Anda di halaman 1dari 20

PAPER PENANGANAN HASIL PERIKANAN

PENANGANAN CRUSTACEA DAN PROSES AWAL


(SETELAH DIANGKAT DARI PERAIRAN)

DOSEN PEMBIMBING
Ir. Sri Dayuti, M.P

DISUSUN OLEH :
ILYAZA AGUNG HIMAWAN (185080407111016)
RADITYA HAFIZHAN SYAPUTRA (185080407111018)
AJENG RURI HARDIANTI (185080407111020)
FAVIAN ALFREDA ISLAMEY SONETA (185080407111022)
ADRIAN IRSANDA BOESTAMAM (185080407111024)
NUR AHMAD FAUZAN (185080407111026)
VERONIKA DEVITA AYU TIRA PUTRI (185080407111028)
KELAS A02 GENAP

SOSIAL EKONOMI PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2018
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam bahasa Latin, crusta berarti cangkang. Sehingga Crustacea disebut juga hewan
bercangkang. Crustacea telah dikenal kurang lebih 26.000 jenis. Jenis crustacea yang
paling umum adalah udang dan kepiting. Habitatnya sebagian besar di air tawar dan air
laut, hanya sedikit yang hidup di darat.
Tubuh crustacea terdiri atas 2 bagian pokok, yaitu: sefalothoraks (kepala dan dada
yang menyatu) dan badan bagian belakang (abdomen atau perut). Setiap ruas tubuhnya
terdapat sepasang kaki. Pada bagian perut, terdapat 5 kaki renang. Pada bagian
sefalothoraks terdapat sepasang antena, sepasang rahang atas (maksila), dan sepasang
rahang bawah (mandibula). Di bagian kepala - dada terdapat 5 pasang kaki (1 pasang
capit dan 4 pasang kaki jalan). Memiliki kulit keras (karapaks) di daerah kepala. Di
bagian anterior terdapat sepasang mata majemuk yang bertangkai. Badan belakang pada
udang melengkung diakhiri dengan ekor. Sistem pencernaannya dimulai dari mulut ke
kerongkongan ke lambung lalu usus dan yang terakhir ke anus. Crustacea bernapas
dengan insang. Sistem sarafnya merupakan susunan saraf tangga tali. Sistem peredaran
darah terbuka. Mengalami fertilisasi internal. Pada umumnya perkembangan melalui fase
larva. Crustacea mempunyai 2 lubang kelamin dibelakang dada. Habitat terutama di air
tawar maupun air laut dan sedikit di darat.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas, maka penulis menetapkan rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana klasifikasi dan morfologi lobster?
2. Bagaimana siklus hidup lobster?
3. Apa saja syarat – syarat lobster yang siap dipasarkan?
4. Bagaimana prinsip dan faktor penanganan lobster?
5. Bagaimana penanganan awal lobster, penyimpanan, dan pembugaran?
6. Bagaimana karakteristik rajungan?
7. Bagaimana penanganan rajungan diatas kapal?
8. Apa saja karakteristik protein dan asam amino daging rajungan akibat pengukusan?
9. Nilai gizi apa saja yang terdapat pada rajungan?
10. Bagaimana penilaian mutu dan manfaat dari rajungan?
11. Apa saja karakteristik udang ?
12. Bagaimana komposisi kimia udang ?
13. Bagaimana penanganan udang pasca tangkap yang benar ?
14. Bagaimana pengemasan udang segar yang benar ?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan proses perencanaan budidaya ikan gurame adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan klasifikasi dan morfologi lobster.
2. Menjelaskansiklus hidup lobster.
3. Menjelaskan syarat – syarat lobster yang siap dipasarkan.
4. Menjelaskan prinsip dan faktor penanganan lobster.
5. Menjelaskan penanganan awal lobster, penyimpanan, dan pembugaran.
6. Menjelaskan karakteristik rajungan.
7. Menjelaskan penanganan rajungan diatas kapal.
8. Untuk mengetahui nilai gizi pada rajungan.
9. Untuk mengetahui penilain mutu dan manfaat dari rajungan.
10. Untuk mengetahui karakteristik udang.
11. Untuk mengetahui komposisi kimia udang.
12. Untuk mengetahui bagaimana penanganan udang pasca tangkap yang benar agar
kesegaran tetap terjaga.
13. Untuk mengetahui bagaimana pengemasan udang segar yang benar.
BAB II
PEMBAHASAN

LOBSTER
1. Klasifikasi dan Morfologi Lobster
Menurut Nirwansyah (2012), lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) termasuk ke
dalam keluarga Parasticidae. Cherax quadricarinatus dikenal dengan nama dagang red claw,
disebut demikian karena pada kedua ujung capitnya terdapat warna merah. Selain sebagai
lobster konsumsi, red claw juga cocok dijadikan lobster hias karena memiliki keunggulan
pada bentuk dan warna tubuhnya. Warna biru mengkilap terpancar dari tubuhnya. Lobster air
tawar memiliki ukuran tubuh yang relatif lebih besar dari udang air tawar lainnya. Tubuh
lobster air tawar dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian chepalotorax dan abdomen.
Chepalotorax merupakan bagian depan yang terdiri atas kepala dan dada, sedangkan
abdomen adalah bagian belakang yang terdiri atas badan dan ekor.
Jenis lobster air tawar yang dikembangkan di Indonesia adalah jenis Cherax
quadricarinatus, jenis ini termasuk ke dalam Famili Parasticidae. Nirwansyah (2012),
mengklasifikasikan lobster air tawar sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Sub Filum : Mandibulata
Kelas : Crustacea
Ordo : Malacostraca
Sub Ordo : Decapoda
Gambar 1. Lobster Air Tawar
Superfamili : Astacidae (Sumber: www.haaretz.com)
Famili : Parastacidae
Genus : Cherax
Spesies : Cherax quadricarinatus (von Martens)

