Mata Kuliah Sejarah dan Teori-Teori Etika Dosen Pembimbing: Ridwan Ahmad Sukri, S.S., M. Hum.
Oleh: Mitakun Ulfah 17/ 408889/ FI/ 04322
PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT
FAKULTAS FILSAFAT UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2018 TEORI EGOISME
Nilai Instrumental dan Intrinsik
Pertama-tama, mari kita periksa gagasan menjadi kaya. Jika untuk menjadi orang kaya memerlukan banyak uang, keyakinan yang menyatakan bahwa menjadi orang kaya adalah hal bagus sama dengan omong kosong. Ini karena, barangkali terdengar aneh, uang itu sendiri tidak memiliki nilai. Jika uang tidak bisa ditukar dengan barang lain-makanan, pakaian, hiburan, barang-barang, dan layanan yang bernilai dalam dirinya sendiri-kita akan membuangnya. Ini tidak terlalu mudah untuk diterima. Kita telah sangat terbiasa berpikir bahwa lembaran uang dan koin yang ada disaku dan dompet kita adalah hal yang bernilai, kita telah tertipu oleh karakter esensial uang yang sebenarnya tanpa nilai. Namun, kita harus senantiasa mengingatkan diri kita bahwa: betapa tidak berharganya mata uang suatu negara di negara lain ketika mata uang tersebut tidak bisa digunakan untuk membeli barang-barang yang kita inginkan. Faktanya, satu-satunya hal yang membuat uang berharga adalah ketidakbergunaannya sebagai alat tukar untuk mendapat barang-barang dan layanan yang memiliki nilai dalam dirinya sendiri. Jika uang tidak bisa digunakan untuk keperluan ini, uang tidak lagi memiliki nilai. Salah satu jalan untuk mengekspresikan ciri uang ini, ciri yang juga dimiliki benda-benda lainnya, adalah uang memiliki nilai instrumental, namun bukan nilai intrinsik. Dengan demikian, uang hanya bernilai sebagai alat untuk memperoleh sesuatu; namun uang tidak memiliki nilai dalam dirinya sendiri. Kita bisa saja memiliki uang berlimpah, namun kita tetap tidak bisa mendapat hal-hal yang kita perlukan dan bernilai. Bayangkanlah kita berada di padang gurun dengan membawa uang ribuan dolar, namun kita bisa tetap kekurangan makanan dan air karena tidak ada yang menjualnya. Ini menunjukkan bahwa uang hanya berharga sepanjang bisa digunakan sebagai alat tukar. Ini juga menunjukkan bahwa pernyataan yang menyatakan bahwa cara hidup terbaik adalah memiliki banyak uang bukanlah jawaban tang tepat bagi pertanyaan “kehidupan seperti apakah yang terbaik bagi manusia?” karena jawaban tersebut tidak mengatakan pada kita apa saja yang akan kita beli dengan uang yang kita miliki. Hal yang sama juga dapat kita terapkan pada ketenaran. Jika tenar berarti dikenal banyak orang, hal itu juga belum menjawab pertanyaan paling mendasar, yakni untuk apa kita menjadi terkenal? Apakah sama baiknya jika kita dikenal karena menemukan obat-obatan yang bisa menyelamatkan kehidupan banyak orang, seperti Alexander Fleming yang menemukan penisilin, atau dikenal karena membunuh lebih banyak pasien ketimbang dokter manapun dalam sejarah seperti Harold Shipman, atau karena menjadi orang pertama yang menaklukkan Gunung Everest seperti Sir Edmund Hillary, atau karena sebuah tindakan absurd mengoleksi banyak sekali sepatu seperti yang dilakukan Imelda Marcos, istri diktator Filipina? Karena kita bisa menjadi terkenal dengan beragam cara dan alasan-hal baik, buruk, karena hal penting, atau karena hal remeh-dan karena perbedaan semacam itu sangat penting, maka ketenaran itu sendiri tampaknya bukanlah hal penting yang harus diperjuangkan. Seseorang yang sangat ingin tenar barangkali akan berkata bahwa dia menghargai ketenaran tanpa mempedulikan untuk apa ketenaran tersebut sehingga ketenaran memiliki nilai dalam dirinya sendiri, tidak seperti uang. Tentu saja, tidak semua orang menganggap ketenaran sebagai hal berharga. Namun tidak seperti orang kikir, yang salah dalam menilai uang, para pencari ketenaran tidaklah membuat kekeliruan logika. Dilihat dari satu sisi, hal ini benar. Namun tetap terdapat sesuatu yang membuat ketenaran tidak memiliki cukup nilai dalam dirinya sendiri. Bayangkanlah ada sesorang yang bercita-cita menjadi terkenal tanpa mempedulikan untuk apa dia menjadi terkenal. Bahkan, dalam keadaan semacam itu dia harus tetap memilih sesuatu yang bisa menjadikannya terkenal-apakah hal baik, buruk, penting, atau remeh. Meski demikain, kemungkinan dia gagal dalam mewujudkan tujuan yang dipilihnya tetap besar. Mari kita bayangkan bahwa dia tidak hanya gagal, namun gagal secara spektakuler. Faktanya, kemampuan yang hebat untuk “merebut kekalahan dari rahang kemenangan”, akan menjadikannya terkenal sebagai kegagalan terbesar di dunia (Pemain Ski Eddie The Eagle adalah contoh paling tepat bagi hal ini. Dia bercita-cita menjadi seorang pemain ski terkenal, namun dia justru dikenal karena memiliki kemampuan sangat buruk sebagai seorang pemain ski). Dalam hal ini, sang pencari ketenaran sebenarnya telah mencapai cita-citanya. Namun kita tidak bisa melihat dengan cara demikian. Apa pun yang dia cita-citakan, dia akan lebih menginginkan menjadi tenar karena kesuksesan dalam suatu bidang, bukan karena kegagalan. Dari hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa apa pun cita-cita kita, terdapat cara ter