Anda di halaman 1dari 9

Pendekatan Klinis pada Kolangitis et causa Koledokolitiasis

Ayesha Shaironita (102013556), Edo Fideatma P. (102015139), Charoline G.N (102016002),


Livia Theda (102016034), Luminto (102016073), Lo Xiao Ling (102016106), Darwin
Manuel (102016165), Cicilia Sinaga (102016170), Nastalia Prilia R. (102016216)
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
charoline.2016fk002@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak: Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, dan dikenal sebagai
kolelitiasis, tetapi batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran
empedu menjadi koledokolitiasis. Batu empedu lebih banyak ditemukan pada wanita dan
faktor resikonya adalah usia lanjut, kegemukan (obesitas), tinggi lemak dan faktor keturunan.
Umumnya pasien dengan batu empedu jarang mempunyai keluhan, namun, saat batu empedu
mulai menimbulkan serangan nyeri kolik yang spesifik, maka risiko untuk mengalami
komplikasi akan terus meningkat. Salah satu komplikasi nya yaitu kolangitis, kolangitis dapat
terjadi jika batu menyebabkan penyumbatan pada saluran empedu. Jika saluran empedu
tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di dalam
saluran. Gejala yang sering ditemui pada pasien dengan kolangitis yaitu trias charcot berupa
nyeri kuadran kanan atas, icterus dan disertai demam.

Abstract: Gallstones are commonly found in the gallbladder, and are known as kolelitiasis,
but they can migrate through the cystic ducts into the bile ducts into koledokolitiasis.
Gallstones are more common in women and risk factors are advanced age, obesity, high fat
and heredity. Generally patients with gallstones rarely have a complaint, however, when
gallstones begin to cause specific colic pain attacks, the risk for complications will continue
to increase. One of its complications is cholangitis, cholangitis can occur if the stone causes
blockage in the bile ducts. If the bile ducts are blocked, the bacteria will grow and
immediately cause infection in the duct. Symptoms are often encountered in patients with
cholangitis is a triad of charcot in the form of upper right quadrant pain, icterus and
accompanied by fever.

Pendahuluan

Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, dan dikenal sebagai
kolelitiasis, tetapi batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran
empedu menjadi koledokolitiasis, umumnya pasien dengan batu empedu jarang mempunyai
keluhan, namun, saat batu empedu mulai menimbulkan serangan nyeri kolik yang spesifik,
maka risiko untuk mengalami komplikasi akan terus meningkat.1 Komplikasi penyakit batu
empedu dapat adalah kolesistitis, hydrops vesica felea, icterus obstruktif, kolangitis,
pankreatitis bilier akut, dan sirosis bilier sekunder.1 Koledokolitiasis terbagi dua tipe, yaitu
koledokolitiasis primer dan sekunder. Koledokolitiasis primer adalah batu empedu yang
1
terbentuk di dalam saluran empedu, sedngkan koledokolitiasis sekunder merupakan batu
kantung empedu yang bermigrasi dan menyumbat di duktus koledokus. koledokolitiasis
primer lebih banyak ditemukan di Asia, sedangkan di Negara barat banyak ditemukan
koledokolitiasis sekunder.1 Kolangitis adalah suatu infeksi bakteri pada cairan empedu di
dalam saluran empedu yang terjadi akibat obstruksi saluran empedu karena koledokolitiasis.1

Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, teratur dan lengkap karena sebagian besar data
yang diperlukan dari anamnesis untuk menegakkan diagnosis. Sistematika yang lazim dalam
anamnesis, yaitu identitas, riwayat penyakit, dan riwayat perjalanan penyakit. Anamnesis
dilakukan secara auto-anamnesis (langsung pada pasien). Penanganan dari pasien ini harus
dimulai dengan riwayat secara menyeluruh melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
melakukan diagnosis. Sebaiknya memulai anamnesis dengan menanyakan beberapa
pertanyaan yaitu menanyakan identitas, usia, dan pekerjaan, jika pasien datang dengan
keluhan nyeri abdomen, tanyakan lokasi nyerinya? Sejak kapan keluhan dirasakan seperti ini?
Apakah sebelumnya pernah mengalami hal yang sama? Kapan gejala terasa paling berat?
Apakah ada faktor lain yang memperberat keadaan? Adakah keluhan penyerta lain?
Menanyakan penyakit sebelumnya atau riwayat trauma. Menanyakan aktivitas dan makanan
sehari-hari. Apakah sudah mengkonsumsi obat? Apakah dalam keluarga ada yang mengalami
hal yang sama? Menanyakan mengenai juga tentang riwayat sosial-ekonomi. Dengan
dilakukannya suatu anamnesis yang baik dan lengkap mendiagnosa suatu penyakit yang
dialami oleh pasien yang datang, sehingga dapat diambil langkah selanjutnya dalam
pemeriksaan klinis yang berlangsung.2

