Anda di halaman 1dari 20

KONSEP BERDUKA

OLEH :

1. RATNA
2. REPISAH
3. SARI DWI RAHAYU
4. SISKA AMELIA FITRI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PRIMA JAMBI

2017/2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panajatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat serta karunia-Nya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Konsep Dasar Berduka dan
Kehilangan”.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu penyusun
mengharapkan kritik serta saran untuk perbaikan. Akhir kata penyusun berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi pembaca dan umumnya bagi penyusun.

Jambi, 15 Mei 2017

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................

A. Latar belakang................................................................................................
B. Rumusan masalah...........................................................................................
C. Tujuan.............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................

A. Konsep berduka..............................................................................................
B. Berduka dan kehilangan.................................................................................
C. Cara mendampingi klien yang kehilangan.....................................................

BAB III PENUTUP..................................................................................................

A. Kesimpulan.....................................................................................................
B. Saran...............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Lahir, kehilangan, dan kematian adalah kejadian yang unuiversal dan kejadian yang
sifatnya unik bagi setiap individual dalam pengalaman hidup seseorang. Kehilangan dan
berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum berarti sesuatu yang kurang
enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi ini lebih
banyak melibatkan emosi/ego dari diri yang bersangkutan atau disekitarnya. Pandangan-
pandangan tersebut dapat menjadi dasar bagi seorang perawat apabila menghadapi
kondisi yang demikian. Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan diperlukan
dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif. Kurang memperhatikan
perbedaan persepsi menjurus pada informasi yang salah, sehingga intervensi perawatan
yang tidak tetap (Suseno, 2004). Perawat berkerja sama dengan klien yang mengalami
berbagai tipe kehilangan. Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang
untuk menghadapi dan menerima kehilangan. Perawat membantu klien untuk memahami
dan menerima kehilangan dalam konteks kultur mereka sehingga kehidupan mereka
dapat berlanjut. Dalam kultur Barat, ketika klien tidak berupaya melewati duka cita
setelah mengalami kehilangan yang sangat besar artinya, maka akan terjadi masalah
emosi, mental dan sosial yang serius. Kehilangan dan kematian adalah realitas yang
sering terjadi dalam lingkungan asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi
dengan klien dan keluarga yang mengalami kehilangan dan dukacita. Penting bagi
perawat memahami kehilangan dan dukacita. Ketika merawat klien dan keluarga, parawat
juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-kelurga-perawat berakhir
karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi, nilai
dan pengalaman pribadi mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung klien
dan keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005).
B. Rumusan masalah
1. Apa yang di maksud konsep berduka?
2. Apa yang di maksud berduka dan kehilangan?
3. Bagaimana mendampingi klien yang kehilangan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep berduka
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan berduka dan kehilangan
3. Untuk mengetahui bagiamana mendampingi klien yang kehilangan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Berduka
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan ketika seseorang mengalami suatu
kehilangan yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk perasaan sedih, gelisah,
cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain sebagainya.

Jenis-jenis Berduka

Ada 5 jenis konsep berduka, yaitu :

1. Berduka Normal

Terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap kehilangan. Misal :
kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian, dan menarik diri dari aktivitas untuk
sementara.

2. Berduka Antisipatif

Proses melepaskan diri yang muncul sebelum kehilangan atau kematian yang
sesungguhnya terjadi. Misal : ketika menerima diagnosis terminal, seseorang akan
memulai proses perpisahan dan menyesuaikan diri dengan berbagai urusan dunia sebelum
ajalnya tiba.

3. Berduka yang Rumit

Dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu tahap kedukaan
normal. Masa berkabung seolah-olah tidak kunjung berakhir dan dapat mengancam
hubungan orang yang bersangkutan dengan orang lain.
4. Berduka Tertutup

Kedudukan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara terbuka. Misal : kehilangan
pasangan karena AIDS, anak mengalami kematian orang tua, ibu yang kehilangan
anaknya di kandungan atau ketika bersalin.

5. Berduka Disfungsional

Suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat
individu kehilangan secara aktual maupun potensial. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke
tipikal, abnormal, atau kesalahan/ kekacauan.

Rentang Respon Berduka

Menurut Kubler-Ross dalam Potter dan Perry (1997), respon berduka seseorang terhadap
kehilangan dapat melalui tahap-tahap berikut.

1. Tahap Denial (Penyangkalan)

Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya, atau
mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar-benar terjadi. Reaksi fisik yang terjadi
pada tahap ini adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung
cepat, menangis, gelisah, dan sering kali individu tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini
dapat berlangsung selama beberapa menit hingga beberapa tahun.

