Anda di halaman 1dari 12

Nama : Doni Anggiat Siregar

NIM : 0310172145
Kelas : Pendidikan Biologi 2 / Semester 5

“Makanan Dan Hubungan Rantai Makanan, Respon Interaksi Hewan Terhadap Proses
Dalam Ekosistem, Mekanisme Pertahanan Diri, Dan Prefensi Makanan”

A. Makanan dan Hubungan Rantai Makanan


1. Makanan
Hewan memerlukan energi untuk mendukung seluruh proses metabolisme tubuh
maupun aktivitasnya seperti berpindah, mencari makan, pencernaan, mempertahankan
suhu badan, reproduksi, pertumbuhan, dan kerja lainnya. Seperti dijelaskan di depan,
berdasarkan kemampuan organisme dalam menyusun atau menyintesis makanan,
organisme dibedakan menjadi 2, yaitu:
 Autotrof: organisme yang mampu mengunakan energi dari sinar matahari dalam
proses fotosintesis yang mereaksikan air dan karbon dioksida menjadi gula
sederhana (fotosintesis) atau menggunakan reaksi kimia untuk energi dalam
menyintesis makanan (kemosintesis). Fotosintesis terjadi pada tumbuhan,
sedangkan kemosintesis berlangsung pada fungi.
 Heteroatrof: organisme yang tidak mempu menyintesis makanan sendiri dari
senyawa anorganik sehingga harus mengonsumsi organisme lain untuk memenuhi
kebutuhannya, sebagai contohnya ialah hewan.

Berdasarkan proporsi jenis makanannya, hewan diklasifikasikan menjadi beberapa


tipe, yatiu:

 Herbivora: hewan yang masuk kelompok ini ialah yang proporsi jenis
makanannya hampir seluruhnya tumbuhan. Sebagai hewan yang masuk kelompok
ini ialah kambing, domba, monyet daun, dan kelinci. Berdasarkan bagian tubuh
tumbuhan yang dimakan, hewan dibedakan menjadi frugivora jika pemakan buah
(kera, orangutan), foliovora jika pemakan daun (Nasalis larvatus, monyet
daun/leaf monkey Presbytis), serta gummivora jika pemakan sap/gum (tamarin,
marmoset).
 Karnivora/faunivora: hewan yang memakan hewan lain yang biasanya masuk ke
dalam kelompok predator atau hewan pemangsa seperti anjing, kucing, dan ular.
Termasuk ke dalam kelompok ini ialah hewan insektivira atau pemakan serangga
(contohnya Tarsius spectrum).
 Omnivora: hewan yang memakan hewan dan tumbuhan dengan porsi yang
hampir sama. Contoh hewan kelompok ini misalnya monyet hitam Sulawesi
(Macaca nigra).
 Scavenger: hewan yang memakan bangkai, seperti burung pemakan bangkai dan
biawak.

2. Rantai Makanan
Interaksi hubungan makan akan menghasilkan rantai makanan yang menggambarkan
hubungan linier antara mangsa dengan predator pada tingkatan trofik berurutan. Adanya
polifag & omnivor yang melibatkan mangsa dari tingkatan trofik yg berbeda-beda
sehingga menyebabkan rantai makanan seperti beranastomosis membentuk
jaring makanan. Corak jaring makanan ada bermacam-macam, ada yang memberikan
peluang besar pada komunitas untuk stabil, ada pula komunitasnya menjadi rawan
berubah. Rantai makanan sebagai suatu sirkuit energi dalam suatu komunitas dapat dibagi
atas dua, yaitu:
 Sirkuit merumput (grazing circuit) yaitu konsumen primernya mendapat energi
dari tumbuhan hijau. Misalnya: tumbuhan – herbivora – karnivora – omnivora –
detrivor.

