Puji Santosa
Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa
Badan Bahasa, Kementrian Pendidikan Nasional
Abstrak
1. Pendahuluan
Sejak dekade tahun 1990-an hingga kini bangsa Indonesia dilanda berbagai krisis
yang tidak kunjung selesai. Mula-mula berupa krisis moneter dengan semakin merosotnya
nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain, terutama dolar Amerika. Kemudian
meningkat pada krisis kepercayaan, krisis kepemimpinan, krisis politik, krisis keamanan,
dan tentu saja krisis kekuasaan dengan lengsernya Presiden Soeharto. Di berbagai sektor
terjadi kebangkrutan keimanan dengan ditandai oleh perilaku manusia yang mengarah
kepada brutalisme, sadisme, kanibalisme, penjarahan, perampokan, pembakaran,
pemerkosaan massal, dan pembunuhan yang disertai mutilasi. Para elite politik saling
menghujat tanpa etika. Nafsu setan sudah tidak terkendali. Emosi massa mudah dibakar.
Amarah mudah dibangkitkan. Ancaman disintegrasi bangsa semakin meluas di tengah-
1
tengah masyarakat kita dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru, berganti-ganti
pemerintahan yang tidak berumur lama, lepasnya Timor Timur dari pangkuan Ibu Pertiwi,
bergejolaknya rakyat Papua menuntut kemerdekaan, Aceh membara selepas DOM, Ambon
banjir darah dengan perang antaragama, serta Sambas, Ketapang, dan Sampit di
Kalimantan porak-poranda dengan perang antaretnis, Palu-Sulawesi bergejolak terus tiada
henti, dan banyak daerah yang menjadi ajang kerusuhan massa, teror bom, pembasmian
antaretnis, dan sebagainya dan sebagainya. Siapa pun yang hidup di tengah masyarakat
seperti itu akan merasa miris, cemas, was khawatir, atau rasa ketakutan luar biasa karena
keselamatan jiwanya terancam, dan hidupnya pun tidak menentu. Semua orang sudah
menjadi edan, benar-benar gila. Lalu, masih adakah harapan hari esok? Masih adakah
karakter bangsa yang lebih mulia, beradab, bermartabat, dan berdejat luhur?
2
melakukan korupsi, rebutan kekuasaan dan pengaruh, merasa benar sendiri,
penindasan kepada rakyat, banyak durjana, penjahat, dan asusila.
4) Banyak rakyat yang sedih, menderita, prihatin, sengsara, papa, miskin, dan
kelaparan sehingga banyak terjadi kesukaran hidup, terasa hidup semakin hari
bertambah hina dina dan amat suram tanda-tanda kehidupan di masa depan.
5) Banyak terjadi musibah, bencana, dan malapetaka yang datang bertubi-tubi silih
berganti tiada henti-hentinya, baik yang disebabkan oleh murkanya alam, seperti
banjir, tanah longsor, maupun oleh kelalain manusia yang rakus dan angkara.
6) Berbeda-beda, berjenis-jenis, dan banyak ragam perbuatan angkara murka orang
seluruh negara, mewabah kejahatan di mana-mana di segala bidang.
7) Banyak berita bohong, kabar angin, warta pepesan kosong, sulit dipercaya
kebenarannya karena banyak orang yang munafik, hanya pura-pura, penuh
fitnahan, dan tipu muslihat, hanya bermaksud mencari keuntungan pribadi.
8) Banyak pejabat yang menanam benih-benih kesalahan, keteledoran, ceroboh,
kebohongan publik, dan tidak hati-hati, disebabkan oleh lupa, alpa, dan khilaf
sehingga menjadi perkara hukum dan sebagainya.
9) Banyak orang yang berjiwa baik, cerdas, dan bijaksana, justru kalah dengan mereka
yang culas, kerdil, dan jahat. Itulah sebabnya orang yang baik-baik justru
tersisihkan dan berada di belakang atau tenggelam oleh hiruk-pukuk dunia yang
penuh angkara murka dan silau pesona duniawi.
10) Terjadi banyak peristiwa keanehan, ajaib, tidak masuk akal, banyak orang yang
stres dan putu asa, atau tidak bernalar sehingga serba sulit untuk bertindak.
Keadaan seperti itu menyebabkan orang-orang menjadi gila, edan, atau tidak ada
yang waras. Rumah-rumah sakit jiwa dipenuhi dengan pasien yang menderita
gangguan jiwanya.