2. Siklus Hidup Lobster


Lobster berukuran benih atau komsumsi merupakan komoditas perikanan yang
bernilai ekonomi penting, masih berasal dari penangkapan di laut. Eksploitasi lobster
kurang terkendali atau tangkap lebih telah menyebabkan penurunan produktivitas
sumberdaya perairan dan sebagai sumberdaya yang dapat diperbaharui. Kelestarian dan
produksi dapat ditingkatkan dengan pengelolaan yang taat pada asas keberlanjutan
dengan memberi kesempatan induk memijah, menjaga jumlah minimal induk di setiap
area dan memperbaiki habitat. Tetapi hal tersebut sulit diwujudkan karena keterbatasan
dalam pengontrolan eksploitasi dan pertumbuhan lobster relatif lambat (Yusnaini, 2004).
Siklus hidup lobster terdiri dari 5 fase yaitu mulai dari dewasa yang memproduksi
sperma atau telur, menetas menjadi filosoma (larva), kemudian berubah menjadi
puerulus (post larva), tumbuh menjadi juvenil dan dewasa (Yusnaini, 2004).

Gambar 2. Siklus Hidup Lobster


(Sumber: www.google.com)

Menurut Suastika, et al (2008), lobster hidup dan berkembang biak secara alami
dalam berbagai kelompok ukuran yaitu :
1) Puerulus transparan, morfologi menyerupai induk berukuran 1,5 - 2,0 g
2) puerulus berpigmen berukuran 2 - 4 g, perubahan warna menjadi coklat setelah molting
3) juvenil berukuran 50 - 350 g
4) ukuran dewasa 500 – 3.400 g, induk dewasa dan betina sedang mengerami telurnya
Ciri Kedewasaan
Differensiasi kelamin diduga sudah terjadi saat lobster pada fase puerulus, namun
gonad pada saat juvenil belum berkembang. Lobster berkategori dewasa sejak ovarium atau
testis sudah dapat memproduk si oosit atau spermatosit. Berdasarkan morfologi eksternal,
kedewasaan betina lobster mutiara ditandai oleh tumbuh plumose setae pada kaki renang,
tumbuh setelah berumur sekitar 37 bulan dan berbobot tubuh 559-658 g dan ukuran panjang
karapas 20,3 -23,2 cm pada kondisi budidaya pembesaran. Plumose setae tumbuh seperti
bulu halus pada sisi pinggir kaki renang dalam pada keempat kaki renang (kiri dan kanan).
Dengan asumsi bahwa induk betina dewasa, sebelum memijah sudah
menyiapkan tempat pelekatan/pengeraman telur. Kaki renang pertama sampai ke-4
lembaran dalam sudah terbentuk sejenis serabut. Kaki renang pertama terdiri dari 2
lembar yang berbentuk daun dan pada bagian pangkal tumbuh plumose setae tersebar
pada bagian exopod dan endopod. Plumose setae paling banyak pada kaki renang kedua,
kemudian pada kaki renang ke-3, lalu kaki ke -4 dan yang terakhir kaki renang
pertama (Suastika, et al, 2008).
3. Syarat Lobster yang Siap Dipasarkan
Lobster air tawar yang dipasarkan umumnya merupakan lobster ukuran konsumsi.
Lobster hidup untuk konsumsi adalah lobster hidup yang sehat dan memiliki kelengkapan
organ tubuh dengan berat tubuh lebih besar atau sama dengan 60 g/ekor sesuai dengan SNI
4488.2:2011. Lobster harus dalam keadaan bugar, sehat, tidak sedang ganti kulit (moulting)
dan tidak sedang bertelur. Organ tubuh lobster seperti antena dan kaki juga harus lengkap dan
tidak boleh patah (Nasution, 2012).

4. Prinsip dan Faktor Penanganan Lobster


Menurut Nasution (2012), kualitas air merupakan faktor penting dalam budidaya
lobster air tawar karena air merupakan media hidup yang utama. Beberapa faktor fisika dan
kimia air yang dapat mempengaruhi hidup lobster air tawar adalah suhu, oksigen terlarut
(dissolved oxygen), karbondioksida (CO2) bebas, pH, alkalinitas, amoniak, nitrat dan nitrit.
Air yang digunakan untuk pemeliharaan lobster air tawar secara umum memiliki beberapa
persyaratan seperti suhu, pH, degree of hardness (dH), alkalinitas, oksigen terlarut, CO 2,
amoniak dan H2S. Untuk menunjang kehidupan lobster air tawar diperlukan kualitas air yang
baik, yaitu seperti ditampilkan pada tabel berikut:
Parameter Standar
Suhu 25-29oC
pH 7-9
dH 50-500 ppm
Alkalinitas 50-200 ppm
Oksigen terlarut ± 5 ppm
Karbondioksida Maks. 10 ppm
Amoniak Maks. 0,05 ppm
H2S Maks. 0,02 ppm
Sumber air Air sungai, air tanah, irigasi