2. Tahap Anger (Kemarahan)

Pada tahap ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul sering
diproyeksikan kepada orang lain atau dirinya sendiri. Orang yang mengalami kehilangan
juga tidak jarang menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar, menyerang orang lain,
menolak pengobatan, bahkan menuduh dokter atau perawat tidak berkompeten. Respon
fisik yang sering terjadi antara lain muka merah, denyut nadi cepat, gelisah, susah tidur,
tangan mengepal, dan seterusnya.

3. Tahap Bargaining (Tawar Menawar)

Pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadinya kehilangan dan
dapat mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus atau terang-terangan seolah
kehilangan tersebut dapat dicegah. Individu mungkin berupaya untuk melakukan tawar-
menawar dengan memohon kemurahan Tuhan.

4. Tahap Depression (Depresi)

Pada tahap ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang-kadang bersikap
sangat menurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusan, rasa tidak berharga, bahkan
bisa muncul keinginan bunuh diri. Gejala fisik ditunjukkan antara lain menolak makan,
susah tidur, letih, dan lain-lain.

5. Tahap Acceptance (Penerimaan)

Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu
berpusat pada objek yg hilang akan mulai berkurang atau bahkan hilang. Perhatiannya
akan beralih pada objek yg baru. Apabila individu dapat memulai tahap tersebut dan
menerima dengan perasaan damai, maka dia dapat mengakhiri proses kehilangan secara
tuntas. Kegagalan untuk masuk ke proses ini akan mempengaruhi kemampuannya dalam
mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.

Teori Proses Berduka

Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka. Konsep dan
teori berduka hanyalah alat yang dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan
emosional seseorang dan keluarganya, serta rencana intervensi untuk membantu mereka
memahami kesedihan dan cara mengatasinya. Berikut penjelasan teori proses berduka
dari beberapa pakar.
1. Teori Engels

Menurut Engels (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat
diaplikasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal. Berikut
beberapa fase yang dilalui.

 Fase I (shock dan tidak percaya)

Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas,
atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare,
detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.

 Fase II (berkembangnya kesadaran)

Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/ akut dan mungkin mengalami
putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba
terjadi.

 Fase III (restitusi)

Berusaha mencoba untuk sepakat/ damai dengan perasaan yang hampa/ kosong, karena
kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang yang
bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.

 Fase IV

Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap almarhum. Bisa
merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap
almarhum.

 Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/ disadari. Sehingga pada fase
ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah
berkembang.

2. Teori Kubler-Ross

Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada
perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut.

 Penyangkalan (Denial)

Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk
mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “tidak, tidak mungkin
seperti itu!” atau “tidak akan terjadi pada saya!” sangat umum dilontarkan.

 Kemarahan (Anger)

Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada setiap orang
dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih
sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping
individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya
menghadapi kehilangan.

 Penawaran (Bargaining)

Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk
mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain.

 Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan
tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan
dan mulai memecahkan masalah.

 Penerimaan (Acceptance)

Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross mendefinisikan


sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya
menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa.

3. Teori Martocchio

Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai lingkup yang


tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung
pada faktor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Berikut penjelasannya.

 Lahir sampai usia 2 tahun

Tidak punya konsep tentang kematian. dapat mengalami rasa kehilangan dan dukacita.
Pengalaman ini menjadi dasar untuk berkembangnya konsep tentang kehilangan dan
dukacita.

 Usia 2 sampai 5 tahun

Menyangkal kematian sebagai suatu proses yang normal. Melihat kematian sebagai
sesuatu dapat hidup kembali. Mempunyai kepercayaan tidak terbatas dalam
kemampuannya untuk membuat suatu hal terjadi.

 Usia 5 sampai 8 tahun


Melihat kematian sebagai akhir, tidak melihat bahwa kematian akan terjadi pada dirinya.
Melihat kematian sebagai hal yang menakutkan. Mencari penyebab kematian.

 Usia 8 sampai 12 tahun

Memandang kematian sebagai akhir hayat dan tidak dapat dihindari. Mungkin tak mampu
menerima sifat akhir dari kehilangan. Dapat mengalami rasa takut akan kematian sendiri.

 Usia remaja

Memahami seputar kematian, serupa dengan orang dewasa. Harus menghadapi implikasi
personel tentang kematian. menunjukkan perilaku berisiko. Dengan serius mencari
makna tentang hidup lebih sadar dan tentang masa depan.

4. Teori Rando

Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 kategori seperti penjelasan


berikut.

 Penghindaran

Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.

 Konfrontasi

Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang-ulang
melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling
akut.

 Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai memasuki
kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk
menjalani hidup dengan kehidupan mereka.

B. Kehilangan
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan
(Potter & Perry, 2005).

Jenis-jenis Kehilangan

Ada 5 jenis konsep kehilangan, yaitu :

1. Kehilangan Objek Eksternal

Kehilangan ini mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi usang, berpindah
tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam. Kedalaman berduka yang dirasakan
seseorang terhadap benda yang hilang bergantung pada nilai yang dimiliki orang tersebut
terhadap benda yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut. Contoh : kehilangan
sepeda motor, kehilangan uang, kehilangan rumah.

2. Kehilangan Lingkungan yang telah Dikenal

Kehilangan ini mencakup meninggalkan lingkungan yang telah dikenal selama periode
tertentu/kepindahan secara permanen. Contoh : pindah rumah baru dan alamat baru atau
yang ekstrim lagi dirawat di rumah sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan
yang telah dikenal dapat terjadi melalui situasi naturasional, misal : lansia pindah
kerumah perawatan.

3. Kehilangan Orang Terdekat


Kehilangan yang terjadi pada orang-orang terdekat seperti orangtua, pasangan, anak-
anak, saudara sekandung, guru, dll. Contoh : pindah rumah, pindah pekerjaan karena
promosi atau mutasi, melarikan diri, dan kematian.

4. Kehilangan Aspek Diri

Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis, atau
psikologis. Kehilangan ini dapat terjadi karena penyakit, cedera, atau perubahan
perkembangan situasi. Kehilangan seperti ini dapat menurunkan kesejahteraan individu,
mengalami kehilangan kedudukan, mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh
dan konsep diri. Contoh : kehilangan anggota tubuh dan harus diamputasi karena
kecelakaan lalu lintas, menderita kanker organ tubuh yang ganas, terkena penyakit HIV/
AIDS.

5. Kehilangan Hidup

Kehilangan ini ada pada orang-orang yang akan menghadapi kematian sampai dengan
terjadinya kematian. Hal ini sering menyebabkan kehilangan kontrol terhadap diri sendiri,
gelisah, takut, bergantung pada orang lain, putus asa dan malu. Contoh : pasien yang
divonis menderita kanker otak, luekimia atau penyakit langka lainnya yang tidak bisa
disembuhkan oleh dokter.

  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehilangan

1. Faktor Perkembangan

Anak-anak

 Belum mengerti seperti orang dewasa, belum bisa merasakan.


 Belum menghambat perkembangan.
 Bisa mengalami regresi.

Orang dewasa
 Kehilangan membuat orang menjadi mengenang tentang hidup, tujuan hidup.
 Menyiapkan diri bahwa kematian adalah hal yang tidak bisa dihindari.

2. Faktor Keluarga

Keluarga mempengaruhi respond an ekspresi kesedihan. Anak terbesar biasanya


menunjukkan sikap kuat, tidak menunjukkan sikap sedih secara terbuka.

3. Faktor Sosial Ekonomi

Apabila yang meninggal merupakan penanggung jawab ekonomi keluarga, berarti


kehilangan orang yang dicintai sekaligus kehilangan secara ekonomi. Dan hal ini bisa
mengganggu kelangsungan hidup.

4. Faktor Kultural

Kultur mempengaruhi manifestasi fisik dan emosi. Kultur barat menganggap kesedihan
adalah sesuatu yang sifatnya pribadi sehingga hanya diutarakan pada keluarga, kesedihan
tidak ditunjukkan pada orang lain. Kultur lain menganggap bahwa mengekspresikan
kesedihan harus dengan berteriak dan menangis keras-keras.

5. Faktor Agama

Dengan agama bisa menghibur dan menimbulkan rasa aman. Menyadarkan bahwa
kematian sudah ada dikonsep dasar agama. Tetapi ada juga yang menyalahkan Tuhan
akan kematian.

6. Faktor Penyebab Kematian


Seseorang yang ditinggal anggota keluarga dengan tiba-tiba akan menyebabkan
goncangan jiwa yang berat dan tahapan kehilangan yang lebih lama. Ada yang
menganggap bahwa kematian akibat kecelakaan diasosiasikan dengan kesialan.

Kebutuhan keluarga yang kehilangan membutuhkan hal-hal sebagai berikut.

1. Harapan

Perawatan yang terbaik sudah diberikan. Keyakinan bahwa mati adalah akhir penderitaan
dan kesakitan.

2. Partisipasi

Memberi perawatan. Sharing dengan staf perawatan.

3. Dukungan

Dengan dukungan seseorang bisa melewati kemarahan, kesedihan, dan penyangkalan.