Berdasarkan anamnesis, diketahui bahwa seorang wanita 50 tahun mengeluh nyeri hebat
hilang timbul mendadak pada perut kanan atas dan menjalar ke punggung kanan sejak 6 jam
yang lalu, nyeri disertai demam, riwayat makan berlemak disangkal dan tinjanya berwarna
pucat seperti dempul.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik umum yang dilakukan untuk pasien adalah melihat keadaan umum pasien,
kesadaran serta tanda-tanda vital meliputi suhu, tekanan darah, denyut nadi, dan pernapasan.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan abdomen yang mencakupi inspeksi, auskultasi, palpasi
dan perkusi. Auskultasi umumnya dilakukan yang terakhir tetapi pada pemeriksaan abdomen
2
sebaiknya dilakukan setelah inspeksi, supaya efek bunyi didalam abdomen tidak terdapat
perubahan atau terkena efeknya setelah dilakukan palpasi dan perkusi.3

Pada pemeriksaan fisik, diketahui bahwa tanda-tanda vital seperti tekanan darah, denyut nadi
dan pernapasan dalam batas normal, sedangkan suhu tubuh meningkat, yaitu, 38,7 0 C.
Terlihat sclera ikterik, tubuh kekuningan, dan nyeri tekan kuadran kanan atas.

Pemeriksaan Penunjang

Hasil pemeriksaan laboratorium normal pada pasien tanpa gejala dan pasien dengan kolik
bilier yang tidak disertai komplikasi. Pemeriksaan laboratorium umumnya diperlukan jika
diduga terdapat batu empedu disertai peradangan atau inflamasi. Pasien dengan kolangitis
dan pankreatitis memiliki hasil pemeriksaan laboratorium yang abnormal. Pada pemeriksaan
darah lengkap, jika terdapat peningkatan leukosit maka dapat dicurigai adanya peradangan
atau infeksi. Peningkatan kadar bilirubin total menunjukkan adanya gangguan pada duktus
koledokus, batu pada duktus koledokus hadir di sekitar 60% dari pasien dengan kadar
bilirubin serum lebih dari 3 mg / dL. Peningkatan kadar lipase dan amilase serum mengarah
kepada terdapatnya pankreatitis akut sebagai komplikasi dari koledokolitiasis. Enzim
transaminase (serum glutamic-piruvat transaminase dan serum glutamic transaminase-
oksaloasetat) meningkat pada pasien yang terdapat koledokolitiasis disertai komplikasi
kolangitis, pankreatitis, atau keduanya. Alkali fosfatase (ALP) dan gamma-glutamil
transpeptidase (GGT) meningkat pada pasien dengan koledokolitiasis obstruktif. Hasil kedua
tes tersebut memiliki nilai prediksi yang baik terhadap kehadirannya batu pada duktus
koledokus.4
Selain pemeriksaan laboratorium, juga dilakukan pemeriksaan radiologi berupa USG
abdomen, ERCP, dan MRCP. USG Abdomen merupakan sarana diagnosis dan pencitraan
pilihan dan pemeriksaan rutin untuk menilai penyakit batu empedu. Sensitifitas untuk menilai
batu kadung empedu lebih dari 96%. Pada pemeriksaan ini didapatkan ada bayangan
hiperekoid di dalam unekoid serta terdapat gambaran akustic shadow dan juga terdapat
gambaran double rim dari vesika felea. Ultrasonografi dapat juga secara akurat
mengidentifikasi pelebaran saluran empedu baik intra dan ekstrahepatik, selain juga lesi
parenkim hati atau pankreas. Batu di koledokus bisa juga terlihat dengan ultrasonografi walau
sensitivitas tidak lebih dari 50 %. Ketiadaan gambaran sonografi batu pada duktus koledokus
tidak menyingkirkan kemungkinan adanya batu koledokus.4 ERCP dilakukan bila diperlukan
gambaran definitif sistem bilier dan saluran pankreas. ERCP adalah suatu prosedur yang
3
dilakukan dengan cara kolangiografi dan pankreatografi langsung secara retrograd. Melalui
kanulasi papila vateri, kontras disuntikkan ke dalam saluran bilier atau pankreas. Indikasi
utama ERCP adalah ikterus obstruktif, misalnya karena batu empedu.5 MRCP merupakan
suatu adaptasi MRI dengan sensitivitas dan spesivitas lebih dari 90 % untuk batu saluran
empedu dibandingkan dengan ERCP. MRCP merupakan pilihan terbaik apabila terdapat
kecurigaan adanya batu di saluran empedu. Bila dicurigai kuat ada batu koledokus, ERCP
didahulukan karena bisa diikuti oleh ekstraksi batu perendoskopi. Keuntungan MRCP di
antaranya noninvasif dan tidak menggunakan bahan kontras.5