Menghadapi zaman edan seperti itu membuat kita serba kesulitan menentukan
sikap. Apabila kita tidak mengikuti perilaku edan mereka, lama-kelamaan kita menjdi
bosan juga, tidak tahan akan penderitaan hidup. Namun, apabila kita tidak ikut serta
melakukan edan, rasa-rasanya dihantui oleh ketakutan tidak mendapatkan bagian dari
tahta, harta, dan wanita. Akibat perilaku edan-edanan itu, rakyatlah yang menderita
kelaparan, hingga hidup terasa menjadi “larang sandang, larang pangan, larang papan”
(serba mahal). Keadaan negara paceklik yang mengakibatkan mahalnya sembako. Namun,
apabila dirasa-rasakan semua kejadian atau peristiwa yang terjadi di dunia ini sudah
menjadi suratan takdir Tuhan. Tuhan berkehendak membabati tanaman-tanaman liar yang
tidak berguna dan kemudian menggantikannya dengan tanaman yang lebih indah berseri.
Berbahagialah mereka yang senantiasa sadar dan berbakti kepada Tuhan serta waspada
terhadap gejala perilaku edan. Meskipun mereka yang lupa segala-galanya mendapatkan
kue kekuasaan, harta, dan wanita, tetapi masih tetap lebih berbahagia bagi mereka yang
senantiasa sadar, berbakti, takwa, dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3
Sosok tokoh pertama yang menjadi teladan wira tamtama adalah Patih Suwanda.
Dia menjadi andalan Prabu Harjunasasrabahu di negeri Mahespati. Ketika masih di
pertapaan, dia bernama Bambang Sumantri. Oleh orang tuanya, Begawan Suwandagni,
Sumantri diminta untuk mengabdikan dirinya kepada Raja Mahespati, Prabu
Harjunasasrabahu. Pengabdian Sumantri lama-kelamaan diterima sebagai Patih dengan
berganti nama Suwanda. Pada suatu saat Patih Suwanda mendapatkan tugas meminang
putri Magada melalui sayembara yang diadakan oleh negeri itu. Dalam menjalankan tugas
Patih Suwanda dapat memenangkan sayembara, membawa Dewi Citrawati dan putri
domas, putri boyongan sebanyak 800 orang yang akan dipersembahkan kepada rajanya.
Sesampainya di Mahespati, Suwanda tampak pongah dan menuruti hawa nafsunya
untuk menantang raja. Suwanda tidak mau menyerahkan Dewi Citrawati dan putri
boyongan kepada raja Mahespati tersebut. Akibatnya, terjadilah perang tanding antara
Suwanda dengan Prabu Harjunasasrabahu. Ternyata sang raja lebih sakti dan lebih unggul
dari Patih Suwanda. Kekalahan Suwanda atas rajanya dapat diampuni asalkan mampu
memindahkan Taman Sriwedari ke Mahespati dalam keadaan utuh dan baik. Dengan berat
hati Suwanda menerima tugas itu. Berkat bantuan adiknya, Raden Sukrasana, Taman
Sriwedari itu dapat dipindahkan ke Mahespati tanpa cacat. Dewi Citrawati dan para putri
domas pun akhirnya bersenang-senang di taman tersebut. Pada saat mereka sedang
asyiknya bersenang-senang di taman itu, mereka melihat raksasa yang buruk rupa dan
menakutkan ada di dalam taman tersebut. Dewi Citrawati melaporkan hal itu kepada Prabu
Harjunasasrabahu. Kemudian sang raja memerintahkan Patih Suwanda untuk mengusir
raksasa itu dari Taman Sriwedari.
Suwanda sanggup menerima tugas itu sekalipun dengan berat hati. Suwanda tahu
bahwa raksasa buruk rupa yang menakutkan dan berada di Taman Sriwedari itu adalah
adiknya sendiri, Raden Sukrasana. Suwanda tidak mau terus terang kepada rajanya bahwa
raksasa buruk rupa itu adalah adiknya. Ada perasaan malu untuk mengakui Raden
Sukrasana itu sebagai adik kandungnya. Ketika diminta baik-baik untuk meninggalkan
Taman Sriwedari itu, Raden Sukrasana tidak bersedia hingga mengakibatkan Suwanda
marah. Tanpa disadarinya, Suwanda mengambil anak panah untuk menakut-nakuti adiknya
tersebut hingga terlepas anak panah itu dari busurnya menancap pada dada Sukrasana.
