Anda di halaman 1dari 13

TUGAS KEPERAWATAN JIWA

PERAN PERAWAT JIWA

DAN

KOLABORASI INTERDISIPLIN

Dosen Pengampu:

Rostime H. Simanullang, Simanullang, S.Kep, Ns.,M.Kes

DisusunOleh:

Fauziah Khairunnisa Lubis

1922009

S-1 ILMU KEPERAWATAN

STIKes MURNI TEGUH MEDAN

2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah Swt yang mana telah Melimpahkan rahnmat
serta hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul "Peran perawat
jiwa dan pelayanan kolaborasi interdisiplin" tepat pada waktunya.

Dalam kesempatan ini kami ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada
Semua teman yang telah ikut berpartisifasi dalam penyusunan makalah ini. Di dalam
penyusunan makalah ini kami menyadari masih banyak sekali kekurangan, untuk itu kritik
dan saran yang bersifat membangun dari rekan-rekan semua sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah selanjutnya.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Terima kasih.

Medan, 31 Maret2020

Penulis

Fauziah. K. Lbs
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
LATAR BELAKANG............................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................6
TINJAUAN TEORITIS.............................................................................................................6
A. Peran Perawat Jiwa............................................................................................................6
B. Peran perawat dalam kolaborasi pelayanan interdisiplinan keperawatan jiwa..................8
C. Peran perawat jiwa dalam situasi bencana Virus Corona (COVID-19)..........................11
BAB III PENUTUP .................................................................................................................12
KESIMPULAN........................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................13
BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sehat adalah dalam keadaan bugar dan
nyaman seluruh tubuh dan bagian-bagiannya. Bugar dan nyaman adalah relatif, karena
bersifat subjektif sesuai orang yang mendefinisikan dan merasakan. Bagi seorang kuli
bangunan, kaki kejatuhan batu, tergencet, dan berdarah-darah adalah hal biasa, karena hanya
dengan sedikit dibersihkannya, kemudian disobekkan pakaian kumalnya, lalu dibungkus,
kemudian dapat melanjutkan pekerjaan lagi. Namun, bagi sebagian orang, sakit kepala sedikit
harus berobat ke luar negeri. Seluruh komponen tubuh juga relatif, apakah karena adanya
panu, kudis, atau kurap pada kulit, seseorang disebut tidak sehat? Padahal komponen tubuh
manusia bukan hanya fisik, melainkan juga psikologis dan lingkungan sosial bahkan spiritual.
Jiwa yang sehat sulit didefinisikan dengan tepat. Meskipun demikian, ada beberapa indikator
untuk menilai kesehatan jiwa. Karl Menninger mendefinisikan orang yang sehat jiwanya
adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri pada lingkungan, serta
berintegrasi dan berinteraksi dengan baik, tepat, dan bahagia. Michael Kirk Patrick
mendefinisikan orang yang sehat jiwa adalah orang yang bebas dari gejala gangguan psikis,
serta dapat berfungsi optimal sesuai apa yang ada padanya. Clausen mengatakan bahwa orang
yang sehat jiwa adalah orang yang dapat mencegah gangguan mental akibat berbagai stresor,
serta dipengaruhi oleh besar kecilnya stresor, intensitas, makna, budaya, kepercayaan, agama,
dan sebagainya.

World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 menjelaskan kriteria orang yang
sehat jiwanya adalah orang yang dapat melakukan hal berikut :

1. Menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk.
2. Merasa bebas secara relatif dari ketegangan dan kecemasan.
3. Memperoleh kepuasan dari usahanya atau perjuangan hidupnya.
4. Merasa lebih puas untuk memberi dari pada menerima.(Fitryasari R, 2015)
5. Berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan saling memuaskan.
6. Mempunyai daya kasih sayang yang besar.
7. Menerima kekecewaan untuk digunakan sebagai pelajaran di kemudian hari.
8. Mengarahkan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif.
Di Indonesia draf rencana undang undang (RUU) kesehatan jiwa belum selesai
dibahas. Pada perundangan terdahulu, UU Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1966 tentang Upaya
Kesehatan Jiwa, memberikan batasan bahwa upaya kesehatan jiwa adalah suatu kondisi dapat
menciptakan keadaan yang memungkinkan atau mengizinkan perkembangan fisik, intelektual,
dan emosional yang optimal pada seseorang, serta perkembangan ini selaras dengan orang
lain. Menurut UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada Bab IX tentang kesehatan
jiwa menyebutkan Pasal 144 ayat 1 “Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap
orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan
gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa”. Ayat 2, “Upaya kesehatan jiwa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif
pasien gangguan jiwa, dan masalah psikososial”. Batasan ini pun sulit dipenuhi, sehingga
semua kriteria dapat dipertimbangkan dalam menilai kesehatan jiwa.

Oleh karenanya, orang yang sehat jiwanya adalah orang yang sebagai berikut.

1. Melihat setiap hari adalah baik, tidak ada satu alasan sehingga pekerjaan harus
ditunda, karena setiap hari adalah baik.
2. Hari besok adalah hari yang baik.
3. Tahu apa yang diketahui dan tahu apa yang tidak diketahui.
4. Bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan membuat lingkungan menjadi lebih
baik.
5. Selalu dapat mengembangkan usahanya.
6. Selalu puas dengan hasil karyanya.
7. Dapat memperbaiki dirinya dan tidak menganggap dirinya selalu benar.(Fitryasari R,
2015)
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Peran perawat jiwa


 Peran perawat kesehatan jiwa dalam pelaksanaan program 

Sebagai pemberi asuhan keperawatan secara langsung, perawat telah memberikan


tindakan keperawatan pada penderita, akan tetapi, tindakan keperawatan yang telah diberikan
tidak didokumentasikan berdasarkan format keperawatan kesehatan jiwa komunitas, sehingga
tidak temukan catatan perkembangan kesehatan penderita setelah diberikan tindakan
keperawatan. Beberapa penelitian membuktikan terjadi peningkatan kemandirian penderita
dan peningkatan kemampuan penderita setelah dilepaskan dari pemasungan, seperti
melakukan perawatan diri dan mampu berkomunikasi dengan baik. Dalam melanjutkan terapi
untuk penderita, salah satu bentuk peran perawat adalah melakukan kolaborasi dengan tim
kesehatan lainnya terutama  manajemen obat dengan dokter.

Sebagai pendidik, kegiatan yang dilakukan oleh perawat kesehatan jiwa adalah
memberikan pendidikan kesehatan jiwa kepada individu dan keluarga untuk mengembangkan
kemampuan keluarga dalam menyelesaikan masalah dengan melakukan tugas keluarga.
Pelaksanaan tugas kesehatan yang sangat baik dapat mencegah kekambuhan. Pendidikan
kesehatan jiwa kepada keluarga dapat menurunkan tingkat kecemasan. Intervensi
psikoedukasi keluarga tentang skizofrenia memberikan perubahan pengetahuan, devaluasi,
beban, ekspresi, emosi, dan pemberdayaan keluarga orang dengan skizofrenia. Family
psychoeducation menurunkan beban keluarga dan meningkatkan kemampuan merawat klien
dengan halusinasi.

Perawat berperan dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat. Pemberdayaan


untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang gangguan jiwa dan gangguan emosional
pada level- level tertentu perlu dilakukan agar tidak menimbulkan stigma terhadap penderita
gangguan jiwa yang bisa disembuhkan. Promosi kesehatan dengan role play dan ceramah
dapat meningkatkan pengetahuan keluarga dan tokoh masyarakat. (Rahman A, 2016)
Dalam memberikan bimbingan praktik kepada mahasiswa, terlihat bahwa kemampuan
seorang instruktur klinik memandu mahasiswa, mempunyai korelasi positif dengan
kemampuan mahasiswa untuk mencapai tujuan mata ajar sehingga diharapkan berdampak
positif terhadap mahasiswa. 