5. Penanganan Lobster
Penanganan lobster hidup meliputi penanganan awal, penyimpanan, dan pembugaran.
a. Penanganan Awal
Hal yang dilakukan dalam penanganan awal meliputi penyortiran lobster dan
pemingsanan lobster.
1. Penyortiran Lobster
Cara penyortiran dapat menggunakan alat yang dinamakan grader
(semacam ayakan). Alat ini terbuat dari bahan yang tahan karat, misalnya
stainless steel atau alumunium. Bentuk grader bisa bermacam-macam,
misalnya bulat, bujur sangkar, atau empat persegi panjang. Cara kerja grader
menyerupai ayakan, yaitu menyeleksi lobster sesuai dengan ukuran. Jika
ukurannya lebih besar dari lubang grader, lobster tidak akan lolos melewati
lubang tersebut. Lobster yang lolos dari lubang grader berarti tidak masuk
ukuran. Lobster ini perlu dikembalikan lagi ke kolam pembesaran hingga
ukurannya bisa mencapai ukuran yang diinginkan pasar (Nasution, 2012).
2. Pemingsanan Lobster
Dukungan teknologi penanganan dan transportasi dibutuhkan dalam
memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat terhadap lobster hidup.
Transportasi lobster hidup dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu sistem basah
menggunakan air dan sistem kering tanpa menggunakan media air (Nasution,
2012)
Proses pembiusan atau pemingsanan adalah suatu cara yang dapat
digunakan untuk mengurangi aktivitas ikan selama transportasi yang berprinsip
menekan metabolisme ikan sehingga mampu mempertahankan hidup lebih
lama dalam kondisi yang tidak normal. Metode pembiusan merupakan metode
yang digunakan dalam transportasi lobster dengan media tanpaair. Metode ini
menggunakan prinsip hibernasi, yaitu usaha untuk menekan metabolisme
lobster sehingga masuk ke dalam metabolisme basal atau dapat bertahan dalam
kondisi minimum. Fase ini merupakan fase ketika ikan masih dapat bertahan
hidup hanya dengan kebutuhan yang minimal dan menghasilkan metabolisme
yang minimal pula. Hal ini bertujuan agar derajat kelulusan hidup lobster tetap
tinggi setelah sampai ke tempat tujuan sehingga harga jualnya tetap tinggi dan
kualitasnya tetap terjaga. Semakin lama lobster dapat bertahan hidup maka
semakin luas jangkauan distribusinya (Nasution, 2012).
Menurut Ikasari et.al (2008), untuk transportasi lobster air tawar hidup jarak
jauh, terutama untuk ekspor, penggunaan transportasi sistem kering dipandang
merupakan cara yang efisien. Pada transportasi sistem kering, lobster dikondisikan
dalam keadaan metabolisme rendah agar daya tahan di luar habitatnya tinggi.
Untuk itu sebelum ditransportasikan, lobster diimotilisasi terlebih dahulu.
Imotilisasi dapat dilakukan salah satunya dengan menggunakan shock suhu
rendah. titik suhu kritis bagi lobster yang berpeluang untuk ditransportasikan
adalah 120C. Penggunaan metode shock dan waktu shock yang berbeda
dapatberpengaruh terhadap aktivitas dan metabolisme lobster air tawar. Perlakuan
pemingsanan secara bertahap dapat menimbulkan stres pada lobster serta
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memingsankannya.
Imotilisasi menggunakan suhu rendah secara bertahap dapat dilakukan
dengan menurunkan suhu media air dari suhu normal (±27oC) ke suhu pembiusan
secara perlahan-lahan. Penurunan suhu dilakukan dengan kecepatan 5-10oC/jam
atau 0,4-0,8oC/menit. Penurunan suhu secara bertahap ini dimaksudkan agar ikan
secara bertahap direduksi aktivitas, respirasi dan metabolismenya sampai titik
imotil yang diperlukan. Aktivitasikan pada kondisi imotil diharapkan sudah cukup
rendah bahkan sudah pingsan sehingga mudah ditangani untuk proses transportasi
(Nirwansyah, 2012).
Selain dengan penurunan suhu, metode yang dapat dilakukan dalam teknik
immotilisasi adalah pembiusan dengan menggunakan zat anestesi. Zat anestesi
yang biasa digunakan untuk proses pemingsanan ikan, yaitu bahan kimia misalnya
MS-222 (tricaine methane sulphonate), CO2 dan quinaldine, dan bahan alami
berupa ekstrak biji karet dan ekstrak cengkeh (Nasution, 2012).

Gambar 3. Lobster yang sudah dipingsankan siap untuk didistribusikan


(Sumber: www.google.com)

b. Penyimpanan Lobster
Dalam transportasi sistem kering, media yang digunakan untuk
penyimpanan adalah media kemasan. Alat yang digunakan yaitu styrofoam
sedangan bahan yang digunakan meliputi serbuk gergaji dingin, kertas koran, dan
kertas hancuran es yang telah dibungkus plastik. Penambahan rak dalam wadah
pengemasan diharapkan juga dapat meningkatkan kepadatan tanpa mempengaruhi
mortalitas lobster.
Menurut Suwandi et.al (2008), pada pengemasan kering lobster,
penambahan rak terbukti dapat meningkatkan kepadatan hingga 54% tanpa
mengurangi tingkat kelulusan hidup lobster air tawar. Kondisi penyimpanan lebih
dari 50 jam kemungkinan masih menghasilkan tingkat kelulusan hidup yang tinggi
mengingat setelah dibugarkan aktivitas lobster air tawar dapat normal kembali

