Anda di halaman 1dari 3

Sistem Pendidikan Indonesia. Perlu dibenahi? Atau sudah baik?

Menilik sejarah, Indonesia pernah memiliki siswa sebrilian Bacharuddin Jusuf Habibie. Ia adalah
tokoh yang memberikan kontribusi besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
bukan hanya di Indonesia namun juga di kancah dunia. Namun, apa benar kesuksesan Habibie
adalah isyarat suksesnya sistem pendidikan di Indonesia? Saya tidak sepakat. Data UNESCO tahun
2013 menyebutkan Indonesia menduduki peringkat 121 dari 185 negara ditinjau dari mutu
pendidikannya. Bahkan menurut data pada tahun 2016 Indonesia berada di peringkat sepuluh dari
empat belas negara berkembang dilihat dari mutu pendidikan, sedangkan yang lebih
mengkhawatirkan lagi kualitas guru di Indonesia berada di peringkat empat dari empat negara
berkembang.

Disisi lain, kompetensi pendidik di negara dengan jumlah populasi terbanyak keempat di dunia ini
tergolong sangat rendah. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan, diantara 1,6
juta peserta uji kompetensi guru, lebih dari 1,3 juta diantaranya memiliki nilai di bawah 60, dari
rentang nilai 0 hingga 100. Dari ujian ini pula, hanya 192 guru yang mendapat nilai di atas 90.
Sementara hampir 130.000 di antaranya hanya mampu memperoleh nilai di bawah 30. Bagi saya, ini
adalah hasil yang sangat mengecewakan. Rendahnya kapabilitas tenaga pengajar ini berimbas pada
kualitas pendidikan di setiap daerah.

Kemudian, sistem pendidikan atau kurikulum di Indonesia masih sering berubah. Munculnya kata ‘uji
coba’ dan ‘kelinci percobaan’ merupakan bukti nyata dari argumen saya. Ini adalah sebuah kendala
dari sistem pendidikan saat ini, kurikulum yang ada, sistem yang ada seolah-olah membuat siswa
menjadi kelinci percobaan, dimana membuat para siswa sebagian merugi dan sebagian siswa
diuntungkan, mengapa saya mengatakan demikian? Sebab sistem sering kali membuat program baru
dengan ketentuan adanya evaluasi. Evaluasi inilah yang membuat siswa kebanyakan pada masa
percobaan merasa rugi, sebab setiap program cenderung belum sempurna, siswa yang merasakan
program yang sudah di evaluasi merasa diuntungkan, sedangkan siswa yang merasakan program
percobaan merasa dirugikan. Hal ini mengakibatkan ketidakadilan antara siswa yang satu dengan
siswa yang lainnya.

Kita ambil contoh dalam program yang baru-baru ini dilakukan oleh pemerintah, yaitu sistem zonasi.
Adanya sistem zonasi sebagian besar tidak menguntungkan. Banyak siswa yang merasa sia-sia
belajar giat selama ini untuk mendapatkan sekolah yang lebih baik, tetapi dengan sistem zonasi
semua harapan anak sirna. Slogan tuntut lah ilmu sampai ke negeri china pun sepertinya tidak dapat
dimaknai secara menyeluruh oleh siswa karena adanya sistem zonasi. Mengapa sistem zonasi ini
tidak tepat? Sebab sekolah di Indonesia belum merata, baik dalam segi fasilitas, guru, dan lain-lain.
Seharusnya sekolah harus disama ratakan sebelum benar-benar memulai sistem zonasi.