Gambar 2.1 Rantai Makanan Rerumputan

 Sirkuit detritus organik yaitu konsumen primernya mendapat energi dari detritus


(detritivor). Misalnya : detrivor– herbivora – karnivora – omnivora
Gambar 2.2 Rantai makanan detritus

Pada rantai makanan detritus karena mata rantainya diawali oleh detritus atau
pengurai (Gambar 2.2). Detritus tersebut berupa organisme lain seperti bakteri dan
jamur. Pada gambar diatas, bahan organik mati diuraikan oleh detritus kemudian
dimakan oleh ulat yang kemudian dimakan oleh burung.

Jaring- jaring makanan merupakan rantai-rantai makanan yang saling berhubungan


satu sama lain sedemikian rupa sehingga membentuk seperi jaring-jaring. Jaring-jaring
makanan terjadi karena setiap jenis makhluk hidup tidak hanya memakan atau dimakan
oleh satu jenis makhluk hidup lainnya.

Gambar 2.3 Jaring-jaring makanan

B. Respon Interaksi Hewan dalam Ekosistem


Interaksi adalah hubungan timbal balik antara satu makhluk hidup dengan makhluk hidup
lainnya. Interaksi antar makhluk hidup yang terjadi pada sebuah ekosistem, berguna untuk
menjaga kestabilan ekosistem tersebut. Dimana jika keseimbangan itu tidak terjadi maka
akan terjadi sebuah ketimpangan ekosistem. Interaksi dalam sebuah ekosistem digolongkan
menjadi 5 yaitu:
 Netral
Yaitu makhluk hidup berinteraksi tetapi tidak mengganggu satu sama lain, maka
interaksi yang terjadi adalah netral. Mereka hanya hidup di dalam ekosistem yang
sama, tidak ada persaingan dan mangsa-mangsa dalam interaksi. Contohnya burung
hantu dengan kucing
 Predasi
Merupakan interaksi antara mangsa dan pemangsa dalam sebuah ekosistem, interaksi
ini menjaga kesimbangan jumlah pemangsa dan mangsa dalam sebuah ekosistem.
Contohnya singa danzebra di savanna Afrika.
 Simbiosis
Merupakan interaksi antara2 makhluk hidup bebeda spesies yang saling
berhubungan. Dalam hubungan ini terbentuk dalam 3 bentuk interaksi yaitu:
1. Simbiosis mutualisme
Simbiosis antara 2 makhluk hidup berbeda spesies yang saling menguntungkan.
Contohnya: lebah mencari madu dan membantu proses penyerbukan bunga.
2. Simbiosis parasitisme
Simbiosis dimana satu makhluk hidup saja yang diuntungkan. Contohnya: benalu
dan pohon, nyamuk dan manusia.
3. Simbiosis komensalisme
Merupakan simbiosis antara dua makhluk hidup yang satu diuntungkan dan yang
satu tidak diuntungkan dan tidak dirugikan/tidak berpengaruh. Contohnya: ikan
remora dan ikan hiu, anggrek dan batang pohon.
 Antibiosis
Merupakan interaksi antara makhluk hidup dimana makhluk hidup yang satu
menghambat pertumbuhan makhluk hidup lainnya. Contohnya: jamur penisilin yang
dikembangkan di laboratorium.
 Kompetisi
Merupakan interaksi 2 jenis makhluk hidup yang saling bersaing untuk mendapatkan
atau memperebutkan sebuah hal yang sama.contohnya: kompetisi kudanil.
C. Mekanisme Pertahanan Diri Hewan

