Anda di halaman 1dari 15

BAB I PERIKATAN PADA

UMUMNYA

A. Istilah dan Pengertian Perikatan


Dalam bahasa Belanda, istilah perikatan dikenal
dengan istilah verbintennis. Istilah perikatan tersebut
lebih umum digunakan dalam literatur hukum di
Indonesia. Perikatan diartikan sebagai sesuatu yang
mengikat orang yang satu terhadap yang lain. Namun
sebagaimana telah dimaklumi bahwa Buku III
KUHPerdata tidak hanya mengatur mengenai
verbintennisenrecht, tetapi terdapat juga istilah lain,
yaitu overeenskomst.
Hukum Perikatan diatur dalam Buku III
KUHPerdata yang memuat asas-asas umum dalam empat
bab (titel) dan ketentuan-ketentuan khusus dalam lima
belas bab.1 Buku III KUHPerdata berjudul van
verbintennissen. Istilah verbintenis dalam KUHPerdata
merupakan salinan istilah obligation dalam Code Civil
Perancis, istilah tersebut diambil dari hukum Romawi
yang terkenal dengan istilah obligation. 2
Istilah verbintenis dalam KUHPerdata ternyata
diterjemahkan berbeda-beda dalam kepustakaan hukum
Indonesia. Achmad Ihsan menterjemahkan dengan istilah
perutangan.3 R. Subekti menterjemahkan dengan istilah
perjanjian,4 dan Sri Soedewi M. Sofwan menterjemahkan
dengan istilah perikatan.5 Sekalipun masing-masing ahli
1
R.M. Suryodiningrat, Asas-asas Hukum Perikatan, Tarsito,
Bandung, 1985, hlm.11.
2
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Perikatan, Bina Ilmu,
Surabaya, 1979, hlm. 10.
3
Achmad Ihsan dalam Riduan Sjahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas
Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 195.
4
Ibid.
5
Ny. Sri Soedewi M. Sofwan, Hukum Perutangan, Terjemahan
Verbintenissenrecht Bagian dari Inleiding Nederlands Burgerlijk Recht
oleh Mr. Dr. HFA Vollmar, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum UGM,
Yogyakarta, 1975, hlm. 37.

1
menyertakan agumentasi dalam menerjemahkan istilah-
istilah tersebut, akan tetapi akhirnya penerjemahan
suatu istilah dari bahasa asing tergantung pada
masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan. Pada
saat ini terjemahan yang sudah memasyarakat adalah
perikatan untuk terjemahan verbintenis. 6
Guna menentukan istilah apa yang paling tepat
untuk digunakan dalam mengartikan istilah “perikatan”,
maka perlu kiranya mengetahui makna terdalam dari arti
istilah masing-masing. Verbintenis berasal dari kata kerja
verbinden, yang artinya mengikat. Jadi dalam hal ini
istilah verbintenis menunjuk kepada adanya “ikatan” atau
“hubungan”, maka hal ini dapat dikatakan sesuai dengan
definisi verbintenis sebagai suatu hubungan hukum.
Atas pertimbangan tersebut, maka istilah
verbintenis lebih tepat diartika sebagai istilah
“perkatan”, sedangkan untuk istilah overeenkomst
berasal dari kata kerja overeenkomen yang artinya
“setuju” atau “sepakat”. Jadi overeenkomst megandung
kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang
dianut oleh BW. Oleh karena itu, istilah terjemahannya
pun harus dapat mencerminkan asas kata sepakat
tersebut.
Istilah “perikatan” sudah tepat sekali untuk
melukiskan suatu pengertian yang sama yang
dimaksudkan verbintenis dalam bahasa belanda, yaitu
suatu hubungan hukum antara pihak yang isinya adalah
hak dan kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Pengertian perikatan tidak dapat ditemukan dalam
Buku III BW, sekalipun sudah jelas tertera di dalam Buku
III BW mengatur tentang perikatan. Namun pada Buku
III BW tidak dapat ditemukan dalam satu pasal pun yang
memberikan arti mengenai perikatan itu sendiri.
Sekalipun pengertian perikatan tidak dapat ditemukan
dalam Buku III BW, tetapi pengertian perikatan diberikan
oleh ilmu pengetahuan Hukum Perdata. Perikatan terjadi
karena adanya hubungan diantara dua pihak atau lebih
mengenai suatu obyek yang ditentukan bersama.