 Peran perawat sebagai koordinator kegiatan

Dalam pemetaan kasus pasung, terlihat bahwa sebagai koordinator, perawat kesehatan
jiwa harus melakukan koordinasi, untuk menemukan kasus dan rujukan. Perawat juga
berperan dalam Ikut serta dalam pemberdayaan mantan penderita gangguan jiwa. Kelompok
swabantu adalah suatu kelompok dengan anggota yang saling berbagi masalah, baik masalah
fisik maupun emosional atau isu tertentu. Kelompok ini mendiskusikan pemecahan masalah
yang dihadapi. Setelah memberikan bimbingan keluarga dalam kelompok swabantu,
kemampuan kognitif dan psikomotor keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa meningkat
secara bermakna. (Rahman A, 2016)

 Motivasi perawat kesehatan jiwa dalam pelaksanaan program 

Hal ini sesuai dengan teori motivasi yang dikemukan oleh Herzberg yang menyatakan
"bahwa bentuk pekerjaan merupakan faktor yang memotivasi seseorang untuk mencapai
kepuasan". Praktik pemasungan terkesan disembunyikan sebagai  manifestasi solidaritas
komunitas dan bentuk frustasi masyarakat terhadap kesembuhan penderita. 

Ekspresi keluarga memiliki korelasi yang positif dengan tingkat kekambuhan pasien.
Keluarga penderita skizofrenia memiliki ekspresi emosi yang  tinggi sebanyak 49,2% dengan
pengukuran menggunakan instrumen flow questionnaire. Ekspresi emosi keluarga yang tinggi
menyebabkan frekuensi kekambuhan penderita skizofrenia bertambah. Keberadaan penderita
merupakan beban dan dilema bagi keluarga karena tidak dapat memperhatikan penderita
secara terus menerus. Caregiver merasa terbebani dengan kondisi penderita serta memiliki
beban yang tinggi terhadap penderita skizofrenia.

Beberapa keluarga percaya bahwa roh jahat telah memasuki tubuh anggota keluarga
yang menderita penyakit mental. Mereka menganggap bahwa kekuatan yang dihasilkan oleh
pasien ketika mengamuk dipengaruhi oleh roh jahat. Beberapa keluarga masih mencari
pengobatan dari dukun atau pengobatan secara agama untuk penderita gangguan
jiwa. (Rahman A, 2016)

Kendala dalam layanan kesehatan jiwa adalah keterbatasan ketersediaan obat-obatan


bagi pasien dengan gangguan jiwa. Seandainya tersedia, harga obat belum terjangkau oleh
sebagian masyarakat, karena pada umumnya orang dengan gangguan jiwa memerlukan
pengobatan dalam waktu yang lama. Pada beberapa kasus, obat-obatan jiwa tidak pernah
digunakan, sementara pada kasus yang lain obat-obatan jiwa, kadang kadang tidak tersedia.

Terkait dengan program bebas pasung, kerja sama lintas sektoral merupakan hal yang
sentral karena sifat pasung yang multidimensi berkaitan dengan kewenangan dari setiap badan
pemerintahan yang ada, tim yang ideal untuk mengawal program kesehatan jiwa masyarakat
dihadapkan pada tantangan kepemimpian dan keaktifan para anggota, sehingga pada
realitanya belum banyak daerah yang mempuyai Tim TPKJM berfungsi efektif. 

Hambatan dalam memberikan perawatan kepada penderita gangguan meliputi waktu,


sumber daya manusia, dan tenaga profesional terlatih yang kurang untuk merawat penderita
gangguan jiwa.  Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka kondisi kerja yang dialami
perawat merupakan bagian dari hygienes factor atau motivasi ekstrinsik atau faktor yang
menyebabkan ketidakpuasan.

