Anda di halaman 1dari 13

HASIL PEMBELAJARAN

SKENARIO 1
DARI B20 KE A15
BLOK PENGOBATAN RASIONAL

A. NURJAYANTI ILYAS
15120190077
KELOMPOK 4

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan definisi dan etiologi dari TB
dan HIV
A. Definisi dan Etiologi TB
Tuberculosis adalah suatu penyakit infeksi kronik yang menyerang hampir
semua organ tubuh manusia dan organ yang terbanyak adalah paru-paru
yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, dimana bakteri ini
termasuk basil gram positif (pharmaceutical care untuk penyakit TB, 2005,
h.12, dan Sudoyo dkk, 2009, h. 2230).
Etiologi dari TB disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, dimana
kuman ini tahan terhadap asam pada pewarnaan, sehingga disebut sebagai
Basil Tahan Asam (BTA) (pharmaceutical care untuk penyakit TB, 2005, h.
12).
B. Definisi dan Etiologi HIV
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus RNA, yang menyerang
system imun terutama CD4+ limfosit T, yang melemahkan pertahanan imun
dan dapat menimbulkan penyakit atau gejala AIDS.
Etiologi dari HIV penyakit HIV/AIDS adalah Human Immunodeficiency
Virus, yaitu virus yang menyebabkan terjadinya penurunan kekebalan tubuh
yang termasuk genus retrovirus yang dikelilingi oleh membrane lipid
(pedoman pelayanan kefarmasian untuk orang dewasa HIV/AIDS
(ODHA), 2006).

2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi dari TB dan HIV


A. Patofisiologi TB
TB dapat ditularkan oleh kuman yang dibatukkan atau dibersinkan oleh
penderita TB kemudian keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita.
Partikel ini dapat menetap dalam udara bebes selama 1-2 jam tergantung ada
atau tidaknya sinar uv. Dalam suasanan lembab dan gelap kuman tersebut
dapat bertahan, bila partikel atau bakteri TB ini dihirup oleh orang yang
normal yang tidak menderita TB maka dapat menempel pada saluran nafas
atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolus dan memperbanyak diri,
sebagian kecil tubercle bacilli masuk ke dalam aliran darah kemudian
menyebar ke seluruh tubuh. Tubercle bacilli dapat mencapai setiap bagian
tubuh kita, termasuk otak, laring, saluran limfa, paru-paru, tulang belakang,
tulang atau ginjal. Makrofag akan mengelilingi dan memakan tubercle bacilli
dalam 2 hingga 8 minggu. Makrofag akan membentuk lapisan pelindung
(granuloma) sebagai penampung dan pengendali tubercle basilli. Jika system
imun tidak dapat mengendalikannya maka bacilli mulai memperbanyak diri
dengan cepat sehingga terjadi penyakit TB. Proses ini dapat terjadi pada area
yang berbeda di tubuh seperti paru-paru, otak, atau tulang (Sudoyo dkk,
2009, h. 2232 dan Iriati dkk, 2016, h. 33)
B. Patofisiologi HIV
Virion HIV matang memiliki bentuk yang hampir bulat bagian luarnya
terdapat lemak lapis ganda yang mengandung banyak tonjolan protein.
Tonjolan ini terdiri dari dua glikoprotein yaitu gp120 dan gp41. HIV adalah
suatu retrovirus sehingga materi genetiknya berada dalam bentuk RNA bukan
DNA. Enzim reverse transcriptase yang akan mentranskripsikan RNA virus
menjadi DNA setelah virus masuk ke sel sasaran. HIV menginfeksi sel
dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki molekul reseptor
membrane CD4+. Sasaran yang disukai oleh HIV yaitu limfosit T atau CD4+,
GP120 HIV akan berikatan kuat dengan CD4+ sehingga gp41 akan
memerantarai membrane virus ke membrane sel. CCR5 atau CXCR4
merupakan koreseptor dari sel CD4+. Agar gp120 dan gp41 dapat berikatan
dengan reseptor CD4+, koreseptor akan menyebabkan perubahan-
perubahan konformasi sehingga gp41 dapat masuk ke membrane sel
sasaran. Setelah virus berfusi dengan limfosit CD4+ maka terjadi proses
kompleks dan akan menyebabkan terbentuknya virus baru dari sel yang
terinfeksi. CD4+ terinfeksi sehingga menghasilkan banyak virus juga dapat
menimbukan sipatogenisitas melalui beragam mekanisme termasuk
apoptosis atau kematian sel. Setelah terjadi fusi, RNA virus masuk ke bagian
tengah sitoplasma CD4+, setelah nukleokapsid dilepas, maka terjadi
transkripsi terbalik (reverse transcription) dari satu untai tunggal RNA menjadi
DNA salinan selanjutnya mengalami integrasi dimana DNA menjadi provirus.
Provirus ini menghasilkan mRNA yang meninggalkan inti sel masuk ke dalam
sitoplasma. mRNA diterjemahkan menjadi protein virus. Protein virus ini
diproses sehingga membentuk kompoen virus sehingga menghasilkan virus
yang baru. Enzim protease dibutuhkan untuk memotong dan menata protein
HIV menjadi unit yang lebih kecil dan membentuk virus yang matang.
Selanjutnya virus siap untuk menginfeksi sel lainnya (Price, Wilson, 2006, h.
224-231).