Selanjutnya, mata pelajaran yang didominasi mata pelajaran eksakta pun membuat saya merasa
heran. Setiap siswa memiliki kemampuan dan daya serap yang berbeda-beda. Ada anak yang senang
dengan matematika namun ada anak yang lebih senang dengan pelajaran seni. Einstein sendiri
pernah berkata ‘Setiap orang adalah jenius. Tapi kalau kamu menilai seekor ikan dari
kemampuannya memanjat pohon, maka selama hidupnya dia akan mempercayai bahwa dia bodoh’.
Setiap orang tua dengan dua anak atau lebih pasti setuju jika dikatakan anaknya memiliki
kemampuan dan keahlian berbeda serta daya serap dan gaya belajar pun juga berbeda. Tetapi di
sekolah dengan orang tua yang berbeda, aliran darah yang berbeda, serta sikap yang berbeda, dan
gaya belajar yang berbeda, di perlakukan sama di sekolah. Ini membuat kreativitas setiap anak
terhalang, dan tidak berkembang. Setiap anak memiliki sikap yang berbeda dan keinginan yang
berbeda, seharusnya juga diperlakukan berbeda agar seorang anak mampu berkembang, sesuai
dengan keinginan dan bakatnya.

Dunia adalah tentang bagaimana kamu mampu berkompetisi dengan orang lain. Itulah yang selama
ini ditanamkan kepada siswa agar mereka terus berkompetisi, terus berlomba sehingga siswa pun
bahkan lupa apa yang seharusnya mereka dapatkan di sekolah. Sekolah adalah tempat untuk
mendapat ilmu, bukan tempat untuk mendapatkan nilai. Saya sepakat mengenai ini sebab, siswa
sekarang terus berlomba tanpa berpikir apakah ia akan mendapatkan ilmu setelah itu. Yang mereka
tahu adalah sekolah adalah tempatmu berlomba. Seharusnya pemerintah membuat sistem, bahwa
kolaborasi lebih penting dari kompetisi, anak sadar akan pentingnya ilmu pengetahuan, bukan hanya
berlomba untuk mendapatkam nilai 100 atau A tapi belajar untuk mencapai kesempurnaan ilmu.

Sistem pelajaran SMP dan SMA sampai saat ini membuat saya heran. Mengapa demikian? Sebab
siswa diajarkan untuk tidak mempertajam apa yang kita sukai dan tidak mempertajam bakat siswa.
Contohnya saja, mulai saat SMP dan SMA setiap mata pelajaran mempunyai guru yang berbeda, dan
timbul pertanyaan, mengapa satu kelas tidak satu guru saja yang mengajar? Dan mengapa setiap
mata pelajaran gurunya harus berbeda?. Jawabannya sudah pasti yaitu, tidak mungkin semua guru
bisa menguasai semua mata pelajaran untuk mengajar, lalu mengapa sekolah mengharapkan
siswanya untuk mampu menguasai seluruhnya? Ini yang harus dibenahi pada sistem pendidikan saat
ini, bahwa seharusnya pada masa SMP siswa sudah dilakukan penjurusan. Dengan demikian maka
siswa dapat mempertajam bakat dan minatnya, dan lebih fokus mengejar cita-citanya

Ada beberapa bukti-bukti bahwa mempertajam bakat dan minat itu jauh lebih baik daripada
mempelajari semuanya. Wawasan bukan mempelajari segala hal akan tetapi mempelajari dan
mempertajam apa yang diminati. Seharusnya kita tahu banyak tentang satu hal bukan tahu sedikit
tentang banyak hal. Saya ambil contoh seorang pesepak bola profesional bernama Lionel Messi. Dia
adalah pesepak bola terbaik dunia hingga saat ini. Messi mulai memasuki akademi la masia yaitu
akademi sepak bola sejak ia berusia 10 tahun. Messi mempertajam bakat dan minatnya sejak usia 10
tahun dan ia tidak dipaksa untuk mempelajari fisika, kimia, dan lain-lain untuk fokus kepada
sepakbola. Namun messi mampu menjadi sukses hanya dengan bakat sepak bolanya. Berbeda
dengan apa yang terjadi di Indonesia bahwa seorang anak yang punya bakat dan minat non
akademik cenderung diarahkan ke sekolah umum untuk mempelajari pelajaran yang jelas tidak dia
sukai. Hal ini akan menghambat bakat seorang anak untuk menjadi apa yang dia inginkan. Hal yang
harus dilakukan adalah mengembangkan sekolah atau akademi non akademik di Indonesia, agar
siswa mampu mempertajam bakat dan minatnya. Tidak ada lagi “Ikan yang disuruh memanjar
pohon”. Demgan demikian, setiap anak berhak meraih kesuksesan sesuai bakat dan minatnya.

