Anda di halaman 1dari 5

KEBIJAKAN – KEBIJAKAN PRAKTIS PERTANIAN

Dibuat oleh :

Nama : Randy Fahri Ferdiawan

NPM : 4122.1.16.12.0009

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS WINAYA MUKTI
2019
1. Price Policy

Kebijakan inimerupakan salah satu kebijakan yang terpenting di banyak


negara dan biasanya digabung dengan pendapatan sehingga disebut kebijakan harga
dan pendapatan (price and income policy). Segi harga dari kebijakan itu bertujuan
untuk mengadakan stabilisasi harga, sedangkan segi pendapatannya bertujuan agar
pendapatan petani tidak terlalu berfluktuasi ari musim ke musim dan dari tahun ke
tahun. Kebijakan harga dapat mengandung pemberian suatu penyangga (support)
untuk hasil-hasil pertanian supaya tdak merugikan petani atau langsung sejumlah
subsidi tertentu bagi petani. Di banyak negara Eropa, Amerika Serikat, Jepang,
Australia dan lain-lain, banyak sekali hasil-hasil pertanian seperti gandum, kapas,
padi, gula biet dan lain-lain yang mendapat perlindungan pemerintah berupa
penyangga dan subsidi. Indonesia baru mempraktikan kebijakan harga untuk beberapa
hasil sejak tahun 1969.

Pada tahun 2013, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan


Nomor 46/M-DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan
Produk Hewan yang bertujuan untuk mengatur ketentuan impor yang mengutamakan
kebutuhan konsumen namun tidak mengabaikan kepentingan produsen. Hal tersebut
dijelaskan dalam Pasal 14 yang mengatur periode importasi berdasarkan harga
referensi yang ditetapkan sebesar Rp. 76.000/Kg dimana importasi dapat dilakukan
selama harga daging sapi di tingkat eceran berada di atas harga referensi. Selain itu,
pemerintah juga menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 47/M-
DAG/PER/8/2013 tentang Perubahan Atas Permendag No.16/M-DAG/PER/4/2013
tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura yang juga memiliki tujuan peningkatan
perlindungan konsumen yang meliputi komoditas cabai dengan HS 0709.60.10.00 dan
bawang merah dengan kode HS 0703.10.29.00. Peraturan tersebut juga menjadi
dasar penetapan harga referensi walaupun tidak secara langsung dinyatakan dalam
ketentuan, melainkan melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam
Negeri.

2. Input Policy

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013


Pasal 1 :
 Perlindungan Petani adalah segala upaya untukmembantu Petani dalam
menghadapi permasalahankesulitan memperoleh prasarana dan sarana
produksi,kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya
tinggi, dan perubahan iklim.

 Pelaku Usaha adalah Setiap Orang yang melakukanusaha sarana produksi


Pertanian, pengolahan danpemasaran hasil Pertanian, serta jasa
penunjangPertanian yang berkedudukan di wilayah hukumRepublik Indonesia.
3. Marketing Policy

Kegiatan pemerintah untuk mengatur distribusi barang (terutgama beras) antar


daerah dan atau antar waktu sehingga diantara harga yang dibayarkan konsumen akhir
dan harga yang diterima oleh produsen terdapan marjin pemasaran dalam jumlah
tertentu sehingga dapat merangsang proses produksi dan proses pemasaran.
Pemasaran yang tidak efisien menyebabkan bagian petani(farmer’s
share) menjadi kecil, yang pada gilirannya tidak akan merangsang peninggkatan
produksi lebih lanjut. Efisiensi pemasaran biasanya diukur dari besar-kecilnya margin
pemasaran, setelah mempertimbangkan berbagai fungsi yang dijalankan dalam
kegiatan pemasaran tersebut.