Sesal kemudian tidak ada berguna, Suwanda telah membunuh adiknya sendiri hanya demi
pengabdiannya kepada raja Mahespati.
Pada peristiwa yang lain terjadi ketika Prabu Harjunasasrabahu dengan Dewi
Citrawati dan delapan ratus putri selirnya sedang mandi bersama-sama di bengawan
Silugangga. Prabu Harjunasasrabahu membendung aliran sungai Silugangga dengan cara
triwikrama (mengubah wujud penampilan) sebagai raksasa besar pengganti bendungan
tersebut agar dapat dipergunakan oleh permaisuri dan selir-selirnya mandi bersama-sama.
Akibat bendungan itu, beberapa tempat mengalami banjir besar, salah satunya adalah
negeri Alengka. Raja Alengka pada saat itu adalah Rahwana atau Dasamuka, raksasa yang
berkepala sepuluh, kemudian menelusuri apa yang menyebabkan negerinya terkena banjir
besar. Setelah mengetahui bahwa banjir besar di negerinya itu akibat ulah raja Mahespati,
Rahwana pun marah dan memerintahkan pasukannya menyerbu negeri Mahespati. Patih
Suwanda yang berada di istana tampil sendirian menghadapi Rahwana dan bala tentaranya.
Dia tanpa terlebih dahulu melaporkan kepada rajanya, dengan alasan tidak mau
mengganggu sang raja yang sedang bersenang-senang dengan permaisuri dan selir-
selirnya. Dalam peperangan itulah akhirnya Patih Suwanda gugur karena kelengahannya.
Suwanda gugur karena digigit oleh Rahwana yang dikiranya sudah mati, padahal Rahwana
hanya berpura-pura mati.
Teladan berikutnya bagi para wira tamtama dalam Tripama adalah tokoh
Kumbakarna, seorang ksatria dari Pangleburgangsa, di negeri Alengka. Ketika terjadi
4
perang besar Alengka dengan prajurit Rama, Patih Prahasta yang menjadi handalan
kerajaan Alengka menghadapi bala tentara Rama pun gugur di medan laga. Rahwana yang
mendapat kabar itu termenung, bingung, dan bercampur sedih hingga lama tidak berbicara.
Setelah hilang kebingungannya, Rahwana menyuruh prajurit raksasa untuk pergi ke
ksatrian Pangleburgangsa. Pangleburgangsa adalah tempat tinggal Kumbakarna yang
tengah bertapa tidur. Rahwana meminta para raksasa itu membangunkan adiknya yang
sedang bertapa tidur. Segala upaya dilakukan oleh para raksasa untuk membangunkan
Kumbakarna, misalnya dengan berteriak sekeras-kerasnya dan memukul-mukul segala
bunyi-bunyian, tetap saja Kumbakarna tidur pulas. Ketika mereka hampir putus asa,
seorang raksasa menemukan cara tepat membangunkan Kumbakarna yang sedang bertapa
tidur, yaitu dengan cara mencabut bulu kuduk kakinya.
Usaha raksasa itu berhasil dengan terbangunnya Kumbakarna dari tidurnya. Setelah
bangun, Kumbakarna dijamu makanan yang banyak oleh raksasa yang membangunkannya
itu. Setelah selesai Kumbakarna makan dengan lahapnya semua makanan yang tersedia,
dia diberitahu tentang keadaan peperangan di negerinya yang telah menggugurkan Patih
Prahasta. Tanpa banyak berbicara Kumbakarna langsung menghadap kakaknya di istana.
Sekali lagi, Kumbakarna mengingatkan kakaknya, Rahwana, untuk menyerahkan saja
Dewi Sinta kepada Rama. Tindakan merebut Dewi Sinta dari tangan Rama jelas keliru dan
menyebabkan peperangan dan bencana ini. Peringatan Kumbakarna tidak dihiraukan oleh
Rahwana, justru pada saat itu Rahwana marah besar kepada Kumbakarna. Merasa tidak
berguna Kumbakarna mengingatkan kakaknya terhadap jalan kebenaran, tanpa meminta
izin terlebih dahulu kepada kakaknya, Kumbakarna berangkat ke medan peperangan. Di
dalam hatinya, Kumbakarna tidak membela keserakahan dan keangkaramurkaan Rahwana,
tetapi dia maju berperang karena membela negara, tanah air leluhurnya, dan sebagai warga
negara wajib hukumnya membela tanah airnya.