3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan manifestasi klinik dari TB dan


HIV
A. TB
Umumnya penderita mengalami batuk dan berdahak terus menerut
selama 3 minggu atau lebih, batuk darah atau pernah batuk darah, sesak
nafas, nyeri dada, badan lemah, nafsu makan dan berat badan menurutn,
rasa kurang enak badan (malaise), bekeringat malam walaupun tanpa
kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan. Tanda-tanda ini banyak
ditunjukkan pada skenario menandakan pasien terkena tuberculosis
(pharmaceutical care untuk penyakit tuberculosis, 2005, h. 19).
B. HIV
Mengalami lemah letih lesu yang sudah dirasakan sejak 3 bulan, kehilangan
berat badan ± 10 kg, penurunan berat badan ini diakibatkan oleh malnutrisi
(tidak mengkonsumsi makanan yang cukup) dan malabsorpsi (kerusakan
pada usus yang disebabkan HIV yang mengganggu absorpsi (Ersha, F,
Ahmad, A, 2018, h.133).

4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan hubungan antara TB dengan


HIV
Mekanisme yang menyebabkan terjadinya TB pada pasien HIV, yaitu
reaktivitas. Penurunan CD4 yang terjadi dalam perjalanan penyakit infeksi HIV
akan mengakibatkan reaktivitas kuman TB yang dorman, karena berkurangnya
nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih
atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke
tubuh manusia, CD4 dan makrofag juga memiliki peran utama dalam pertahanan
tubuh terhadap mikobakterium. Salah satu activator replikasi HIV didalam sel
limfosit TB adalah tumor necrosis factor alfa. Sitokin ini dihasilkan oleh makrofag
yang aktif dan dalam proses pembentukan jaringan granuloma pada TB.
Tingginya kadar dari tumor necrosis ini menunjukkan bahwa aktivitas virus HIV
juga dapat meningkat, yang artinya memperburuk perjalanan penyakit AIDS
(Fitrika, Y, Mulyadi, h. 164, dan Wijaya, IMK, 2013, h. 297).
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan interpretasi klinik data
laboratorium pada skenario
A. TB
Pemeriksaan fisik : pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien
yang mungkin ditemukan sakitnya mulai dari ringan sampai berat, pasien
biasa terlihat kurus atau berat badan menurun, suhu badan demam,
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia.
Pemeriksaan radiologic : pemeriksaan radiologic dada merupakan cara yang
praktis untuk menemukan lesi TB, lokasi lesi TB umumnya didaerah apeks
paru. Pada awal penyakit lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia
Pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan darah serta sputum,
pemeriksaan sputum penting karena dengan ditemukannya kuman BTA,
diagnosis TB sudah dapat dipastikan, pasien yang diduga menderita TB harus
menjalani pemeriksaan sputum secara mikroskopis minimal 2 kali dan
sebaiknya 3 kali secara SPS (sewaktu datang, pagi besoknya, dan sewaktu
antar specimen. Jika hasilnya negative tidak ditemukan BTA sedangkan jika
terdapat BTA maka hasilnya positif TB (Sudoyo dkk, 2009, h. 2234-2236 dan
Wijaya, IMK, 2013, h. 296)
B. Pemeriksaan CD4, jika nilai CD4 > 350 sel/mm 3 monitoring CD4+ dan
pertimbangkan jika CD4+<350 sel/mm 3 diberikan terapi ARV, terapi ARV
dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif (Management of
tuberculosis and HIV Coinfection, WHO Europe, h. 140).