Perilaku mempertahankan diri pada hewan yaitu pola Perilaku yang di lakukan oleh
hewan guna keberlangsungan hidupnya. Baik itu berkisar pada melarikan diri dari pemangsa
potensialnya maupun bertahan dari kondisi lingkungannya. Berdasarkan pengertiannya, Pola
perilaku pertahanan diri pada hewan terbagi atas 2 yaitu:
1. Pola perilaku mempertahankan diri yaitu pola perilaku yang berkisar mulai pada
melarikan diri dari pemangsa potensial sampai dengan menggunakan senjata bertahan
dan penggunaan kamuflase dan mimikri (meniru).
 Mimikri
Mimikri adalah cara mempertahankan diri terhadap musuh dengan cara menyerupai
sesuatu, secara khas menyerupai tipe lain
organiseme lain seperti misalnya bunglon yang
dapat berubah-ubah sesuai warna benda di
sekitarnya agar dapat mengelabuhi binatang predator
/ pemangsa sehingga sulit mendeteksi keberadaan
bunglon untuk dimangsa. Jika bunglon dekat dengan
dedaunan hijau maka dia akan berubah warna kulit
menjadi hijau, jika dekat batang pohon warna coklat,
dia juga ikut ganti warna menjadi coklat, dan lain sebagainya.
 Kamuflase
Proses adaptasi yang menyamakan atau menyeragamkan
warna kulit dengan lingkungan sekitarnya untuk melindungi
diri dari predator atau untuk mencari makan. Ada beberapa
jenis kamuflase seperti menyesuaikan diri dengan perubahan
dalam lingkungan, ada juga yang tidak menyembunyikan
sama sekali, tapi menakuti hewan lain dengan menyamarkan
diri sebagai sesuatu yang berbahaya atau tidak menarik.
 Autotomi
Autotomi adalah teknik bertahan hidup dengan cara
mengorbankan salah satu bagian tubuh. Contoh autotomi yaitu
pada cicak / cecak yang biasa hidup di dinding rumah, pohon,
dll. Cicak jika merasa terancam ia akan tega memutuskan
ekornya sendiri untuk kabur dari sergapan musuh. Ekor yang putus akan melakukan
gerakan-gerakan yang cukup menarik perhatian sehingga perhatian pemangsa akan fokus
ke ekor yang putus, sehingga cicak pun bisa kabur dengan lebih leluasa

 Pola perilaku Bertahan hidup dalam lingkungan fisik yaitu Kebanyakan hewan hanya
dapat bertahan hidup dalam kisaran suhu, salinitas, kelembaban tertentu, dan sebagainya.
Kisaran ini relatif luas bagi hewan, seperti mamalia dan burung, yang banyak mempunyai
mekanisme yang efisien untuk mempertahankan kendali homeostatis terhadap
lingkungannya.
 Hibernasi
Hibernasi adalah teknik bertahan hidup pada
lingkungan yang keras dengan cara tidur menonaktifkan
dirinya (dorman). Hibernasi bisa berlangsung lama secara
berbulan-bulan seperti beruang pada musim dingin.
Hibernasi biasanya membutuhkan energi yang sedikit,
karena selama masa itu biantang yang berhibernasi akan
memiliki suhu tubuh yang rendah, detak jantung yang lambat, pernapasan yang lambat,
dan lain-lain. Binatang tersebut akan kembali aktif atau bangun setelah masa sulit
terlewati. Contoh hewan yang berhibernasi yaitu seperti ular, ikan, beruang, kura-kura,
bengkarung, dan lain-lain.

D. Preferensi Makanan Hewan


Preferensi terhadap makanan didefinisikan sebagai derajat kesukaan atau ketidaksuakaan
terhadap makanan dan preferensi ini akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Setiap
organisme untuk melangsungkan kehidupannya memerlukan makanan dan setiap makanan
yang dimakan oleh hewan dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek kulaitatif dan aspek
kuantitatif. Preferensi terhadap jenis makanan tertentu diduga dipengaruhi oleh warna, berat
dan besar ukuran makanan, produktivitas jenis makanan dan kandungan nutrisi makanan
tersebut.