Di tengah medan peperangan, Kumbakarna berhadapan dengan beribu-ribu prajurit
kera dari kerajaan Pancawati. Tanpa mengenal takut terhadap banyaknyaknya musuh yang
menghadang, Kumbakarna tetap maju terus menggempur musuh-musuhnya. Korban dari
prajurit kera pun berjatuhan satu per satu hingga ribuan jumlahnya. Melihat pasukannya
banyak yang gugur di medan laga, Narpati Sugriwa pun maju sendirian menghadapi
kemarahan Kumbakarna. Namun, apa daya kekuatan Narpati Sugriwa kalah unggul dengan
kesaktian yang dimiliki Kumbakarna. Narpati Sugriwa tak mampu mengakhiri perlawanan
Kumbakarna yang dahsyat itu.
Akhirnya, Wibisana meminta kepada Prabu Rama untuk memerintahkan Raden
Laksmana maju ke medan laga menghadapi Kumbakarna. Tanpa banyak berbicara Raden
Laksmana segera berangkat ke medan laga menghadapi kemarahan Kumbakarna. Berkat
panah saktinya yang bernama Sarawara, Raden Laksmana mampu menghancurkan
mahkota Kumbakarna, memutuskan kedua tangannya, dan juga mematahkan kedua kaki
yang dimiliki oleh Kumbakarna. Tanpa mahkota, tangan, dan kaki lagi, Kumbakarna tetap
maju terus melawan musuh. Semua prajurit ketakutan atas sepak terjang Kumbakarna yang
demikian itu. Prabu Rama segera mengambil inisiatif dengan melepaskan panah saktinya
yang bernama Amogha Sanjata Guawijaya, ketika Kumbakarna sedang berteriak dengan
mulutnya yang terbuka lebar. Tepat mengenai telak pangkal lidahnya, Kumbakarna
kemudian menemui ajalnya. Kumbakarna gugur sebagai kusuma bangsa membela tanah
airnya, yakni negeri Alengka. Hal seperti inilah yang perlu dicontoh oleh semua prajurit
wira tamtama negeri ini.
Teladan berikutnya adalah tokoh Narpati Awangga, Basukarna atau Suryatmaja
namanya. Dia masih saudara seibu dengan para Pandawa karena anak Dewi Kunthi yang
tertua. Akan tetapi, dia kini menjadi bawahan atau mengabdi kepada raja Duryudhana dari
negeri Hastinapura. Basukarna terpilih menjadi panglima tertinggi bala tentara Korawa
5
dalam medan perang di padang Kurusetra, yakni perang Baratayudha. Tugas yang diemban
Basukarna adalah berperang melawan saudara kandungnya, yakni Raden Dananjaya atau
Raden Harjuna. Basukarna dengan senang hati menerima tugas itu karena diberi
kesempatan membalas budi kebaikan kepada Prabu Duryudhana. Oleh karena itu, dia
kerahkan segala kemampuannya untuk berperang tanding melawan adiknya. Namun, di
tengah medan peperangan itu Basukarna gugur kena panah sakti Harjuna tepat mengenai
lehernya. Basukarna memang kasatria hebat dan teguh janji.
Perang Baratayudha yang terjadi di padang Kurusetra sudah berjalan beberapa hari
lamanya. Kedua belah pihak, baik Pandawa maupun Kurawa, telah banyak kehilangan
prajurit dan panglima perangnya. Pada pihak Kurawa telah gugur senopati andalan Bisma,
Drona, dan beberapa raja yang telah membantunya. Prabu Duryudhana tertekan batinnya,
sedih, dan bingung memilih siapa lagi yang dapat dijadikan panglima perang melawan
kekuatan para Pandawa. Atas saran Patih Sengkuni, Prabu Duryudhana akhirnya menunjuk
Narpati Awangga, Prabu Basukarna, menjadi panglima perangnya menggantikan Bagawan
Drona yang telah gugur di medan laga. Narpati Basukarna sanggup menjadi panglima
perang karena merupakan wujud kesetiaan dan balas budinya kepada Kurawa yang telah
memberi kedudukan dan kehidupan kepadanya.