6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan TB dengan


HIV
A. Penatalaksanaan TB
 TB kelenjar limfe : lakukan aspirasi untuk sitology atau pemeriksaan BTA,
kemudian lakukan biopsy jika aspirat tidak benilai diagnostic\
 Meningitis TB : kalau hanya gambaran TB mulai pengobatan TB dan rawat
inap kalau bukan gambaran TB, jika test Cryptococcus positif atau test HIV
positif dan tidak ada diagnosis lain obati penyakit Cryptococcus.
 Efusi pleura : kalau hanya terdapat gambaran TB mulai pengobatan, kalau
bukan gambaran TB, kitim aspirat tersebut untuk pemeriksaan protein dan
hitung jenis sel leukosit dan bila tersedia lakukan pemeriksaan sitologi.
B. Penatalaksanaan HIV
 Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan pbat antiretroviral
(ARV)
 Pengobatan untuk mengatasi beberapa penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberculosis, hepatitis,
toksoplasma, kanker serviks.
 Pengobatan suportif yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih
baik derta dukungan psikososial serta tidur yang cukup dan perlu menjaga
kebersihan
(Petunjuk teknis tata laksana klinis ko-infeksi TB-HIV, 2012, h. 38 dan
Sudoyo dkk, 2009, h. 2865).

7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan terapi yang tepat dalam


skenario
Untuk terapi pengobatan TB diberikan pengobatan kategori 1 dimana obat
ini diberikan untuk penderita baru TB Paru BTA positif, penderita baru TB Paru
BTA negative Rongten positif yang “sakit berat”, dan penderita TB Ekstra Paru
berat. Adapun obat yang diberikan yaitu 2HRZE/4H3R3) dimana untuk tahap
intensif (awal) diberikan selama 2 bulan obat Isoniazid, rifampisin, piraazinamid,
dan etambutol. Selanjutnya diberikan obat tahap lanjutan yaitu selama 4 bulan 3
kali seminggu obat isoniazid dan rifampisin dimana untuk mengatasi
kekambuhan, biasanya obat ini diberikan dengan jenis obat yang sedikit namun
dalam jangka waktu yang lama. Untuk HIV dilakukan monitoring apabila
CD4>350 dan diberikan terapi ARV jika CD4<350 (management of
tuberculosis and HIV coinfection, WHO Europe, h. 140 dan pharmaceutical
care untuk penyakit tuberculosis, 2005, h. 27).

8. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penggolongan obat TB dengan


HIV terkait scenario
Penggolongan (ARV) obat yang menghambat replikasi virus HIV
a. Penghambat masuknya virus, enfuvirtid
b. Penghambat reverse transciptase enzyme
 Analog nukleosida/nukleotida (NRTI/NtRTI)
 Analog nukleusida
 Analog thymin : zidovudin (ZDV/AZT) dan stavudin (d4T)
 Analog cytosine : lamivudine (3TC) dan zalciyabin (ddC)
 Analog adenine : didanosine (ddl)
 Analog guanine : abacavir (ABC)
 Analog nukleotida analog adenosine monofosfat : tenofovir
 Nonnukleosida (NNRTI)
 Nevirapin (NVP)
 Efavirenz (EFV)
c. Penghambat enzim protease (PI) ritonavir (RTV)
 Saquinavir (SQV)
 Indinavir (IDV) dan nelfinavir (NFV)

