Anda di halaman 1dari 13

MEMBANGUN KARAKTER BANGSA

MELALUI PENELADANAN TOKOH KSATRIA UTAMA

Puji Santosa
Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa
Badan Bahasa, Kementrian Pendidikan Nasional

Abstrak

Sikap hidup pragmatis pada sebagian besar masyarakat Indonesia mengakibatkan


terkikisnya nilai-nilai luhur budaya bangsa. Demikian halnya dengan budaya kekerasan
dan anarkisme sosial yang turut serta memperparah kondisi sosial budaya bangsa
Indonesia. Kini bangsa Indonesia telah dirasuki zaman edan. Budaya adiluhung dan
edipeni bangsa sebagai nilai kearifan lokal (local wisdom) yang santun, saling
menghormati, arif-bijaksana, dan religius, seakan terkikis dan tereduksi gaya hidup instan
dan modern. Masyarakat sangat mudah tersulut emosinya, pemarah, brutal, anarkisme,
kasar, dan vulgar, tanpa mampu mengendalikan hawa nafsunya. Fenomena ini dapat
menjadi representasi melemahnya karakter bangsa yang terkenal dengan ramah, santun,
berpekerti luhur, dan berbudi mulia.
Sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat, situasi yang demikian itu jelas tidak
menguntungkan bagi masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa
depan bangsa yang cerdas bijak bestari (mursid), terampil dan cendekia (sugih kagunan
lan pangawikan), berbudi pekerti luhur (luhur budinipun), berderajat mulia (luhur
derajatnipun), berperadaban mulia (mulya gesangipun), serta berbakti kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Oleh karena itu, dibutuhkan paradigma pendidikan kejiwaan yang berorientasi
pada karakter bangsa, yang tidak sekadar memburu kepentingan kognitif (pikir, nalar),
tetapi memperhatikan dan mengintegrasi persoalan-persoalan moral dan keluhuran budi.
Salah satu media pendidikan kejiwaan yang berorientasi karakter bangsa itu ialah melalui
peneladan tokoh ksatria utama yang tercermin dalam Serat Kalatidha (R.Ng.
Ranggawarsita), Serat Tripama (Sri Mangkunegara IV), dan dalam mitologi budaya Jawa
tentang ksatria piningit, yakni tokoh Sasangka, Sarjana, Sujana, Sudibyo, Wijaya, dan
Suteja. Keenam. Ksatria-ksatria utama itulah yang akan mengembalikan derajat dan
martabat bangsa yang berkarakter unggul dan beradab: religius, bijak bestari, penuh
kewaspadaan, mengutamakan kebersatuan dan kesentosaan, senantiasa jaya, dan masyhur
di dunia.

Kata kunci: karakter bangsa, teladan, ksatria utama, beradab, bermartabat

1. Pendahuluan
Sejak dekade tahun 1990-an hingga kini bangsa Indonesia dilanda berbagai krisis
yang tidak kunjung selesai. Mula-mula berupa krisis moneter dengan semakin merosotnya
nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain, terutama dolar Amerika. Kemudian
meningkat pada krisis kepercayaan, krisis kepemimpinan, krisis politik, krisis keamanan,
dan tentu saja krisis kekuasaan dengan lengsernya Presiden Soeharto. Di berbagai sektor
terjadi kebangkrutan keimanan dengan ditandai oleh perilaku manusia yang mengarah
kepada brutalisme, sadisme, kanibalisme, penjarahan, perampokan, pembakaran,
pemerkosaan massal, dan pembunuhan yang disertai mutilasi. Para elite politik saling
menghujat tanpa etika. Nafsu setan sudah tidak terkendali. Emosi massa mudah dibakar.
Amarah mudah dibangkitkan. Ancaman disintegrasi bangsa semakin meluas di tengah-

1
tengah masyarakat kita dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru, berganti-ganti
pemerintahan yang tidak berumur lama, lepasnya Timor Timur dari pangkuan Ibu Pertiwi,
bergejolaknya rakyat Papua menuntut kemerdekaan, Aceh membara selepas DOM, Ambon
banjir darah dengan perang antaragama, serta Sambas, Ketapang, dan Sampit di
Kalimantan porak-poranda dengan perang antaretnis, Palu-Sulawesi bergejolak terus tiada
henti, dan banyak daerah yang menjadi ajang kerusuhan massa, teror bom, pembasmian
antaretnis, dan sebagainya dan sebagainya. Siapa pun yang hidup di tengah masyarakat
seperti itu akan merasa miris, cemas, was khawatir, atau rasa ketakutan luar biasa karena
keselamatan jiwanya terancam, dan hidupnya pun tidak menentu. Semua orang sudah
menjadi edan, benar-benar gila. Lalu, masih adakah harapan hari esok? Masih adakah
karakter bangsa yang lebih mulia, beradab, bermartabat, dan berdejat luhur?

2. Tanda-Tanda Zaman Edan


Keadaan seperti itu sesungguhnya sudah diantisipasi oleh masyarakat Indonesia
jauh hari sebelum hal itu terjadi. Orang-orang waskita, wong kang limpat ing budi,
seprapat bae wus tamat “orang yang memiliki kelebihan, terampil berolah budi,
seperempat bagian saja sudah dapat menamatkan isinya” jauh hari sebelum semua
peristiwa itu terjadi sudah memahaminya. Seseorang itu sudah mengetahuinya terlebih
dahulu, yakni Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802—1873). Beliau mampu mengantisipasi
zaman edan itu melalui karyanya Serat Kaltidha. Namun, sesungguhnya hal itu dapat juga
terjadi sebagai pengalaman yang pernah dilakoni oleh Ranggawarsita ketika karya itu
ditulis. Zaman edan, zaman yang penuh kutukan seperti yang terjadi beberapa tahun yang
lalu, dan kemungkinan juga masih akan tetap berlangsung hingga pada suatu saat nanti kita
tidak terjerumus ke jurang penderitaan yang lebih dalam lagi.
Bermula dari bait ketujuh tembang sinom dalam Serat Kalatidha itu begitu
terkenalnya menandai hadirnya zaman edan. Bagi sebagian besar masyarakat Jawa
“amenangi jaman edan” seperti di atas bukanlah sesuatu yang aneh, melainkan orang Jawa
itu ora gampang gumunan lan ora gampang kagetan “tidak mudah terheran-heran dan
tidak mudah terkejut”. Zaman edan seperti itu sudah diantisipasi jauh hari sebelumnya).
Dalam berbagai serat dan pustaka klasik orang-orang Jawa, keadaan seperti itu telah
disebut-sebut akan datang waktunya. Selain disebut sebagai “Jaman Edan”, keadaan negeri
yang kacau-balau atau karut-marut, juga disebut sebagai “Jaman Kalabendu” atau juga
“Jaman Retu”. Sebegitu dahsyatnya kekuasaan zaman edan sehingga dengan kalimat
bersayapnya, Ranggawarsita meletakkan hukum moral bagi masyarakat Jawa (Indonesia)
dalam pengertian: Dilalah kersaning Allah, begja-begjane wong kang lali, luwih begja
kang eling lan waspada “Sudah kehendak Tuhan Allah, betapun berbahagianya orang yang
lupa, masih lebih berbahagia orang yang sadar dan waspada”.
Dari teks Serat Kalatidha dapat kita cermati tanda-tanda kekuasaan zaman edan
yang penuh kutukan tersebut. Tanda-tanda zaman itu antara lain sebagai berikut.
1) Derajat suatu negara terlihat kosong dan sepi atau suwung, yakni suatu negara tidak
lagi memiliki wibawa, tidak mimiliki pengaruh sama sekali pada rakyatnya atau
negara lain. Meskipun penguasanya adalah raja utama, perdana menterinya orang
yang memiliki kelebihan, para menteri dan aparat pegawainya baik-baik, tetap tidak
dapat menolak hadirnya zaman kutukan karena sudah sebagai karma/dosa bangsa.
2) Rusaknya pelaksanaan undang-undang, yaitu masyarakat banyak yang melanggar
tata aturan, baik penguasanya sendiri maupun rakyatnya tidak lagi patuh pada
aturan negara yang ada, mereka berbuat sekehendaknya atau menyimpang dari
aturan yang ada. Hukum hanya sebagai permianan orang-orang yang rakus.
3) Tidak adanya suri teladan atau contoh dari pemimpin negara, para aparatnya, dan
penguasa pemerintahan terhadap rakyatnya sama saja perbuatannya, seperti