Sebelum berangkat ke medan peperangan, Narpati Basukarna meminta kepada
Prabu Duryudhana agar dirinya dapat memperoleh seorang sais kereta yang sepadan
dengan kedudukannya. Tentu saja permintaan itu segera dikabulkan oleh Prabu
Duryudhana. Akan tetapi, ketika Narpati Basukarna menunjuk Prabu Salya sebagai
saisnya, Prabu Duryudhana terkejut bukan kepalang bagaikan disambar petir di siang hari.
Prabu Salya adalah mertua Prabu Duryudhana dan sekaligus juga mertua Narpati
Basukarna. Mana mungkin seorang menantu berani meminta mertuanya menjadi seorang
sais kereta kendaraan perang menantu lainnya. Kebimbangan itu pun akhirnya
disampaikan kepada Prabu Salya. Ketika diminta hal itu, pada mulanya Prabu Salya
menolak karena merasa direndahkan oleh menantu-menantunya.
Perdebatan pun terjadi cukup lama antara Narpati Basukarna dengan Prabu Salya.
Narpati Basukarna telah ditunjuk oleh raja Hastina sebagai panglima perang tertinggi, tentu
saja merasa berhak menentukan siapa saja yang menjadi sais kereta perangnya itu. Mereka
semua tahu bahwa musuh utamanya yang akan dihadapi adalah Raden Harjuna yang maju
di medan perang dengan menggunakan sais kereta Prabu Kresna, raja Duwarawati. Narpati
Basukarna merasa pantas menandingi Raden Harjuna apabila sais keretanya adalah Prabu
Salya, yakni sais kereta perangnya sama-sama raja yang terhormat. Alasan Basukarna
masuk akal dan dapat diterima oleh Kurawa. Prabu Duryudhana segera memohon dengan
menghiba-hiba kepada Prabu Salya untuk dapat menjadi sais kereta perang panglima
Kurawa yang baru. Menjadi sais kereta perang seorang panglima bukan menghinakan diri
atau merendahkan derajat, tetapi justru menjunjung tinggi martabat dan kehormatan negeri
Hastina. Atas dasar alasan seperti itulah kemudian dengan berat hati Prabu Salya bersedia
menjadi sais kereta perang menantunya, Narpati Basukarna.
Pada mulanya Narpati Basukarna dalam medan perang Baratayudha itu dapat
menggugurkan Raden Gatotkaca, putra Bimasena. Atas kemenangannya itu Narpati
Basukarna membusungkan dada karena dielu-elukan oleh bala tentara Kurawa. Pihak
Pandawa yang kehilangan putra terbaiknya segera mengatur siasat untuk perang tanding.
Raden Harjuna harus maju perang tanding melawan Narpati Basukarna kakak sulungnya
yang tunggal ibu. Di tengah medan pertempuran keduanya saling mengerahkan tenaga dan
kemampuannya agar dapat memenangkan pertandingan hidup dan mati itu. Akhirnya,
Narpati Basukarna terkena panah Pasopati milik Raden Harjuna tepat mengenai lehernya.
Seketika itu pula gugurlah Narpati Basukarna di tengah medan pertempuran padang
Kurusetra. Prajurit-prajurit Pandawa kemudian bersorak-sorai, bergembira ria meluapkan
6
rasa kemenangannya atas gugurnya panglima perang Kurawa. Sebaliknya, para prajurit
Kurawa lari pontang-panting menyelamatkan diri. Para Kurawa merasa ketakutan atas
kehilangan panglima besar perangnya. Kemudian Raden Harjuna segera menghampiri jasat
kakak sulungnya yang seibu itu seraya memeluk tubuhnya. Basukarna gugur sebagai
ksatria kusuma bangsa bagi negara Hastina.
Pada bait terakhir Serat Tripama tersebut Sri Mangkunegara IV berusaha untuk
menghimbau kepada prajurit Mangkunegaran khususnya, masyarakat Jawa umumnya, dan
seluruh para wira tamtama yang ada di negeri ini, agar dapat menghargai jerih payah,
karya, dan jasa para pendahulunya sesuai dengan darma bakti serta pengorbanannya. Tiga
tokoh perumpamaan yang menjadi teladan para prajurit wira tamtama itu hendaknya
mampu diterapkan bagi prajurit Mangkunegaran, orang Jawa, dan implikasinya terhadap
para tentara dan bayangkara negera Republik Indonesia. Setiap prajurit harus mampu
memegang teguh janji dan kesanggupannya sebagai seorang ksatria utama. Oleh karena
itu, janganlah menyia-nyiakan jasa dan pengorbanan para pendahulu dan perintis negeri
ini. Merekalah yang telah membuat harum dan memartabatkan negeri kita.