Berdasarkan teori motivasi Herzberg, kondisi kerja merupakan salah satu faktor yang
memotivasi seseorang untuk keluar dari ketidakpuasan, artinya Kondisi kerja yang dialami
perawat saat melaksanakan program bebas pasung menyebabkan ketidaknyamanan perawat
dalam melaksanakan program bebas pasung, sehingga tidak dapat menunjang aktivitas
perawat untuk memberikan tindakan keperawatan kepada penderita dan keluarga. (Rahman
A,2016)

B. Peran perawat dalam kolaborasi pelayanan interdisiplinan keperawatan jiwa


 Pengertian Pelayanan dan Kolaborasi Interdisiplin Keperawatan Jiwa

Pelayanan dan kolaborasi interdisiplin keperawatan jiwa merupakan pelayanan


kesehatan yang dilakukan oleh sekolompok tim kesehatan profesional (perawat, dokter, tim
kesehatan lainnya maupun pasien dan keluarga pasien sakit jiwa) yang mempunyai hubungan
yang jelas, dengan tujuan menentukan diagnosa, tindakan-tindakan medis, dorongan moral
dan kepedulian khususnya kepada pasien sakit jiwa. Pelayanan akan berfungsi baik jika
terjadi adanya konstribusi dari anggota tim dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik
kepada pasien sakit jiwa. Anggota tim kesehatan meliputi : pasien, perawat, dokter,
fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena itu tim kolaborasi
interdisiplin hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling
menghargai antar sesama anggota tim.

Secara integral, pasien adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam
pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana menjadi efektif.
Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat dicapai jika pasien sebagai
pusat anggota tim. Karena dalam hal ini pasien sakit jiwa tidak dapat berpikir dengan nalar
dan pikiran yang rasional, maka keluarga pasienlah yang dapat dijadikan pusat dari anggota
tim. Disana anggota tim dapat berkolaborasi dalam menentukan tindakan-tindakan yang telah
ditentukan. Apabila pasien sakit jiwa tidak memiliki keluarga terdekat, maka disinilah peran
perawat dibutuhkan sebagai pusat anggota tim. Karena perawatlah yang paling sering
berkomunikasi dan kontak langsung dengan pasien sakit jiwa. Perawat berada disamping
pasien selam 24 jam sehingga perawatlah yang mengetahui semua masalah pasien dan banyak
kesempatan untuk memberikan pelayanan yang baik dengan tim yang baik.

Perawat adalah anggota membawa persfektif yang unik dalam interdisiplin tim.
Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari
praktek profesi kesehatan lain. Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien
dan pemberi pelayanan kesehatan.

Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan mencegah


penyakit. Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan seperti pemberian obat
dan pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan anggota tim lainnya sebagaimana
membuat referal pemberian pengobatan. (Ade S, 2011)

 Elemen penting dalam mencapai kolaborasi interdisiplin efektif


o Kerjasama adalah menghargai pendapat orang lain dan bersedia untuk memeriksa
beberapa alternatif pendapat dan perubahan kepercayaan
o ketegasan penting ketika individu dalam tim mendukung pendapat mereka dengan
keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa pendapatnya benar-benar didengar dan
konsensus untuk dicapai
o Tanggung jawab artinya mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil
konsensus dan harus terlibat dalam pelaksaannya
o Komunikasi artinya bahwa setiap anggota bertanggung jawab untuk membagi
informasi penting mengenai perawatan pasien sakit jiwa dan issu yang relevan untuk
membuat keputusaan klinis
o Pemberian pertotolongan artinya masing-masing anggota dapat memberikan tindakan
pertolongan namun tetap mengacu pada aturan-aturan yang telah disepati
o Kewenangan mencakaup kemandirian anggota tim dalam batas kompetensinya
o Kordinasi adalah efesiensi organisasi yang dibutuhkan dalam perawatan pasien sakit
jiwa, mengurangi duplikasi dan menjamin orang yang berkualifikasi dalam
menyelesaikan permasalahan
o Tujuan umum artinya setiap argumen atau tindakan yang dilakukan memiliki tujuan
untuk kesehatan pasien sakit jiwa (Dalami E,2010)

 Tujuan kolaborasi interdisiplin dalam pelayanan keperawatan jiwa :


 Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan mengagabungkan keahlian
unik profesional untuk pasien sakit jiwa
 Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya
 Peningkatnya profesionalisme kepuasan kerja dan loyalitas
 Meningkatnya kohesifitas antar profesional
 Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional
 Menumbuhkan komunikasi, menghargai argumen dan memahami orang lain (Dalami
E,2010)