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan peninggian leukosit, yaitu 15.000, kemudian


SGOT/SGPT nya adalah 120/130, bilirubin total 4 mg/dl, kadar alkali fosfatasenya adalah
115 u/L dan kadar gamma-glutamil transpeptidase adalah 54 u/L, yang juga berarti
mengalami kenaikan.

Working Diagnose (WD)

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, diagnosis kerja pada
scenario ini adalah kolangitis et causa koledokolitiasis.

Differential Diagnose atau Diagnosis Banding (DD)

Diagnosis banding kolangitis et causa koledokolitiasis adalah kolangitis sklerotikans dan


keganasan. Kolangitis sklerotikans adalah penyakit hati kolestasis kronik yang ditandai
inflamasi dan fibrosis duktus biliaris intrahepatik dan ekstrahepatik, sehingga terbentuk
striktur duktus biliaris multifokal. Kolangitis sklerotikans meningkatkan insiden keganasan
hepatobilier dan kolorektal, karena biasanya penyakit ini ditemukan secara bersamaan dengan
inflammatory bowel disease (IBD). Gejala penyakit ini berawal dari kolestasis asimtomatis
dan pada lebih dari 50% pasien berlanjut menjadi striktur bilier, kolangitis berulang, sirosis
bilier, hingga gagal hati. Mekanisme penyebab kolangitis sklerotikans belum sepenuhnya
dipahami. Faktor-faktor imunologi dan non-imunologi seperti infeksi, toksin dan iskemia
dapat menjadi penyebab berkembangnya penyakit ini pada individu. Hampir 50% dari pasien
dengan kolangitis sklerotikans tidak bergejala atau asimptomatis. Gejala yang muncul
biasanya berupa fatigue nyeri perut, icterus, gatal, dan demam. Pasien dengan kolangitis
sklerotikans pada pemeriksaan penunjang sering menunjukkan hasil laboratorium yang mirip
dengan kolangitis akut yaitu berupa leukositosis, anemia, kenaikan kadar bilirubin total,
kadar SGOT dan SGPT yang meningkat, kadar alkaline phosphatase yang juga meningkat,
4
diagnosis kolangitis sklerotikansditegakkan dengan kolangiografi seperti MRCP dan ERCP
yang menunjukkan karakteristik perubahan duktus biliaris dengan striktur multifokal dan
dilatasi segmental.5 Kanker pada pankreas yang dapat menyebabkan munculnya manisfetasi
klinis yang mirip dengan kolangitis yaitu jaundice. Diagnosis saat awal ikterik dapat
disebabkan oleh batu dengan diagnosis banding keganasan, dilakukan test pemeriksaan tumor
marker untuk meyingkirkan kemungkinan diagnosis keganasan yaitu dapat dengan tumor
marker CA19-9.5

