertambah dua
perusahaan di tahun 2011, dan bertambah pelan setiap tahun. Pada tahun 2015 jumlah pengguna full
IFRS di Jepang hanya berjumlah 75 perusahaan atau sekitar 18.5% kapitalisasi pasar modal di Jepang.
Padahal dorongan politik di Jepang sangat kuat terhadap IFRS dari Liberal Democratic Party dan
pemerintah Jepang (Nobes and Zeff, 2016).

2. Canada

Banyak dual listed Canada yang tetap memilih menggunakan US GAAP (baik untuk pelaporan di Amerika
maupun di Canada) beralasan bahwa investor membandingkan mereka dengan kompetitor mereka di
Amerika Serikat sehingga dengan menggunakan US GAAP maka mereka akan lebih mudah
diperbandingkan. Per tahun 2014 terdapat 128 perusahaan Canada yang menggunakan US GAAP yang
mana 110 di antaranya terdaftar di Bursa Amerika (Nobes & Zeff, 2016).

3. Swiss
Sepanjang tahun 2008-2012 terdapat 24 perusahaan publik di Swiss yang beralih dari IFRS ke Swiss
GAAP, salah satunya adalah produsen arloji terkenal Swatch (Fiechter et.al 2012; Fiechter at al, 2018).
Alasan utama peralihan tersebut adalah kekhawatiran biaya penerapan IFRS yang mahal karena IFRS
lebih cepat berganti daripada Swiss GAAP.

Kemudian, meskipun di Indonesia IFRS masih terbilang rendah pemakaian, ternyata ada 2 perusahaan
yang menerapkan adopsi full IFRS dalam standar laporan keuangannya. Perusahaan tersebut adalah PT.
Telkom Indonesia Tbk yang juga terdaftar di bursa efek Amerika Serikat dan PT. Aneka Tambang, Tbk
yang terdaftar di bursa efek Australia. Kedua perusahaan ini sudah membuat laporan keuangan berbasis
IFRS untuk pelaporan di kedua negara asing tersebut.

Dengan mengacu pada pembahasan aset tidak tetap, maka kami akan membahas lebih lanjut mengenai
perusahaan PT. Telkom Indonesia yang merupakan perusahaan publik yang bergerak di bidang
telekomunikasi. Apakah PT. Telkom Indonesia mengalami masalah dalam pemakaian IFRS dan akan ada
kemungkinan untuk kembali menggunakan standar umum Indonesia (PSAK) seperti 3 negara di atas?
Lalu, bagaimana perlakuan aset tidak tetap dalam PT. Telkom Indonesia?

3. Implikasi IFRS pada Aset Tidak Tetap/Tidak Berwujud di PT. Telkom Indonesia

Dalam sejarahnya, Standar Akuntasi Indonesia bersumber dari Amerika Serikat atau yang biasa dikenal
dengan U.S. GAAP (United States Generally Accepted Accounting Principles). Standar akuntansi yang
pertama kali dikeluarkan oleh IAI adalah secara langsung diadopsi dari riset akuntansi yang dikeluarkan
oleh AICPA pada tahun 1965 dengan judul "Inventory of Generally Accepted Accounting Principles for
Business Enterprises" dan prinsip-prinsip akuntansi yang dikeluarkan pada tahun 1984 juga berdasarkan
kepada pernyataan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat. Sejak saat itu kebijakan akuntansi yang
dikeluarkan oleh IAI selalu menganut kepada standar yang telah dikeluarkan oleh Amerika Serikat.

Pada tahun 1994 Komite SAK (Standar Akuntansi Keuangan) mengambil kebijakan untuk menggunakan
IAS (International Accounting Standards) sebagai salah satu dasar dalam menetapkan standar akuntansi
keuangan nasional. Penggunaan IAS menambah pedoman yang diacu oleh DSAK (Dewan Standar
Akuntansi Keuangan) dalam membuat standar akuntansi nasional selain U.S. GAAP. Pada tahun 1998
negara Indonesia mengalami krisis keuangan yang berdampak keluarnya investasi asing dari pasar modal
negara tersebut. Krisis keuangan Asia pada akhir tahun 1990 menciptakan krisis kepercayaan pada
kualitas pelaporan keuangan pada regional tersebut (Margaret et al, 2007). Berdasarkan pernyataan
Margaret dampak keluarnya investasi asing dari pasar modal Indonesia disebabkan oleh rendahnya
kualitas penyajian laporan keuangan perusahaan yang dilaksanakan di Indonesia.

Kualitas pedoman penyajian laporan keuangan yang telah diadopsi dari U.S GAAP dan IAS mulai
dipertanyakan, ditambah dengan terjadinya beberapa skandal akuntansi yang menimpa Amerika Serikat
dan negara Eropa lainnya seperti kasus yang terjadi pada Arthur Andhersen, Enron, WorldCom, dan lain-
lain. Perkembangan di dalam permasalahan penyajian pelaporan keuangan ini telah meningkatkan
jumlah panggilan untuk adanya sebuah standar internasional yang transparan, berkualitas tinggi dan
dapat diperbandingkan yang dapat mempermudah tugas dalam mengekstrak informasi yang berguna
pada pelaporan perusahaan (Margaret et al, 2007).

Pada tahun 2008 pedoman standar akuntansi di Indonesia yang bernama Pedoman Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) mulai mengkonvergensi IFRS sebagai acuan dalam penyusunan pedoman penyajian
laporan keuangan. Konvergensi IFRS ini dilakukan oleh karena adanya butir syarat Indonesia sebagai
anggota G20 yang harus melakukan konvergensi standar akuntansi internasional (IFRS) ke dalam standar
akuntansi lokal negara Indonesia. Tahapan konvergensi IFRS di Indonesia dilakukan melalui tiga tahap
yaitu tahap adopsi, tahap persiapan, dan tahap implementasi. Konvergensi IFRS ke dalam standar
akuntansi nasional memberikan dampak positif di beberapa negara yang telah mengadopsinya. PT.
Untuk Telkom Indonesia merupakan salah satu perusahaan yang telah melaksanakan penyajian laporan
keuangan yang telah konvergensian dengan IFRS yang telah ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia.
Perubahan adopsi standar yang ditetapkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan dari sebelumnya
U.S. GAAP menjadi IFRS yang mulai diimplementasikan dalam laporan keuangan perusahaan pada tahun
2011.

Sesuai dengan bahasan kami mengenai aset tidak tetap/aset tidak berwujud, ternyata terdapat
perbedaan pada saat menerapkan standar baru dengan standar lama. Pedoman standar akuntansi yang
berpengaruh signifikan dalam laporan keuangan PT Telkom Indonesia adalah PSAK 22 (Revisi 2010)
mengenai Kombinasi Bisnis. Standar IFRS menjadi tolok ukur dalam perbandingan ini dikarenakan proses
pengadopsian IFRS secara penuh yang ditetapkan oleh DSAK IAI IFRS 3 "Business Combination". Standar
ini berperan pada rekonsiliasi akun aset tak berwujud PT Telkom Indonesia pada tahun 2011. Pada
standar ini menetapkan bahwa untuk perusahaan yang pertama kali mengadopsi IFRS ini maka
amortisasi goodwill dari kombinasi bisnis sebelumnya dihentikan dan menguji penurunan goodwill
sesuai dengan IAS 36.

Anda mungkin juga menyukai