4. Land Reform

Landreform adalah suatu asas yang menjadi dasar dari perubahan-perubahan


dalam struktur pertanahan hampir di seluruh dunia termasuk Indonesia. Asas itu
adalah bahwa “Tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh
pemiliknya sendiri”
Salah satu cara untuk mencapai cita-cita ini adalah dibentuknya program
Landreform, sebagai bentuk Reforma Agraria, dengan tujuan memenuhi kebutuhan
masyarakat agar dapat berkembang. Reforma Agraria, menurut Pasal 2 TAP MPR RI
Nomor IX/MPR/2001, merupakan proses yang bersifat kontinu, untuk menata
kembali penguasaan, kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya
agraria, dengan tujuan mencapai keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia. Sayangnya, program Landreform yang kemudian diatur di dalam Undang-
Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 dinilai kurang berhasil dalam mencapai tujuan
untuk meningkatkan taraf hidup dan penghasilan para petani, terutama petani kecil
dan petani penggarap tanah. Pertanyaan aktual yang ada saat ini adalah mengenai visi
pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla berkaitan dengan program Landreform dan
bagaimana contoh implementasinnya.

5. Irrigation Policy

Pada tahun 1999 Presiden mengeluarkan Inpres No.9 tahun 1999 tentang
Pembaruan Kebijakan Pengelolaan Irigasi (PKPI) yang berisi isntruksi kepada
Menteri Pekerjaan Umum untuk (1) melakukan koordinasi mempersiapkan kerangka
peraturan dan perundangan dan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk
memperbaharui kebijakan pengelolaan irigasi, (2) Pembaruan Kebijakan Pengelolaan
Irigasi yang dimaksud  meliputi (a) pengaturan kembali fungsi dan tugas lembaga
pengelola irigasi, (b) pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air (P3A), (c)
Penyerahan Pengelolaan Irigasi kepada P3A, (d) Pengaturan Pembiayaan Pengelolaan
Irigasi, (e) Keberlanjutan Pengelolaan Sistem Irigasi.
Berdasarkan komponen-komponen tersebut kemudian pemerintah menerbitkan PP
No.77 tahun 2001 tentang Irigasi. Terbitnya PP tentang irigasi ini kemudian menjadi
polemik ketika pada tahun 2003 pemerintah (Departemen Kimpraswil)
mengumumkan “moratorium” pemberlakuan PP ini, dengan alasan pada waktu itu
masih ada pembahasan soal RUU Sumberdaya Air, pemindahan kewenangan
pengelolaan irigasi akan membebani petani terutama petani miskin . Hal ini
menimbulkan “kekecewaan” bagi kelompok pendukung PKPI , dengan alasan bahwa
pengumuman “moratorium” tersebut tidak dilakukan secara tertulis akan tetapi hanya
perintah lisan yang disampaikan dalam rapat kerja Kimpraswil atau rapat-rapat
internal lainnya dan tidak pernah dalam bentuk bahan tertulis dan menunjukkan
bahwa pemerintah ragu-ragu dalam upaya memberdayakan petani.  Dan dengan
berlakunya UU No.7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, kebijakan irigasi di
Indonesia kembali seperti semula, dimana tanggung jawab pengelolaan dan
pemeliharaan jaringan irigasi  primer dan sekunder berada di tangan pemerintah,
sedangkan jaringan tersier menjadi tanggung jawab petani.

6. Research Policy

Undang – undang tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan


Pasal 1
1) Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik
yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya
seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk secara alami
maupun akibat pengaruh manusia.
2) Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang
ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna
menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan
nasional.
3) Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah wilayah budi daya pertanian
terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan dan/atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan
Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung
kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.

Pasal 2

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diselenggarakan berdasarkan


asas:

a. Manfaat
b. Berkelanjutan dan konsisten
c. keterpaduan;
d. keterbukaan dan akuntabilitas;
e. kebersamaan dan gotong-royong;
f. partisipatif;
g. kelestarian lingkungan dan kearifan lokal;
Pasal 3

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diselenggarakan dengan tujuan :

a. melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan


b. menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan;
c. mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan
d. melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani

7. Women Role

Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004, dan Instruksi


Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
Nasional. Di tingkat daerah, strategi perwujudan kesetaraan gender diatur dalam
Kepmendagri Nomor 132 tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah (Inpres, 2000).
Undang - undang Nomor 7 tahun 1996 mengartikan ketahanan pangan sebagai
kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau.
Berdasarkan definisi tersebut, ketahanan pangan memiliki beberapa aspek, yaitu
ketersediaan,keterjangkauan, kelayakan, dan kesesuaian pangan (UU Pangan, 1996).

Anda mungkin juga menyukai