Epidemiologi

Di Amerika Serikat, kolangitis jarang terjadi. Biasanya terjadi bersamaan dengan peyakit lain
seperti obstruksi bilier atau pasca ERCP dimana 1-3% pasien mengalami kolangitis. Risiko
tersebut meningkat apabila cairan pewarna diinjeksikan secara retrograde. Di Asia Tenggara
sering terjadi kolangitis piogenik rekuren, atau disebut juga sebagai kolangio hepatitis
oriental. Kejadian ini ditandai dengan infeksi saluran bilier berulang, pembentukan batu
empedu intrahepatic dan ekstrahepatik, abses hepar, serta adanya dilatasi atau striktur dari
saluran empedu intra dan ekstrahepatik.1

Etiologi

Batu empedu lebih banyak ditemukan pada wanita dan faktor resikonya adalah usia lanjut,
kegemukan (obesitas), tinggi lemak dan faktor keturunan. Komponen utama dari batu
empedu adalah kolesterol, sebagian kecil lainnya terbentuk dari garam kalsium. Cairan
empedu mengandung sejumlah besar kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika
cairan empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan
membentuk endapan diluar empedu. Sebagian besar batu empedu terbentuk di dalam
kandung empedu dan sebagian besar batu di dalam saluran empedu berasal dari kandung
empedu. Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu mengalami aliran
balik karena adanya penyempitan saluran atau setelah dilakukan pengangkatan kandung
empedu. Batu empedu di dalam saluran empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran
empedu (kolangitis), infeksi pankreas (pankreatitis) atau infeksi hati. Jika saluran empedu
tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di dalam
saluran. Bakteri bisa menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh
lainnya.6

Patofisiologi

5
Cairan empedu diproduksi oleh hati sebanyak 500-600 mL per hari yang kemudian dialirkan
ke dalam kandung empedu dan disimpan di sana. Cairan empedu hati bersifat isotonik dan
mengandung elektrolit yang memiliki komposisi serupa dengan komposisi elektrolit plasma.
Namun, komposisi elektrolit cairan empedu yang berada dalam kandung empedu berbeda
dengan empedu hepar karena banyak anion inorganik (klorida dan bikarbonat). Bahan utama
yang terkandung dalam cairan empedu adalah asam empedu (80 %) serta fosfolipid dan
kolesterol yang tidak teresterifikasi (4 %). Lesitin adalah fosfolipid utama yang terdapat
dalam cairan empedu, meskipun ditemukan pula lisolesitin dan fosfatidil etanolamin dalam
persentase kecil. Fosfolipid akan terhidrolisis di usus dan tidak ikut serta dalam siklus
enterohepatik. Sebaliknya, asam empedu masuk ke dalam siklus enterohepatik, kecuali asam
litokolat. Beberapa asam empedu yang utama adalah asam kolat (cholic acid) dan asam
kenodeoksikolat (chenodeoxycholic acid). Dalam keadaan puasa, tekanan sfingter Oddi
meningkat sehingga menghambat aliran empedu dan duktus koledokus ke duodenum. Hal ini
mencegah refluks isi duodenum ke duktus koledokus dan juga memfasilitasi, pengisian
kandung empedu. Sebaliknya kolesistokinin yang dilepaskan oleh mukosa duodenum sebagai
respons terhadap asupan lemak dan asam amino memfasilitas pengosongan kandung empedu.
Kolesistokinin menyebabkan kontraksi kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi sehingga
cairan empedu dapat mengalir dari kandung empedu ke dalam duodenum. Asam empedu
merupakan molekul menyerupai deterjen dan dapat melarutkan substansi yang pada dasarnya
tidak dapat larut dalam air, misalnya kolesterol. Kelarutan kolesterol dalam cairan empedu
tergantung pada konsentrasi kolesterol itu sendiri dan perbandingan antara asam empedu dan
lesitin. Perbandingan yang normal akan melarutkan kolesterol, sedangkan perbandingan yang
tidak normal menyebabkan presipitasi kristal kolesterol dalam cairan empedu. Hal ini
merupakan salah satu faktor awal terbentuknya batu kolesterol. Selain batu kolesterol dapat
juga terbetuk batu pigmen. Dinamakan batu pigmen karena batu jenis ini mengandung
kalsium bilirubinat dalam jumlah yang bermakna dan mengandung < 50 % kolesterol.
Terdapat dua macam batu pigmen yang dikenal, yaitu batu pigmen hitam dan batu pigmen
cokelat. Batu pigmen hitam tersusun oleh kalsium bilirubinat, kalsium karbonat, kalsium
fosfat, glikoprotein musin, dan sedikit kolesterol. Faktor risiko terbentuknya batu pigmen
hitam, antara lain hemolisis, sirosis hepatis, dan usia tua. Terbentuknya batu pigmen ini
didasarkan pada konsep pengendapan bilirubin. Bilirubin terkonjugasi mempunyai kelarutan
yang tinggi sehingga garam kalsium- biurubin mono atau diglukuronida mudah larut dalam
cairan empedu. Sebaliknya, bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dan dapat disimpulkan

