Anda di halaman 1dari 5

Nama: Iwan Kuswandi

NIM: 1175010069

Kelas : SPI 6B

WABAH KOLERA MELANDA HINDIA BELANDA

Pada pertengahan abad ke-19 kolera menjangkiti kota-kota dengan sanitasi


dan kebersihan yang buruk. Berhasil diberantas dengan deteksi dini, pola hidup sehat,
dan vaksinasi.

Kemajuan teknologi tranportasi di abad ke-19 membawa dampak semakin


cepatnya pergerakan manusia dan distribusi ekonomi. Tapi selalu ada dua sisi mata
uang. Bukan hanya manusia dan barang yang kian cepat bergerak, tapi juga kuman
penyakit. Sejarawan Susan Blackburn menyebut salah satu contohnya: pecahnya
epidemi kolera di Hindia Belanda pada 1820.

Sebernarnya kolera sudah dikenal sejak zaman


kuno. Encyclopedia  Britannica  menyebut bahwa penyakit yang diduga sebagai
kolera pernah diidentifikasi dokter Yunani Kuno, Hippocrates dan Galen. Asal-
usulnya diperkirakan dari dataran di sekitar delta sungai Gangga dan Brahmaputra di
India.

Meski begitu, sebelum abad ke-19, sangat sedikit catatan tentang penyakit ini.
Sebagian besar pengetahuan tentang penyakit ini nisbi baru terkuak pada abad ke-19
hingga awal abad ke-20. Di saat yang sama kolera telah mengglobal dan jadi epidemi
di mana-mana.

Tidak heran jika kemudian masyarakat Hindia Belanda, terutama Batavia,


tergagap menghadapi wabah asing itu. Selama beberapa abad orang Hindia lebih
mengenal malaria atau cacar sebagai momok mematikan. Namun begitu, sejarawan
Anthony Reid meragukan pandangan bahwa kolera baru merambah Hindia Belanda
pada abad ke-19.

“Kolera berat dalam bentuk asiatica atau morbus biasanya dipandang belum sampai


ke Asia Tenggara sebelum pandemik parah tahun 1820-1822. Alasan-alasan bagi
pandangan ini, sebagaimana halnya dengan pandangan-pandangan yang sama tentang
wabah pes sebelum tahun 1911, tidak meyakinkan," tulis Anthony Reid dalam Asia
Tenggara dalam Kurun Niaga jilid I (2014: 70).

Sanggahan Anthony Reid cukup beralasan jika mengingat kematian pendiri


Batavia, Jan Pieterszoon Coen. Pada September 1629 Coen dilaporkan meninggal
usai menderita penyakit tropis yang diduga adalah kolera. Kemungkinan kolera
memang telah ada di Hindia sebelum abad ke-19. Namun pola pemukiman terpencar
dan jumlah penduduk yang belum sepadat abad ke-19 membuatnya lebih sulit
mewabah.

Sepanjang abad ke-19 hingga awal abad ke-20, pandemi kolera setidaknya
meledak dalam enam gelombang. Gelombang pertama bermula di India sekira 1817.
Wabah lalu menyebar ke negeri-negeri yang punya hubungan dagang dengan India
melalui Bengal. Burma dan Sri Lanka adalah yang pertama kali terpukul. Tiga tahun
kemudian epidemi dilaporkan telah menggigit Siam (Thailand) dan Hindia Belanda.
Wabah juga dilaporkan berjangkit hingga ke Turki dan Afrika utara.

Gelombang kedua diperkirakan meledak lagi pada 1829. Kali ini


episentrumnya telah berpindah ke Eropa. Pada awal dekade 1830-an kuman kolera
telah merambah benua Amerika melalui jalur dagang.

“Pandemi ketiga adalah yang dianggap paling mematikan. Diperkirakan meletus pada
1852 di India dan menyebar cepat melalui Persia (Iran) ke Eropa, Amerika Serikat,
dan kemudian seluruh dunia," tulis Britannica.
Gelombang pandemi keempat (1863), kelima (1881), dan keenam (1899-
1923) tidak separah tiga gelombang sebelumnya. Meski begitu, di tiap negara yang
terserang kolera tetap memakan korban jiwa hingga ratusan ribu orang. Selepas itu,
berkat penemuan vaksin dan semakin gencarnya kampanye pola hidup sehat, citra
kolera sebagai penyakit mematikan perlahan pudar.

Epidemi

Wabah kolera menghantam Hindia Belanda pada pandemi gelombang


pertama. Pada Desember 1819 pemerintah Hindia Belanda menerima peringatan
kematian massal yang terjadi di Mauritius, Penang, dan Malaka akibat penyakit
kolera. Saat itu diketahui bahwa daerah-daerah itu, dan tentu saja Hindia Belanda,
punya hubungan dagang dengan Bengal.