7
Maespati, Raden Soemantri--dalam bukunya Ulasan Kang Kelana (Cetakan pertama 1966,
cetakan kelima 1990). Inti penjelasan Soemantri Hardjoprakosa tersebut adalah demikian.
8
Alur pemikirannya tentang ksatria utama ini adalah setelah menjadi manusia
religius atau menjadi ksatria Sasangka, yakni seorang ksatria yang berke-Tuhan-an yang
Maha Esa, kita juga memiliki kepandaian, kecerdasan, intelektual, atau otak yang berlian
sebagai ksatria Sarjana. Aplikasi dalam kehidupan ini sesuai dengan marga kedua Panca
Marga, “Pendidikan lahir-batin yang meliputi pendidikan pikiran/intelek, pendidikan
rohani, dan pendidikan jasmani.”; atau sila ketujuh, kedelapan, dan kesembilan Dasa Sila,
“Berbakti kepada Guru, Berbakti kepada pelajaran keutamaan, dan Kasih Sayang kepada
sesama hidup”; ataupun UUD negara Republik Indonesia yang berbunyi “Melaksanakan
pendidikan dan ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Kiranya seperti itulah gambaran cita-cita kastria Sarjana. Soemantri Hardjoprakosa
dalam Ulasan Kang Kelana (1990:3) menyatakan melalui ucapan kastria Sarjana: “Saya
ingin melihat bangsaku kaya akan ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan dan
kepandaian adalah pangkal kemajuan. Bangsa yang bodoh akan tetap berada di kegelapan
dan kesengsaraan.” Jadi, setelah menjadi manusia religius, kastria Sasangka, kita harus
memiliki kecerdasan otak, kaya ilmu pengetahuan dan teknologi canggih agar kita tidak
ketinggalan dengan bangsa lain, artinya menjadi pula kastria Sarjana yang kaya ilmu
pengetahuan dan teknologi canggih.
Selanjutnya Soemantri menyatakan: “Pepadang dari Sang Suksma Sejati itu tidak
pilih umur. Dan sekolahnya hanya SR saja. Pepadang itu tidak diterima dengan otak, Dik
Sarjana, tetapi di dalam hati yang suci. Pepadang tidak membebani otak, malahan
sebaliknya, menambah jernih otak dan kemampuan otak. Manusia yang menerima
pepadang dari Sang Suksma Sejati sekaligus menyadari dan mengerti sesuatu yang orang
lain, sekalipun pandai sekali, tidak dapat menangkapnya. Jadi, tingkatannya melebihi si
cerdas otak” (Ulasan Kang Kelana, 1990: 8)
9
ini terdiri dari beraneka suku, akan tetapi hubungan antara suku bangsa yang satu dengan
yang lain adalah lebih dekat daripada dengan bangsa lain.”
10
Kalau derajat bangsa kita sudah sampai pada tingkatan ksatria Wijaya, berarti kita
sudah berada dalam tataran Prabawa, memiliki wibawa yang luar biasa terhadap negara
lain di dunia. Derajat negara kita sudah tidak lagi tampak sunya-ruri, tidak lagi suwung
atau kosong, dan sepi-sunyi. Bukan lagi dianggap dari belahan dunia ketiga yang remeh
dan tak berarti, yang dimana orang Barat selalu memalingkan muka setiap bertemu dan
dipandang hanya sebelah mata, melainkan akan ditatap dengan takjub, dipandang dengan
segan, dan diikuti kebijak-kebijakan yang diputuskan. Baru ada lima ksatria saja derajat
negara kita sudah berwibawa luar biasa, sudah penuh keteladanan, dan sudah mencapai
kemakmuran dan kesejahteraan. Indonesia akan lebih menjadi negara yang bersinar,
berbinar-binar, atau mercusuar bila dilengkapi dengan kehadiran ksatria keenam, yakni
ksatria Sutedjo.