Aspek jumlah (Kuantitatif) makanan hewan menyangkut masalah kelipatan


tersedianya, sedangkan aspek mutu (Kualitatif) menyangkut masalah palatabilitasnya, nilai
gizi daya cerna dan ukuranya.
1. Palatabilitas (Tingkat Kelezatan)
Palabilitas makanan tergantung dari tidak adanya kandungan zat-zat kimia tertentu
misalnya yang meransang diluar kisaran toleransi hewan ataupun yang bersifat toksik. Selain
itu adanya struktur –struktur  yang mengganggu seperti bulu atau duri yng tajam atau lapisan
yang keras mengurangi nilai palabilitas makanan bagi hewan. Karena itu banyak hewan
karnivor menunjukkan prefernsi memakan tumbuhan muda daun atau pucuk muda.
2. Nilai Gizi
Nilai Gizi makanan menyangkut masalah kandungan protein, karbohidrat, lemak
mineral-mineral, vitamin dan air dalam makanan itu. Kandungan substansi organiknya
memberikan nilai kandungan energi makanan itu. Kekurangan salah satu komponen dalam
dlit dapat dideteksi oleh hewan melalui mekanisme neurofisiologi tubuhnya. Hewan
kemudian akan berusaha mengatasinya dengan memakan dalam jumlah yang banyak
makanan lain yang mengandung komponen yang kurang itu.
Apabila kekurangan itu tidak dapat diatasi, hewan akan mengalami ketegangan yan
mungkin menjurus ke terjadinya kanibalisme, meskipun hewan itu jenis herbivora. Nilai gizi
makanan dalam arti pemanfaatan makanan itu hingga dapat digunakan dalam tubuhnya
hewan yang mengkonsumsi makanan itu erat kaitannya dengan daya cerna makanan.
3. Daya Cerna
Daya cerna makanan tergantung daari komposisi kimia dan struktural makanan itu serta
adaptasi fisiologis yang didukung adaptasi struktural hewan pemaka. Hewan herbivor lebih
memerlukan enzim-enzim proteasa dan hewan-hewan omnivor memerlukan komplek enzim
yang lebih lengkap.
Daya cerna makanan lebih merupakan masalah bagi hewan herbivor dari pada hewan
karnivor.  Yang dihadapi hewan karnivor adalah masalah menemukan, menangkap dan
menangani mangsa, bukan masalah pencernaan. Ditinjau dari segi nilai gizi, komposisi tubuh
mngsaa berupa tikus, ikan atau cacing bagi hewan karnivor semuanya praktis tidak berbeda.
Lain halnya dengan makanan hewan herbivor.
Nilai gizi dan daya cerna jenis atau bagian tumbuhan berbeda-beda, disebabkan variasi
kandungan selulosa, lignin dan lain-lain. Perbedaan nisbah C/N pada tiap bagian tumbuhan,
memungkinkan hewan herbivor mengkhususkan pemanfaatan bagian tertentu saja yang
cocok dengan adaptasinya agar efisien. Contoh serangga Homoptera, mulutnya teradaptasi
untuk menusuk dan mengisap cocok untuk memanfaatkan cairan tubuhan yang kaya gula.
Herbivor yang memanfaatkan cairan tumbuhan, termasuk nectar, mempunyai nilai
efisien tinggi. Dijumpai pada Homoptera, Hemiptera dan Hymenoptera, dan banyak yang
dikenal sebagai serangga hama tanaman. Cara makan menghisap cairan nutritive seperti itu
termasuk tipe nutrisi parasitic.
Asosiasi diantara dua kelompok organisme yang berbeda, memberikan manfaat bagi
kedua pihak dan bersifat obligat disebut simbiosis mutualistik. Contoh simbiosis antara
Flagelata dan rayap.
4. Ukuran Makanan
Bagi hewan-hewan herbivor, saprovor dan parasit ukuran tubuh hewan makanannya
tidak merupakan masalah. Tidak demikian halnya pada hewan-hewan karnivor (predator)
yang makanannya berupa hewan lain yang mungkin mobilitasnya tinggi. Ukuran tubuh
hewan mangsa biasanya lebih kecil dari pemangsanya. Namun demikian ukuran itu tidak
boleh terlalu kecil agar energi perolehan memangsa tidak lebih rendah daari pada energi yang
telah dipakai untuk mencari dan mengejar hewan mangsanya itu.
            Kita mengenal beberapa jenis hewan karnivor yang ukuran tubuhnya kecil sekali
dibandingkan dengan ukuran tubuhnya sendiri. Hewan-hewan ini mempunyai adaptasi dan
strategi khusus untuk mendapatkan mangsanya. Misalnya, Labah-labah menggunakan jaring
untuk menjebak mangsanya. Bangsa buaya, ular, kadal dan ikan predator mempunyai strategi
mengefesiensikan penggunaan energi dengan merayap mengsanya. Secara tiba-tiba apabila
ukuran tubuh hewan mangsa lebih besar maka hewan pemangsa menyerangnya dengan
secara bergerombol, seperti misalnya pada bangsa ajag atau pun hyena.