2
melakukan korupsi, rebutan kekuasaan dan pengaruh, merasa benar sendiri,
penindasan kepada rakyat, banyak durjana, penjahat, dan asusila.
4) Banyak rakyat yang sedih, menderita, prihatin, sengsara, papa, miskin, dan
kelaparan sehingga banyak terjadi kesukaran hidup, terasa hidup semakin hari
bertambah hina dina dan amat suram tanda-tanda kehidupan di masa depan.
5) Banyak terjadi musibah, bencana, dan malapetaka yang datang bertubi-tubi silih
berganti tiada henti-hentinya, baik yang disebabkan oleh murkanya alam, seperti
banjir, tanah longsor, maupun oleh kelalain manusia yang rakus dan angkara.
6) Berbeda-beda, berjenis-jenis, dan banyak ragam perbuatan angkara murka orang
seluruh negara, mewabah kejahatan di mana-mana di segala bidang.
7) Banyak berita bohong, kabar angin, warta pepesan kosong, sulit dipercaya
kebenarannya karena banyak orang yang munafik, hanya pura-pura, penuh
fitnahan, dan tipu muslihat, hanya bermaksud mencari keuntungan pribadi.
8) Banyak pejabat yang menanam benih-benih kesalahan, keteledoran, ceroboh,
kebohongan publik, dan tidak hati-hati, disebabkan oleh lupa, alpa, dan khilaf
sehingga menjadi perkara hukum dan sebagainya.
9) Banyak orang yang berjiwa baik, cerdas, dan bijaksana, justru kalah dengan mereka
yang culas, kerdil, dan jahat. Itulah sebabnya orang yang baik-baik justru
tersisihkan dan berada di belakang atau tenggelam oleh hiruk-pukuk dunia yang
penuh angkara murka dan silau pesona duniawi.
10) Terjadi banyak peristiwa keanehan, ajaib, tidak masuk akal, banyak orang yang
stres dan putu asa, atau tidak bernalar sehingga serba sulit untuk bertindak.
Keadaan seperti itu menyebabkan orang-orang menjadi gila, edan, atau tidak ada
yang waras. Rumah-rumah sakit jiwa dipenuhi dengan pasien yang menderita
gangguan jiwanya.
Menghadapi zaman edan seperti itu membuat kita serba kesulitan menentukan
sikap. Apabila kita tidak mengikuti perilaku edan mereka, lama-kelamaan kita menjdi
bosan juga, tidak tahan akan penderitaan hidup. Namun, apabila kita tidak ikut serta
melakukan edan, rasa-rasanya dihantui oleh ketakutan tidak mendapatkan bagian dari
tahta, harta, dan wanita. Akibat perilaku edan-edanan itu, rakyatlah yang menderita
kelaparan, hingga hidup terasa menjadi “larang sandang, larang pangan, larang papan”
(serba mahal). Keadaan negara paceklik yang mengakibatkan mahalnya sembako. Namun,
apabila dirasa-rasakan semua kejadian atau peristiwa yang terjadi di dunia ini sudah
menjadi suratan takdir Tuhan. Tuhan berkehendak membabati tanaman-tanaman liar yang
tidak berguna dan kemudian menggantikannya dengan tanaman yang lebih indah berseri.
Berbahagialah mereka yang senantiasa sadar dan berbakti kepada Tuhan serta waspada
terhadap gejala perilaku edan. Meskipun mereka yang lupa segala-galanya mendapatkan
kue kekuasaan, harta, dan wanita, tetapi masih tetap lebih berbahagia bagi mereka yang
senantiasa sadar, berbakti, takwa, dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.

3. Suri Teladan Tiga Ksatria Utama (Dunia Wayang)


Serat Tripama adalah salah satu karya sastra Jawa klasik karangan Sri
Mangkunegara IV, raja di Pura Mangkunegaran (1809—1881), berbentuk puisi sebanyak
tujuh bait. Kata tripama merupakan dua patah yang dirangkai menjadi satu kata, berasal
dari kata tri dan pama, tri artinya tiga, dan pama artinya perumpamaan, tamsil, contoh,
atau suri teladan. Berdasarkan perkiraan para ahli sastra, Tripama ditulis oleh Sri
Mangkunegara IV seputar tahun 1860—1870. Tiga ksatria utama tokoh pewayangan
ditampilkan sebagai teladan keutamaan bagi wira tamtama, yaitu Patih Suwanda dari
negeri Mahespati, Raden Harya Kumbakarna dari negeri Alengka, dan Adipati Basukarna
atau Suryaputra dari negeri Awangga.