Gambar 4. Penambahan rak pada


pengemasan kering lobster
(Sumber: www.gooogle.com)

Berdasarkan hasil penelitian, semakin lama penyimpanan, suhu media


serbuk gergaji dalam kemasan mengalami peningkatan menuju suhu udara luar.
Peningkatan suhu tersebut dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 5. Pengaruh lama penyimpanan terhadap


perubahan suhu
(Sumber: Suwandi et.al (2008)

c. Pembugaran Lobster
Pembugaran lobster dilakukan dengan memindahkan lobster kedalam
akuarium pembugaran yang telah dilengkapi sistem aerasi sehingga memiliki
kadar oksigen tinggi. Menurut Suwandi et.al (2008), lobster yang telah
dipindahkan ke dalam akuarium pembugaran segera menunjukkan tanda-tanda
kehidupan dengan sedikit bergerak, mengeluarkan gelembungudara, berenang
mundur, dan menggerakkan kaki jalan untuk membersihkan butiranserbuk gergaji
yang melekat pada karapas. Pada penelitian dengan suhu berbeda (40 0C, 450C, dan
600C), tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat kelulushidupan lobster.
Tiap lobster memiliki tingkat kelulushidupan yang sama, yaitu 100%.
 Kendala Selama Penanganan
Lobster telah menjadi suatu komoditas bahan pangan yang telah
menjadi primadona masyarakat dunia dan memiliki nilai ekonomis yang
tinggi. Alasan tersebutlah yang menyebabkan adanya penanganan lobster.
Lobster dapat dikirim dengan keadan hidup, sehingga tingkat kesegaran
lobster tetap terjaga hingga sampai ke tangan konsumen (Ikasari et al., 2008).
Namun, pengirimin lo ,mbster hidup memiliki kendala yang banyak
ketika dilakukan proses pengiriman. Kendala tersebut seperti jarak yang jauh
untuk pengiriman, kelembapan yang selalu terjaga agar lobster tetap hidup,
dan metabolisme yang ditekan rendah dengan suhu rendah yang tetap optimal.
Banyaknya kendala dapat diatasi dengan teknologi yang memadai (Ikasari et
al., 2008).
Untuk transportasi lobster hidup diperlukan teknologi transportasi yang
dapat digunakan untuk kepentingan ekspor, yaitu dengan jarak tempuh yang
jauh dan kapasitas tinggi yang mampu mempertahankan lobster tetap hidup
sampai di negara tujuan dengan biaya angkut yang lebih murah. Jika teknologi
yang digunakan dan penanganan yang dilakukan benar, maka transportasi
lobster hidup dapat berjalan dengan baik dan tingkat kelulushidupan lobster
akan lebih tinggi. Metode yang dimaksud meliputi pra pengiriman dan pasca
pengiriman (Suryaningrum et al., 2008).
Titik Kritis
Agar derajat kelulusan hidup lobster tetap tinggi setelah sampai ke tempat tujuan,
maka lobster harus dikondisikan dalam aktivitas dan metabolisme rendah. Semakin lama
lobster bertahan hidup maka semakin luas jangkauan distribusinya. Pada dasarnya dalam
transportasi ikan hidup, suhu rendah merupakan faktor yang sangat penting untuk
menentukan tingkat kelulusan hidup selama transportasi (Ikasari et al., 2008).
Beberapa penelitian untuk mempelajari penggunaan suhu rendah untuk transportasi
lobster hidup telah dilakukan, diantaranya adalah kajian suhu rendah terhadap aktivitas dan
metabolisme lobster hidup serta kajian metode imotilisasi lobster secara bertahap dan
langsung. Selain itu, pengaruh pemberokan dan media untuk transportasi lobster air tawar
yang merupakan faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kelulusan hidup lobster juga telah
dilakukan. Sehingga lobster yang dikirim tetap sehat dan segar (Suryaningrum et al., 2008).

RAJUNGAN
1. Karakteristik Rajungan
Kingdom          : Animalia
Filum               : Artropoda
Sub filum         : Mandibulata
Kelas               : Crustacea
Sub kelas        : Malacostraca
Ordo                : Decapoda
Sub ordo         : Brachyura
Famili              : Portunidae
Genus             : Portunus
Spesies           : Portunus pelagicus
Ciri-ciri morfologi kepiting rajungan (Portunus pelagicus) adalah sebelah kiri dan
kanan karapaksnya terdapat duri yang besar. Duri-duri sisi belakang matanya berjumlah
sembilan buah (termasuk duri besar). Rajungan jantan karapaknya berwarna dasar biru
ditaburi bintik-bintik putih yang beraneka ragam bentuknya. Sedangkan yang betina
berwarna dasar hijau kotor dengan bintik-bintik seperti jantan (Soim, 1994)
Menurut Afrianto dan Liviawaty (1992) pada bagian perut (dada) kepiting jantan
umumnya organ kelamin berbentuk segitiga yang sempit dan agak meruncing dibagian
depan, sedangkan organ kelamin kepiting betina berbentuk segitiga yang relatif lebar dan
dibagian depannya agak tumpul (lonjong).

2. Penanganan Rajungan Diatas Kapal


Penanganan rajungan diatas perahu dilakukan dalam bentuk segar dan perebusan.
Perlakuan yang baik adalah menjaga dan membawa rajungan sampai ke pembeli dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya sehingga daging rajungan terjaga kualitas
kekenyalannya maupun aromanya.