Klasifikasi makanan Sebagai Sumberdaya


Berdasarkan pada klasifikasi sumberdaya makanan hewan yang mempunyai nilai gizi
maupun daya cerna yang berbeda itu dpat dibedakan atas yang bersifat esensial dan yang
dapat diganti. Makanan yang bersifat esensial tidak dapat diganti oleh yang lain karena vital
untuk pertumbuhan dan perkembangan jenis hewan pemakannya. Misalnya pada kupu-kupu
heliconius, larvanya sangat tergantung pada suatu jenis tumbuhan passiflora sebagai
makananya, sedang hewan dewasanya memerlukan butir sari dari jenis tumbuhan
cucurbitaceae. Makanan sekaligus mikrohabitatnya dari hewan yang bersifat parasitik adlah
hewan inangnya. Berbagai reduksi dampak dari tekanan pemangsaan dan spesies yang
memangsa berovolusi menjadi makin mampu mendapatkan makananya serta makin evesien
memanfaatkan makanannya itu.

Strategi Mencari Makan


Menurut teori mencari makan optimum, strategi hewan dalam mencari makan ialah
mendapatkan perolehan semaksimal mungkin dengan resiko seminimal mungkin. Mencari
makan secara berkelompok akan memberi keuntungan bila ketersediaan sumberdaya
makanan di lingkungan berlimpah. Keuntungan mencari makan secara berkelompok
adalah sumber daya makanan dapat dengan mudah dan cepat ditemukan, serta bahaya yang
mengancam akan lebih cepat diketahui.
Setiap kali hewan mencari makan/mangsa, energi harus dikeluarkan. Setiap jenis
hewan, berbeda corak pencarian makanannya. Pada jenis predator tertentu (buaya, ular)
energi tidak digunakan untuk aktivitas mengejar mangsa, melainkan untuk menyergap
mangsa secara tiba-tiba. Beberapa jenis hewan tidak mengeluarkan energi ekstra setiap
mencari makan. Misal lebah, sebagian besar energi untuk pembuatan dan perbaikan jarring
penangkap mangsa.
Ada jenis hewan mencari makan secara individual atau berkelompok. Secara
berkelompok akan memberikan keuntungan bila ketersedian sumberdaya makanan di
lingkungan berlimpah. Pada tingkat kelimpahan yang rendah enguntungkan untuk individual,
bagi yang berkelompok belum menguntungkan, karena dapat menyebabkan persaingan antar-
individu.
Mencari makan secara berkelompok mempunyai nilai penting, yaitu sumberdaya
makanan lebih mudah dan cepat ditemukan, serta bahaya yang mengancam lebih cepat
terdeteksi.Biaya mencari makan umumnya lebih rendah pada hewan yang jenis makanannya
banyak (polifag), dibandingkan dengan yang jenis makanannya sedikit (oliofag) atau hanya
semacam (monofag)
Hewan mangsa umumnya terdapat mengelompok pada suatu lokasi. Oleh karena itu,
hewan predator tidak akan mementingkan lokasi dimana hewan mangsa yang paling
melimpah tetapi akan lebih memilih area yang lebih menguntungkan dalam alokasi waktu
dengan relatif energi bersih yang didapatkan sama. Smith (1990) menjelaskan bahwa di
dalam aturan pemilihan makanan, konsumen harus (1) memilih mangsa yang lebih
menguntungkan; (2) memakan secara lebih selektif jika mangsa yang menguntungkan atau
jenis makanan tersedia melimpah; (3) akan memasukkan ke dalam diet jenis yang kurang
menguntungkan jika jenis yang menguntungkan relatif jarang; (4) akan mengabaikan jenis
yang tidak menguntungkan walaupun umum terdapat, jika mangsa yang menguntungkan
tersedia melimpah.