“Kolera mulai masuk ke wilayah Jawa pada tahun 1819 akibat hubungan dagang
antara India dan Jawa melalui Malaka. Daerah yang pertama terindikasi penyakit
kolera adalah daerah di sepanjang pantai utara Jawa, mulai dari Batavia, Semarang,
hingga Surabaya," tulis Usman Manor dalam skripsi di Program Studi Ilmu Sejarah
FIB UI bertajuk Wabah Kolera di Batavia 1901-1927 (2015: 33).

Di Batavia penyakit ini mudah mewabah karena lingkungan kota yang kotor


dan sanitasi yang buruk. Di awal abad ke-19 itu kebanyakan rumah di Batavia tak
memiliki kakus atau kamar mandi. Kualitas air tanah dan kanal di Batavia juga sudah
menurun sejak seabad sebelumnya. Ini karena segala limbah dan kotoran yang
dihasilkan manusia Batavia dibuang begitu saja ke kanal-kanal. Kondisi kanal juga
makin rusak gara-gara gelontoran limbah penggilingan tebu hingga penyulingan arak
dari daerah selatan kota.

Padahal kondisi lingkungan yang buruk dan permukiman yang semakin padat
adalah lahan subur bagi berkembangnya kuman penyakit kolera. Lain itu,
keterbatasan pengetahuan terkait muasal penyakit dan cara terbaik menanganinya
membuat kolera makin sulit dibendung. Kuman kolera, Vibrio cholerae, baru berhasil
diidentifikasi pada 1883. Bahkan, sampai setidaknya 1860-an, tenaga kesehatan
masih berdebat apakah kolera itu penyakit menular atau bukan.

“Sejak awal abad ke-19 dan seterusnya, kaum medis profesional berjuang mencegah
pecahnya wabah kolera, tapi meraba-raba dalam gelap, mencari-cari penyebab
penyakit mematikan ini," tulis Patrick Bek dalam Gelanggang Riset Kedokteran di
Bumi Indonesia: Jurnal Kedokteran Hindia-Belanda 1852-1942 (2019: 148).

Kondisi itu membuat korban kolera selama masa epidemi membengkak.


Sepanjang 1821 sekira 125.000 orang di Jawa tewas gara-gara kolera. Tak hanya
berjangkit di permukiman pribumi dan Cina, kolera juga berjangkit di permukiman
orang Eropa yang nisbi lebih baik kondisinya. Statistik itu, dan kenyataan bahwa
belum ada obat atau vaksin untuk kolera, membuat komunitas Eropa larut dalam
kepanikan.

Runyamnya kondisi saat itu bisa dibaca dari catatan Roorda van Eysinga yang
dikutip Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun (2011). Di saat epidemi
pecah, ada 160 orang mati dalam satu hari. Banyaknya pasien kolera di Batavia
bahkan sampai membuat tenaga medis yang jumlahnya tak seberapa saat itu
kewalahan.

“Saya beruntung tidak terjangkit dan melihat banyak pasien saya yang kembali sehat.
Namun saya kelelahan hingga hampir tak dapat terus bekerja. [...] Kondisi
menyedihkan mereka membuat perawatan ini menjadi pekerjaan yang tak tertahankan
dan dapat dikatakan sangat menyengsarakan," catat van Eysinga sebagaimana dikutip
Blackburn (hlm. 101).

Kolera kemudian jadi wabah musiman karena lambannya penanganan.


Penyakit ini dengan cepat melejit jadi urutan ketiga penyakit yang paling fatal setelah
cacar dan tifus dalam kurun 1800-1880. Dan lagi, epidemi 1820-1821 itu baru babak
awal dari beberapa epidemi kolera yang mengguncang Hindia Belanda hingga paruh
pertama abad ke-20.
Seturut penelusuran Usman, wabah kolera yang besar terjadi lagi pada 1881-
1882, 1889, 1892, 1897, 1901-1902, dan 1909-1911. Dari serentetan epidemi itu yang
paling parah adalah epidemi 1909-1911. Bermula dari Jambi, wabah lalu menyebar
ke daerah lain di Sumatra, Jawa, dan Madura. Dalam tahun 1910 saja diperkirakan
60.000 jiwa tewas di Jawa dan Madura.

“Hal ini membuat tahun 1910 dan 1911 dianggap sebagai tahun kolera," tulis Usman
(hlm. 40),

Referensi:

https://www.britanica.com

https://tirto.id/.

Anda mungkin juga menyukai