Penggolongan obat TB
Golongan antimikobakterium yaitu golongan antibiotic dan kemoterapetika ini
aktif terhadap kuman mikobakterium. Termasuk disini adalah obat-obatan anti
TBC dan lepra, misalnya rifampisin, streptomisin, INH, dapson, etambutol dalm
lain-lain.
Pedoman pelayanan kefarmasian untuk orang dengan HIV/AIDS (ODHA),
2006 dan farmakoterapi antiinfeksia/antibiotika, h. 6)

9. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mekanisme kerja obat TB dan


HIV
A. TB
(H) Isoniazida : mempengaruhi target intraseluler seperti biosintesis asam
mikolat yang merupakan komponen penting pada dinding sel bakteri,
(R) Rifampisin : dapat menghambat transkipsi akibat ikatan dengan afinitas
tinggi pada DNA-dependent RNA polymerase.
(Z) Pirazinamida : pirazinamid diubah ke dalam bentuk aktifnya yaitu asam
piraxinoat oleh enzim pirazinamidase dimana asam pirazioat ini diperkirakan
bekerja melalui penghambatan system enzim sintesis asam fatty.
(E) Etambutol : menghambat enzim arabinosil transferase (embB) yang
terlibat dalam biosintesis sel
(S) Streptomisin : menghambat inisiasi translasi pada sintesis protein, dan
terjadi salah pembacaan mRNA (Iriati dkk, 2016, h. 52-83).
B. HIV
Mekanisme penggolongan obat HIV
1. Analog nukleosida (NRTI)
NRTI dan natural nukleotida berkompetisi menghambat RT sehingga
terjadi perubahan RNA menjadi DNA terhambat. Selain itu NRTI juga
dapat memperpanjang DNA.
2. Non nukleotida (NNRTI)
Langsung berikatan dengan reseptor RT dan tidak berkompetisi dengan
natural nukleotida
3. Protease inhibitor
Prteasen inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim protease
yang mengkatalis pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses
akhir pematangan virus (Pedoman pelayanan kefarmasian untuk orang
dengan HIV/AIDS (ODHA), 2006)

10. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan interaksi obat TB dengan HIV
Interaksi obat TB dan ARV yaitu:
a. Pemakaian obat HIV/AIDS seperti zidovudin kan meningkatkan terjadinya
efek toksik OAT.
b. Tidak ada interaksi yang umum untuk terapi OAT dan ARV untuk golongan
nukleosida kecuali didanosin yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT
karena berifat buffer antasida (Mulyadi, h. 129).

11. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan efek samping dari TB dengan
HIV
A. TB
Isoniazid efek sampingnya merasakan kesemutan dan rasa terbakar di kaki
Rifampisin efek sampingnya tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut, dan
kemerahan pada air seni (urin).
Pirazinamid efek sampingnya Nyeri sendi
Streptomisin efek sampingnya Tuli, gangguan keseimbangan
Etambutol efek sampingnya gangguan penglihatan (Permenkes 67, 2016, h.
79-80).

B. HIV
NRTI : laktat asidosis dan hepatotoksik
NtRTI : Toksisitas ginjal
NNRTI : Hepatotoksisitas dan rash
PI : Ganggun metabolic ganda (insulin resistensi, hyperlipidemia, lipodistropi,
gangguan tulang, peningkatan perdarahan pada penderita hemophilia
(Pedoman pelayanan kefarmasian untuk orang dengan HIV/AIDS
(ODHA), 2006).

12. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan faktor resiko TB dengan HIV
(Pharmaceutical care untuk penyakit tuberculosis, 2005, h. 14 dan petunjuk
teknis tata laksana klinis ko-infeksi TB-HIV, 2012, h. 62).
A. TB
 Kepadatan droplet nuclei
 Lamanya kontak dengan droplet nuclei
 Kedekatan dengan penderita TB
Risiko terinfeksi TB sebagian besar adalah factor risiko external, terutama
factor lingkungan seperti rumah yang tak sehat, pemukiman padat dan
kumuh. Sedangkan risiko menjadi sakit TB, sebagian besar adalah factor
internal dalam tubuh penderita sendiri yang disebabkan oleh terganggunya
system kekebalan dalm tubuh penderita seperti kurang gizi, infeksi
HIV/AIDS, pengobatan dengan immunosupresan dan lain sebagainya.
B. HIV
 Berganti-ganti atau memiliki lebih dari satu pasangan seksual
 Penggunaan Napza suntik
 Memiliki tindih berlebihan dan tato permanen
 Memiliki riwayat infeksi menular seksual (IMS)
 Memiliki jenis pekerjaan berisiko tinggi, misalnya orang yang karena
pekerjaanya berpindah-pindahtempat (supir, pelaut), migran, tuna wisma,
pekerja bar/salon, pekerja seks
 Memiliki riwayat transfuse darah dan produk darah, transplantasi organ
tubuh

13. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan monitoring apa saja yang perlu
untuk pasien TB dengan HIV
Dilakukan monitoring klinis yang perlu dilakukan pada minggu ke 2, 4, 8, 12,
dan 24 minggu sesak memulai mengkonsumsi ARV kemudian dilakukan lagi
selama 6 bulan setelah pasien mencapai keadaan yang stabil, setiap melakukan
monitorning juga dilakukan penilaian klinis terkait tanda dan gejala efek samping
obat atau terjadinya gagal terapi, serta dilakukan konseling untuk membantu
pasien memahami pengobatan ARV dan dukungan kepatuhan.
Monitoring laboratorium yaitu memonitoring CD4 tiap 6 bulan atau lebih
sering jika terdapat indikasi yang tidak diinginkan (Petunjuk teknis tata laksana
klinis ko-infeksi TB-HIV, 2012, h. 86).

PERTANYAAN DISKUSI PANEL


1. Bagaimana jika pasien dengan ko-infeksi TB-HIV, kemudian TB sembuh dan
melanjutkan terapi HIV, kemudian TB kambuh kembali, langkah apa yang
sebaiknya dilakukan?
Jika seorang pasien pernag menderita infeksi M.tuberkulosis kemudian pasien
dinyatakan sembuh lalu penyakit TBC kambuh kembali maka pasien masuk
dalam tipe Relaps atau kambuh. Diberikan terapi OAT Kategori 2 pengobatan
TBC (WHO, 2007, h. 26). Dimana obatnya yaitu 2(HRZE)S/1(HRZE) selama 3
bulan (fase awal) dan (5H3R3E3) selama 5 bulan setiap hari (fase lanjutan)
(WHO, 2007, h. 30). Jika pasien memiliki riwayat HIV, maka perlu dilakukan
pemeriksaan CD4 terhadap pasien. Jika CD4<200 sel/ mm 3 maka terapi TBC
dilakukan dan dilanjutkan dengan terapi ARV setelah 2-8 minggu terapi TB
dilakukan jika CD4>350 sel/mm3 maka terapi ARV ditunda sampai pengobatan
TBC selesai (WHO, 2007, h. 33).
2. Bagaimana terapi pemberian ARV dan OAT jika nilai CD4+ turun dibawah 200?
Jika CD4 pasiennya <200 sel/mm3 maka sebaiknya dilakukan terapi ARV dengan
memperhatikan tipe pasien TB dan menentukan kategorinya. Lalu dilakukan
terapi TBC terlebih dahulu pada saaat fase awal telah berjalan 2-8 minggu, maka
terapi ARV bias dimulai (WHO, 2007, h. 34).
3. Apa saja efek samping dari pengobatan ARV dan bagaimna peran apoteker
terkait penanganan efek samping tersebut?
Jika terjadi gatal atau ruam kulit secara menyeluruh atau mengelupas, stop
pengobatan TB dan ARV kemudian pasien dirujuk. Jika pasien dalam pengobatan
dengan NVP, periksa dengan teliti: apakah lesinya kering (kemungkinan alergi)
atau basah (kemungkinan steven Johnson syndrome). Mintalah pendapat ahli.
(petunjuk teknis tata laksana klinis ko-infeksi TB-HIV, 2012, hal. 84).
4. Apa saja persyaratan pengobatan ARV-TB?
Untuk TB dilakukan pemeriksaan dahak dalam waktu 2 hari yaitu SPS (sewaktu
pagi sewaktu), sedangkan untuk ARV dilakukan pantauan monitoring CD4 yaitu
pemeriksaan untuk mengetahui risiko terkena infeksi opurtunistik atau terjadi pada
pasien yang mengalami system imun yang lemah ( Wijaya, 2013, h. 298)