5. Simpulan
Dari uraian di atas jelas menunjukkan betapa kita rasakan bersama ketika bangsa
berada dalam kekuasaan zaman edan itu menjadikan derajat negara tampak sunya-ruri,
suwung, sepi melompong, dan tidak ada wibawanya sama sekali. Banyaknya bencana,
musibah, malapetaka, dan kerusakan yang lainnya menjadikan keprihatinan kita semua.
Namun, sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat tentunya kita semua tetap tidak
boleh putus asa, putus harapan, dan menyerah pada keadaan. Kita semua harus bangkit dan
11
bersemangat untuk berjuang, berusaha atau berikhtiar dengan sekuat tenaga dan
kemampuan agar terbebas dari belenggu kekuasaan zaman edan. Salah satu usaha itu
adalah memberikan teladan atau contoh dengan perbuatan keutamaan, kebajikan, dan
berbudi pekerti luhur atau mulia seperti teladan-teladan ksatria utama tersebut. Oleh karena
itu, kita harus senantiasa “eling lan waspada”, meningkatkan kebaktian, kesadaran,
keimanan, dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sambil menunggu kehadiran
ksatria Sasangka, Sarjana, Sujana, Sudibya, Wijaya, dan Suteja sebagai juru selamat, Ratu
Adil, Mesias, Juru Selamat, atau Imam Mahdi yang mengembalikan derajat negara
mencapai kemasyhuran, ambeg adil para marta berbudi bawa leksana “sungguh melimpah
keadilannya yang disertai dengan watak budi luhur dan berwibawa” sehingga membawa
bangsa dan negara ke peradaban dunia yang bermartabat dan berwibawa.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict R.O’G. 2008. Mitologi dan Tolerensi Orang Jawa. Terjemahan
Revianto B. Santoso dan Luthfi Wulandari. Cetakan ketiga. Cetakan pertama 2003.
Yogyakarta: Jejak.
Dananjaya, James. 1984. Folklore Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain. Jakarta:
Grafiti Press
Darmawi, Soesatya. 1982. "Negesi Jenenge Tembang Macapat" dalam Pustaka Candra
Nomor 16. Semarang: Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Daerah, Jawa Tengah.
de Jong, S. 1976. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Kanisius.
Hardijanti Rukmana, Siti (ed). 1987. Butir-Butir Budaya Jawa. Jakarta: Citra Lamtoro
Gung.
Hardjaprakosa, Soemantri. 1990. Ulasan Kang Kelana. Cetakan keenam. Jakarta: Pangestu
Pusat.
Laginem, et al. 1996. Macapat Tardisional dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
Mangunwijaya, Y.B. 1982. “Mitologi sebagai Legitimasi Para Dewa” dan “Mitologi, Epos,
dan Roman” dalam Sastra dan Religiositas. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
12
Nardiati, Sri. et al. 1993. Kamus Bahasa Jawa-Bahasa Indonesia I dan II. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Peursen, C.A. Van. 1976. Strategi Kebudayaan. Terjemahan Dick Hartoko. Yogyakarta:
Kanisius.
Pour, Julius. 1995. “Kapan Zaman Edan-Nya Ronggowarsito?”. Kompas, Senin, 17 April
1995, hlm.12.
Riyadi, Slamet. 1989. Macapat dalam Bahasa Jawa. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.
Saputra, Karsono H. 1992. Pengantar Sekar Macapat. Jakarta: Fakultas Sastra UI.
Sawega, Ardus M. 2001. “Zaman ‘Kaliyuga’, ‘Klabendu’, atau Tafsir Baru...”. Kompas,
Jumat, 30 Maret, halaman 1 dan 11.
Sudaryanto (editor). 2001. Kamus Pepak Bahasa Jawa. Yogyakarta: Badan Pekerja
Kongres Bahasa Jawa III.
Triyono, Adi (1989). “Memahami Ajaran Keprajuritan dalam Tripama dan Wirawiyata”.
Dalam Widyaparwa Nomor 32, Oktober 1989
Utorowati, Sri (2002). “Sisi Keteladanan Tokoh Wayang dalam Serat Tripama”. Dalam
Sujarwanto dan Jabrohim (editor). Bahasa dan Sastra Indonesia Menuju Peran
Transformasi Sosial Budaya Abad XXI. Yogyakarta: Panitia PIBSI XXIII
Universitas Ahmad Dahlan dan Gama Media.
Zaidan, Abdul Rozak, et al. 1991. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
13