6
R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum perikatan, Putra Abardin,
Bandung, 1999, hlm. 1.

2
Menurut ilmu hukum, dianut rumusan bahwa perikatan
adalah sebagai berikut :7
“Perikatan adalah hubungan yang terjadi antara dua
orang atau lebih yang terletak dalam lapangan harta
kekayaan, yaitu pihak yang satu berhak atas
prestasi dan pihak yang lain berkewajiban
memenuhi prestasi tersebut”.
Pengertian yang sama dikemukakan oleh Pittlo
sebagai berikut :8
“perikatan adalah suatu hubungan hukum yang
bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih
atas mana pihak yang satu berhak (dalam hal ini
pihak kreditur) dan pihak yang lain berkewajiban
(dalam hal ini debitur) atas suatu prestasi”.
Sementara itu, Hofmann mengartikan perikatan
sebagai berikut :9
“Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara
sejumlah orang yang terbatas pada subyek hukum
dimana sehubungan dengan hal ini seseorang atau
beberapa orang daripadanya mengikatkan diri
untuk bersikap menurut cara-cara yang ditentukan
terhadap pihak lain atas sikap yang demikian itu”.
Selanjutnya, Purwahadi Patrik menyatakan :10
“Perikatan adalah suatu hubungan (mengenai
kekayaan harta benda) antara dua orang, yang
memberi hak kepada pihak yang satu untuk
menuntut suatu barang tertentu atau hal tertentu
dari yang lainnya, sedangkan phak yang lainnya
diwajibkan untuk memenuhi tuntutan tersebut”.
Pendapat serupa dikemukakan oleh Riduan Syahrani
menyatakan :11

7
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum
Perikatan dengan Penjelasannya, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 1.
8
Pittlo, Aspek-aspek Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1995, hlm.
50.
9
L.C. Hofmann, Het Nederland Verbintenissenrecht, Eerstegeduete
Wolter Noordh Off, Nv. Graningen, 1998, hlm. 3.
10
Pittlo, Op.Cit., hlm. 122-123.
11
Riduan Syahrani,Op.Cit., hlm. 196.

3
“Perikatan adalah hubungan hukum antara dua
pihak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana
pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi dan
pihak lain (debitur) berkewajiban memenuhi
prestasi tersebut”.
Pengertian perikatan yang lebih dikemukakan oleh
R. Setiawan sebagai berikut :
“Perikatan adalah suatu hubungan hukum, yang
artinya hubungan yang diatur dan diakui oleh
hukum. Hubungan hukum ini perlu dibedakan
dengan hubungan-hubungan yang terjadi dalam
pergaulan hidup berdasarkan kesopanan, kepatutan
dan kesusilaan. Pengingkaran terhadap hubungan-
hubungan semacam itu, tidak akan menimbulkan
akibat hukum”.12
Mengkritisi beberapa pengertian perikatan di atas,
keseluruhan pengertian tersebut mengindikasikan bahwa
pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu
pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat
dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran
kita. Untuk mengkonkritkan pengertian perikatan yang
abstrak, maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh
karena itu, hubungan antara perikatan dengan perjanjian
adalah bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu
perjanjian.
Berdasarkan beberapa pengertian perikatan di atas,
dapat diuraikan lebih unsur-unsur yang terdapat dalam
perikatan sebagai berikut :
1. Hubungan Hukum
Hubungan hukum adalah hubungan yang
didalamnya meletakkan hak pada satu pihak dan
meletakkan kewajiban pada pihak lain. 13 Contoh : A
berjanji menjual sepeda motor kepada B. Akbat dari
janji itu, maka A wajib menyerahkan sepeda motor
kepada B dan berhak menuntut harganya, sedangkan
B wajib menyerahkan harga itu dan berhak untuk
menutut penyerahan sepeda motor tersebut.