Hal-hal yang harus dibenahi selanjutnya adalah guru. Kualitas guru di Indonesia peringkat terakhir
dari 14 negara berkembang. Kesejahteraan guru di indonesia pun juga tergolong rendah. Seorang
guru yang mempunyai banyak ilmu pun tidak digaji sesuai dengan kekayaan ilmunya. Pemerintah
harus melakukan sesuatu untuk mengatasi hal ini, bukan dengan cara langsung menaikkan gaji guru,
akan tetapi memperbaiki kualitas guru tersebut. Di Indonesia untuk menjadi guru menurut
pandangan saya itu adalah hal yang cukup mudah dibandingkan menjadi pengusaha, jaksa, dan lain-
lain. Bahkan perguruan tinggi keguruan dan ilmu pendidikan kurang berkompeten. Oleh sebab itu
lahirlah guru yang kurang berkompeten sehingga mutu pendidikan Indonesia tak pernah beranjak
naik. Seharusnya sekolah tinggi keguruan harus meningkatkan mutunya, sehingga menjadi guru
bukan sesuatu hal yang mudah tetapi susah dan amat mulia. Dan guru-guru dengan kemampuan dan
ilmunya mereka yang amat baik bisa mendapat gaji untuk kesejahteraan hidupnya. Seorang dokter
memiliki penghasilan tinggi dan guru seharusnya juga mendapatkan hal yang sama karena guru
mampu menyentuh hati seorang anak untuk menjadi orang yang luar biasa.

Negara Finlandia yang selama ini kita kenal sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di
dunia mampu melaksanakan sistem pendidikan seperti yang saya harapkan sebelumnya. Penjurusan
dilakukan sejak SMP, dan jam belajar 5 jam setiap hari dengan 15 menit istirahat setiap mata
pelajaran. Berarti dalam seharinya jam istirahat sebanyak 75 menit. Tidak ada PR dan ujian-ujian
yang banyak. Hal ini dapat membuat siswa mengasah kemampuannya yang lain di luar pelajaran
sekolah. Kemudian di Finlandia tidak ada sistem peringkat. Saya sangat setuju dengan hal ini, karena
sistem peringkat seperti memperlihatkan anak yang nilainya rendah secara umum. Hilangnya sistem
peringkat juga mengurangi pemikiran seorang anak bahwa dirinya itu bodoh. Maksudnya seorang
anak yang nilainya rendah tidak merasa bahwa dirinya itu bodoh. Sekolah unggul pun bisa ditiadakan
jika tidak adanya sistem peringkat

Jadi, wajarkah jika saya merasa tidak puas dengan sistem pendidikan kita? Padahal sebagaimana
peribahasa tentang uang, ‘pendidikan memang bukan segalanya, namun segalanya butuh
pendidikan’. Pendidikan yang saya maksud bukanlah pendidikan dalam artian formal saja, namun
lebih luas lagi. Pendidikan yang saya maksud disini adalah proses belajar yang setiap orang lalui pada
setiap fase kehidupan mereka.

Oleh karena itu, saya tegaskan kembali bahwa sistem pendidikan Indonesia harus banyak dibenahi
demi bagusnya mutu pendidikan Indonesia. Sehingga melahirkan penerus bangsa yang berkompeten
dalam masing-masing bidang sesuai dengan bakat dan minatnya.

Anda mungkin juga menyukai