 Hambatan dalam melakukan kolaborasi interdisiplin dalam keperawatan jiwa


o Ketidaksesuaian pendidikan dan latihan anggota tim
o Struktur organisasi yang konsensional
o Konflik peran dan tujuan
o Komppetisi interpersonal
o Status dan kekuasaan dan individu itu sendiri (Dalami E,2010)
C. Peran perawat jiwa dalam situasi bencana Virus Corona (COVID-19)
Seiring penyebaran virus kenegaralain, dalam menangani kebutuhan kesehatan jiwa
dan psikososial masyarakat, pendekatan yang diambil tidak bisa seragam. Dalam setiap
konteks, penting untuk mengetahui kebutuhan kelompok tertentu dalam masyarakat yang
mungkin sulit mengakses informasi, pertolongan dan dukungan atau berisiko lebih tinggi
terkena infeksi. Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial (DKJPS) harus dapat di akses dan
disesuaikan untuk kebutuhan anak-anak, usia lanjut, penyandang disabilitas, dan kelompok-
kelompok rentan lainnya (mis., orang yang sistem imunnya lemah dan kelompok etnis
minoritas). Kebutuhan khusus wanita, pria, anak-anak laki-laki dan perempuan juga harus
dipertimbangkan.

Pendekatan DKJPS harus melibatkan dan menyesuaikan kebutuhan masyarakat


terdampak COVID-19 dan pada masa-masa perkembangan wabah (sebelum, selama, dan
sesudah tingkat infeksi tinggi). Kesiap siagaanakan banyak meningkatkan dan mempercepat
tanggapan pada awal wabah. Negara di mana wabah ini belum menyebar perlu
mempersiapkan kemungkinan respons DKJPS. Persiapan negara-negara tersebut perlu dibantu
oleh respons terhadap wabah COVID-19 saat ini dan tindakan DKJPS dalam wabah-wabah
masa lalu

Hal ini mencakup integrasi pendekatan dan kegiatan DKJPS dalam strategi
masyarakat, penjangkauan masyarakat, identifikasi kasus dan pelacakan kontak, serta
kegiatan di fasilitas pelayanan kesehatan dan lokasi karantina, dan strategi setelah selesai
perawatan. Kesehatan dan kesejahteraan jiwa petugas di garis depan perlu diperhatikan dan
didukung. Tenaga kesehatan, petugas identifikasi kasus, tenaga pemula saran jenazah, dan staf
serta suka relawan lain perlu diberikan dukungan DKJPS selama terjadinya wabah serta
setelahnya.
BAB III
PENTUP

KESIMPULAN
 Jadi, peran perawat jiwa dalam era saat ini sangat penting untuk ksehatan klien yang
memerlukan motivasi dalam mengadapin masalah, perawat berperan sebagai
pemberian asuhan kesehatan kepada klien dan berkolaborasi.
 Peran perawat dalam pelayanan kolaborasi interdisiplin keperawatan jiwa sangat
penting untuk membentuk suatu kerja sama antara tim dalam proses penyembuhan
klien
 Perlu kita ketahui peningkatan pasien pada virus corona semakin mengingkat peran
kita sebagai perawat jiwa di harapkan untuk lebih berkolaborasi dalam pencegahan
atau mengajari klien misalnya dengan cara mencuci tangan, etika batuk, jika klien
mengalami kurang enak badan di harapkan istirahat yang cukup dan menggunakan
masker
DAFTAR PUSTAKA
1. Ade,Susana.2011.Terapi Modalitas Keperawatan Kesehatan Jiwa.Jakarta:Buku
Kedokteran EGC
2. Dalami Ernawati.2010.Konsep Dasar Kesehatan Keperawatan
Jiwa.Jakarta:CV.Trans Info Media
3. Fitryasari, R.2015. Buku Ajar Keperawatan Kesahatan Jiwa.Jakarta:Salemba Medica
4. Rahman,Arif.2016.Peran dan motivasi perawat kesehatan jiwa dalam program
bebas pasung: studi kasus di Mataram.Berita Kedokteran Masyarakat  (BKM Journal
of Community Medicine and Public Health).Volume 32 No 8

Anda mungkin juga menyukai