1). Rajungan Segar


Penangkapan Rajungan segar dengan 1 trip > 1 hari memerlukan coolbox
untuk menyimpan hasil tangkapan rajungan segar supaya tetap terjaga tingkat
kesegarannya, penanganan rajungan dalam bentuk segar (raw materials) di simpan
dalam wadah pada suhu sekitar 0 – 4 derajat celsius dan dipertahankan sampai
masuk ke miniplant untuk proses perebusan (cooking). Tubuh rajungan
diusahakan tetap utuh dan tidak terintrusi air es hingga penyusunan rajungan
dalam wadah teratur tidak tergencet, dalam lingkungan dingin, tidak terbuka oleh
sinar panas matahari dan bebas dari pengaruh bahan pencemar. Di atas perahu
sudah disediakan box sebagai wadah penyimpanan rajungan atau wadah lain yang
sama perannya untuk menjaga kesegaran rajungan dan lebih ringan atau lebih
mudah dipindahkan. Adapun tahapan penangan rajungan segar adalah sebagai
berikut :
 Jenis-jenis rajungan hasil tangkap Bubu Rajungan yang dipilih adalah ukuran
komersial (> 150 gram).
 Apabila kapal bubu rajungan berukuran kecil (< 5 GT), digunakan cold-box
portable ukuran kapasitas mulai dari 50 kg, 100 kg dan 200 kg yang
dilengkapi dengan lubang penirisan (drain hole) untuk membuang air lelehan
es. Dengan ukuran kecil ini penempatannya di kapal bubu rajungan lebih
luwes, yang penting ditempat yang terlindung dari cahaya matahari langsung.
 Bak pendinginan (chilling) dan pencuci rajungan ukuran 0,5 – 2 m3, sebagai
tempat mencuci sekaligus chilling rajungan setelah dilepas dari Bubu
Rajungan saat hauling, dimana bak ini akan diisi air laut yang diberi es.
Sebaiknya bak ini bertutup dan berisolasi agar dapat menghemat pemakaian
es. Perbandingan es curai dan air laut = 2 : 1.
 Keranjang plastik. Terbuat dari bahan HDPE yang cukup kuat dengan
kapasitas maksimum 25-30 kg rajungan,  agar cukup ringan sehingga mudah
ditangani secara manual. Keranjang ini didesign sedemikian rupa sehingga air
lelehan es dapat mengalir dengan lancar dan dapat ditumpuk tanpa
memberikan tekanan produk rajungan yang ada didalamnya. Keranjang ini
memiliki dua fungsi yaitu untuk wadah rajungan hasil seleksi, tempat
melakukan pencucian sekaligus wadah rajungan selama penyimpanannnya
dalam palkah. Jumlahnya disesuaikan agar dapat menampung semua hasil
produksi,
 Terpal.untuk membuat pelindung dari panas matahari bagi area dek kapal
Bubu Rajungan.
2). Rajungan Kukus
 Penanganan rajungan segar merupakan salah satu bagian penting dari mata
rantai perdagangan rajungan ataupun industrial rajungan. Penanganan
rajungan pada dasarnya terdiri dari dua tahap, yaitu penanganan di atas kapal
dan penanganan di darat. Penanganan rajungan setelah penangkapan
memegang peranan penting untuk memperoleh nilai jual rajungan yang
maksimal. Tahap penanganan ini menentukan nilai jual dan proses
pemanfaatan selanjutnya serta mutu produk olahan rajungan yang dihasilkan.
 Peralatan perebusan hasil tangkap rajungan berfungsi untuk melindungi
rajungan dari kemunduran mutu daging rajungan setelah proses penangkapan
sehingga memberikan peluang dapat dipertahankannya mutu dan kualitas
rajungan dalam keadaan mati ataupun menjamin daging rajungan hasil
tangkapan bubu tidak mengalami kemunduran mutu selama proses operasi
penangkapan sehingga memberikan nilai jual rajungan yang lebih tinggi.
 Peralatan perebusan banyak dipergunakan oleh nelayan rajungan, yang
merupakan peralatan perebusan yang cukup sederhana baik kontruksi maupun
penggunaan bahan peralatan perebusan. Dengan adanya peralatan perebusan
diatas kapal nelayan yang cukup sederhana, maka penanganan rajungan diatas
kapal bisa ditingkatkan dengan cara melakukan modernisasi peralatan
perebusan sehingga higinitas dan sanitasinya dapat terjamin atau dapat lebih
tinggi.

3. Nilai Gizi Pada Rajungan


Daging kepiting dan rajungan mempunyai nilai gizi tinggi. Kandungan protein
rajungan lebih tinggi daripada kepiting. Kandungan karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi,
vitamin A, dan vitamin B1. Rata-rata per 100 gram daging kepiting dan rajungan berturut-
turut sebesar 14,1 gram, 210 mg, 1,1 mg, 200 SI, dan 0,05 mg/100g.
Keunggulan nilai gizi rajungan adalah kandungan proteinnya yang cukup besar, yaitu
sekitar 16-17 g/100 g daging. Angka tersebut membuktikan bahwa rajungan dapat ditarik,
setelah membandingkan kandungan protein rajungan dengan sumber-sumber pangan
hewani lainnya, seperti daging ayam, daging sapi, dan telur. Kandungan protein daging
ayam, daging sapi, dan telur per 100 gramnya berturut-turut 20,6 g; 18,2 g; dan 11,8 g.
Keunggulan lain adalah kandungan lemak rajungan yang sangat rendah. Hal ini tentu
saja merupakan kabar sangat baik bagi konsumen yang memang membatasi konsumsi
pangan berlemak tinggi. Kandungan lemak rendah dapat berarti kandungan lemak jenuh
yang rendah pula, demikian sama halnya pula dengan kandungan kolesterol.