6
bilirubin jenis itulah yang mengendap pada batu pigmen. Bilirubin tak terkonjugasi juga
rentan terhadap presipitasi oleh kalsium. Bilirubin tak terkonjugasi sebenarnya terdapat
dalam jumlah yang sangat kecil dalam cairan empedu, yaitu hanya sekitar 1%. Oleh sebab itu,
tampaknya kandung empedu sendiri memiliki mekanisme yang meningkatkan solubilitas
bilirubin tak terkonjugasi tersebut. Kelainan hemolitik menghasilkan bilirubin tak
terkonjugasi dalam jumlah besar sehingga lebih kondusif terhadap pembentukan batu pigmen
hitam. Batu pigmen cokelat berbeda dari batu pigmen hitam. Bila batu pigmen hitam hampir
selalu terbentuk di kandung empedu, batu pigmen cokelat dapat terbentuk di saluran empedu,
bahkan setelah kolesistektomi. Seperti batu pigmen hitam, insiden batu pigmen cokelat juga
meningkat pada usia tua, dan sedikit lebih tinggi pada perempuan dibanding laki-laki. Batu
pigmen cokelat dan hitam sama-sama mengandung garam kalsium dan bilirubin tak
terkonjugasi, tetapi batu pigmen cokelat hanya sedikit sekali mengandung kalsium karbonat
maupun fosfat. Yang menarik dari batu pigmen cokelat ialah komposisi asam lemak
bebasnya yang cukup besar, terutama asam palmitat dan stearat. Adanya asam lemak tersebut
dalam batu pigmen cokelat menyokong hipotesis bahwa batu pigmen cokelat terbentuk
karena infeksi dan stasis. Hal itu disebabkan fosfolipase bakteri umumnya menghasilkan
asam palmitat dan stearat dari pemecahan lesitin. Batu di kandung empedu umumnya tidak
menunjukkan gejala (silent gall stones) kecuali bila batu tersebut bermigrasi ke leher
kandung empedu atau ke dalam duktus koledokus. Sekitar 60-80% kasus batu empedu tidak
bergejala atau asimptomatik. Batu baru akan memberikan keluhan bila bermigrasi ke leher
kandung empedu (duktus sistikus) atau ke duktus koledokus yang dapat menyebabkan
terjadinya kolangitis.7
Kolangitis selalu terjadi akibat adanya dua factor, yaitu peningkatan tekanan intraduktus
dalam saluran empedu akibat dari obstruksi saluran empedu sebagian atau total dan cairan
empedu yang terinfeksi. Adanya hambatan dari aliran cairan empedu akan menimbulkan
stasis cairan empedu, kolonisasi bakteri dan pertumbuhan kuman yang berlebihan. Kuman-
kuman ini berasal dari flora duodenum yang masuk melalui sfingter oddi, dapat juga dari
penyebaran limfogen dari kandung empedu yang meradang, penyebaran ke hati akibat sepsis
atau melalui sirkulasi portal dari bakteri usus.1