3
Sosok tokoh pertama yang menjadi teladan wira tamtama adalah Patih Suwanda.
Dia menjadi andalan Prabu Harjunasasrabahu di negeri Mahespati. Ketika masih di
pertapaan, dia bernama Bambang Sumantri. Oleh orang tuanya, Begawan Suwandagni,
Sumantri diminta untuk mengabdikan dirinya kepada Raja Mahespati, Prabu
Harjunasasrabahu. Pengabdian Sumantri lama-kelamaan diterima sebagai Patih dengan
berganti nama Suwanda. Pada suatu saat Patih Suwanda mendapatkan tugas meminang
putri Magada melalui sayembara yang diadakan oleh negeri itu. Dalam menjalankan tugas
Patih Suwanda dapat memenangkan sayembara, membawa Dewi Citrawati dan putri
domas, putri boyongan sebanyak 800 orang yang akan dipersembahkan kepada rajanya.
Sesampainya di Mahespati, Suwanda tampak pongah dan menuruti hawa nafsunya
untuk menantang raja. Suwanda tidak mau menyerahkan Dewi Citrawati dan putri
boyongan kepada raja Mahespati tersebut. Akibatnya, terjadilah perang tanding antara
Suwanda dengan Prabu Harjunasasrabahu. Ternyata sang raja lebih sakti dan lebih unggul
dari Patih Suwanda. Kekalahan Suwanda atas rajanya dapat diampuni asalkan mampu
memindahkan Taman Sriwedari ke Mahespati dalam keadaan utuh dan baik. Dengan berat
hati Suwanda menerima tugas itu. Berkat bantuan adiknya, Raden Sukrasana, Taman
Sriwedari itu dapat dipindahkan ke Mahespati tanpa cacat. Dewi Citrawati dan para putri
domas pun akhirnya bersenang-senang di taman tersebut. Pada saat mereka sedang
asyiknya bersenang-senang di taman itu, mereka melihat raksasa yang buruk rupa dan
menakutkan ada di dalam taman tersebut. Dewi Citrawati melaporkan hal itu kepada Prabu
Harjunasasrabahu. Kemudian sang raja memerintahkan Patih Suwanda untuk mengusir
raksasa itu dari Taman Sriwedari.
Suwanda sanggup menerima tugas itu sekalipun dengan berat hati. Suwanda tahu
bahwa raksasa buruk rupa yang menakutkan dan berada di Taman Sriwedari itu adalah
adiknya sendiri, Raden Sukrasana. Suwanda tidak mau terus terang kepada rajanya bahwa
raksasa buruk rupa itu adalah adiknya. Ada perasaan malu untuk mengakui Raden
Sukrasana itu sebagai adik kandungnya. Ketika diminta baik-baik untuk meninggalkan
Taman Sriwedari itu, Raden Sukrasana tidak bersedia hingga mengakibatkan Suwanda
marah. Tanpa disadarinya, Suwanda mengambil anak panah untuk menakut-nakuti adiknya
tersebut hingga terlepas anak panah itu dari busurnya menancap pada dada Sukrasana.
Sesal kemudian tidak ada berguna, Suwanda telah membunuh adiknya sendiri hanya demi
pengabdiannya kepada raja Mahespati.
Pada peristiwa yang lain terjadi ketika Prabu Harjunasasrabahu dengan Dewi
Citrawati dan delapan ratus putri selirnya sedang mandi bersama-sama di bengawan
Silugangga. Prabu Harjunasasrabahu membendung aliran sungai Silugangga dengan cara
triwikrama (mengubah wujud penampilan) sebagai raksasa besar pengganti bendungan
tersebut agar dapat dipergunakan oleh permaisuri dan selir-selirnya mandi bersama-sama.
Akibat bendungan itu, beberapa tempat mengalami banjir besar, salah satunya adalah
negeri Alengka. Raja Alengka pada saat itu adalah Rahwana atau Dasamuka, raksasa yang
berkepala sepuluh, kemudian menelusuri apa yang menyebabkan negerinya terkena banjir
besar. Setelah mengetahui bahwa banjir besar di negerinya itu akibat ulah raja Mahespati,
Rahwana pun marah dan memerintahkan pasukannya menyerbu negeri Mahespati. Patih
Suwanda yang berada di istana tampil sendirian menghadapi Rahwana dan bala tentaranya.
Dia tanpa terlebih dahulu melaporkan kepada rajanya, dengan alasan tidak mau
mengganggu sang raja yang sedang bersenang-senang dengan permaisuri dan selir-
selirnya. Dalam peperangan itulah akhirnya Patih Suwanda gugur karena kelengahannya.
Suwanda gugur karena digigit oleh Rahwana yang dikiranya sudah mati, padahal Rahwana
hanya berpura-pura mati.
Teladan berikutnya bagi para wira tamtama dalam Tripama adalah tokoh
Kumbakarna, seorang ksatria dari Pangleburgangsa, di negeri Alengka. Ketika terjadi

4
perang besar Alengka dengan prajurit Rama, Patih Prahasta yang menjadi handalan
kerajaan Alengka menghadapi bala tentara Rama pun gugur di medan laga. Rahwana yang
mendapat kabar itu termenung, bingung, dan bercampur sedih hingga lama tidak berbicara.
Setelah hilang kebingungannya, Rahwana menyuruh prajurit raksasa untuk pergi ke
ksatrian Pangleburgangsa. Pangleburgangsa adalah tempat tinggal Kumbakarna yang
tengah bertapa tidur. Rahwana meminta para raksasa itu membangunkan adiknya yang
sedang bertapa tidur. Segala upaya dilakukan oleh para raksasa untuk membangunkan
Kumbakarna, misalnya dengan berteriak sekeras-kerasnya dan memukul-mukul segala
bunyi-bunyian, tetap saja Kumbakarna tidur pulas. Ketika mereka hampir putus asa,
seorang raksasa menemukan cara tepat membangunkan Kumbakarna yang sedang bertapa
tidur, yaitu dengan cara mencabut bulu kuduk kakinya.
Usaha raksasa itu berhasil dengan terbangunnya Kumbakarna dari tidurnya. Setelah
bangun, Kumbakarna dijamu makanan yang banyak oleh raksasa yang membangunkannya
itu. Setelah selesai Kumbakarna makan dengan lahapnya semua makanan yang tersedia,
dia diberitahu tentang keadaan peperangan di negerinya yang telah menggugurkan Patih
Prahasta. Tanpa banyak berbicara Kumbakarna langsung menghadap kakaknya di istana.
Sekali lagi, Kumbakarna mengingatkan kakaknya, Rahwana, untuk menyerahkan saja
Dewi Sinta kepada Rama. Tindakan merebut Dewi Sinta dari tangan Rama jelas keliru dan
menyebabkan peperangan dan bencana ini. Peringatan Kumbakarna tidak dihiraukan oleh
Rahwana, justru pada saat itu Rahwana marah besar kepada Kumbakarna. Merasa tidak
berguna Kumbakarna mengingatkan kakaknya terhadap jalan kebenaran, tanpa meminta
izin terlebih dahulu kepada kakaknya, Kumbakarna berangkat ke medan peperangan. Di
dalam hatinya, Kumbakarna tidak membela keserakahan dan keangkaramurkaan Rahwana,
tetapi dia maju berperang karena membela negara, tanah air leluhurnya, dan sebagai warga
negara wajib hukumnya membela tanah airnya.
Di tengah medan peperangan, Kumbakarna berhadapan dengan beribu-ribu prajurit
kera dari kerajaan Pancawati. Tanpa mengenal takut terhadap banyaknyaknya musuh yang
menghadang, Kumbakarna tetap maju terus menggempur musuh-musuhnya. Korban dari
prajurit kera pun berjatuhan satu per satu hingga ribuan jumlahnya. Melihat pasukannya
banyak yang gugur di medan laga, Narpati Sugriwa pun maju sendirian menghadapi
kemarahan Kumbakarna. Namun, apa daya kekuatan Narpati Sugriwa kalah unggul dengan
kesaktian yang dimiliki Kumbakarna. Narpati Sugriwa tak mampu mengakhiri perlawanan
Kumbakarna yang dahsyat itu.
Akhirnya, Wibisana meminta kepada Prabu Rama untuk memerintahkan Raden
Laksmana maju ke medan laga menghadapi Kumbakarna. Tanpa banyak berbicara Raden
Laksmana segera berangkat ke medan laga menghadapi kemarahan Kumbakarna. Berkat
panah saktinya yang bernama Sarawara, Raden Laksmana mampu menghancurkan
mahkota Kumbakarna, memutuskan kedua tangannya, dan juga mematahkan kedua kaki
yang dimiliki oleh Kumbakarna. Tanpa mahkota, tangan, dan kaki lagi, Kumbakarna tetap
maju terus melawan musuh. Semua prajurit ketakutan atas sepak terjang Kumbakarna yang
demikian itu. Prabu Rama segera mengambil inisiatif dengan melepaskan panah saktinya
yang bernama Amogha Sanjata Guawijaya, ketika Kumbakarna sedang berteriak dengan
mulutnya yang terbuka lebar. Tepat mengenai telak pangkal lidahnya, Kumbakarna
kemudian menemui ajalnya. Kumbakarna gugur sebagai kusuma bangsa membela tanah
airnya, yakni negeri Alengka. Hal seperti inilah yang perlu dicontoh oleh semua prajurit
wira tamtama negeri ini.
Teladan berikutnya adalah tokoh Narpati Awangga, Basukarna atau Suryatmaja
namanya. Dia masih saudara seibu dengan para Pandawa karena anak Dewi Kunthi yang
tertua. Akan tetapi, dia kini menjadi bawahan atau mengabdi kepada raja Duryudhana dari
negeri Hastinapura. Basukarna terpilih menjadi panglima tertinggi bala tentara Korawa