4. Penilain Mutu Dan Manfaat Dari Rajungan


Penilaian Mutu
Penilaian mutu rajungan dapat dilakukan secara subjektif dan objektif. Penilaian
subjektif yang umum disebut juga sebagai penilaian organoleptik, menggunakan panca
indra pengamat untuk menilai faktor-faktor mutu yang umumnya dikelompokan atas
penampakan, aroma, cita rasa dan tekstur. Sifat organoleptik sangat erat kaitannya dengan
sifat fisik rajungan, terutama dalam menentukan kesegarannya.
Rajungan yang masih segar memiliki penampakan yang bersih, tidak beraroma busuk,
dagingnya putih mengandung lemak berwarna kuning, dan bebas dari bahan pengawet.
Daging rajungan yang mulai membusuk terlihat dari warna kulitnya yang pucat, terbuka
dan merenggang, daging pun mengering, dan tak terdapat lagi cairan dalam kulit, warna
daging berubah kehitam-hitaman dan berbau busuk.
Rajungan yang kopong atau memiliki badan yang tidak berisi dapat diketahui dari
bagian dada rajungan. Bila lunak berarti daging rajungan tersebut memang tidak padat.
Rajungan yang berkulit lunak memiliki ciri khas, yaitu seluruh tubuhnya lunak.
Kesegaran rajungan dapat dilihat dari bagian dada, warna daging di antara ruas-ruas kaki
dan capit, membuka karapas dan melihat kondisi telur, insang dan lemi (lemak dari
rajungan). Bila rajungan tidak segar, bagian dada dan insang berwarna hitam, sedangkan
telur dan lemi terlihat mencair dan berlendir.

Manfaat Dari Rajungan


Air rebusan dan kandungan kitin, diperkirakan bisa mencapai 24.000 liter per bulan.
Air bekas rebusan rajungan ini cukup potensial untuk dijadikan bahan dasar untuk
pembuatan kerupuk kepiting. Kitosan dapat pula dimanfaatkan sebagai penyerap yang
efektif terhadap zat-zat yang tidak diinginkan, seperti tanin pada kopi. Selain itu, kitin dan
kitosan juga berfungsi sebagai bahan fungsional untuk proses penjernihan air. Seperti
lensa kontak, baik hard lens maupun soft lens, dapat dibuat dari polimer kitin yang
memiliki permeabilitas yang tinggi terhadap oksigen. Kitin dan kitosan banyak
dipergunakan sebagai bahan pembungkus kapsul, karena mampu tergradasi secara
berangsur dan melepaskan obat dengan dosis yang terkontrol.
Beberapa turunan kitosan juga telah ditemukan memiliki sifat antibakteri dan
antikoagulan darah. Kemampuan lain dari kitin adalah dalam hal penggunaan sel-sel
leukimia, sehingga dapat berfungsi sebagai antitumor. Kitosan juga mulai diusulkan
sebagai bahan pembuat ginjal buatan. Kitin juga ditemukan memiliki sifat antikolesterol

UDANG
1. KARAKTERISTIK UDANG

Udang merupakan salah satu produk perikanan yang istimewa, memiliki aroma
spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Proses pembekuan udang merupakan
salah satu cara pengawetan makanan karena dengan menurunkan suhu maka pertumbuhan
mikroorganisme dapat terhambat, mencegah reaksi kimia dan aktivitas enzim. Tujuan
pembekuan udang adalah mempertahankan sifat-sifat mutu tinggi pada udang dengan
teknik penarikan panas secara efektif dari udang agar suhu udang turun sampai suhu
rendah yang stabil dan mengawetkan udang. Udang diklasifikasikan sebagai berikut:
Phylum : Arthropoda
Sub Phylum : Mandibulata
Class : Crustaceae
Sub class : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Sub ordo : Natantia
Famili : Penaidae
Genus : Penaeus
Species : Penaeussp

Secaramorfologi, udang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian kepala yang menyatu
dengan dada (cephalothorax) dan bagian badan (abdomen) yang terdapat ekor di
belakangnya. Udang memiliki tubuh yang beruas-ruas dan seluruh bagian tubuhnya
tertutup kulit khitin yang tebal dan keras. Bagian kepala beratnya lebih kurang 36-49%
dari total keseluruhan berat badan, daging 24-41% dan kulit 17-23% (Purwaningsih,
1995). Ordo Decapoda umumnya hidup di laut, beberapa di air tawar dan sedikit didarat.
udang yang banyak terdapat di Indonesia yang memiliki nilai ekonomis tinggi antara lain
udang windu (Penaeus monodon), udangputih (Penaeus marguiensis) dan udang dogol
(Metapenaeus monoceros). Sedangkan udang air tawar yang memiliki nilai ekonomis
tinggi antara lain udang galah (Macrobranchium rosenbergii), udang kipas (Panulirus sp)
dan udang karang (Lobster).