12
R. Setiawan, Pokok...Op.Cit., hlm. 3.
13
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata...Op.Cit., hlm. 2.

4
Apabila salah satu pihak melakukan
pelanggaran, maka hukum akan memaksakan agar
hubungan tersebut harus dipenuhi. Akan tetapi tidak
semua hubungan hukum dapat disebutkan
perikatan.Contoh : A berjanji mengajak B nonton
bioskop, namun A tidak menepati janjinya. A berjanji
untuk kuliah bersama B, namun A tidak menepati
janjinya. Suatu janji untuk bersama-sama pergi
nonton ke Bioskop aau pergi kuliah bersama tidak
melahirkan perikatan, sebab janji tersebut tidak
mempunyai arti hukum. Janji-janji yang demikian
termasuk dalam lapangan moral, dimana tidak
dipenuhi prestasi akan menimbulkan reaksi dari orang
lain. Jadi hubungan yang berada di luar lingkungan
hukum bukan merupakan perikatan.
2. Kekayaan
Hukum Perikatan merupakan bagian dari hukum
harta kekayaan (vermogensrecht) dan bagian lain dari
hukum harta kekayaan adalah Hukum benda. Melalui
benda, para subyek hukum dapat melakukan
hubungan hukum, misalnya : membuat perjanjian jual
beli, sewa menyewa, menjaminkan dan sebagainya.
Oleh karena itu, dalam siatem hukum suatu negara,
persoalan benda mendapat pengaturan tersendiri
yang disesuaikan dengan budaya hukumnya.
Pengaturan benda dalam KUHPerdata pada
prinsipnya memuat pengertian benda, jenis-jenis
benda dan jenis-jenis hak kebendaan. KUHPerdata
mengenal hak kebendaan yang diistilahkan dengan
zakelijkrecht dengan kata dasarnya zaak. Kata zaak
dipakai dalam 2 (dua) arti, yaitu barang yang
berwujud dan bagian daripada harta kekayaan.
Namun disisi lain kata zaak tidak berarti benda, tetapi
juga dipakai dalam arti yang lain lagi, yaitu :
perbuatan hukum (Pasal 1792 KUHPerdata),
kepentingan (Pasal 1354 KUHPerdata) dan kenyataan
hukum (Pasal 1263 KUHPerdata).14
Secara yuridis yang diartikan dengan benda
(zaak) adalah segala sesuatu yang dapat menjadi
14
Sri Soedewi Masjchoem Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda,
Liberty, Yogyakarta, 2004, hlm. 15.

5
obyek hak milik (Pasal 499 KUHPerdata). Pengertian
zaak tersebut kurang memberikan kepastian hukum,
karena pembentuk undang-undang mencantumkan
kata dapat.15 Konsekuensi dari penggunaan kata
dapat dalam Pasal 499 KUHPerdata tersebut
menunjukkan bahwa pengertian ini membuka peluang
besar akan munculnya hak-hak baru yang tidak diatur
jelas dalam KUHPerdata. Hal ini berarti masih ada
keraguan untuk menetapkan pengertian benda,
artinya masih terdapat kemungkinan dari hal-hal yang
sebelumnya bukan benda dan di masa yang akan
datang dapat dikatakan sebagai benda, seperti aliran
listrik.16
Untuk menentukan bahwa suatu hubungan itu
merupakan perikatan, pada mulanya para ahli
menggunakan ukuran dapat “dinilai dengan uang”.
Suatu hubungan dianggap dapat dinilai dengan uang,
jika kerugian yang diderita seseorang dapat dinilai
dengan uang. Akan tetapi nyatanya ukuran tersebut
tidak dapat memberikan pembatasan, karena dalam
kehidupan bermasyarakat sering kali terhadap
hubungan-hubungan yang sulit untuk dinilai dengan
uang, misalnya cacat badaniah akibat perbuatan
seseorang. Jadi kriteria “dapat dinilai dengan uang”
tidak lagi dperguanakan sebagai suatu keriteria untuk
menentukan adanya suatu perikatan, meskipun ukurn
tersebut sudah ditinggalkan, akan tetapi bukan
berarti bahwa “dapat dinilau dengan uang”adalah
tidak relevan, karena setiap perbuatan hukum yang
dapat dinilai dengan uang selalu merupakan
perikatan.17 Sekalipun suatu hubungan hukum itu
tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi kalau
masyarakat atau rasa keadilan menghendaki agar
suatu hubungan itu diberi akibat hukum, maka
hukumpun akan melekatkan akibat hukum pada
hubungan tadi sebagai suatu perikatan.18

15
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia: Suatu Kebutuhan yang
Didambakan, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 139.
16
Ibid.
17
R. Setiawan, Pokok...Op.Cit., hlm. 3.
18
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 3.