5
dalam medan perang di padang Kurusetra, yakni perang Baratayudha. Tugas yang diemban
Basukarna adalah berperang melawan saudara kandungnya, yakni Raden Dananjaya atau
Raden Harjuna. Basukarna dengan senang hati menerima tugas itu karena diberi
kesempatan membalas budi kebaikan kepada Prabu Duryudhana. Oleh karena itu, dia
kerahkan segala kemampuannya untuk berperang tanding melawan adiknya. Namun, di
tengah medan peperangan itu Basukarna gugur kena panah sakti Harjuna tepat mengenai
lehernya. Basukarna memang kasatria hebat dan teguh janji.
Perang Baratayudha yang terjadi di padang Kurusetra sudah berjalan beberapa hari
lamanya. Kedua belah pihak, baik Pandawa maupun Kurawa, telah banyak kehilangan
prajurit dan panglima perangnya. Pada pihak Kurawa telah gugur senopati andalan Bisma,
Drona, dan beberapa raja yang telah membantunya. Prabu Duryudhana tertekan batinnya,
sedih, dan bingung memilih siapa lagi yang dapat dijadikan panglima perang melawan
kekuatan para Pandawa. Atas saran Patih Sengkuni, Prabu Duryudhana akhirnya menunjuk
Narpati Awangga, Prabu Basukarna, menjadi panglima perangnya menggantikan Bagawan
Drona yang telah gugur di medan laga. Narpati Basukarna sanggup menjadi panglima
perang karena merupakan wujud kesetiaan dan balas budinya kepada Kurawa yang telah
memberi kedudukan dan kehidupan kepadanya.
Sebelum berangkat ke medan peperangan, Narpati Basukarna meminta kepada
Prabu Duryudhana agar dirinya dapat memperoleh seorang sais kereta yang sepadan
dengan kedudukannya. Tentu saja permintaan itu segera dikabulkan oleh Prabu
Duryudhana. Akan tetapi, ketika Narpati Basukarna menunjuk Prabu Salya sebagai
saisnya, Prabu Duryudhana terkejut bukan kepalang bagaikan disambar petir di siang hari.
Prabu Salya adalah mertua Prabu Duryudhana dan sekaligus juga mertua Narpati
Basukarna. Mana mungkin seorang menantu berani meminta mertuanya menjadi seorang
sais kereta kendaraan perang menantu lainnya. Kebimbangan itu pun akhirnya
disampaikan kepada Prabu Salya. Ketika diminta hal itu, pada mulanya Prabu Salya
menolak karena merasa direndahkan oleh menantu-menantunya.
Perdebatan pun terjadi cukup lama antara Narpati Basukarna dengan Prabu Salya.
Narpati Basukarna telah ditunjuk oleh raja Hastina sebagai panglima perang tertinggi, tentu
saja merasa berhak menentukan siapa saja yang menjadi sais kereta perangnya itu. Mereka
semua tahu bahwa musuh utamanya yang akan dihadapi adalah Raden Harjuna yang maju
di medan perang dengan menggunakan sais kereta Prabu Kresna, raja Duwarawati. Narpati
Basukarna merasa pantas menandingi Raden Harjuna apabila sais keretanya adalah Prabu
Salya, yakni sais kereta perangnya sama-sama raja yang terhormat. Alasan Basukarna
masuk akal dan dapat diterima oleh Kurawa. Prabu Duryudhana segera memohon dengan
menghiba-hiba kepada Prabu Salya untuk dapat menjadi sais kereta perang panglima
Kurawa yang baru. Menjadi sais kereta perang seorang panglima bukan menghinakan diri
atau merendahkan derajat, tetapi justru menjunjung tinggi martabat dan kehormatan negeri
Hastina. Atas dasar alasan seperti itulah kemudian dengan berat hati Prabu Salya bersedia
menjadi sais kereta perang menantunya, Narpati Basukarna.
Pada mulanya Narpati Basukarna dalam medan perang Baratayudha itu dapat
menggugurkan Raden Gatotkaca, putra Bimasena. Atas kemenangannya itu Narpati
Basukarna membusungkan dada karena dielu-elukan oleh bala tentara Kurawa. Pihak
Pandawa yang kehilangan putra terbaiknya segera mengatur siasat untuk perang tanding.
Raden Harjuna harus maju perang tanding melawan Narpati Basukarna kakak sulungnya
yang tunggal ibu. Di tengah medan pertempuran keduanya saling mengerahkan tenaga dan
kemampuannya agar dapat memenangkan pertandingan hidup dan mati itu. Akhirnya,
Narpati Basukarna terkena panah Pasopati milik Raden Harjuna tepat mengenai lehernya.
Seketika itu pula gugurlah Narpati Basukarna di tengah medan pertempuran padang
Kurusetra. Prajurit-prajurit Pandawa kemudian bersorak-sorai, bergembira ria meluapkan