Dukungan bisa digunakan sebagai koping dengan perubahan yang terjadi.

4. Kebutuhan Spiritual

Berdoa sesuai dengan kepercayaan yang dianut. Mendapatkan kekuatan dari Tuhan.

Rentang Respon Kehilangan

Berikut penjelasan skema rentang respon kehilangan.

1. Fase Denial (Penyangkalan)

Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan yang ada. Selalu ada
verbalisasi “itu tidak mungkin”, “saya tidak percaya itu terjadi” yang tercantum dalam
otaknya. Terjadi perubahan fisik seperti letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan
pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah.

2. Fase Anger (Kemarahan)


Mulai sadar akan kenyataan. Marah diproyeksikan pada orang lain. Terjadi reaksi fisik
seperti muka merah, nadi cepat, gelisah, sudah tidur, tangan mengepal. Berperilaku
agresif.

3. Fase Bargaining (Tawar Menawar)

Adanya tawar menawar seperti verbalisasi “kenapa harus terjadi pada saya?“ dinetralkan
menjadi “seandainya saya berhati-hati, pasti tidak terjadi pada saya”. Maksud disini
adalah adanya suatu mekanisme pertahanan diri untuk tidak menyalahkan diri sendiri.

4. Fase Depression (Depresi)

Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa. Gejala yang timbul
adalah menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.

5. Fase Acceptance (Penerimaan)

Pikiran pada objek yang hilang berkurang. Verbalisasi ”apa yang dapat saya lakukan agar
saya cepat sembuh?” dan juga “yah, akhirnya saya harus operasi”.

Dampak Kehilangan

Kehilangan bisa mengakibatkan dampak dalam hidup seseorang seperti berikut ini.

1. Pada masa anak-anak

Kehilangan dapat mengancam kemampuan untuk berkembang, kadang akan timbul


regresi serta rasa takut untuk ditinggalkan atau dibiarkan kesepian.

2. Pada masa remaja atau dewasa muda


Kehilangan dapat menyebabkan disintegrasi dalam keluarga atau suatu kehancuran
keharmonisan keluarga.

3. Pada masa dewasa tua

Kehilangan khususnya kematian pasangan hidup dapat menjadi pukulan yang sangat
berat dan menghilangkan semangat hidup orang yang ditinggalkan.

C. Cara Mendampingi Klien Yang Kehilangan

1. Kaji persepsi klien dan makna kehilangannya. Izinkan penyangkalan yang adaptif.
2. Dorong atau bantu klien untuk mendapatkan dan menerima dukungan.
3. Dorong klien untuk mengkaji pola koping pada situasi kehilangan masa lalu saat
ini.
4. Dorong klien untuk meninjau kekuatan dan kemampuan personal.
5. Dorong klien untuk merawat dirinya sendiri.
6. Tawarkan makanan kepada klien tanpa memaksanya untuk makan.
7. Gunakan komunikasi yang efektif.
8. Beri kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan perasaannya.
9. Dorong pasien untuk berbagi rasa, menunjukkan sikap menerima, ikhlas dan
memberikan jawaban yang jujur terhadap pertanyaan pasien tentang sakit,
pengobatan dan kematian.
10. Beri dukungan pada pasien untuk mengungkapkan rasa marahnya secara verbal
tanpa melawan dengan kemarahan.
11. Bantu pasien untuk mengidentifikasi rasa bersalah dan perasaan takutnya.
12. Identifikasi tingkat depresi dan resiko merusak diri pasien.
13. Bantu pasien mengurangi rasa bersalah.
14. Bantu pasien untuk menerima kehilangan yang tidak bisa dihindari.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu
kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah
dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu
yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya. Berduka
merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA
merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka
disfungsional. Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan
pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang
dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan
fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu
yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun
potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-
kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan
B. Saran

Semoga makalah yang kami susun dapat dimanfaatkan secara maksimal, sehingga
dapat membantu proses pembelajaran, dan dapat mengefektifkan kemandirian dan
kreatifitas mahasiswa. Selain itu, diperlukan lebih banyak referensi untuk
menunjang proses pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia : Kehilangan, Kematian, dan
Berduka dan Proses Keperawatan. Jakarta : Sagung Seto

Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 3. Jakarta: ECG

Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC

Niven Neil. 2003. Psikologi Kesehatan Pengantar untuk Perawat dan Profesional Kesehatan
Lain edisi 2. Jakarta : EGC

Faikanto. 2009. Metode Koping pada Orang yang Kehilangan, Kematian, dan Dukacita

Anda mungkin juga menyukai