6
3. Pihak-pihak
Para pihak pada suatu perikatan disebut subyek-
subyek perikatan, yaitu kreditur yang berhak dan
debitur yang berkewajiban atas prestasi. 19 Kreditur
biasanya disebut pihak yang aktif, sedangkan debitur
biasanya pihak yang pasif. Sebagai pihak yang aktif,
kreditur dapat melakukan tindakan-tindakan tertentu
terhadap debitur yang pasif yang tidak mau
memenuhi kewajibannya.20
Tindakan-tindakan kreditur dapat berupa
memberi peringatan-peringatan, menggugat di muka
pengadilan dan sebagainya. Debitur harus selalu
dikenal atau diketahui, hal ini penting karena
berkaitan dalam hal untuk menuntut pemenuhan
prestasi. Pada setiap perikatan sekurang-kurangnya
harus ada satu orang kreditur dan sekurang-
kurangnya harus ada satu orang debitur. Hal ini tidak
menutup kemungkinan dalam suatu perikatan itu
terdapat beberapa orang kreditur dan beberapa orang
debitur.
4. Prestasi
Obyek dari perikatan yang merupakan hak
debitur dan kewajiban debitur biasanya disebut
prestasi. Wujud dari prestasi adalah memberikan
sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
(Pasal 1234 KUHPerdata). Pada perikatan untuk
memberikan sesuatu prestasinya berupa
menyerahkan sesuatu barang atau berkewajiban
menyerahkan barangnya atau orang yang
menyewakan berkewajiban memberikan kenikmatan
atas barang yang disewakan. Pada perikatan berbuat
sesuatu adalah setiap prestasi untuk melakukan
sesuatu yang bukan berupa memberikan sesuatu,
misalnya : pelukis, penyanyi, penari dan lain-lain.
Pada perikatan tidak berbuat sesuatu yaitu untuk
tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah
dijanjikan. Misalnya : tidak mendirikan bangunan di
tanah orang lain, tidak membuat bunyi yang bising

19
Ibid., hlm. 5.
20
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata...Op.Cit., hlm. 3.

7
yang dapat menganggu ketenangan orang lain, dan
lain-lain.

B. Schuld dan Haftung


Pada setiap perikatan selalu terdapat dua pihak,
yaitu kreditur pihak yang aktif dan debitur pihak yang
pasif. Pada debitur terdapat dua unsur, yaitu schuld dan
haftung. Schuld adalah utang debitur kepada kreditur.
Setiap debitur mempunyai kewajiban menyerahkan
prestasi kepada kreditur karena itu debitur mempunyai
kewajiban untuk membayar utang, sedangkan haftung
adalah harta kekayaan debitur yang
dpertanggungjawabkan bagi pelunasan utang debitur
tersebut.21 Debitur itu berkewajiban untuk membiarkan
harta kekayaannya diambil oleh kreditur sebanyak utang
debitur, guna pelunasan utang tad, apabila debitur tidak
memenuhi kewajibannya membayar utang tersebut. 22
Setiap kreditur mempunyai piutang terhadap debitur.
Untuk itu, krediturmempunyai hak menagih piutang
tersebut. Di dalam ilmu pengetahuan hukum Perdata,
disamping hak menagih (vorderingerecht), apabila
debitur tidak memenuhi kewajiban membayar utangnya,
maka kreditur mempunyai hak menagih kekayaan debitur
sebear piutangnya pada debitur itu (verhaalarecht).
Schuld dan haftung saling bergantungan erat satu sama
lain. Sebagai contoh : A berhutang pada B dan karena A
tidak mampu membayar utangnya, maka kekayaan A
dilelang atau dieksekusi untuk dipergunakan bagi
pelunasan hutangnya.
Asas bahwa kekayaan debitur dipertanggungjawabkan
bagi pelunasan utang-utangnya tercantum dalam Pasal
1131 KUHPerdata. Baik undang-undang maupun para
pihak dapat menyimpang dari asas tersebut, yaitu antara
lain dalam hal sebagai berikut :23
1. Schuld tanpa Haftung
Hal ini dapat dijumpai pada perikatan alam
(natturlijke verbintenis). Dalam perikatan alam

21
R. Setiawan, Pokok-pokok...Op.Cit., hlm. 7.
22
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi...Op.Cit., hlm. 8.
23
R. Setiawan, Pokok...Op.Cit., hlm. 7-8.