6
rasa kemenangannya atas gugurnya panglima perang Kurawa. Sebaliknya, para prajurit
Kurawa lari pontang-panting menyelamatkan diri. Para Kurawa merasa ketakutan atas
kehilangan panglima besar perangnya. Kemudian Raden Harjuna segera menghampiri jasat
kakak sulungnya yang seibu itu seraya memeluk tubuhnya. Basukarna gugur sebagai
ksatria kusuma bangsa bagi negara Hastina.
Pada bait terakhir Serat Tripama tersebut Sri Mangkunegara IV berusaha untuk
menghimbau kepada prajurit Mangkunegaran khususnya, masyarakat Jawa umumnya, dan
seluruh para wira tamtama yang ada di negeri ini, agar dapat menghargai jerih payah,
karya, dan jasa para pendahulunya sesuai dengan darma bakti serta pengorbanannya. Tiga
tokoh perumpamaan yang menjadi teladan para prajurit wira tamtama itu hendaknya
mampu diterapkan bagi prajurit Mangkunegaran, orang Jawa, dan implikasinya terhadap
para tentara dan bayangkara negera Republik Indonesia. Setiap prajurit harus mampu
memegang teguh janji dan kesanggupannya sebagai seorang ksatria utama. Oleh karena
itu, janganlah menyia-nyiakan jasa dan pengorbanan para pendahulu dan perintis negeri
ini. Merekalah yang telah membuat harum dan memartabatkan negeri kita.

4. Teladan Enam Ksatria Utama


Siapakah yang dapat kita jadikan teladan berikutnya dalam membangun karakter
bangsa? Dalam mitologi Jawa terdapat kepercayaan adanya ksatria piningit yang mampu
membebaskan dari kekuasaan zaman edan yang dahsyat mencekam? Dari mitos itu sudah
terlihat jelas dipahami, yakni masih berada dalam pingitan atau tersilam dalam hiruk pikuk
kekuasaan zaman edan. Seperti yang tersurat secara jelas dalam tembang Kalatidha karya
Ranggawarsita, bait kelima: Ujaring Panitisastra/ awawarah asung peling/ ing jaman
keneng musibat/ wong ambeg jatmika kontit/ “Menurut buku Panitisastra/ memberi ajaran
dan peringatan/ di dalam zaman yang penuh bencana/ bahwa orang berjiwa baik dan
bijaksana justru kalah berada di belakang”. Orang yang berjiwa baik, bijaksana, mulia, dan
luhur inilah justru kalah berada di belakang pada zaman edan. Mereka inilah sesungguhnya
disebut sebagai ksatria piningit, orang-orang ambeg jatmika kontit. Demikian halnya
Trihardana Somodiahardjo dalam tembang Waluyan tersebut mengungkapkan “Yen
adharma saya ndadra/ jagat rusak Ingsun rawuh andandani/ dharmaning catur bangsa
“Jikalau kerusakan semakin merajalela,/dunia rusak, Aku datang memperbaikinya/ darma
keempat bangsa tersebut.” Kata Ingsun “Aku” dan wong ambeg jatmika kontit “orang yang
bijaksana, baik, luhur, dan berjiwa mulia, tersilam oleh hiruk-ikuk zaman”. Jikalau
demikian, lalu siapakah ksatria peningit itu?
Tentang masa depan negera dan bangsa Indonesia diyakini oleh warga Pangestu
telah disabdakan oleh Sang Suksma Sejati melalui R. Soenarto Mertowardojo pada tahun
1932 sebagai berikut.
"Dalam waktu yang tidak lama lagi negara Indonesia akan merdeka
dengan dikawal oleh enam orang ksatria: Sasangka, Sardjono, Soedjono,
Soedibjo, Widjaja, dan Soetedjo. Diibaratkan orang mendirikan rumah,
berdirinya rumah 13 tahun sesudah Sabda ini, dan akan selesai
pembangunannya 50 tahun setelah Sabda. Kemudian 90 tahun setelah
Sabda, Indonesia akan sejajar dengan negara-negara lain di dunia, dan 150
tahun kemudian Indonesia akan menjadi pusat kebudayaan dunia."
(Dwija Wara, Maret 1976, No. 11 Tahun ke-19)
Berdasarkan Sabda Sang Suksma Sejati tersebut keenam ksatria sebagai pengawal
dan pengiring bangsa dan negara Republik Indonesia tersebut telah dijelaskan lebih lanjut
oleh Prof. Dr. Mayjen. Soemantri Hardjoprakoso, yang menggunakan nama samaran
Soewondo--dalam dunia pewayangan nama Soewondo adalah seorang Mahapatih Negeri

7
Maespati, Raden Soemantri--dalam bukunya Ulasan Kang Kelana (Cetakan pertama 1966,
cetakan kelima 1990). Inti penjelasan Soemantri Hardjoprakosa tersebut adalah demikian.

4.1 Teladan Ksatria Sasangka


Arti harfiah kata “Sasangka” adalah rembulan atau bulan, dan bahasa Inggrisnya
adalah moon. Sifat rembulan adalah memberi sinar terang atau pepadhang pada malam
hari, menyinari kegelapan dunia dengan cahayanya. Sifat sinar terang rembulan itu adalah
sejuk, tidak panas, dan dapat membuat ketentraman, ketenangan, dan kedamaian atau
suasana romantis. Pengertian sinar rembulan ini adalah kiasan atau metafora, yang arti
sebenarnya adalah Sinar Kebijaksanaan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan hadirnya ksatria
Sasangka ini kita diharapkan menjadi manusia religius atau manusia yang berketuhanan
Yang Maha Esa.
Dengan kata lain, kita semua hendaknya menjadi manusia Sasangka yang taat
(mituhu atau taqwa dari bahasa Arab: at-taqwá) patuh kepada segala perintah Allah dengan
menjauhi semua larangannya, dan beriman (pracaya) kepada Tuhan, dan sadar (eling,
zikir, doa, tafakur) kepada Tuhan dengan diwujudkan melaksanakan sembahyang, lalu
kemudian disucikan watak lima perkara (rila = ridho, narima = tawakal, sabar, temen =
jujur, dan budiluhur). Pada hakikatnya ksatria Sasangka telah memiliki semua watak
hastha sila (trisila dan pancasila). Hastha Sila adalah watak delapan perkara yang meliputi:
eling, pracaya, mituhu, rila, sabar, narima, temen, budi luhur. Kemudian, berjalan di Jalan
Rahayu yang meliputi: ngrasuk sejatine sahadat, manembah, budi darma, ngunjara hawa
nafsu, dan budi luhur; serta menjauhi Paliwara, larangan Tuhan yang ada lima perkara,
yaitu (1) aja manembah marang saliyane Allah, (2) dingati-ati bab sahwat, (3) aja
memangan panganan kang gawe rusaking raga lan pikiran, (4) aja nerak marang angger-
angering praja lan pranatane, dan (5) aja padha cecongkrahan.
Aplikasi tindakan ksatria Sasangka itu sesuai dengan Panca Marga, yaitu Marga
Pertama, “Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa”, dan Sila Pertama dan Kedua dari
Dasa Sila, “Berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa” dan “Berbakti kepada Utusan
Tuhan”. Jadi, seperti tulis Soemantri Hardjoprakosa dalam Ulasan Kang Kelana (1990: 3)
“Cita-citaku ialah supaya bangsaku sama berbakti dan sadar akan Tuntunan Tuhan Yang
Maha Esa, agar negara menjadi bahagia, tentram, makmur, adil, dan sejahtera.”