2. KOMPOSISI KIMIA UDANG


Udang merupakan  salah satu produk perikanan yang istimewa, memiliki  aroma
spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya  lebih kurang 36-
49% dari total keseluruhan berat badan, daging 24-41% dan kulit  17-23%.
Selain itu daging  udang juga mempunyai asam amino esensial yang  penting bagi
manusia, dimana asam amino tirosin, triptofan dan sistein lebih  tinggi dibandingkan
hewan darat. Hal ini disebabkan tingginya protein pada udang dengan 18 jenis asam
amino yang terkandung didalamnya.
Tabel. Komposisi protein dan asam amino esensial pada udang. Sumber : USDA
(2003).
Komposisi satuan Konsentrasi
Protein
Mioplasma % 32
Myofibril % 59
Miostroma % 5
Asam amino esensial
Isoleusin g/100g 0,985
Leusin g/100g 1,612
Lisin g/100g 1,768
Metionon g/100g 0,572
Sistein g/100g 0,228
Fenilalanin g/100g 0,858
Tirosin g/100g 0,676
Treonin g/100g 0,822
Triptofan g/100g 0,283
Valin g/100g 0,956
Berdasarkan kesegarannya, udang dapat dibedakan menjadi empat kelas mutu, yaitu
(Hadiwiyoto 1993):
a. Udang yang mempunyai mutu prima (prime) atau baik sekali, yaitu udangudang
yang benar-benar masih segar, belum ada perubahan warna, transparan dan tidak
ada kotoran atau noda-nodanya.
b. Udang yang mempunyai mutu baik (fancy). Udang ini mutunya dibawah prima,
ditandai dengan adanya kulit udang yang sudah tampak pecah-pecah atau retak-
retak, tubuh udang lunak tetapi warnanya masih baik dan tidak terdapat kotoran
atau noda-nodanya.
c. Udang bermutu sedang (medium, black dan spot). Pecah-pecah pada kulit udang
lebih banyak daripada udang yang bermutu baik. Udang sudah tidak utuh lagi,
kakinya patah, ekornya hilang atau sebagian tubuhnya putus. Daging udang sudah
tidak lentur lagi, pada permukaan tubuhnya sudah tampak banyak noda berwarna
hitam atau merah gelap.
d. Udang yang bermutu rendah (jelek dan rusak). Kulit udang banyak yang pecah
atau mengelupas, ruas-ruas tubuh sudah banyak yang putus dan udang sudah tidak
utuh lagi.

3. PENANGANAN PASCA TANGKAP


Penanganan udang tanpa kepala dilakukan segera setelah udang tertangkap dan
sampai di atas kapal, kepala udang dipisahkan. Sementara itu udang yang berukuran kecil
dan ikan yang tercampur bersama – sama dipisahkan juga. Udang tanpa kepala lalu dicuci
beberapa kali dengan air laut atau tawar yang bersih dan dingin dengan jalan
menambahkan bongkahan es kedalam air pencuci. Pencucian dilakukan sampai air
pencuci tidak keruh lagi.
Secepatnya udang lalu di-es dengan es hancuran yang cukup halus supaya es itu tidak
melukai badan udang, atau udang tanpa kepala diaduk dengan es sehingga seluruh badan
diliputi es. Cara lain untuk meng-es udang adalah dengan jalan berlapis antara udang dan
es, yaitu lapisan pertama es lalu lapisan udang, lapisan es lagi dan seterusnya.
Udang yang sudah di-es lalu disimpan dalam palka, atau bila pembekuan dapat
dilakukan di atas kapal, udang langsung dibekukan segera selesai dicuci. Selama dalam
palka harus selalu dijaga agar udang yang di-es di dalam peti atau keranjang jangan
sampai kekurangan es. Udang segar itu harus selalu tertutup oleh lapisan es.
Penanganan udang utuh dilakukan segera setelah udang sampai di atas kapal, lalu
dipilih untuk memisahkan udang yang berukuran besar dari campuran ikan dan udang
kecil. Disamping itu pemilihan juga dilakukan untuk mengumpulkan jenis udang yang
sama. Pemilihan ini antara lain dimaksudkan untuk memisahkan udang yang sudah rusak
dari udang-udang yang utuh.
Udang utuh itu lalu dicuci bersih beberapa kali, kemudian dimasukkan ke dalam
wadah kedap air (misalnya drum plastik) yang sudah berisi air laut atau air tawar yang
diberi bongkahan es. Drum-drum berisi udang itu lalu disimpan ditempat yang teduh atau
di dalam palka. Selama kapal berlayar bila air didalam drum sudah terlihat keruh, lalu
diganti dengan air yang masih bersih dan ditambah es. Udang di dalam drum harus selalu
dijaga dalam keadaan dingin dengan air yang bersih sampai udang itu sampai ke darat
atau dijual.
Menurut Hadiwiyoto (1993), proses pembekuan berdasarkan system pindah panas
dari alat yang digunakan atau cara yang dikerjakan, proses pembekuan terdiri atas:
 Pembekuan konvensional, jika cara pembekuannya menggunakan alat
pendinginan sederhana yang tradisional atau konvensional sifatnya.
 Blast freezing, pada metode ini bahan ditempatkan pada suatu ruang pembekuan
dengan udara bersuhu rendah dihembuskan. Beberapa cara metode ini adalah
pembekuan dalam alat berbentuk terowongan (tunnel freezing), air blast freezing
dan flow freezing.
 Contact plate freezing, pada metode ini bahan dibekukan dengan alat pelat-pelat
pembekuan yang ditempatkan pada bahan.
 Pembekuan celup (immersion freezing), pada metode ini bahan yang akan
dibekukan dicelupkan dalam cairan yang sangat dingin, misalnya larutan garam
(NaCl) dingin, campuran gliserol dan alkohol atau larutan gula dingin.
 Pembekuan dengan cara penyemprotan bahan pendingin berbentuk cairan (spray
freezing)
 Kombinasi pembekuan celup dengan blast freezing (the blend process)
 Cryogenic freezing, merupakan metode pembekuan dengan menggunakan gas
nitrogen yang dicairkan atau karbondioksida cair