8
sekalipun debitur mempunyai utang (schuld) kepada
kreditur, amun jika deitur tidak memenuhi
kewajibannya kreditur tidak dapat menuntut
pemenuhannya. Sebagai contoh dapat dikemuakkan
utang yang timbul dari perjudian. Sebaliknya jika
debitur memenuhi prestasinya, maka ia tidak dapat
menuntut kembali apa yang ia telah bayarkan.
2. Schuld dengan Haftung Terbatas
Dalam hal ini debitur tidak bertanggungjawab dengan
seluruh harta kekayaannya, akan tetapi terbatas
sampai jumlah tertentu atau atas barang tertentu.
Contoh : ahli waris yang menerima warisan dengan
hak pendaftaran berkewajiban untuk membayar
shculd daripada pewaris sampai sejumlah harta
kekayaan pewaris yang diterima oleh ahli waris
tersebut.
3. Haftung dengan Schuld pada Orang Lain
Jika pihak ketiga menyerahkan barangnya untuk
dipergunakan sebagai jaminan oleh debitur kepada
kreditur, maka walaupun dalam hal ini pihak ketiga
tidak mempunyai utang kepada kreditur, akan tetapi
ia bertanggungjawab atas utang debitur dengan
barang yang dipakai sebagai jaminan.

C. Sumber Hukum Perikatan


Sumber pokok dari perikatan adalah perjanjian dan
undang-undang dan sumber dari undang-undang dapat
dibagi lagi menjadi undang-undang karena perbuatan
manusia dan undang-undang saja, sedangkan sumber
dari undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi
menjadi perbuatan yang melawan hukum dan perbuatan
yang menurut hukum.24
Pasal pertama dari Buku III KUHPerdata
menyebutkan tentang terjadinya perikatan-perikatan dan
menegaskan bahwa perikatan-perikatan timbul dari
perjanjian atau undang-undang. Pasal 1233 KUHPerdata

24
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1995, hlm. 1-4.

9
menyatakan : “Tiap-iap perikatan dilahirkan, baik karena
persetujuan, baik karena undang-undang”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat pula
dikatakan bahwa sumber perikatan ada 2 (dua) yaitu
perikatan yang bersumber dari perjanjian dan perikatan
yang bersumber dari undang-undang.
Beberapa ahli hukum menegaskan bahwa sumber
perikatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1233
KUHPerdata kurang lengkap. Hal ini dsebabkan masih
banyak lgi sumber perikatan lainnya, seperti : dari ilmu
pengetahuan, hukum tidak tertulis dan yurisprudensi
(keputusan hakim).25
Disamping itu, kedudukan hukum perikatan sendiri
dala hal ini sebagai pelengkap yang merupakan
peraturan umum artinya bahwa setiap orang bebas untuk
mengadakan perjanjian dengan pihak manapun dan
bebas untuk menentukan bentuk atau isi perjanjian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi
menjadi undang-undang saja dan undang-undang karena
perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352
KUHPerdata yang menyatakan :
“Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang,
timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen)
atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan
orang (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)”.
Perikatan yang timbul dari undang-undang saja
adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III
KUHPerdata, yaitu yang ada dalam pasal 104
KUHPerdata mengenai kewajiban alimentasi antara
orang tua dan anak dan yang lainnya dalam Pasal 625
KUHPerdata mengenai hukum tetangga, yaitu hak dan
kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang
berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan
yang telah dijelaskan di atas, terdapat pula sumber-
sumber lain, yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan
fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio
naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan
25
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata...Op.Cit., hlm. 10.

10
hakim. Berdasarkn keadilan (billijkheid), maka hal-hal
tersebut termasuk sebagai sumber-sumber perikatan,
sedangkan perikatan yang bersumber dari undang-
undang karena perbuatan manusia dibagi lagi menjadi 2
(dua) bagian, yaitu perbuatan yang sesuai dengan hukum
(rechtsmatige), terdapat dalam Pasal 1354 dan Pasal
1359 KUHPerdata, dan perbuatan yang melawan hukum
(onrechtsmatigedaad) terdapat dalam pasal 1395
KUHPerdata.