Manifestasi Klinis

Gejala yang sering didapatkan nyeri kuadran kanan atas, icterus dan disertai demam
( menggigil atau tidak). Gejala ini disebut trias charcot. Seringkali batu koledokus
menimbulkan nyeri hebat di epigastrium atau perut kanan atas yang bersifat kolik, menjalar
7
kebelakang atau ke scapula kanan, kadang nyeri dapat juga bersifat konstan. Pada kolangitis
akut supuratif didapatkan trias charcot disertai hipotensi, oliguria dan gangguan kesadaran,
gejala ini disebut dengan gejala penta Reynolds.1

Komplikasi

Komplikasi dapat berupa sepsis, pneumonia, abses hati, perdarah gastrointestinal, dan
multiple organ failure.1

Penatalaksanaan

Pemberian cairan dan elektrolit serta koreksi gangguan elektrolit untuk memperbaiki keadaan
umum. Terapi antibiotik parenteral diperlukan karena peradangan yang disertai infeksi pada
saluran empedu, oleh karena mikroorganisme, mikroorganisme yang paling sering sebagai
penyebab adalah E. Coli dan Klebsiella, diikuti oleh streptococcus faecalis. Antiobiotik yang
banyak direkomendasikan antara lain, kombinasi sefalosporin dan metronidazole,
cefoperazon, tazobactam, kuinolon dan golongan penem. Dari catatan sensitifitas, sejumlah
aplikasi antibakteri didapatkan, sensitifitas paling tinggi pada piperacilin, kemudian disuse
sulbaktam, imipenem, dan meropenem. Dekompresi bilier dapat dilakukan melalui tindakan
ERCP ataupun secara bedah, namun mortalitas pasien yang diobati dengan terapi bedah lebih
tinggi dari pada tindakan ERCP. Terapi operasi definitive sebaiknya ditunda sampai
kolangitis selesai ditangani dan diagnosis yang tepat dapat ditegakkan.1

Preventif dan Prognosis

Hal yang penting dilakukan adalah dengan merubah kebiasaan makan. Untuk mencegah
terbentuknya batu pada saluran empedu sebaiknya mengurangi konsumsi alkohol dan
mengurangi konsumsi makanan yang tinggi lemak. Prognosis biasanya ditentukan dengan
mempertimbangkan umur dan juga riwayat sirosis atau abses hati.1

Penutup

Koledokolitiasis merupakan keadaan dimana terdapat batu pada saluran empedu. Batu
empedu lebih banyak ditemukan pada wanita dan faktor resikonya adalah usia lanjut,
kegemukan (obesitas), tinggi lemak dan faktor keturunan. Oleh karena batu yang ada di
saluran empedu, saluran empedu dapat mengalami sumbatan atau obstruksi. Jika saluran
empedu tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di
dalam saluran yang disebut kolangitis. Gejala yang sering didapatkan yaitu trias charcot
8
berupa nyeri kuadran kanan atas, icterus dan disertai demam (menggigil atau tidak).
Penatalaksaan yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki keadaan umum terlebih
dahulu, kemudian memberi terapi antiobiotik parenteral, setelah itu dapat dilakukan
dekompresi bilier dengan tindakan ERCP ataupun secara bedah.

Daftar Pustaka

1. Ndraha S. Bahan ajar gastroenterohepatologi. Edisi ke-2. Jakarta: Biro Publikasi FK


UKRIDA; 2016.
2. Sjamsuhidajat, R. Buku ajar ilmu bedah . Ed-2. Jakarta: EGC; 2006. h.639-45.
3. Setiawati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi VI, jilid I. Jakarta: Interna
Publishing; 2014.
4. Cahyono JBSB. Batu empedu. Yogyakarta: Kanisius; 2009. h. 50-1.
5. Nurleili S, Airlina I, Lubis AM. Problem diagnostik dan tata laksana primary
sclerosing cholangitis. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 2016:3(3);158-60.
6. Sulaiman HA, Akbar HN, Lesmana LA, Sjaifoellah. Buku ajar ilmu penyakit hati.
Edisi ke-1. Jakarta: CV Sagung Seto; 2012.

7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit:


gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2006.
h.507-8.

Anda mungkin juga menyukai