4. PENGEMASAN

Pengemasan untuk transportasi udang hidup dengan sistem kering dilakukan sebagai
berikut.
 Disiapkan kotak stirofom dan ke dalamnya dimasukkan hancuran es (0,5 kg) yang
dibungkus kantong plastik, kemudian ditutup kertas koran untuk mencegah
rembesan air dari es. Di atas koran dimasukkan selapis sergaji (140C) sekitar
setebal 10 cm.
 Es ditutup kertas koran untuk mencegah rembesan air es, dan diatas koran
dimasukkan selapis sergaji setebal 15 cm.
 Udang dimasukkan dan disusun satu lapis berseling seling dengan posisi tubuh
telungkap.
 Di atas udang dimasukkan selapis sergaji lembab dingin setebal 5-10cm.
Demikian seterusnya, udang dan sergaji lembab dingin disusun lapis demi lapis
secara berseling seling sampai kemasan penuh. Lapisan paling atas diisi sergaji
sedikit lebih tebal (10-15 cm).
 Kemasan diitutup rapat dan direkat dengan flasband. Kotak stirofon dapat
dimasukkan ke dalam kotak kardus untuk melindungi stirofom dari kerusakan
fisik.
 Kemasan kemudian dapat ditransportasikan untuk ekspor ke luar negeri.
Penggunaan ruangan bersuhu sejuk (suhu ruang sekitar 170-190C)
selama transportasi sangat disarankan untuk menekan perubahan suhu
sehingga tingkat ketahanan hidup udang lebih tinggi dan daya jangkau
transportasinya lebih jauh.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Lobster merupakan salah satu hasil perikanan yang memiliki nilai jual tinggi terutama
dalam keadaan hidup. Agar lobster tetap hidup maka dapat dilakukan penanganan awal
berupa penyortiran dan pemingsanan, penyimpanan dengan metode transportasi kering, serta
pembugaran lobster. Kendala selama penangaan tersebut beruapa pengiriman jarak jauh serta
kelembapan dan suhu yang harus selalu terjaga. Lobster dapat dipasarkan apabila memenuhi
syarat diantaranya harus dalam keadaan bugar, sehat, tidak sedang ganti kulit (moulting),
tidak sedang bertelur, berat tubuh lebih besar atau sama dengan 60 g/ekor, serta organ tubuh
lobster harus lengkap dan tidak boleh patah.
Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan kepiting laut yang banyak terdapat di
Perairan Indonesia yang biasa ditangkap di daerah Gilimanuk (pantai utara Bali),
Pengambengan (pantai selatan Bali), Muncar (pantai selatan Jawa Timur), Pasuruan (pantai
utara Jawa Timur), daerah Lampung, daerah Medan dan daerah Kalimantan Barat. Rajungan
telah lama diminati oleh masyarakat baik di dalam negeri maupun luar negeri, oleh karena itu
harganya relatif mahal. Rajungan di Indonesia sampai sekarang masih merupakan komoditas
perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi yang diekspor terutama ke negara Amerika,
yaitu mencapai 60% dari total hasil tangkapan rajungan. Rajungan juga diekspor ke berbagai
negara dalam bentuk segar yaitu ke Singapura dan Jepang, sedangkan yang dalam bentuk
olahan (dalam kaleng) diekspor ke Belanda. Komoditas ini merupakan komoditas ekspor
urutan ketiga dalam arti jumlah setelah udang dan ikan. Sampai saat ini seluruh kebutuhan
ekspor rajungan masih mengandalkan dari hasil tangkapan di laut, sehingga dikhawatirkan
akan mempengaruhi populasi di alam.
Udang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian kepala yang menyatu dengan dada
(cephalothorax) dan bagian badan (abdomen) yang terdapat ekor di belakangnya. Udang
memiliki tubuh yang beruas-ruas dan seluruh bagian tubuhnya tertutup kulit khitin yang tebal
dan keras. Proses pembekuan udang merupakan salah satu cara pengawetan makanan karena
dengan menurunkan suhu maka pertumbuhan mikroorganisme dapat terhambat, mencegah
reaksi kimia dan aktivitas enzim. Komposisi kimia udang terdiri dari 78% kadar air; 3,1%
kadar abu; 1,3% lemak; 0,4% karbohidrat; 16,72% protein; 161% kalsium; 292% fosfor;
2,2% besi; 418% natrium.

DAFTAR PUSTAKA
http://tika3poet1.blogspot.com/2013/12/makalah-penanganan-udang.html
https://www.academia.edu/17918315/Penanganan_Hasil_Perikanan_Transportasi_Lo
bster_Hidup
https://www.lalaukan.com/2017/04/penanganan-rajungan-di-atas-kapal.html?m=1
http://reps-id.com/rajungan-dagingnya-lezat-dan-cangkangnya-multifungsi/#
https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/49821
https://nurasmalaadyah.blogspot.com/2015/10/klasifikasi-dan-morfologi-
rajungan.html

Anda mungkin juga menyukai