MATERI REFRESHING
1. HIV
 Merupakan virus yang menyerang sel system kekebalan tubuh, virus HIV
dapat masuk kedalam darah dan bereplikasi di limfa.
 Stadium perkembangan penyakit HIV
a. Stadium 1 (infeksi primer) HIV masuk ke dalam tubuh dan bersembunyi
b. Stadium 2 (laten klinik) tes darah spesifik menunjukkan bahwa orang itu
mempunyai antibody terhadap virus.
c. Stadium 3 (gejala konstitusional) gejala ini mulai timbul berupa
penurunan berat badan hebat, demam lama dan berkeringay hebat
pada malam hari, ruam kulit, dan diare terus menerus.
d. Stadium 4 (infeksi oportunistik) timbuh berbagai penyakit berbahaya
dan oada stadium ini orang dikatakan menderita AIDS.
 Obat-obat antiretroviral
a. Inhibitor transkiptase balik nukleosid (zidovudin, didanosin, stavudin,
lamivudine)
b. Inhibitor transkiptase balik nonnukleosida (nevirapin, delavidin,
efevirens, tenofovir)
c. Inhibitor protease (sakunavir, indinavir, ritonavir, nelfinavir)
2. Tuberculosis
 TB merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri M.Tuberculosis
dimana bakteri ini sangat kuat dan sulit untuk dibunuh karena memiliki
lapisan lipid yang tebal bias bertahan didahak selama 1 minggu, bakteri ini
bersifat dorman dimana dapat kembali sewaktu-waktu jika system imun
penderita rendah.
 Jika pasien rongten berbayang dan nilai BTA nya negative maka tidak
langsung diberikan obat TB tetapi diberikan obat anti biotik lainnya selain
OAT.
 Peraturan yang baru untuk pengobatan TB kategori sisipan dimasukkan
dalam kategori 2
 Kombipak yaitu pemberian obat satu per satu karena pasien mengalami
alergi obat sedangkan FDC/KDT yaitu untuk meningkatkan kepatuhan
pasieen dalam meminum obat sehingga dibuatkan sediaan kapsul yang
berisi lebih dari satu macam obat didalamnya.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI, 2005, Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberculosis,


Departemen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, hal, 12, 14, 27.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Pedoman pelayanan kefarmasian untuk
orang dengan HIV/AIDS (ODHA), 2006.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012, Petunjuk teknis tata
laksana klinis KO-INFEKSI TB-HIV, hal. 38, 62, 86.

Ersha, F, Ahmad, AA, 2018, Human Immunodeficiency Virus – Acquired


Immunodeficiency Syndrom dengan Sarkoma Kaposi, Jurnal Kesehatan
Andalas, hal. 133.

Fitrika, Y, Mulyadi, Hubungan Tuberkulosis dengan HIV/AIDS, Jurnal PSIK, Vol II


No. 2, hal. 164.

Irianti dkk, 2016, Mengenal Anti-Tuberkulosis, hal. 33, 52-83

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011, Pedoman Interpretasi Data


Klinik,

Management of Tuberculosis HIV Coinfection, Clinical Protocol for the WHO


European Region, hal. 140.

Mulyadi, Studi Kasus Penderita HIV/AIDS Yang Dirawat Dengan Penyulit


Tuberculosis Paru, ISSN 2087-2579, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah
Kuala, Banda Aceh, hal. 129.

Price, SA., Wilson, LM, 2006, Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit,
Edisi VI: EGC, Jakarta, hal. 224-231.

Sudoyo, dkk, 2009, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III edisi V: EGC, Jakarta,
hal. 2232-2236, 2865.

Wijaya, IMK, 2013, Infeksi Human Immunodeficiency Virus pada penderita


Tuberculosis, Seminar nasional FMIPA UNDIKHSA III, hal. 296-297.

WHO, 2007, Tuberculosis Care With TB-HIV co-management : Integrated


Management of Adolescent and Adult Illness IMAI0, WHO Library Catalouge.

Anda mungkin juga menyukai