4.2 Teladan Ksatria Sarjana


Arti harfiah kata “Sarjana” adalah orang yang pandai, bijaksana, bijak bestari,
pakar ilmu pengetahuan, atau kaya ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan
kepandaian adalah pangkal kemajuan. Sekarang dengan perkembangan ilmu (sain, dari
bahasa Inggris: science) pengetahuan (knowledge), dan tekologi komunikasi dan informasi
canggih, seperti komputer, telepon seluler, dan internet, memacu kita semua untuk
berlomba-lomba mengejar prestasi di bidang keilmuan teknologi informasi dan komunikasi
canggih tersebut.
Harapan kita bangsa Indonesia dalam mengejar pendidikan tidak hanya berhenti
sampai tamat sekolah menengah saja (wajib belajar sembilan tahun), tetapi harus juga
berusaha menjadi sarjana (S-1), dan kalau kemampuan serta dana masih sanggup, bangsa
Indonesia pun harus berusaha dapat juga menjadi master (S-2) atau doktor (S-3) di sebuah
bidang ilmu, ataupun menjadi sarjana-sarjana pakar ilmu pengetahuan lainnya di bidang
masing-masing. Banyaknya perguruan tinggi dan sekolah-sekolah tinggi modern sejenis
lainnya, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri, mampu menggembleng
pemuda-pemuda Indonesia yang genius dan berlian. Hal ini tergantung kita-kita bagaimana
mewujudkan Indonesia yang cerdas dan kompetitif di segala capaian tataran ilmu
pengetahuan dan teknologi canggih lainnya.

8
Alur pemikirannya tentang ksatria utama ini adalah setelah menjadi manusia
religius atau menjadi ksatria Sasangka, yakni seorang ksatria yang berke-Tuhan-an yang
Maha Esa, kita juga memiliki kepandaian, kecerdasan, intelektual, atau otak yang berlian
sebagai ksatria Sarjana. Aplikasi dalam kehidupan ini sesuai dengan marga kedua Panca
Marga, “Pendidikan lahir-batin yang meliputi pendidikan pikiran/intelek, pendidikan
rohani, dan pendidikan jasmani.”; atau sila ketujuh, kedelapan, dan kesembilan Dasa Sila,
“Berbakti kepada Guru, Berbakti kepada pelajaran keutamaan, dan Kasih Sayang kepada
sesama hidup”; ataupun UUD negara Republik Indonesia yang berbunyi “Melaksanakan
pendidikan dan ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Kiranya seperti itulah gambaran cita-cita kastria Sarjana. Soemantri Hardjoprakosa
dalam Ulasan Kang Kelana (1990:3) menyatakan melalui ucapan kastria Sarjana: “Saya
ingin melihat bangsaku kaya akan ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan dan
kepandaian adalah pangkal kemajuan. Bangsa yang bodoh akan tetap berada di kegelapan
dan kesengsaraan.” Jadi, setelah menjadi manusia religius, kastria Sasangka, kita harus
memiliki kecerdasan otak, kaya ilmu pengetahuan dan teknologi canggih agar kita tidak
ketinggalan dengan bangsa lain, artinya menjadi pula kastria Sarjana yang kaya ilmu
pengetahuan dan teknologi canggih.
Selanjutnya Soemantri menyatakan: “Pepadang dari Sang Suksma Sejati itu tidak
pilih umur. Dan sekolahnya hanya SR saja. Pepadang itu tidak diterima dengan otak, Dik
Sarjana, tetapi di dalam hati yang suci. Pepadang tidak membebani otak, malahan
sebaliknya, menambah jernih otak dan kemampuan otak. Manusia yang menerima
pepadang dari Sang Suksma Sejati sekaligus menyadari dan mengerti sesuatu yang orang
lain, sekalipun pandai sekali, tidak dapat menangkapnya. Jadi, tingkatannya melebihi si
cerdas otak” (Ulasan Kang Kelana, 1990: 8)

4.3 Teladan Ksatria Sujana


Arti harfiah kata “Sujana” adalah waspada atau memiliki kemampuan dan
kecermatan membaca tanda-tanda zaman. Waspada dalam arti yang seluas-luasnya adalah
kita tidak boleh lengah, harus memiliki kehati-hatian, dalam bahasa Jawanya: wiweka.
Jadi, setelah menjadi manusia religius, ksatria Sasangka, dan berilmu, menjadi ksatria
Sarjana, kita juga harus memiliki kewaspadaan atau menjadi ksatria Sujana, sebagai sarana
menanggulangi bahaya, ancaman, tantangan, dan gangguan disintegrasi bangsa. Istilah
dalam mata-kuliah “Kewiraan” di berbagai perguruan tinggi adalah memiliki “wawasan
nusantara”. Dengan kewaspadaan tinggi dan kuat, kita tidak akan menjadi bangsa terjajah
oleh bangsa lain, tidak terbelenggu oleh modernisasi dunia, dan kita pun tidak akan terseret
dalam arus globalisasi dan pasar bebas, karena kita punya pegangan yang teguh, kokoh,
dan kuat, yakni Pancasila.
Aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan marga ketiga dari Panca
Marga, yaitu “Pergaulan yang baik”. Kita boleh bergaul dengan berbagai-bagai bangsa
yang ada di dunia ini, mencari kawan yang sebanyak-banyaknya, asalkan kita memiliki
kewaspadaan atau berhati-hati. Hal ini juga sesuai dengan Dasa Sila, yaitu sila ketiga
“Berbakti kepada kalifatullah (pembesar negara dan undang-undangnya)” dengan
kebijaksanaan dan kemursidan, juga sesuai dengan sila kesembilan “Kasih sayang kepada
sesama hidup” serta sila kesepuluh Dasa Sila, “Menghormati semua agama”. Semua
dilakukan dengan penuh kebijaksanaan, kewaspadaan, dan kehati-hatian sehingga tetap
diberi “wiweka”, eling lan waspada.
Terhadap cita-cita ksatria Sudjono, Soemantri Hardjoprakosa dalam buku Ulasan
Kang Kelana (1990:3) menyatakan demikian: “Untukku, bangsaku harus waspada dalam
menghadapi bangsa lain. Riwayat bangsa kita ini cukup menunjukkan bahwa kita tidak
boleh lebih percaya kepada bangsa lain daripada bangsanya sendiri. Sekalipun bangsa kita

9
ini terdiri dari beraneka suku, akan tetapi hubungan antara suku bangsa yang satu dengan
yang lain adalah lebih dekat daripada dengan bangsa lain.”