HEWAN DAN LINGKUNGANNA


Hewan Dan Lingkungannnya
Lingkungan bagi hewan adalah semua faktor biotic dan abiotik yang ada di sekitarnya
dandapat mempengaruhinya. Hewan hanya dapat hidup, tumbuh dan berkembang biak
dalamsuatu lingkungan yang menyediakan kondisi dan sumberdaya serta terhindar dari
faktor-faktor yang membahayakan. Begon (1996), membedakan faktor lingkungan bagi
hewan ada 2 kategori,yaitu;Kondisi dan Sumberdaya.
Kondisi adalah faktor-faktor lingkungan abiotik yang keadaannya berbeda dan berubah
sesuai dengan perbedaan tempat dan waktu.Hewan bereaksi terhadap kondisi lingkungan,
yang berupa perubahan-perubahan morfologi, fisiologi dan tingkah laku.
Sumberdaya adalah segala sesuatu yang dikonsumsi oleh organisme, yang
dapatdibedakan atas materi, energi dan ruang. Sumberdaya digunakan untuk menunjukkan
suatufaktor abiotik maupun biotikyang diperlukan oleh hewan, karena tersedianya di
lingkungan berkurang apabila telah dimanfaatkan oleh hewan

Ektoterm
Kondisi lingkungan setiap hewan berbed-beda hewan ektoterm adalah hewan yang
untuk menaikkan suhu tubuhnya memperoleh panas yang berasal dari lingkungan. Dalam
kaitannya dengan hal yang sama, hewan yang suhu tubuhnya berubah – ubah sesuai dengan
perubahan suhu lingkungan disebut hewan poikilotermi, yang dalam istilah lain disebut
hewan berdarah dingin Hampir semua hewan tergolong kelompok poikilotermi, yaitu mulai
dari golongan protozoa sampai reptil, aves dan mamalia merupakan hewan – hewan
homeotermi. Ini berarti bahwa hewan – hewan tersebut panas tubuhnya sangat bergantung
pada sumber panas dari lingkungannya. Kemampuan mengatur suhu tubuh pada hewan –
hewan ektoterm sangat terbatas sehingga suhu tubuh bervariasi mengikuti suhu
lingkungannya atau disebut sebagai penyelaras (konfermer)
Endoterm
Hewan endoterm adalah kelompok hewan yang dapat mengatur produksi panas dari
dalam tubuhnya untuk mengkonstankan atau menaikkan suhu tubuhnya, misalnya golongan
aves dan mamalia, termasuk manusia. Dalam istilah lain kelompok hewan ini disebut juga
sebagai kelompok homeoterm. Hewan homeoterm adalah hewan – hewan yang dapat
mengatur suhu tubuhnya sehingga selalu konstan berada pada kisaran suhu optimumnya.