D. Tempat Pengaturan Hukum Perikatan


Hukum perikatan diatur dalam Buku III KUPerdata,
terdiri atas : 18 Bab dan 631 Pasal. Tiap-tiap bab dibagi
menjadi bagian-bagian, yaitu ketentuan-ketentuan uum
dan ketentuan-ketentuan khusus. Ketentuan-ketentuan
umum diatur dalam Bab I, Bab II, Bab III (hanya Pasal
1352dan Pasal 1353 KUHPerdata) dan Bab IV, sedankan
ketentuan-ketentuan khusus diatur dalam Bab III (kecuali
Pasal 1352 dan Pasal 1353 KUHPerdata)dan Bab V
sampai Bab XVIII. Ketentuan-ketentuan khusus ini
memuat tentang perikatan atau perjanjian bernama,
termasuk dalam ketentuan umum, yaitu :
1. Bab I mengatur tentang perikatan pada umumnya;
2. Bab2 mengatur tentang perikatan-perikatan yang
dilahirkan dari perjanjian;
3. Bab III mengatur tentang perikatan-perikatan yang
dilahirkan dari undang-undang;
4. Bab IV mengatur tentang hapusnya perikatan.
Bagian khusus adalah perjanjian-perjanjian khusus
atau perjanjian-perjanjian bernama yang telah diatur
dalam KUHPerdata dan KUHD. Hubungan antara
KUHPerdata dan KUHD dapat diketahui dalam Pasal 1
KUHD. KUHD mengatur perjanjian-perjanjian khusus
yang lebih modern yan gbelum ada pada zaman romawi
dulu, karena adanya pengarh hubungan perdagangan
Internasional yang lebih efektif.
Bagian umum tersebut di atas, merupakan asas-
asasa dari hukum perikatan, sedangkan bagian khusus
mengatur lebih lanjut dri asasa-asas ini untuk peristiwa-

11
perisiwa khusus. Hal-hal yang diatur dalam Buku III
KUHPerdata adalah sebagai berikut :
1. Perikatan pada umumnya (Pasal 1233 sampai dengan
Pasal 1312 KUHPerdata). Hal-hal yang diatur
meliputi : sumber perikatan, prestasi, penggantian
biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya
perikatan dan jenis-jenis perikatan.
2. Perikatan yang dilahirkan dari perjanjian (Pasal 1313
sampai dengan Pasal 1351 KUHPerdata). Hal-hal yang
diatur meliputi : ketentuan umum, syarat-syarat
sahnya perjanjian, akibat perjanjian, dan penafsiran
perjanjian.
3. Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang (Pasal
1352 sampai dengan pasal 1380 KUHerdata).
Perikatan yang dialhirkan dari undang-undang dibagi
menjadi 2 (dua) bagian, yaitu karea undang-undang
saja dan unang-undang karena perbuatan manusia.
Perbuatan manusia ini dapat dibedakan menjadi 2
(dua) bagian, yaitu perbuatan sesuai dengan hukum
dan perbuatan melawan hukum.
4. Hapusnya perikatan (Pasal 1381 sampai dengan Pasal
1456 KUHPerdata). Hapusnya perikatan dibedakan
menjadi 10 (sepuluh) macam, yaitu karena
pembayaran, penawaran, pembayaran tunai yang
diikuti dengan penyimpanan atau penitipan,
pembaruan utang, perjumpaan utang atau kompensasi,
percampuran utang, pembebasan utang, musnahnya
barang terutang, kebatalan atau pembatalan,
berlakunya syarat batal dan kedaluarsa.
5. Jual Beli (Pasal 1457 sampai dengan Pasal
1540KUHPerdata). Hal-hal yang diatur meliputi :
ketentuan umum, kewajiban penjual, kewajiban
pembeli, hak membeli kembali, jual beli piutang dan
lain-lain hak berwujud.
6. Tukar menukar (Pasal 1451 sampai dengan Pasal 1546
KUHPerdata).
7. Sewa menyewa (Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600
KUHPerdata). Hal-hal yang diatur meliputi : ketentuan
umum, aturan-aturan yang sama berlaku terhadap