4.4 Teladan Ksatria Sudibja


Arti harfiah kata “Sudibja” adalah kekuatan atau kekokohan yang penuh
kesentosaan. Bangsa Indonesia ini memiliki ungkapan “Rukun agawe santosa, crah agawe
bubrah”, atau “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Persatuan dan kesatuan itu
membuat bangsa Indonesia menjadi kuat, teguh, kokoh, sentosa yang bulat, bersatu padu
mencapai cita-cita bangsa yang luhur, adil makmur hidup sejahtera lahir dan batin.
Untuk itu marilah kita semua mengggalang rasa bersatu, memperteguh persatuan
dan kesatuan bangsa. Ikrar Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, tetap berlaku, adalah
“Berbangsa Satu, Bernegara atau Bertanah Air Satu, dan Menjunjung bahasa Persatuan,
ialah Bahasa Indonesia”. Indonesia yang bersatu, bersama kita bisa, bergotong royong dan
berguyub rukun membangun negara dan bangsa. Pancasila dasar negara kita menyatakan
“Persatuan Indonesia”. Hidup kita pun Satu, berasal dari Allah Tuhan Yang Maha Esa dan
kembali pula kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa.
Soemantri Hardjoprakosa dalam Ulasan Kang Kelana menuliskannya: “Bagiku
yang penting adalah kesentosaan. Kita harus berani menyusun suatu kekuatan yang bulat.
Ah, kalau kekuatan sudah tercapai, mudah untuk mengejar cita-cita.”
Aplikasinya terhadap Panca Marga adalah termasuk marga keempat, yaitu
memupuk “Hobby yang baik”. Membiasakan diri untuk senantiasa bersatu padu; “Berat
sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Kalau derajad bangsa kita ini telah mencapai
tingkatan Sudibjo, berarti pula kita sudah berada dalam tataran Pangaribawa, memiliki
pengaruh yang kuat terhadap bangsa yang lain, segala perkataan dan tindakannya selalu
diperhatikan oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Apakah ini bukan suatu kebanggaan bagi
kita semua kalau hal itu suatu saat benar-benar tercapai?

4.5 Teladan Ksatria Wijaya


Makna yang terkandung dalam ksatria ini adalah kejayaan, kemenangan,
keberhasilan dan kesuksesan. Indonesia akan ditakuti oleh negara-negara lain dan akan
memberi ketenangan bagi penduduknya. Suatu saat negara-negara adidaya di dunia akan
takhluk menghormati negeri kita Indonesia, segan terhadap negeri ini karena berhasil
pembangunannya, baik fakta mental maupun fakta sosial. Bangsa yang telah berhasil
mencapai kejayaan karena keadaan negerinya subur, makmur, sejahtera, tenang, dan
damai, mencapai manusia Indonesia yang seutuhnya. Pada tataran ini kita telah mencapai
kemenangan, kejayaan, kemakmuran, dan keadilan di semua sektor atau bidang, baik
ekonomi, keamanan, sosial, politik, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Soemantri Hardjoprakosa dalam Ulasan Kang Kelana menuliskannya: “Negara
yang ditakuti oleh negara tetangganya dapat memberikan hidup yang tenang bagi
penduduknya. Negara yang kuat dapat memimpin negara-negara lain untuk menyusun
kebahagiaan hidup di seluruh dunia. Negara yang jaya menjadi pelindung bagi negara yang
lemah. Itulah cita-citaku.”
Aplikasinya cita-cita ksatria Wijaya dalam Panca Marga adalah sesuai dengan
marga kelima, yaitu “Cita-cita yang tinggi”, cita-cita yang mulia dan luhur. Kita sering
mendengar ucapan Bung Karno: “Gantungkan cita-citamu setinggi langit”. Setiap ksatria
hukumnya adalah wajib untuk bercita-cita tinggi setinggi langit sap tujuh. Seperti doa kita
setiap hari dan setiap waktu dalam “Pangesti Kesejahteraan Negara”, yaitu “Duh, Tuhan,
hamba mohon, semoga Tuan berkenan menurunkan sih anugerah kepada bangsa kami,
agar bangsa kami menjadi bangsa yang luhur budinya, luhur derajatnya, dan mulia
hidupnya.”

10
Kalau derajat bangsa kita sudah sampai pada tingkatan ksatria Wijaya, berarti kita
sudah berada dalam tataran Prabawa, memiliki wibawa yang luar biasa terhadap negara
lain di dunia. Derajat negara kita sudah tidak lagi tampak sunya-ruri, tidak lagi suwung
atau kosong, dan sepi-sunyi. Bukan lagi dianggap dari belahan dunia ketiga yang remeh
dan tak berarti, yang dimana orang Barat selalu memalingkan muka setiap bertemu dan
dipandang hanya sebelah mata, melainkan akan ditatap dengan takjub, dipandang dengan
segan, dan diikuti kebijak-kebijakan yang diputuskan. Baru ada lima ksatria saja derajat
negara kita sudah berwibawa luar biasa, sudah penuh keteladanan, dan sudah mencapai
kemakmuran dan kesejahteraan. Indonesia akan lebih menjadi negara yang bersinar,
berbinar-binar, atau mercusuar bila dilengkapi dengan kehadiran ksatria keenam, yakni
ksatria Sutedjo.

4.6 Teladan Ksatria Suteja


Makna yang terkandung dalam ksatria Suteja adalah cahaya yang berkilau-kilau
atau mercusuar. Setelah Indonesia menjadi negara yang dihormati di seluruh dunia, negara
lain segan, dan menjadi negara adidaya yang tidak tertandingi di dunia. Di sinilah kita
mencapai tataran Kemayan, artinya mampu mempengaruhi negara-negara lain di dunia.
Pada tataran ini kita mencapai “puncak kebudayaan dunia”, dan Sinar Ajaran Tuhan Yang
Maha Esa dengan kekayaan kearifan lokal (local wisdom)-nya memancar memenuhi dunia
seisinya. Indonesia menjadi negara pengayom, pelindung, bagi negara-negara yang lemah.
Soemantri Hardjoprakosa dalam Ulasan Kang Kelana menuliskannya: “Impianku
ialah supaya negaraku kelak dihormati di seluruh dunia, supaya bangsaku diterima sebagai
sahabat kehormatan di segenap negara. Supaya setiap bangsa, bila mengucapkan nama
negaraku, dihinggapi rasa hormat dan setia kawan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa
mewujudkan cita-citaku ini. Amin”.
Hal itu sesuai dengan doa kita setiap hari, yakni “Pangesti Kesejahteraan Negara”:
“Duh, Tuhan, hamba mohon semoga Tuan berkenan melimpahkan berkah serta lindungan
kepada negara kami Republik Indonesia, agar negara kami segera aman, tenteram, subur,
makmur, sejahtera, jaya, dan masyhur di dunia.”
Demikianlah keberdaraan ksatria piningit yang akan hadir sebagai Ratu Adil,
Mesias, atau Imam Mahdi sehingga mengembalikan derajat negara bangsa Indonesia
menjadi negara dan bangsa yang berwiba, berderajat mulia, luhur budi pekertinya,
dikagumi dan disegani kawan dan lawan, bangsa yang beradab, bermartabat, dan unggul
dari negara dan bangsa lainnya di dunia. Pernyataan Soemantri Hardjoprakosa melalui
tokoh Pemuda Kelana dalam bukunya Ulasan Kang Kelana (1990: 4) sebagai berikut.
“Itulah semua cita-cita yang luhur. Memang sudah seharusnya bahwa setiap ksatria
menumbuhkan dan mengejar cita-cita yang setinggi langit....Ksatria itu harapan bangsa.
Ksatria tanpa cita-cita luhur bagi negaranya adalah sampah bangsa. Setiap ksatria harus
ingin menjadi kusuma bangsa. Untuk menjadi kusuma bangsa tidak cukup kita mempunyai
cita-cita yang tinggi saja. Perlu ada cara pelaksanaan yang tertentu dalam mengejar cita-
cita yang membikin manusia menjadi kusuma bangsa. Pelaksanaan yang tertentu itu ialah
garis-garis yang telah disabdakan oleh Tuhan Yang Maha Esa melalui rasul-Nya”.