Hewan – hewan homeotermi, dalam kondisi suhu lingkungan yang berubah – ubah ,
suhu tubuhnya konstan. Hal ini karena hewan – hewan ini mempunyai kemampuan yang
tinggi untuk mengatur suhu tubuhnya melalui perubahan produksi panas (laju metabolisme)
dalam tubuhnya sendiri (terkait dengan sifat endotermi)
Kisaran Toleransi dan Faktor Pembatas serta Terapannya
pada prinsipnya masing-masing hewan memiliki kisaran toleransi tertentu terhadapsemua
semua faktor lingkungan.
1. HukumToleransi Shelford
“Setiap organisme mempunyai suatu minimum dan maksimum ekologis, yang merupakan batas
bawah dan batas atas dari kisaran toleransi organisme itu terhadap kondisi faktor lingkungan”
Apabila organisme terdedah pada suatu kondisi faktor lingkungan yangmendekati
batas kisaran tolrensinya, maka organisme tersebut akan mengalami cekaman(stress).
Fisiologis. Organisme berada dalam kondisi kritis. Contohnya, hewan yangdidedahkan pada
suhu ekstrim rendah akan menunjukkan kondisi kritis Hipotermia dan padasuhu ekstirm
tinggi akan mengakibatkan gejala Hipertemia apabila kondisi lingkungan suhuyang demikian
tidak segera berubah maka hewan akan mati
Untuk menentukan batas-batas kisaran toleransi hewan terhadap sesuatu factor
lingkungannya. Sebab sulit untuk menentukan secara tepat kapan hewan itu akan mati. Batas-
batas kisaran toleransi itu ditentukan atas dasar terjadinya kematian pada 50% dari jumlah
individu setelah dideadahkan pada suatukondisi faktor lingkungan selama rentang waktu
tertentu. Kisaran toleransi terhadap suatu faktor lingkungan tertentu pada berbagai jenis
hewan berbeda-beda. Ada hewan yang kisarannya lebar (euri) dan ada hewan yang sempit
(steno).Kisaran toleransi ditentukan secara herediter, namun demikian dapat mengalami
perubahan oleh terjadinya proses aklimatisasi (di alam) atau aklimasi (di lab). Setiap hewan
memiliki kisaran toleransi yang bervariasi, maka kehadiran di suatuhabitat sangat ditentukan
oleh kondisi dari faktor lingkungan di tempat tersebut.
2. Keterbatasan Dan Toleransi Di Dalam Ekosistem
Apabila faktor lingkungan tidak seimbang dan menguntungkan factor lingkungan lain,
factor ini dapat dmenekan atau kadang –kadang menghentikan pertumbuhan organisme,
factor lingkungan yang paing tidak optimum akan menentukan tingkat produktivitas
organisme. Prinsip ini disebut sebagai prinsip faktor pembatas.
Dengan adanya faktor pembatas ini semakin jelas kemungkinannya apakah suatu
organisme akan mampu bertahan dan hidup pada suatu kondisi wilayah tertentu Jika suatu
organisme mempunyai batas toleransi yang lebar untuk suatu faktor yang relatif mantap dan
dalam jumlah yang cukup, maka faktor tadi bukan merupakan faktor pembatas. Sebaliknya
apabia organisme diketahui hanya mempunyai batas-batas toleransi tertentu untuk suatu
faktor yang beragam, maka faktor tadi dapat dinyatakan sebagai faktor pembatas. Beberapa
keadaan faktor pembatas, termasuk diantaranya adalah temperatur, cahaya, air, gas atmosfir,
mineral, arus dan tekanan, tanah, dan api. Masing-masing dari organisme mempunyai kisaran
kepekaan terhadap faktor pembatas.
Dengan adanya faktor pembatas, dapat dianggap faktor ini bertindak sebagai ikut
menseleksi organisme yang mampu bertahan dan hidup pada suatu wilayah. Sehingga
seringkali didapati adanya organisme-organisme tertentu yang mendiami suatu wilayah
tertentu pula. Organisme ini disebut sebagai indikator biologi (indikator ekologi) pada
wilayah tersebut.

Daftar Pustaka

Darmawan,Agus. 2005. Ekologi Hewan. Universitas Negeri Malang. Malang

Begon, M., T.L. Harper & C.R. Townsend. 1986.Ecology: Individuals


PopulationsandCommunities
Blacwell.Oxfor.Kendeigh, S.C.1980. Ecology With Special Reference to Animal
& ManPrenticeHall, New Jersey.
Kramadibrata, H. (1996). Ekologi Hewan. Bandung: Institut Teknologi Bandung Press.
Saroyo dan Roni. 2016. Ekologi Hewan. Bandung: Cv. Patra Media Grafindo Bandung

Anda mungkin juga menyukai