12
penyewaan rumah dan penyewaan tanah, aturan
khusus yang berlaku bagi sewa rumah dan perabot
rumah.
8. Persetujua untuk melakukan pekerjaan (Pasal 1601
sampai dengan Pasal 1617 KUHPerdata). Hal-hal yang
diatur meliputi : ketentuan umum, persetujuan
perburuhan pada umumnya, kewajiban majikan,
kewajiban buruh, macam-macam cara berakhirnya
hubungan kerja yang diterbitkan karena perjanjian dan
pemborongan pekerjaan.
9. Persekutuan (Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652
KUHPerdata). Hal-hal yang diatur meliputi : ketentuan
umum, perikatan antara para sekutu, perikatan para
sekutu terhadap pihak ketiga, dan macam-macam cara
berakhirnya persekutuan.
10. Perkumpulan (Pasal 1653 sampai dengan Pasal
1665 KUHPerdata).
11. Hibah (Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693
KUHPerdata). Hal-hal yang diatur meliputi : ketentuan
umum, kecakapan untuk memberikan hibah dan
menikmati keuntungan dari suatu hibah, cara
menghibahkan sesuatu, penarikan kembali dan
penghapusan hibah.
12. Penitipan barang 9Pasal 1694 sampai dengan
Pasal 1739 KUHPerdata). Hal-hal yang diatur
meliputi : peitipan barang pada umumnya dan macam
penitipan, penitipan barang sejati, sekestarasi dan
macamnya.
13. Pinjam pakai (Pasal 1740 sampai dengan Pasal
1753 KUHPerdata).-hal yang diatur meliputi : ketetuan
umum, kewajiban orang yang menerima pinjaman,
kewajiban orang yang meminjamkan.
14. Pinjam meminjam (Pasal 1754 sampai dengan
Pasal 1769 KUHPerdata). Hal-hal yang diatur
meliputi : pengertian pinjam meminjam, kewajiban
orang yang meminjamkan, kewajiban si peminjam dan
meminjam dengan bunga.
15. Bunga tetap atau abadi (Pasal 1770 sampai
dengan pasal 1773 KHPerdata).

13
16. Perjanjian untung-untungan (Pasal 1774 sampai
dengan pasal 1791 KUHPerdata). Hal-hal yang diatur
meliputi : pengertian, persetujuan bunga cagak hidup
dan akibatnya dan perjudian dan pertaruhan.
17. Pemberian kuasa 9Pasal 1792 sampai dengan
asal 1819 KUHPerdata). Hal-hal yang diatur meliputi :
sifat pemberian kuasa, kewajiban penerima kuasa,
kewajiban pemberi kuasa, dan macam-macam cara
berkahirnya pemberian kuasa.
18. Penanggung utang (Pasal 1820 sampai dengan
Pasal 1850 KUHPerdata). Hal-hal yang diatur
meliputi : akibat-akibat penanggungan antara si
berutang dan penanggung, akbat-akibat
penanggungan antara si berpiutang dengan
penanggung dan antara penanggung sendiri dan
hapusnya penanggunggan utang.
19. Perdamaian (Pasal 1851 sampai dengan Pasal
1864 KUHPerdata). Perjanjian perdamaian ini
merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak
yang bersengketa, dimana kedua belah pihak sepakat
untuk mengakhiri suatu konflik yang timbul diantara
mereka. Perjanjian perdamaian baru dikatakan sah
apabila perjanjian itu dibuat dalam bentuk tertulis.

E. Sistem Pengaturan Hukum Perikatan


Pengaturan hukum perikatan dilakukan dengan
sistem terbuka, artinya setiap orang boleh mengadakan
perikatan apa saja baik yang sudah dtentukan namanya
maupun yang belum ditentukan namanya dalam undang-
undang. Inilah yang disebut kebebasan berkontrak. Hal
ini dapat dismpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata yang menegaskan bahwa : “semua
perjnajian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk :
1. Mebuat atau tidak membuat perjanjian
2. Mengadakan perjajian engan siapapun juga
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan
persyaratanya;

14
4. Menentukan bentuk perjanjian yaitu tulis atau lisan. 26
Tetapi keterbukaan itu dibatasi dengan pembatasan
umum, yaitu yang diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata.
Pembatasan tersebut yaitu sebabnya harus halal, tidak
dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan
kesusilaan, dan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, serta dibatasi dengan Pasal 1254 KUHPerdata,
yaitu syaratnya harus ungkin terlaksana dan harus susila.
Menurut sejarah perkembangannya, bahwa sistem
hukum perkatan pada mulanya menganur sistem
tertutup. Artinya bahwa para pihak terkat pada
pengertian yang tercantum dalam undang-undang. Ini
disebabkan adanya pengaruh ajaran legisme yang
memandang bahwa tidak ada hukum diluar undang-
undang. Hal ini dapat dilihat dan dibaca dalam berbagai
putusan Hoge Raad dari tahun 1910 sampai dengan
tahun 1919. Putusan Hoge Raad yang terpenting adalah
putusan H.R 1919 tertanggal 31 Januari 1919 tentang
penafsiran perbuatan melawan hukum yang diatur dalam
Pasal 1365 KUHPerdata.

26
Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata tertulis (BW), Sinar Grafika,
Jakarta, 2006, hlm. 156.

15

Anda mungkin juga menyukai