5. Simpulan
Dari uraian di atas jelas menunjukkan betapa kita rasakan bersama ketika bangsa
berada dalam kekuasaan zaman edan itu menjadikan derajat negara tampak sunya-ruri,
suwung, sepi melompong, dan tidak ada wibawanya sama sekali. Banyaknya bencana,
musibah, malapetaka, dan kerusakan yang lainnya menjadikan keprihatinan kita semua.
Namun, sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat tentunya kita semua tetap tidak
boleh putus asa, putus harapan, dan menyerah pada keadaan. Kita semua harus bangkit dan

11
bersemangat untuk berjuang, berusaha atau berikhtiar dengan sekuat tenaga dan
kemampuan agar terbebas dari belenggu kekuasaan zaman edan. Salah satu usaha itu
adalah memberikan teladan atau contoh dengan perbuatan keutamaan, kebajikan, dan
berbudi pekerti luhur atau mulia seperti teladan-teladan ksatria utama tersebut. Oleh karena
itu, kita harus senantiasa “eling lan waspada”, meningkatkan kebaktian, kesadaran,
keimanan, dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sambil menunggu kehadiran
ksatria Sasangka, Sarjana, Sujana, Sudibya, Wijaya, dan Suteja sebagai juru selamat, Ratu
Adil, Mesias, Juru Selamat, atau Imam Mahdi yang mengembalikan derajat negara
mencapai kemasyhuran, ambeg adil para marta berbudi bawa leksana “sungguh melimpah
keadilannya yang disertai dengan watak budi luhur dan berwibawa” sehingga membawa
bangsa dan negara ke peradaban dunia yang bermartabat dan berwibawa.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Benedict R.O’G. 2008. Mitologi dan Tolerensi Orang Jawa. Terjemahan
Revianto B. Santoso dan Luthfi Wulandari. Cetakan ketiga. Cetakan pertama 2003.
Yogyakarta: Jejak.

Bratakesawa (ed). 1959. Djangka Ranggawarsitan. Cetakan ketiga. Yogyakarta:


Kulawarga Bratakesawa.

Dananjaya, James. 1984. Folklore Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain. Jakarta:
Grafiti Press

Darmawi, Soesatya. 1982. "Negesi Jenenge Tembang Macapat" dalam Pustaka Candra
Nomor 16. Semarang: Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Daerah, Jawa Tengah.

de Jong, S. 1976. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Kanisius.

Hardijanti Rukmana, Siti (ed). 1987. Butir-Butir Budaya Jawa. Jakarta: Citra Lamtoro
Gung.

Hardjaprakosa, Soemantri. 1990. Ulasan Kang Kelana. Cetakan keenam. Jakarta: Pangestu
Pusat.

Hardjowirogo, Raden. 1952. Patokaning Nyekaraken. Jakarta: Balai Pustaka.

Herusatoto, Budiono. 1984. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.

Laginem, et al. 1996. Macapat Tardisional dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.

Mangunwijaya, Y.B. 1982. “Mitologi sebagai Legitimasi Para Dewa” dan “Mitologi, Epos,
dan Roman” dalam Sastra dan Religiositas. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

Mardiwarsito, L. et al. 1985. Kamus Praktis Jawa-Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan


dan Pengembangan Bahasa.

Mertowardojo, R. Soenarto. 1986. Sasangka Jati. Cetakan kesebelas. Cetakan pertama


1956. Jakarta: Pengurus Pangestu Pusat.

12
Nardiati, Sri. et al. 1993. Kamus Bahasa Jawa-Bahasa Indonesia I dan II. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Padmosoekotjo, S. 1958. Ngengrengan Kasusastraan Djawa I. Yogyakarta: Hien Hoo


Sing.

Peursen, C.A. Van. 1976. Strategi Kebudayaan. Terjemahan Dick Hartoko. Yogyakarta:
Kanisius.

Pour, Julius. 1995. “Kapan Zaman Edan-Nya Ronggowarsito?”. Kompas, Senin, 17 April
1995, hlm.12.

Rahardjo, R. 1974. Riwayat Hidup Bapak Paranpara Pangestu R. Soenarto Mertowardojo.


Cetakan Kedua. Jakarta: Pengurus Pangestu Pusat.

Riyadi, Slamet. 1989. Macapat dalam Bahasa Jawa. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.

Saputra, Karsono H. 1992. Pengantar Sekar Macapat. Jakarta: Fakultas Sastra UI.

Sawega, Ardus M. 2001. “Zaman ‘Kaliyuga’, ‘Klabendu’, atau Tafsir Baru...”. Kompas,
Jumat, 30 Maret, halaman 1 dan 11.

Siswokartono, W.E. Soetomo (2006). Sri Mangkunagara IV sebagai Penguasa dan


Pujangga. Semarang: CV Aneka Ilmu.

Soedjarwo. 2000. Hubungan Dunia Pewayangan dengan Alam Kadewatan dengan


Tripurusa. Jakarta: Pengurus Pangestu Pusat.

Subalidinata, R.S. 1968. Sarining Kasusastraan Djawa. Yogyakarta: Jaker.

Sudaryanto (editor). 2001. Kamus Pepak Bahasa Jawa. Yogyakarta: Badan Pekerja
Kongres Bahasa Jawa III.

Sudjiman, Panuti. 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.

Tawil, Mohammad (ed). 1998a. Catatan Wejangan R. Soenarto Mertowardojo. Bandung:


Pangestu Cabang Bandung.

Triyono, Adi (1989). “Memahami Ajaran Keprajuritan dalam Tripama dan Wirawiyata”.
Dalam Widyaparwa Nomor 32, Oktober 1989

Utorowati, Sri (2002). “Sisi Keteladanan Tokoh Wayang dalam Serat Tripama”. Dalam
Sujarwanto dan Jabrohim (editor). Bahasa dan Sastra Indonesia Menuju Peran
Transformasi Sosial Budaya Abad XXI. Yogyakarta: Panitia PIBSI XXIII
Universitas Ahmad Dahlan dan Gama Media.

Zaidan, Abdul Rozak, et al. 1991. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.

13

Anda mungkin juga menyukai